KATA PENGANTAR
Alhamdulillah,
puji syukur kami ucapkan kepada ALLAH S.W.T atas nikmat dan rahmat yang
diberikan kepada kita semua, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Sholawat
dan salam kami haturkan kepada Nabi Muhammad S.A.W sebagai panutan atau
pembimbing kita menuju kebahagian yang hakiki. Makalah yang berjudul Saddul
ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih. Kami ucapkan banyak terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu terutama kepada Bapak Dr. H.M. Sa’ad Ibrahim, MA. Selaku
Dosen pembimbing mata kuliah Teologi Islam yang senantiasa membina kita.
Mengingat
keterbatasan kami oleh karena itu kami selaku penyusun mengharap saran dan
kritik yang bersifat membangun dari segenap pembaca sekalian. Semoga makalah
ini bisa bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Amien.
Malang, 25 september 2011
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Dalam
perjalanan sejarah Islam, para ulama mengembangkan berbagai teori, metode, dan
prinsip hukum yang sebelumnya tidak dirumuskan secara sistematis, baik dalam
Alquran maupun as-Sunnah. Upaya para ulama tersebut berkaitan erat dengan
tuntutan realita sosial yang semakin hari semakin kompleks. Berbagai persoalan
baru bermunculan yang sebelumnya tidak dibahas secara spesifik dalam Alquran
dan Hadits Nabi.
Di antara
metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah sadd
adz-dzari’ah. Metode sadd adz-dzari’ah merupakan upaya preventif
agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif. Metode hukum ini
merupakan salah satu bentuk kekayaan khazanah intelektual Islam yang –sepanjang
pengetahuan penulis–tidak dimiliki oleh agama-agama lain. Selain Islam, tidak
ada agama yang memiliki sistem hukum yang didokumentasikan dengan baik dalam
berbagai karya yang sedemikian banyak.
Hukum Islam
tidak hanya mengatur tentang perilaku manusia yang sudah dilakukan tetapi juga
yang belum dilakukan. Hal ini bukan berarti bahwa hukum Islam cenderung
mengekang kebebasan manusia. Tetapi karena memang salah satu tujuan hukum Islam
adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan (mafsadah). Jika
suatu perbuatan yang belum dilakukan diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah),
maka dilaranglah hal-hal yang mengarahkan kepada perbuatan tersebut. Metode
hukum inilah yang kemudian dikenal dengan sadd adz-dzari’ah. Sebaliknya,
jika suatu perbuatan diduga kuat akan menjadi sarana terjadinya perbuatan lain
yang baik, maka diperintahkanlah perbuatan yang menjadi sarana tersebut. Hal
inilah yang kemudian dikenal dengan istilah fath adz-dzariah.
Wahbah
az-Zuhaili membedakan antara adz-dzari’ah dengan muqaddimah. Beliau
mengilustrasikan bahwa adz-dzariah adalah laksana tangga yang
menghubungkan ke loteng. Sedangkan muqaddimah adalah laksana fondasi
yang mendasari tegaknya dinding.
Dengan
demikian, adz-dzariah dititikberatkan kepada bahwa ia sekedar sarana dan
jalan untuk mengantarkan kepada perbuatan tertentu yang menjadi tujuannya. Ia
bisa menjadi suatu perbuatan terpisah yang berdiri sendiri. Sedangkan muqaddimah
dititikberatkan kepada bahwa ia merupakan suatu perbuatan hukum yang memang
bagian dari rangkaian perbuatan hukum tertentu. Muqaddimah merupakan
perbuatan pendahuluan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari rangkaian
perbuatan. Misalnya, sa’i merupakan sesuatu perbuatan pendahuluan yang
diwajibkan dalam rangkaian haji. Sementara itu, haji sendiri merupakan kewajiban.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah yang dimaksud dengan Saddul Dzariah?
2.
Apa dasar hukum Saddul Dzariah?
3.
Apa saja macam Saddul Dzariah?
4.
Bagaimana pandangan para ulama tentang saddul Dzariah?
5.
Bagaimana contoh penerapan Saddul Dzariah dalam kehidupan sehari-hari?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Saddu al-Dzari’ah
v Secara lughawi (bahasa),
كلّ
ما يتخذ وسيلة ويكون طريقا إلي شيء غيره
“setiap
sesuatu yang menjadi perantara dan jalan kepada sesuatu lainnya.”[1]
الوسيلة
التي يتوصّل بها إلي الشيء سواء كان حسّيّا أو معنويّا
“jalan yang membawa kepada sesuatu, secara hissi atau ma’nawi,
baik atau buruk”.[2]
v Secara isthilah
ما
يتوصّل به إلي شيء الممنوع المشتمل علي مفسدة
“sesuatu yang menjadikan lantaran kepada
yang lain yang dilarang karena mengandung kerusakan.”[3]
الوسائل
التي تكون في ذاتها حلال, ولكن يقضي الأخذ بها أحياناً إلي ما هو محرم, فيمنع ذلك.
“perantara yang dengan kenyataannya halal
tetapi kadang-kadang mengarah pada keharaman, maka hal itu dilarang”.[4]
Untuk menempatkannya dalam bahasan
sesuai dengan yang dituju, kata dzari’ah itu didahului dengan saddu
سدّ
yang artinya “menutup” maksudnya adalah “menutup jalan terjadinya kerusakan.”
B.
Macam-Macam Saddul Dzariat
Ulama,
al-Qarafi dan asy-Syatibi membagi adz-dzari’ah menjadi tiga macam,
yaitu:
1.
Sesuatu yang
telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi jalan atau sarana
terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan. Contohnya menanam anggur, meskipun
ada kemungkinan untuk dijadikan khamar; atau hidup bertetangga meskipun ada
kemungkinan terjadi perbuatan zina dengan tetangga.
2.
Sesuatu yang
disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki berhala bagi orang yang
mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala tersebut akan membalas
mencaci maki Allah seketika itu pula. Contoh lain adalah larangan menggali
sumur di tengah jalan bagi orang yang mengetahui bahwa jalan tersebut biasa
dilewati dan akan mencelakakan orang.
3.
Sesuatu yang
masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan, seperti memandang
perempuan karena bisa menjadi jalan terjadinya zina; dan jual beli berjangka
karena khawatir ada unsur riba
Dilihat dari
aspek akibat yang timbulkan, Ibnu al-Qayyim mengklasifikasikan adz-dzari’ah menjadi
empat macam, yaitu:
1.
Suatu
perbuatan yang memang pada dasarnya pasti menimbulkan kerusakan (mafsadah). Hal
ini misalnya mengonsumsi minuman keras yang bisa mengakibatkan mabuk dan
perbuatan zina yang menimbulkan ketidakjelasan asal usul keturunan.
2.
Suatu
perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan (mustahab), namun
secara sengaja dijadikan sebagai perantara untuk terjadi sesuatu keburukan (mafsadah).
Misalnya menikahi perempuan yang sudah ditalak tiga agar sang perempuan
boleh dikawini (at-tahlil). Contoh lain adalah melakukan jual beli
dengan cara tertentu yang mengakibatkan muncul unsur riba.
3.
Suatu
perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun tidak disengaja untuk
menimbulkan suatu keburukan (mafsadah), dan pada umumnya keburukan itu
tetap terjadi meskipun tidak disengaja. Keburukan (mafsadah) yang
kemungkinan terjadi tersebut lebih besar akibatnya daripada kebaikan (maslahah)
yang diraih. Contohnya adalah mencaci maki berhala yang disembah oleh
orang-orang musyrik.
4.
Suatu
perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa menimbulkan
keburukan (mafsadah). Kebaikan yang ditimbulkan lebih besar akibatnya
daripada keburukannya. Misalnya, melihat perempuan yang sedang dipinang dan
mengkritik pemimpin yang lalim.
C. Dasar-dasar Saddu al-Dzari’ah
a. Al-Qur’an.
وَلَا
تَسُبُّوْا الّذيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ فَيَسُبُّوْا اللهَ عَدُوْا
بِغَيْرِ عِلْمٍ (الأنعام: 108)
Artinya: “dan janganlah
kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka
nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.”
يَّاأَيُّهَا
الَّذِيْنَ ءامَنُوْا لاَتَقُوْلُوْا رَاعِنَا وَقُوْلُوْا انْظُرْنَا
وَاسْمَعُوْا وَلِلْكَافِرِيْنَ عَذَابٌ أَلِيْمٌ (البقرة: 104)
Artinya: hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakana (kepada Muhammad) “raa’ina”
tetapi katakanlah “undzurna” dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang yang kafir
siksaan yang pedih.
b. As-Sunnah.
Diantara
dalil sunnah adalah larangan menimbun demi mencegah terjadinya keulitan atas
manusia. Nabi juga melarang orang yang berpiutang menerima hadiah dari orang
yang berhutang demi menutup celah riba.
Fuqaha
sahabat juga menerapkan prinsip ini, hingga mereka memberikan waris kepada
wanita yang dicerai ba’in, jika suami mencerainya dalam keadaan sakit kritis,
demi untuk menutup terhalanginya celah istri dari mendapatkan warisan.[5]
c.
Kaidah Fikih
Di antara
kaidah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd adz-dzari’ah adalah:
d. دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ.
Kaidah ini
merupakan kaidah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah turunan di bawahnya.
Berbagai kaidah lain juga bersandar pada kaidah ini. Karena itulah, sadd
adz-dzari’ah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa dipahami,
karena dalam sadd adz-dzari’ah terdapat unsur mafsadah yang harus
dihindari.
e.
Logika
Secara
logika, ketika seseorang membolehkan suatu perbuatan, maka mestinya ia juga
membolehkan segala hal yang akan mengantarkan kepada hal tersebut. Begitupun
sebaliknya, jika seseorang melarang suatu perbuatan, maka mestinya ia pun
melarang segala hal yang bisa mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Hal ini
senada dengan ungkapan Ibnu Qayyim dalam kitab A’lâm al-Mûqi’în: ”Ketika
Allah melarang suatu hal, maka Allah pun akan melarang dan mencegah segala
jalan dan perantara yang bisa mengantarkan kepadanya. Hal itu untuk menguatkan
dan menegaskan pelarangan tersebut. Namun jika Allah membolehkan segala jalan
dan perantara tersebut, tentu hal ini bertolak belakang dengan pelarangan yang
telah ditetapkan.”
D. Pandangan para Ulama
Dari uraian tersebut diatas, jelaslah
bahwa dzari’ah ini merupakan dasar dalam fiqih islam yang dipegang oleh seluruh
Fuqaha, tetapi mereka hanya berbeda dalam pembatasannya.
Imam Malik dan Imam Ahmad amat banyak
berpegang pada dzari.’ah, sedangkan Imam Syafi’I dan Abu Hanifah kurang dari
mereka walaupun mereka berdua terakhir tidak menolak dzari’ah secara
keseluruhan dan tidak mengakuinya sebagai dalil yang berdiri sendiri. Menurut
Syafi’I dan Abu Hanifah, dzari’ah ini masuk kedalam dasar yang telah mereka
tetapkan yaitu qiyas dan istihsan menurut Hanafi.[6]
Berpegang pada dzari’ah tidak boleh
terlalu berlebihan, karena orang yang tenggelam didalamnya bisa saja melarang
perbuatan yang sebenarnya mubah, mandub bahkan yang wajib, karena terlalu
khawatir terjerumus ke jurang kedzaliman. Oleh karena itu Ibnul Araby didalam
kitabnya Ahkamul Qur’an mengaitkan keharaman karena dzari;ah itu apabila yang
diharamkan karena saddu dzari’ah itu, tsabit keharamannya dengan nash, bukan
dengan qiyas, dan bukan pula dengan dzari’ah. Oleh karena itu tidak boleh
meninggalkan perwalian harta anak yatim karena takut dzalimnya wali.
Dengan demikian, maka mukallaf wajib
mengetahui benar didalam menggunakan dzari’ah itu akan bahaya menggunakannya
atau bahaya meninggalkannya. Merekapun harus mentarjihkan diantara keduanya
kemudian harus mengambil mana yang rajih (unggul).
E.
Contoh Dalam Kehidupan Sehari-Hari
1) Perbuatan yang akibatnya pasti
menimbulkan kerusakan atau bahaya. Maka hukumnya dilarang secara kesepakatan
ulama’.
Contoh: menggali lubang dibelakang
pintu rumah atau dijalan umum.
2) Perbuatan yang menurut dugaan kuat akan
menimbulkan bahaya, atau pada kebiasaannya berakibat kerusakan. Hukumnya haram.
Contoh:
menjual senjata dimasa perang atau banyak fitnah, menjual anggur untuk membuat
khamr.
3) Perbuatan yang kebanyakan mengarah pada
kerusakan tetapi tidak sampai pada tingkat tinggi. Ulama’ berbeda dalam
menghukuminya, apakah ditarjihkan yang haram atau yang halal. Imam Malik dan
Imam Ahmad menetapkan keharamannya.
Contoh:
menjual sesuatu yang didalamnya ada barang riba.
4) Perbuatan yang jarang berakibat
kerusakan atau bahaya. Maka dalam hal ini hukumnya diperbolehkan.
Contoh:
melihat lain jenis disaat melamar.[7]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Saddul
Adz Dzari’ah adalah Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd
adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu
yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya
perbuatan lain yang dilarang.
2. Macam-macam Saddul Adz Dzari’ah ada
banyak sekali, ada ulama yang membenarkan, maupun manyalahkannya. Tinggal
bagaimana kita menyikapinya dalam kehidupan sehari-harinya.
3.
dasar
hukum Saddul Adz Dzari’ah adalah jelas, mulai dari Al Quran, sunnah, kaidah
fiqh, sampai logika.
4. Pandangan para Ulama terhadap mengenai
Saddul Adz Dzari’ah berbeda-beda. Imam Malik dan Imam Ahmad amat banyak
berpegang pada dzari.’ah, sedangkan Imam Syafi’I dan Abu Hanifah kurang dari
mereka walaupun mereka berdua terakhir tidak menolak dzari’ah secara
keseluruhan dan tidak mengakuinya sebagai dalil yang berdiri sendiri. Menurut
Syafi’I dan Abu Hanifah, dzari’ah ini masuk kedalam dasar yang telah mereka
tetapkan yaitu qiyas dan istihsan menurut Hanafi.
5. Banyak sekali kasus sehari-hari yang
sebenarnya merupakan salah satu contoh kasus
Saddul Adz Dzari’ah. Hanya saja karena istilahnya yang kurang populer
sehingga masyarakat kurang memperhatikannya.
Daftar Pustaka
Ø أثر الالة المختلف فيها, الدّكتور
مصطفي ديب البغا, دمشق.
Ø مباحث في أصول الفقه, الدكتور محمد
كبير يونس.
Ø المنهج السلفي, مفرح بن سليمان
القوسي.
Ø مد ىحجة الإستحسان و سدّ الذرائع,
صلاح الدين عبد الحليم سلطان.
Ø أصول الفقه, كياهي الحاج رشدان
أنوار, الدكتور اندوسي حارس مؤنس, أحمد رشدي.
Ø Syarifuddin, Amir.
2008. Ushul Fiqih. Jakarta:
Kencana.
Ø Abdullah,
Sulaiman. 1995. Sumber Hukum Islam.
Jakarta: Sinar Grafika.
Zaidan, Abdul Karim. Pengantar
Studi Syari’ah. Jakarta: Robbani Press
Post a Comment