BAGIAN PERTAMA
MELIHAT KENYATAAN YANG
SEBENARNYA
Pendahuluan
Sebuah
gerakan yang rapi dan massif harus mengandaikan terbentuknya faktor-faktor
produksi, distribusi dan wilayah perebutan. Tanpa mengunakan logika ini maka
gerakan akan selalu terjebak pada heroisme sesaat dan kemudian mati tanpa
meninggalkan apa-apa selain kemasyuran dan kebanggaan diri belaka. Katakanlah
kita sedang akan membangun sebuah gerakan maka dimana wilayah perebutan yang
akan kita temui dan oleh karena itu apa yang harus kita produksi dan mengunakan
jalur distribusi seperti apa agar produk-produk gerakan kita tidak disabotase
di tengah jalan. Rangkaian produksi-distribusi-perebutan ini adalah sebuah mata
rantai yang tidak boleh putus, karena putusnya sebuah mata rantai ini berati matinya
gerakan atau setidak-tidaknya gerakan hanya akan menjadi tempat kader-kadernya
heroisme-ria. Dan yang lebih penting bahwa gerakan semacam ini akan lebih mudah
untuk di aborsi.
Yang
pertama-tama perlu di kembangkan di PMII adalah bahwa sejarah itu berjalan
dengan masa lalu, bukan karena semata-mata masa lalu itu ada, tetapi karena
masa lalu telah membentuk hari ini dan hari esok. Artinya capaian tertinggi
dari sebuah gerakan adalah ketika satu generasi telah berhasil mengantar
generasi berikutnya menaiki tangga yang lebih tingi. Visi historis inilah yang
akan menjadikan PMII sebagai organisasi besar yang berpandangan kedepan dan
universal, karena PMII tidak didirikan hanya untuk bertahan selama sepuluh atau
dua puluh tahun, tetapi PMII didirikan untuk melakukan perubahan tata struktur
dan sistem. Dengan demikian paradigma
menempati posisi yang sangat vital dalam membangun gerakan PMII ke depan, bukan
semata-mata karena kita membutuhkan paradigma, tetapi karena paradigma itu
seharusnya memandu gerakan PMII dalam longue duree dalam bingkai dunia.
Selama
ini, perdebatan paradigmatik di PMII hanya bersifat reaksioner, bukan sebuah
inisiatif yang didasarkan pada gerak maju yang terencana. Kondisi seperti
inilah yang kemudian membatasi ruang lingkup gerakan PMII yang hanya melingkar
di orbit internal NU dan tidak mampu melakukan pendudukan dan perebutan
sektor-sektor setrategis yang memiliki resonansi luas kepada publik. Sejauh
berkaitan dengan perubahan struktural yang dicitakan PMII, maka pendudukan dan
perebutan sektor-sektor publik adalah suatu keniscayaan. Masalahnya selama ini
yang di puja-puja oleh sebagaian besar aktifis PMII adalah gerakan kultural an
sich yang mengabaikan segala sesuatu yang bersifat struktur. Katakanlah
dikotomi gerakan kultural-struktural yang menjadikan PMII sebagai penjaga
gerbang kultural sementara organisasi kemahasiswaan yang lainnya, misalnya
sebagai pemain struktural telah menimbulkan kesesatan berfikir sedari awal
tentang gerakan yang dibayangkan (imagined movement) oleh kader-kader
PMII, bahwa PMII cukup hanya bergerak di LSM-LSM saja dan tidak perlu
berorientasi di kekuasan. Jadi paradigma merupakan suatu keniscayaan yang di bangun berdasakan atas pandangan PMII
tentang dunia dalam realitas globalisasi dan pasar bebas yang saat ini sedang
berjalan.
Indonesia Dalam Globalisasi Dan Pasar Bebas Sebagai Relitas dan Modal Gerakan
Dalam
peradapan baru dunia global, kemajuan tekhnologi dan informasi menjadi
infrastruktur penopang bergeraknya globalisasi dan liberalisasi ekonomi (baca
neoliberal). Sebagai contohnya keberadaan pasar maya yang merupakan sistem dan
tatanan baru bagi keuangan internasional yang kemudian banyak disebut dengan
disebut dengan pasar modal dan pasar uang. Kemajuan elektronik global, membuat
para pemegang modal diberbagai sektor seperti keuangan, perbankan, investasi
langsung dan lain-lain, dengan mudahnya dapat memindahkan modalnya dalam jumlah
besar dari negara yang lain ke negara yang lainnya hanya dengan memencet mouse
kompiuter dengan jaringan internet yang terakses langsung disemua negara di
dunia. Sehingga
dengan mudahnya mereka malakukan intervensi terhadap perekonomian satu
negara bahkan satu kawasan. Karena
pergerakan aliran lalu lintas modal global sangat mempengaruhi pasar modal
dalam satu negara. Selain itu terpakunya standar pertukaran internasional hanya
pada dollar AS, mempunyai kecenderungan untuk mempengaruhi perputaran dan
pergerakan pasar uang global.
Sistem dunia akan terus
bergerak dan mempunyai kecenderungan untuk bergerak linier yang akan berproses
secara kompleks serta akan selalu memunculkan kontradiktif atau pertentangan.
Sistem dunia juga akan merasuki semua aspek kehidupan manusia dan negara,
sehingga ada kecenderunagn suatu negara tak terkecuali Indonesia akan
kehilangan sebagian kekuatan ekonominya. Dilain pihak globalisasi akan
mendorong kekuatan-kekuatan lokal (baca kearifan lokal) untuk mampu bertahan
dalam dunia yang menglobal ini.
Sebagaimana dikatakan oleh Anthony
Giddens, “Globalisasi tidak hanya berkaitan dengan sistem-sistem besar, seperti
tatanan keuangan dunia, globalisasi bukan sekedar apa yang ada diluar sana
terpisah, dan jauh dari orang perorang. Ia juga merupakan fenomena di sini yang
mempengaruhi aspek-aspek kehidupan kita yang intim dan pribadi. Perdebatan mengenai
nilai-nilai keluarga yang tengah berlangsung di banyak negara misalnya, mungkin
terkesan sangat jauh dari pengaruh globalisasi. Tidak demikian halnya, dibanyak
belahan dunia, sistem keluarga tradisional kian berubah atau terdesak khususnya
setelah kaum perempuan menuntut kesetaraan yang lebih besar. Sepanjang yang
kita ketahui dari catatan sejarah, belum pernah ada masyarakat yang kaum
perempuannya hampir setara dengan pria. Ini sunguh merupakan revolusi global
dalam kehidupan sehari-hari yang konsekwensinya dirasakan diseluruh dunia ,
dari wilayah kerja hingga wilayah politik”. (Anthony Giddens : 2001)
Keberadaan
Indonesia tidak lepas dari pergerakan di luar apalagi dalam dunia yang
menglobal. Dinamika perpolitikan internasional yang akan mendorong semakin
menguatnya trend global kedepan dan trend ini tentunya akan terus berubah
mengikuti irama pasar. Sistem dunia yang didukung sepenuhnya negara-negara di
dunia pertama, sehingga mereka memainkan peran setrategis setiap pengambilan
kebijakan mengenai aturan-aturan internasional melalui lembaga-lembaga
tertentu. Sebagai contoh adalah adanya ISO (international Standart
Organisation) yang menjadi salah satu aturan internasional dalam perdaganan
barang lintas negara. Cara pandang penetapan aturan dengan mengunakan cara
pandang barat, yang sudah barang tentu berbeda dengan cara pandang, kondisi dan
potensi yang dimiliki oleh negara-negara di dunia ketiga. Aturan seperti ini
sudah barang tentu akan mengalalahkan daya saing negara-negara ketiga, karena
aturan ISO memiliki kecenderungan untuk menghadapkan pada hokum besi mekanisme
pasar.
Mekanisme
pasar sejauh membuka kesempatan kepada semua pihak untuk berinteraksi secara
setara dapat di terima. Tetapi dalam sistem neoliberal seperti yang sekarang
kita temui ini, dijumpai sebuah kondisi dimana prinsip kesetaraan tidak ada,
atau terjadi interaksi yang asimetris. Prinsip perdagangan bebas yang dipandu
dengan sistem monetarisme hampir-hampir tidak menyisakan ruang bagi ekonomi
kecil untuk survive. Para pemilik modal besarlah yang memiliki kesempatan emas
untuk bermain dalam sistem ini.
Keterlibatan
Indonesia dalam perdagangan bebas dengan diresmikannya AFTA, tetapi jika di
analisis lebih dalam Indonesia tidak akan dapat berbuat banyak dihadapan
modal-modal asing raksasa. Kita dapat membayangkan bagaimana seandainya
sektor-sektor ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak akan di kuasai
oleh segelintir individu yang dengan laluasa akan dapat memainkannya untuk kepentingan pribadinya.
Negara yang seharusnya mengabdi demi hajad hidup orang banyak telah di pereteli
kekuasaanya oleh pasar, sehingga tidak lebih hanya akan bertindak sebagai agen
pasar berhada[an dengan masyarakat sendiri.
Dengan
agenda payung privatisasi misalnya kita telah dan akan melihat bagaimana banyak
BUMN di privatisasi demi memenuhi budget pemerintah yang telah mengalami
defisit. Yang menarik adalah privatisasi itu terjadi atas desakan IMF yang
merupakan kepanjangan tangan negara-negara core dalam moneter dunia. Ini secara
gamblang menjelaskan bagaimana pemerintah (baca : negara) tidak berdaya di
hadapan sistem pasar yang telah mapan (neoliberalisme).
Yang sangat ironis, ditengah
kencangnya gerak maju neoliberalisme justru tidak ada struktur lokal yang mampu
menghadapinya. Struktur lokal telah terfragmentasi sedemikian rupa sehinga
neoliberalisme dapat menjebol benteng Indonesia tanpa perlawanan sama sekali.
Dalam hubungan antar negara bangsa, pemerintah dan rakyat yang sama sekali
tidak saling terkait kita menyaksikan bahwa Indonesia telah benar-benar
terkunci dalam gerak sejarah. Jika hari ini adalah lima puluh tahun yang silam
dan kita telah memiliki keawasan seperti hari ini, niscaya kita akan memilih
Mao Tse Tung atau Tan Malaka yang memilih kemerdekaan sepenuh-penuhnya, bukan
negociated independence seperti yang kita alami. Seandainya kita memiliki
kesempatan untuk berbenah diri ke dalam tanpa harus mengintegrasikan diri dalam
interaksi global yang asimetris ini, maka politik isolasi mungkin adalah
pilihannya. Resikonya adalah seperti apa yang telah di alami Cina (RRC), selama
beberapa dekade sibuk berbenah diri melakukan reformasi struktur internal dan
kemudian dalam hitungan dekade kelima telah mampu bersaing dengan hegemon
dunia. Tentu Cina memiliki kekhasan yang tidak bisa disamakan dengan Indonesia,
tetapi paling tidak ia merupakan gambaran bahwa there in (an) Alternative (TIA)
selain blue-print AS yang harus di ikuti oleh negara pery-pery.
Konsolidasi
politik negara-negara Eropa dan Amerika yang banyak menganut demokrasi liberal
pasca perang dunia ke-2, untuk menciptakan format baru penjajahan dari
kolonialisme dan imperalisme lama. Konsolidasi yang menghasilkan adanya
pertukaran politik global sehingga memunculkan imperium global yag diikuti
dengan perkembangan diplomasi multerateral dan regulasi internasional dan
pembentukan instritusi-institusi politik global, seperti PBB dan institusi
regional seperti Uni Eropa, NAFTA dan lain-lain. Institusi politik internasional inilah yang
akan menciptakan aturan main percaturan politik global berskala internasional
khususnya yang menyangkut isu-isu perdagangan, perang dan perdamaian.
Perkembangan politik internasional yang ditopang dengan aturan internasional
tersebut akan menghilangkan sekat-sekat batas negara sehingga akan memunculkan
rezim internasional yang mempunyai pengaruh cukup signifikan dan memiliki
otoritas untuk menentukan masa depan negara-negara yang lain. Perkembangan
internasionalisasi dan transnasional politik yang mempunyai kecenderungan
hilangnya peran negara atas warganya, dan kecenderungan untuk membangun satu
pemerintahan rezim global yang berlapis dengan kekuasaan mayanya, tetapi mampu
mengerakkan struktur sosial dan politik dari sebuah negara. Konsekwensi dari politik
transnasional ini adalah miunculnya hukum-hukum internasional yang
kosmopolitan.
Posisi
Indonesia yang merupakan bagian dari dunia, tidak akan mungkin lagi terhindar
dari proses internasionalisasi politik tersebut apalagi dengan kondisi
geo-geografis Indonesia yang strategis. Indonesia akan kehilangan banyak peran dan hanya
menjadi bagian kecil dalam pentas dunia.
Pemerintah Indonesia dan negara-negara ketiga lainnya akan semakin kehilangan
kontrol atas arus informasi, teknologi,
penyakit, migrasi, senjata, dan transaksi finansial baik legal maupun ilegal yang
melintasi batas-batas wilayahnya. Aktor non-negara, mulai dari kalangan bisnis
hingga organisasi-organisasi non-profit akan semakin memainkan peranan penting
dalam lingkup nasional maupun internasional. Kualitas pemerintahan nasional dan
internasional akan ditentukan oleh tingkat keberhasilan negara dan masyarakat
dalam mengatasi kekuatan-kekuatan global di atas.
Oleh karena itu, kita perlu melihat Indonesia dalam
gambar dan ruang lebih besar lagi yaitu dunia. Dengan melihat Indonesia sebagai
bagian dari sebuah sistem dunia yang sedang berjalan, kita dapat mengenali
relasi apa yang sedang terjadi dalam sebuah peristiwa. Dengan mengenali
relasinya kita dapat melihat pola-pola yang di gunakan oleh sistem tersebut
untuk beroperasi, katakanlah kita perlu melihat dengan perspektif sistem dunia
ini, lalu bagaimana kita menghubungkan perubahan-perubahan internal Indonesia
dengan sistem dunia ini ?
Adalah Emanuel Wellerstain dan teman-temannya di Fernan
Broudell Center Binghamton University yang mencoba memperkenalkan perspektif
sistem dunia ini sebagai alat baca. Dalam pandangan para world sistemizer dunia ini terbagi ke dalam tiga wilayah kerja
(internasional divisiopn of labour) yaitu
1.
Core, terdiri dari negara yang memiliki proses-proses produksi
yang cangih, didaerah ini borjuis indigenous memiliki industri otonom yang
memproduksi komoditas manufaktur untuk pasar dunia. Pola-pola kontrol buruh
yang dominan adalah wage labour dan self-employment, negara-negara core
biasanya dengan strong state machinesries. Negara core pada umumnya Northwest
Eropa, Amerika Serikat, Kanada, Jepang, dan Australia.
2.
Periferi, terdiri dari negara-negara yang memiliki proses produksi
yang sederhana. Biasanya produk-produk negara periferi ikut menyumbang proses
akumulasi kapital dinegara-negara core karena dagang memerlukan
pertukaran-pertukaran yang tidak seimbang. Kontrol buruh juga dijalankan dengan
kekerasan, dengan struktur negara yang lemah. Negara periferi menurut
Wallerstain’s tidak cukup kuat untuk mengintervensi lajunya komoditas, kapital
dan buruh antar zona ini denfgan zona yang lainnya dalam system dunia. Tetapi
cukup kuat untuk memfasilitasi flows yang sama.
3.
Semi Periferi, mempunyai kompleksitas
kegiatan ekonomi, modus kontrol buruh, mesin negara yang kuat dan sebagainya. Fungsi
politik periferi adalah sebagai buffer zone antara dua kekuatan yang saling
berlawanan. Secara historis, semi periferi terdiri dari negara-negara yang
sedang naik atau turun dalam system dunia.
POLA HISTORIS GLOBALISASI POLITIK
|
Pra-Awal Modern
(Abad 14
–18)
|
Modern
(Abad 19 –
20)
|
Kontemporer
(1945
- )
|
Ekstensits
|
Sebagian besar bersifat
intra-teritorial dan intra-regional tetapi juga memulai ekspansi imperial.
|
Emperium
global;
Muncul
sistem negara bangsa
|
Sistem
negara global;
Muncul
tataan politik global;
Regionalisasi
politik dan inter-regionalisme
|
Intensitas
|
Volumenya
rendah, tetapi melonjak ketika para kompetitor politik atau ekonomi
bertemu dan berbenturan
|
Volumenya
meningkat dan terjadi ekspansi hubungan
|
Terjadi
peningkatan drastis pada kesepakatan-kesepakatan internasional, jaringan dan
berbagai hubungan formal maupun informal.
|
Percepatan
|
Terbatas;
Sporadis
|
Meningkat
|
Terjadi
percepatan pada interaksi politik global seiring dengan kemajuan teknologi
komunikasi.
|
Pengaruh
(negatif)
|
Sedikit;
tetapi terkonsentrasi
|
Meningkatnya
konsekuensi-konsekuensi institusional dan struktural
|
Tinggi:
saling terkait, sensitif dan rentan.
|
Infrastruktur
|
Minimal;
kerangka kerja amultilateral bergerak sangat lamban, mulai dari traktat
hingga konferensi organisasi
|
Munculnya
Organisasi dan rejim-rejim internasional maupun transnasional.
|
Perubahan
besar baik pada ukuran, bentuk, jumlah rejim, organisasi internasional dan
transnasinal serta mekanisme hukum.
Komunikasi
global “realtime” dan infrastruktur media.
|
Institusionalisasi
|
Minimal,
tetapi mulai ada diplomasi dan regularisasi jaringan kerja antar negara.
|
Perkembangan
rejim-rejim, peraturan-peraturan dan hukum internasional bersifat tentatif
tetapi rentan.
|
Ditandai
dengan pengembangan rejim, hukum internasional, dasar-dasar hukum
kosmopolitan serta struktur organisasi antar pemerintah maupun organisasi
transnasional (swasta).
|
Stratifikasi
|
Perkembangan
tatanan dunia yang Eropa sentris.
Organisasi
politik lemah, tersebar dan tidak merata melintasi batas teritotial.
|
Hirarki
kekuatan politik, militer dan ekonomi terkonsentrasi di Barat/Utara.
Kapabilitas
politik dikembangkan, tetapi hubungan yang tidak seimbang (asimetris) tetap
dipertahankan.
|
Dari
Dunia yang Bipolar (perang dingin) ke Multipolar.
Kesenjangan
Utara dan Selatan mulai dikikis
seiring dengan munculnya NICs (Negara Industri Baru) dan aktor-aktor
non-negara.
|
Pola
Interaksi
|
Persaingan;
perang-perang terbatas; Konfliktual/Koersif; Imperialis.
|
Teritorial;
Diplomatik; Geopolitik/Koersif; Imperialis; Konflik dan Kompetisi;
Pembentukan ke arah “total war”
|
Deteritorialisasi
dan reteritorialisasi.
“Reason
of State” diupayakan dalam kerangka
hubungan kerjasama (kooperatif)
dan kolaboratif.;Kerjasama dan Persaingan;Geo-ekonomik
dan End of empire |
Sumber : Derrived from Global Transformations; Politic,
Economic and Culture, David Held and
Anthony McGrew, David Goldblatt
and Jonathan Perraton, Polity Press, UK, 1999.
Proses
pergeseran tatanan politik dunia baru sebagaimana yang tersebut di atas, akan
menopang struktur ekonomi global, dengan menyiapkan infrastruktur aliran dan
lalu lintas modal baik langsung maupun tidak langsung. Aturan main
internasional sebagai hasil dari kebijakan lembaga-lembaga politik dan ekonomi
internasional seperti, PBB, IMF, world Bank, WTO dll, juga akan mempengaruhi
Indonesia untuk tetap bisa survive didalamnya. Pertumbuhan negara, kemampuan negara
meningkatkan pendapatan, mengatasi kemiskinan dan menguranggi pengangguran akan
sangat tergantung kondisi dan tatanan ekonomi internasional. Tak terkecuali
adalah lalu lintas modal dalam negara, karena kesemuannya dikemas dalam hukum
kosmopolitan yang namanya mekanisme pasar, yang menghadapkan individu , negara
dengan pasar.
Perekonomian
global akan sangat ditentukan juga oleh negara-negara adi kuasa yang secara
kemampuan memiliki kelebihan-kelebihan struktur ekonomi, seperti Cina, AS,
Inggris, Swedia, kanada dll. Kemampuan untuk mengsuplay kebutuhan-kebutuhan
negara di dunia, akan memunculkan pemenang-pemenang ekonomi, karena hegemoni ekonomi
global akan menentukan gaya hidup borjuis, hiperbalis dengan tingkat
konsumerisme yang tinggi di masyarakat, sehingga akan mengakibatkan tingkat
ketergantungan penduduk dan negara di dunia ketiga akan semakin tinggi terhadap
negara-negara suplayer, tak terkecuali Indonesia. Hal ini akan semakin membuat
keberadaan kemiskinan yang meningkat di negara-negara dunia ketiga dan
kesenjangan ekonomi yang sangat tinggi.
Membangun Paradigma Berbasis Kenyataan
Membangun
paradigma gerakan memang sesulit membaca kenyataan yang semestinya menjadi
pijakan paradigma itu. Gerakan yang dibangun tidak diatas landasan kenyataan
hanya akan menjadi struktur apalagi peradaban. Paradigma yang baik adalah
paradigma yang mampu menjadikan sejarah sebagai bahan penyusun yang dipadukan
dengan kenyataan hari ini. Kenapa sejarah menjadi penting dalam penyusunan
paradigma gerakan? Sebagaimana diketahui bahwa sejarah itu menyimpan masa lalu
yang telah menyusun masa kini dan masa depan. Jadi, dengan mengkombinasikan
sejarah dengan real-life hari ini, kita akan mampu membaca kenyataan secara
benar sehingga kita tidak akan terjebak dalam kenyataan mediatik yang
manipulatif dan menyesatkan.
Dengan
selalu berangkat dari kenyataan real, kita akan mampu menangkap struktur apa yang saat ini sedang bergerak dan geraka
yang kita jalankan akan mampu memutus roda-gila (free-wheel) peradaban yang
hegemonik. Selama ini, nalar mainstrem yang digunakan dalam penyusunan
paradigma di PMII adalah nalar yang berangkat dari asumsi yang belum tentu terkait
dengan kenyataan yang sehari-hari terjadi. Jadi, konsep ideal (logos) itu
dianggap lebih penting dan ideal dari pada kenyataan.
a.
Belajar Dari Sejarah Gerakan Mahasiswa
Realitas
politik memang mengatakan independensi perguruan tinggi yang notabene adalah
basis pendidikan nasional, sehingga banyak harapan akan adanya
pemikiran-pemikiran baru tentang ke-Indonesiaan yang dihasilkan dari institusi
ini. Selain civitas akademika yang merepresentasikan kelompok intelektual,
mahasiswa juga diharapkan mampu memberikan gagasan dan ide-ide ke-Indonesiaan,
dengan beragam aktualisasi. Selain sebagai kelompok intelektual, ternyata
dinamika perpolitikan negara juga cukup signifikan untuk mengerakkan mahasiswa
menjadi satu kekuatan gerakan ekstra parlementer sebagai salah satu pilihan
aktualisasinya. Melalui peran ini,
mahasiswa tentunya ingin mengartikulasikan kepentingan-kepentingan dan aspirasi
politiknya untuk mempengaruhi proses-proses pengambilan keputusan di tingkat
nasional, yang kesemuanya itu dibingkai dalam kerangka menyuarakan
kepentingan-kepentingan rakyat dan atas nama demokrasi, yang mencoba untuk
berbareng bergerak bersama rakyat, sehingga akan menjadi satu gerakan people
power yang masiff dan progresif.
Cita-cita
luhur para mahasiswa Indonesia, ternyata hanya menjadi utopi, karena gerakan
mahasiswa Indonesia hanya menjadi alat dari kelompok-kelompok kepentingan yang
mengatasnamakan rakyat. Hal ini tentunya didasari pada beberapa fakta dari
proses sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia. Pertama, gerakan mahasiswa
tahun 1945-1966, mahasiswa bangkit karena melihat kondisi negara yang sedang
mengalami kegoncangan sistem politik nasional yang selalu mengalami perubahan
bentuk pemerintahan, mulai dari RIS, Demokrasi Terpimpin dan kembali lagi ke
Republik, yang disebabkan oleh lemahnya posisi negara atas rakyatnya.
Sebagaiman ditulis Fachri Aly “Kondisi ini diperlihatkan dengan gejala
kemiskinan massal di perkotaan ataupun di daerah pedesaan, hancurnya sarana dan
prasarana ekonomi sehingga menyebabkan kehancuran ekonomi dan tingginya tingkat
utang serta rusaknya atau tidak berfungsinya prasarana dan sarana transportasi,
komunikasi dan modernisasi”(Fachry Ali : 1985).
Kekuatan
mahasiswa memang mampu mengulingkan kekuasaan Presiden Soekarno tahun 1966,
tapi perlu diingat bahwa kekuatan mahasiswa tidak muncul dengan sendirinya,
Badan Kerja Sama Pemuda Militer yang terbentuk tahun 1957, adalah bentuk
infiltrasi politik ABRI, yang waktu itu
itu mulai menunjukkan sifat kohesinya yang kuat dalam kehidupan politik,
sebagai respon atas pertentangan ideologi, sehingga melirik mahasiswa sebagai
kelompok independen untuk menjadi mitra. Hasil perjuangan mahasiswa telah mampu
menaikkan Jenderal Soeharto untuk menduduki kursi RI-1, justru mahasiswa yang
kritis atas situasi perpolitikan negara harus berhadapan dengan strategi
de-politisasi oleh pemerintah berkuasa, karena Presiden Soeharto lebih tertarik
untuk berkoalisi dengan intelektual dan tekhnokrat murni yang selama ini tidak
pernah concern dengan persoalan politik.
Kedua, gerakan mahasiswa tahun
1974/1975, juga sempat terprofokasi oleh isu-isu anti Jepang sehingga pada
tanggal 15 Januari 1975 yang kemudian di kenal dengan Malari, terjadi
pembakaran produk-produk Jepang di Indonesia, padahal ini tidak lebih akibat
dari pertarungan untuk memperebutkan pasar antara AS dan Jepang. Gerakan yang
kemudian dijawab oleh pemerintah dengan dikeluarkannya NKK/BKK (Normalisasi
Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Ketiga, gerakan
Mahasiswa tahun 1998-pun tidak jauh beda. Mahasiswa terprovokasi oleh isu-isu
yang di buat oleh pihak luar, meskipun gelombang aksi terjadi di seluruh
penjuru Indonesia, tetapi yang lebih signifikan untuk mendorong pemerintah
Soeharto mundur adalah fluktuatifnya kurs rupiah atas dollar AS dan berhentinya
pasar modal dalam negeri, sebagai respon atas kekuasaan Soeharto berlebihan
yang hanya berorientasi membangun istana ekonomi keluarga dan kroni, sehingga
menutup peluang investasi pengusaha-pengusaha asing khususnya AS dan mengamcam
kepentinagn internasional AS. Situasi pemerintahan yang seperti ini, sehingga
memunculkan isu-isu populis yang kemudian terkenal dengan 6 visi reformasi
(Adili Soeharto, Cabut Dwi Fungsi ABRI, Hapus KKN, Tegakkan Supremasi Hukum,
Otonomi Daerah dan Amandemen UUD`1945)
yang entah dari mana datangnya, namun tiba-tiba mengema dan menjadi
simbul perlawanan yang disuarakan oleh mahasiswa di seluruh Indonesia. Momentum
gerakan mahasiswa yang kemudian dimanfaatkan oleh elit tertentu. ”Gerakan
reformasi ini telah dimanipulasi para elit politik, baik elit politik yang lama
maupun yang baru, yang masih berambisi meraih kekuasaan bagi diri dan
kelompoknya dengan cara saling kompromi diantaranya lewat pemilu yang
dilaksanakan tahun 1999” (Meluruskan Arah Perjuangan Reformasi Dan Merajut kembali
Merah-Putih Yang Terkoyak : Iluni UI). Akankah kita para mahasiswa sekarang
kembali akan menjadi alat dan terprovokasi dengan isu-isu populis tertentu yang
ternyata hanya menguntungkan kelompok tertentu dan jauh dari kepentingan riil
masyarakat ?
b. Gerakan Moral Mahasiswa
Terlepas dari sejarah panjang perjalanan gerakan
mahasiswa di Indonesia, kekuatan mahasiswa hanya mampu menjadi kelompok preasure
group yang ternyata di dorong oleh kepentingan kelompok tertentu. Pada sisi
lain mahasiswa tidak mampu memberikan satu rumusan konseptual dan solusi atas
berbagai problematika transisi. Kegagalan-kegagalan yang tetap harus kita akui
sebagai bentuk kelemahan kita bersama, yang salah satunya disebabkan
keterjebakan kita dalam stigma gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral.
Sejarah panjang mengenai peran gerakan mahasiswa di
Indonesia, memang telah mengoreskan tinta sejarah dengan menyebut gerakan
mahasiswa sebagai gerakan moral. Hal
ini tentunya dilatar belakangi dengan keberhasilan gerakan mahasiswa menumbangkan
rezim Soekarno tahun 1966, Soeharto tahun 1998 dan Gus Dur tahun 2001, yang
konon katanya digerakkan oleh berhentainya proses demokratisasi, penegakan HAM,
tidak berjalannya supremasi sipil dan
supremasi hukum serta lain-lainnya. Latar belakang inilah yang kemudian
cukup signifikan mempengaruhi kemunculan stigma gerakan mahasiswa sebagai
gerakan moral yang katanya akan selalu menyuarakan kepentingan rakyat banyak
dengan idiom-idiom demokrasi, HAM, supremasi sipil dan lain-lain.
Meminjam istilah Ben Anderson dalam bukunya Revolusi
Pemuda, mengenai peran pemuda yang
sangat besar dalam menentukan masa depan sebuah bangsa. Dimana dalam peran ini
mahasiswa menjadi bagian didalamnya. Selain itu adanya pepatah Arab yang
berbunyi “Syubhanul yaum rijaalul ghoddi (Pemuda Sekarang Adalah pemimpin
masa depan)”. Kedua hal
tersebut di atas paling tidak menjadi landasan epistimologi yang akan semakin
menguatkan stigma gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral, sebagaimana kuatnya
memori kolektif masyarakat yang menyebut bahwa pemuda Indonesia pada tahun 1908
telah mempunyai andil yang cukup besar terhadap bangsa Indonesia dengan
keberahasilannya melaksanakan sumpah pemuda,
dimana masyarakat tidak pernah paham mengenai kenyataan empiris tentang
kondisi dan situasi sosial-politik dan ekonomi dalam negeri serta tren politik
global pada waktu itu.
Budiaman Sudjatmiko pada tahun 2000 dalam tulisannya
Demoralisasi Gerakan Mahasiswa menyebutkan bahwa yang disebut dengan
demoralisasi gerakan mahasiswa diartikannya dengan surutnya atau tidak adanya
kekompakkan berbagai elemen gerakan mahasiswa
pada waktu itu dalam merespon isu-isu yang berkembang saat itu, yang
menarik pengertian dari pemengalan kata demoralisasi, dengan mengartikan bahwa de-
yang artinya tidak atau mengecil dan moral yang diartikan respon
mahasiswa yang mengunakan idiom-idiom demokratisasi, HAM, supremasi hukum dan
lain-lain.
Gerakan mahasiswa tidak pernah mengunakan gerakan moral
sebagai pilihan bentuk aktualisasinya, tetapi yang dilakukannya adalah gerakan
politik. Hal ini dilatar belakangi oleh beberapa alasan, pertama,
gerakan mahasiswa dalam orientasinya yang ingin melakukan perubahan, selalu
mengunakan ukuran perubahan struktur atau lebih spesifik perubahan kebijakan
sebagai ukuran keberhasilannya. Fenomena
tentang perubahan struktur atau perubahan kebijakan yang terjadi di
Indonesia selalu dihasilkan dari proses gerakan politik bukan gerakan moral. Kedua,
stigma gerakan moral tidak lain adalah bentuk justifikasi dari kebenaran
akademis yang kelahirannya dilatar
belakangi karena independensi perguruan tinggi, yang berimplikasi pada cara pandang bahwa gerakan
mahasiswa adalah gerakan yang masih murni dan independen yang sangat jauh dari kepentingan pragmatis
dan kepentingan politik tertentu. Padahal realitas empiriknya gerakan mahasiswa
banyak mendapatkan donor dari partai politik, pemerintah, founding
internasional dan lain-lain. Ketiga,
gerakan mahasiswa yang mengklaim dirinya menyuarakan aspirasi rakyat dengan
mengunakan idiom demokrasi, HAM, supremasi sipil, supremasi hukum dan yang
lainnya, telah menjadikan idiom-idiom
tersebut sebagai standar moral gerakan. Standar moral yang cenderung dikotomis
karena pada realitasnya, moral kemudian kemudian menjadi alat untuk mengukuhkan
eksistensi gerakan mahasiswa dan menyerang lawan (baca : negara) yang pada sisi
lain negara yang dalam perwujudannya sebagai bentuk dari konsep trias politika
(eksekuti, legeslatif dan yudikatif) juga mengunakan idiom yang sama dalam
menjalankan tugas dan fungsinya, tetapi kemudian mengapa gerakan structural
negara dalam kontes yang sama tidak disebut sebagai gerakan moral tetapi lebih
cenderung disebut gerakan politik yang identik dengan relasi kuasa. Keempat,
moral dalam gerakan mahasiswa sebenarnya hanya menyetuh pada aspek psikologi,
emosional dan romantisme, bukan moral yang menjadi élan dan subtansi dari
gerakan, karena kebangkitan gerakan mahasiswa lebih signifikan dipengaruhi
faktror eksternal yang lebih massif. Contohnya adalah terbentuknya Badan Kerja
Sama Pemuda-Militer (BKSPM) yang terbentuk tahun 1957, adalah bentuk infiltrasi
politik ABRI. dan gerakan mahasiswa tahun 1974/1975 yang melakukan pembakaran
produk-produk Jepang di Indonesia, yang
terkenal dengan Malari, sebenarnya hanyalah akibat dari pertarungan antara AS
dan Jepang untuk memperebutkan pasar di Indonesia.
Untuk itu, refleksi bersama atas
internal gerakan mahasiswa yang katanya sebagai tulang punggung masa depan
bangsa harus segera mungkin dilakukan. Keberadaan moral dalam gerakan mahasiswa
tidak lain adalah bentuk pelarian dari individu seorang mahasiswa yang tidak
mampu membebaskan diri dari belenggu moral dalam konteks pribadi, yang kemudian
membawanya dalam komunitas gerakan mahasiswa. Tidak bebasnya belenggu disini
meliputi, Pertama, belenggu moral dalam prespektif teologis yang
mengikat relasi manusia dengan Tuhan dalam menjalankan hukum agama dan
kewajiban sebagai seorang hamba-Nya
dimana terdapat penilaian atas perilaku individu yang kemudian disebut
dengan dosa atau tidak dosa dan halal atau haram. Kedua, belenggu dalam
perspektif norma yang mengikat hubungan antar individu dan masyarakat, dimana terdapat penilaian masyarakat terhadap
perilaku individu yang kemudian disebut bermoral atau amoral karena perilakunya
yang keluar dari batasan-batasan norma, etika dan adat yang berlaku di
masyarakat.
Dari penjelasan di atas, maka moral
sebenarnya adalah system nilai yang berlaku universal bagi individu bukan
komunitas (baca gerakan) dan menjadi
alat mekanisme kontrol atas perilaku individu dalam menjalankan kehidupannya
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
c.
Belajar
Dari Sejarah PMII
Sebagai sebuah organisasi yang
telah berusia hampir setengah abad, semestinya PMII telah mencapai periode
kamatangan, sejak didirikan pada 17 April 1960 sebagai bagian integral dari
organisasi NU, PMII memang berfungsi sebagai sayap mahsiswa NU di samping GP
Ansor di sayap pemuda, Muslimat di sayap ibu-ibu, Fatayat di sayap remaja putri
dan IPNU/IPPNU di sayap pelajar serta Banom-Banom lain, maka komitmen PMII
kapada jam`iyah NU adalah suatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Maka
keterlibatan PMII di masa-masa awal berdirinya sebagai penyokong Partai NU
adalah sebuah keharusan.
Pada tahun 1974 ketika NU telah melakukan fusi politik dengan partai-partai
Islam lain, dalam PPP, maka deklarasi independensi di Munarjati Malang juga
merupakan pilihan sejarah yang sangat penting. Dengan tegas PMII menyatakan
independen dari NU karena PMII memang harus menegaskan visinya bukan sebagai
bagian partai politik.
Demikian pula, deklarasi interdependensi pada dekade 1980-an, yang kembali
menegaskan ke saling tergantungan antara PMII-NU adalah bukti bahwa PMII tidak
akan dapat meninggalkan komitmennya terhadap jam`iyah NU. Pilihan-pilihan
dependensi-independensi-interdependensi ini sebenarnya tidak perlu terlalu
dipermasalahkan. Perdebatan-perdebatan selama tiga dekade awal PMII tampaknya
hanya berkisar di sekitar pilihan-pilihan ini belaka. Ini berakibat pada
terbengkalainya rancangan-rancangan kedepan yang berada di luar batas-batas NU.
Ini tentunya kontra produktif terhadap PMII sebagai sebuah gerakan yang
mengandaikan adanya perubahan sistem dan struktur dalam jangka panjang, karena
tidak akan perubahan dapat bergerak keluar dari batas-batas kulturalnya. Ini
yang kemudian disebut sebagai jebakan primodialisme dalam gerakan, karena PMII
tidak akan dapat pernah berperan sebagai agen transformasi kedalam NU yang
nyata-nyata adalah komunitas dari mana ia lahir, alih-alih menjadi bagian dari
kemapanan NU yang membekukan.
Dengan demikian komitmen PMII terhadap NU adalah komitmen yang mengambil
bentuknya dalam clas of strugle yang akan mengawal visi dan misi NU kedepan
disamping transformasi internal tersebut. Perdebatan yang lebih produktif baru
muncul dekade 1990-an seiring dengan semakin luasnya pengaruh pemikiran Gus Dur
di kalangan muda NU, terutama PMII. Figuritas Gus Dur sebagai tokoh demokrasi
dan pengusung civil society yang kritikal terhadap pemerintahan rezim Soeharto
sangat berpengaruh dalam pembentukan pola fikir aktifis-aktifis PMII.
Yang perlu di catat adalah bahwa secara paradigmatik kepengurusan sahabat
A. Muhaimin Iskandar pernah mensosialisasikan ( paradigma Arus Balik
Masyarakat Pinggiran ) yang implikasinya sangat luas terhadap pola gerakan
PMII hampir diseluruh Indonesia. Dipandu oleh gagasan free market of ideas periode
ini menyaksikan sebuah massive enlightenment di tubuh PMII. Selama
setidak-tidaknya, paruh kedua dekade 1990-an PMII dengan gigih memperjuangkan
demokrasi dan civil society sebagai nilai-nilai pembebasan. Dari
masa inilah muncul optimisme baru tentang gairah gerakan di PMII.
Selama ini, kepengurusan di PMII dan organisasi-organisasi mahasiswa ekstra
lainnya semisal HMI, IMM, PMKRI, GMNI dan GMKI adalah sebagai batu loncatan
untuk menduduki kursi-kursi di KNPI yang didukung oleh pemerintah.
Nyata-nyatanya hanya organisasi-organisasi pro pemerintah yang pada
akhirnya mendapatkan kursi di KNPI dan
selanjutnya kursi di DPR/MPR RI. Organisasi-organisasi kritis tidak akan mendapatkan
tempat dalam kultur politik orde baru yang sangat nepotis. Artinya, antrian
menuju kursi kekuasaan tidak akan pernah sampai kecuali dengan melalui
setrategi lain yang berada di luar mainstream. Dan PMII melakukan itu tak kala
HMI menjadi rival utamanya selama ini justru sedang bermesraan dengan rezim
orde baru melalui politik ijo royo-royo dimana lebih dari 300 orang anggota MPR
RI adalah alumni HMI.
Akhirnya, PMII bersama organ-organ mahasiswa forum Cipayung minus HMI
mendirikan sebuah forum bernama Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia (FKPI)
sebagai bentuk keprihatinan atas mentalnya politik aliran di Indonesia yang
ditandai dengan semakin massifnya kelompok-kelompok yang tergabung di dalam
ICMI, mengusung bendera representasi Islam yang mayoritas di dalam kekuasaaan.
Dengan dukungan pemerintah Soeharto, ICMI melakukan ekspansi ke berbagai lini
dengan mengusung isu-isu Islamisasi, baik di sektor ekonomi dengan mendirikan
Bank Muamalat, di media dengan mendirikan Republika yang diasumsikan sebagai
koran Islam, maupun di permodalan dengan mendirikan BPR-BPR syariah. Disektor
ekonomi, isu yang diusung adalah kemandirian ekonomi umat dan anti cina,
sebagai kelompok yang dianggap menghancurkan ekonomi Indonesia.
Klimaks dari resistensi terhadap pemerintahan rezim oede baru adalah
gerakan mahasiswa di penghujung dekade 1990-an dimana PMII berdiri di barisan
paling depan dalam menghancurkan rezim orde baru, sebagaimana NU juga berdiri
di barisan paling depan dalam menganyang PKI pada paruh ke-dua tahun 1960-an.
Paradigma arus balik masyarakat pingiran yang di pandu oleh gagasan free
market of ideas tersebut berhasil menciptakan kader-kader PMII yang kritis
dan memiliki militansi gerakan yang memadai dan sikap yang terbuka. Keterbukaan
itu ditandai dengan luasnya pergaulan aktifis-aktifis PMII dengan kelompok-kelompok
minoritas yang selama ini selalu terkucilkan. Dengan bekal pemahaman teologis
yang inklusif para kader mampu melampaui sekat-sekat agama yang selama ini di
pelihara demi kelanggengan kekuasaan. Hampir di semua level, komunikasi (baca :
silaturahmi) kader-kader PMII dengan kalangan katolik, misalnya berjalan dengan
natural dan tidak di buat-buat. Sampai sekarang pergaulan lintas agama ini
telah jauh melampaui gagasan dialog agama atau konsep masyarakat multi kultur
yang didukung kuat oleh funding agency. Jika orang-orang masih ramai
berbicara tentang teologi inklusif melalui dialog-dialog formal, maka
kader-kader PMII telah jauh berinteraksi dan secara timbal balik meresap di
dalam keberagamaan itu sendiri. Singkatnya, don`t teach me how to act inclusively
since i`m coming from such a society !
Namun, diluar keberhasilan paradigma arus balik dan FMI
tersebut, selalu ada yang terasa belum selesai dibangun di PMII, indikasi yang
paling jelas adalah ketika KH Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden RI
yang ke-4 pada november 1999. Secara serta merta para aktifis PMII ( dan NU dan
juga aktifis-aktifis civil society pada umumnya) mengalami kebingungan apakah
perjuangan civil society harus berakhir ketika Gus Dur yang selama ini menjadi
tokoh dan simbul perjuangan civil society di Indonesia telah naik ketampuk
kekuasan. Nampaknya sikap para kader PMII terbelah dua pada saat itu. Ada yang
menghendaki agar PMII tetap bergerak di jalur kultural dan ada pula yang
menghendaki agar PMII harus membela Gus Dur. Dari sinilah kemudian mulai muncul dikotomi NU
kultural dan NU struktural, yang secara otomatis juga terjadi di PMII. PMII kultural dan PMII struktural, yang kedua-duanya
tidak saling bertemu dan cenderung saling menyalahkan. Sampai sekarang, dikotomi
itu masih sedikit terasa sekalipun telah kehilangan relevansinya semenjak Gus
Dur di jatuhkan oleh sebuah konspirasi politik maha tinggi.
Artinya paradigma arus balik telah patah disini.
Paradigma ini kemudian di ganti dengan paradigma Kritis-Transformatif yang
nalar penyusunannya tidak juah beda dengan nalar penyusunan paradigma arus
balik. Dengan kata lain, paradigma ini melanjutkan kagagapan PMII dalam
bersinggungan dengan kekuasan. Setidak-tidaknya ada tiga alasan untuk
menjelaskan patahnya ke dua paradigma ini. Pertama, keduanya di desain
hanya untuk melakukan resistensi terhadap otoritarianisme tanpa kompleksitas
aktor di level nasional yang selalu terkait dengan perubahan di tingkat global
dan siklus politik-ekonomi yang terjadi. Sebagai contoh maraknya LSM pro
demokrasi dan gencarnya isu anti militerisme pada dekade 1990-an adalah akibat
dari runtuhnya Uni Soviet sebagai rival USA dalam kompetisi hegemoni dunia.
Secara siklis dapat dijelaskan sebagai berikut, Soeharto
berhasil merebut tampuk kekuasaan dari Presiden Soeharto pada tahun 1966
melalui supersemar dengan dukungan penuh dari politik luar negeri AS yang
sedang gencar-gencarnya melakukan containment terhadap komunisme. Saat
itu adalah sedang panas-panasnya persaingan antara blok barat yang kapitalis
dan blok timur yang komunis. Posisi Indonesia demikian pentingnya pada waktu
itu karena seandainya Indonesia jatuh ketangan komunisme maka negara-negara
yang berada disebelah utara Indonesia seperti Malaysia, Thailand, Filipina dll
secara otomatis akan jatuh. Maka, Indonesia harus di bebaskan dari hantu komunisme ( le spectre de
la communisme)
Dan Soeharto adalah seorang jenderal tentara yang dapat
menjalankan misi AS tersebut. Seiring dengan berjalannya waktu, komunisme jatuh
pada tahun 1989 dan ini berakibat pada merosotnya dukungan AS kepada Soeharto.
Dengan kata lain Soeharto harus di jatuhkan. Dari saat inilah kemudian AS mulai
mendorong demokratisasi di Indonesia melalui Isu-isu HAM dan civil society,
melalui berbagai LSM yang danai melalui funding agency, pada sisi lain
Soehartopun menjalin kekuatan dengan kelompok-kelompok Islam yang justru selama
ini di marginalkannya. Puncaknya adalah berdirinya ICMI pada awal dekade
1990-an, sebagai sayap politik baru Soeharto pasca hilangnya dukungan AS kepada
pemerintahannya. Dari sini, kemudian
juga terjadi pembelahan, mereka yang bergerak dengan isu HAM dan civil society
melawan rezim otoriter Soeharto yang mulai didukung oleh organisasi-organisasi
Islam politik dibawah payung ICMI. Dan PMII terlibat di sini di pihak pertama
sebagai pengusung isu demokrasi dan civil society. Sebenarnya, jika para aktor
politik Indonesia tidak terjebak pada peristiwa-peristiwa politik lokal dan
mencoba sedikit melihat keluar, hampir di pastikan Soeharto dapat di jatuhkan tanpa
harus menunggu terlalu lama.
Kedua, kedua paradigma ini hanya menjadi bunyi-bunyian
yang tidak pernah secara real menjadi habitus atau laku di PMII. Akibatnya,
bentuk resistensi yang muncul adalah resisten tanpa tujuan, yang penting
melawan. Sehingga ketika perlawanan itu berhasil menjatuhkan Soeharto terlepas
ada aktor utama yang bermain, PMII dan organ-organ pro demokrasi lainnya tidak
tahu harus berbuat apa. Dari sini, dapat di baca bahwa paradigma itu tidak
disertai dengan semacam contingency plan yang dapat menyelamatkan
organisasi dalam situasi apapun.
Ketiga, pilihan paradigma ini tidak didorong oleh
setrategi (not strategy-driven paradigm) sehingga paradigmanya di anggap
sebagai suatu yang baku. Mustinya, ketika medan pertempurannya telah berganti,
maka strateginyapun harus berbeda. Ketika medan pertempuran melawan
otoritarianisme orde baru telah di kalahkan, PMII masih berpikir normatif
dengan mempertahankan nalar paradigma lama. Ini membuktikan bahwa PMII tidak
berpikir strategis.
Berangkat dari berbagai pengalaman
di atas, maka sudah saatnya kita berpikir relistis atas kondisi bangsa kita
saat ini. Membangun Indonesia yang benar-benar demokratis dengan menyerahkan kedaulatan di tangan
rakyat sebagaimana yang dicita-citakan oleh para founding father kita
dalam UUD`1945. Bagimanapun demokrasi adalah gagasan yang paling mengairahkan
yang kemunculannya sejak abad XX, sehingga banyak negara-negara di belahan
dunia berlomba untuk bisa mengkalin dirinya sebagai negara yang demokratis.
Kompleknya persoalan-persoalan bangsa kita, mulai dari kemiskinan, beban
hutang, KKN, ancaman disintegarsi, penegakan HAM, dan lain-lain menjadi
tantangan Indonesia yang harus segera diselesaikan. Krisis ekonomi sejak
pertengahan tahun 1997, memang telah menghancurkan struktur ekonomi dan politik
kita. Namun sebagai manusia Indonesia memang
kita dilahirkan atas dasar naluri
individual dan kebebasan, tapi tidak dilahirkan dengan pengetahuan yang membuat
struktur ekonomi dan politik menjadi kebebasan yang akan dinikmati secara
Cuma-Cuma, namun pilihan untuk berdemokrasi harus menjadi implementatif dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga menjadi ciri dalam berinteraksi
antar warga negara. Sebagaimana disebut Karim Suryadi, ”Menata demokrasi belum
cukup hanya dengan mendirikan kelembagaan demokrasi, demokrasi yang sehat untuk
sebagian besar bergantung pada pengembangan budaya warga negara yang demokratis
(democratic civic culture), budaya dalam artian perilaku,
praktek-praktek dan norma-norma yang mencerminkan kemampuan rakyat untuk
mengatur diri mereka sendiri, terlebih dalam hal menyikapi konflik, melakukan
kompromi dan konsensus”.(Karim Suryadi : 1999)
Untuk itu diperlukan yang namanya
pendidikan demokrasi kepada warga negara dan harusnya menjadi satu perhatian
mendasar bagi pemerintah dan partai politik sebagai infrastruktur politik
negara. Hal ini didasari pada kepentingan bersama yaitu, pengakuan dan
penghormatan atas hak asasi, harkat dan martabat individu diakui, penegakan
aturan hukum, menjalankan kewajiban bersama dan menempatkan kepentingan umum
menjadi kepedulian bersama. Untuk membangun satu struktur ekonomi dan politik
Indonesia kedepan yang akan mengerakkan berjalannya proses demokratisasi, kita
juga harus mempertimbangkan faktor-faktor eksternal lainnya.
Suatu
persoalan kompleks yang selama ini tidak pernah muncul dalam pikiran kita
bersama. Sebagaimana disebut Jacob Oetama,”ekonomi pasar dalam bentuknya yang
liar justru berlawanan dengan visi, orientasi dan nilai-nilai Indonesia, sangat
besar bahkan sangat menentukan peranan kepemimpinan dalam pemerintahan dan
masyarakat, dalam lembaga-lembaga pemrintah dan lembaga-lembaga kemasyarakatan
termasuk lembaga ekonomi masyarakat seperti usaha-usaha swasta” (Jacob Oetama :
2001). Berbagai hal ini harusnya bisa diantisipasi sejak dulu jika pemerintah
waktu itu tegas melaksanakan pendekatan integralistik yang berbasiskan pada
beragamnya entitas etnik dalam konteks
ke-Indonesiaan. Sebagai mana disebut Dr.Ir.H. Bunyamin Ranto, SE, “secara
sederhana, makna konsep integralistik dalam konteks ke-Indonesiaan adalah
sebuah konsep yang senantiasa mengacu kepada azas keterpaduan yang dilandaskan
pada prinsip-prinsip keserasian, keselarasan dan keseimbangan” (Dr.Ir.H.
Bunyamin Ranto, SE : 1995)
Selama
ini, nalar penyusunan gerakan di Indonesia
setelah Tan Malaka lebih bersifat akademik. Artinya diawali dengan
berbagai konsep ideal tentang masyarakat atau negara yang berasal dari barat.
Konsep-konsep yang dipakai dikalangan akademis kita semuanya berbau liberalisme,
sehingga secara akademis tidak ada kemungkinan untuk meloloskan diri dari arus
liberalisme. Semenjak dari pikiran, gerakan itu memang tidak akan pernah
berhasil. Yang dibayang kan disini, setiap konsep itu berlaku secara universal
tanpa mempertimbangkan kenyataan yang menjadi setting aplikasi konsep tersebut.
Contoh
yang sering dikemukan tentang tidak nyambungnya antara konsep ideal-barat
dengan kenyataan Indonesia adalah konsep-konsep politik-ekonomi yang dibawa
oleh para elit politik dan tokoh gerakan Indonesia semenjak kemerdekaan sampai
sekarang ini. Apada awal-awal kemerdekaan isu “revolusi” menjadi semacam isu
tunggal, dengan asumsi revolusi ala Mark yang mengandaikan adanya pertentangan
kelas-kelas sosial. Soekarno yang dengan gigih mengusung isu revolusi ini
justru akhirnya gagal dan terguling dengan kekuasaanya. Demikian pula dengan
isu “ pembangunan” yang diusung oleh
rezim orde baru, yang diasumsikan bahwa setelah mengikuti beberapa tahapan yang
telah digariskan Indonesia akan dapat melakukan tinggal landas menjadi negara
industri maju.
Konsep-konsep
revolusi dan pembangunan yang di negeri asalnya berjalan dengan baik, justru
tidak berjalan di Indonesia. Apa yang salah ? Konsepnyakah yang memang
mempunyai keterbatasan kontekstual ataukah memang kondisinya yang salah
sehingga konsep-konsep ideal itu tidak dapat bersanding dengan kenyataan real
yang setiap hari di jalani oleh masyarakat.
Atau
belum lama ini muncul gagasan tentang ekonomi kerakyatan yang bertujuan untuk
memandirikan masyarakat Indonesia pribumi. Anehnya isu kemudian malah menjadi
praksis bukan lagi ekonomi karakyatannya, tetapi isu anti cina yang selama ini
di anggap menjadi biang kerok hancurnya ekonomi Indonesia. Isu ekonomi
kerakyatan berubah menjadi isu rasial yang sangat merugikan Indonesia karena
etnik Cinalah yang secara real memegang jalur-jalur distribusi ekonomi sampai
level yang paling bawah. Jika isu anti Cina yang di usung oleh beberapa
gelintir elit pribumi yang dikompromi oleh rezim hegemoni dunia tersebut
menjadi kenyataan, maka yang paling di rugikan adalah masyarakat Indonesia
sendiri.
Dari
sini, kita melihat bahwa di kepala para elit kita sekalipun belum terbentuk satu cara pandang
yang memadai dalam membaca kenyataan Indonesia dan kemudian mencoba mengunakan
hasil bacaan tersebut sebagai pijakan untuk menjadikan Indonesia naik kelas.
Dengan
kata lain persoalan sulitnya membangun paradigma berbasis kenyataan di PMII itu
pararel dengan kesulitan membuat agenda nasional yang berangkat dari kenyataan
Indonesia. Sehingga, apabila PMII merintis sebuah paradigma semacam itu,
sekalipun untuk sementara akan tersisih dari pergaulan mainstream, maka suatu
hari nanti sejarah akan mencatat PMII sebagai gerakan sosial yang menjadi
pelopor Indonesia baru yang mbenar-benar merdeka.
Memang,
saat ini orang selalu berpikir Instan dan hanya mau melihat hasil tanpa mau
melihat bagaimana sebuah proses terjadi untuk mewujudkan utopia. Sehinga
benturan pertama bagi sebuah paradigma untuk berjalan adalah dampak jangka
pendeknya, atau dengan kata lain problem survaival menuntut kita untuk
meningalkan pikiran-pikiran panjang kita. Gerakan harus mampu berkayuh di
antara gelombang panjang dan gelombang pendek, agar gelombang panjang tetap
terkejar dan gelombang pendek tidak cukup kuat untuk menghancurkan biduk kita
yang rapuh.
Bagaimanapun untuk membangun gerakan kita harus
mendahulukan realitas ketimbang logos.
Strategy Bergerak Dengan Paradigma Berbasis Kenyataan
Akhir abad
XX dan awal abad XXI ini telah menyaksikan maraknya gerakan anti globalisasi
yang telah mengharu-biru Seattle sampai Genoa dan sekarang mulai menyebar
kenegara-negara dunia ke tiga. Gerakan seperti ini akan mengalami kegagalan
dalam situasi seperti ini karena nalar anti globalisasi sama dengan nalar
globalisasi. Tidak ada ruang setrategi yang tersisa dengan gerakan yang
demikian frontral. Dinegara-negara maju gerakan semacam ini dimungkinkan karena
di topang oleh kesadaran setrategis yang mendalam, sementara di negara-negara
peryphyery seperti Indonesia gerakan ini berubah menjadi semacam gerakan
konsorsium LSM anti globalisasi yang mengajukan diri untuk mendapatkan kucuran
dari funding agency sebagai kepanjangan tangan langsung dari suatau pemerintah.
Artinya gerakan anti globalisasi di Indonesia menjadi lelucon bahan tertawaan
di siang hari.
Atau
katakanlah gerakan itu benar-benar didasari oleh suatu keyakinan bahwa
globalisasi telah membunuh ekonomi masyarakat kecil, tetapi karena gerakan itu
tidak mempertaruhkan sebuah skenario pasca perlawanan (skenario sukses) maka
gerakan itu akan berubah bentuk menjadi heroisme individu-individu belaka, yang
justru dimanfaatkan oleh para aktor politik untuk maraih keuntungan dari
gerakan ini, lantas apakah gerakan yang tepat adalah gerakan pro globalisasi
atau reserve ?
Gerakan
pro globalisasi tanpa reserve berati menghanyutkan diri dalam arus globalisasi
tanpa pengetahuan yang cukup bagaimana harus menepi, karena sekali tersedot
arus maka akan sulit untuk kembali. Bentuknya yang paling kongkrit adalah
menjadi agen kepentingan-kepentingan global baik pada aras wacana maupun pada
aras operasi khusus mereka. Hanyut dalam arus neoliberalisme berati menjadikan
uang sebagai tanah air dan bangsa, karena ideologi pasar bebas tidak mengenal
batas-batas teretori negara-bangsa, yang dikenal adalah hambatan-hambatan
tarif, proteksi, subsidi, nasionalisasi. Itulah batas-batas negara-pasar
(market-state).
Gerakan
yang berangkat dari kedua paradigma di atas, yaitu gerapan pro dan anti
globalisasi akan mengalami kegagalan karena tidak mempertaruhkan sesuatu yang
lebih besar dari pada proyek politik isu tunggal dan heroisme belaka. Atau
gerakan ini memang tidak didesain untuk melakukan perubahan sistem dalam jangka
panjang. Karena nalarnya yang mediatik (ukuran keberhasilannya di ukur dari
coverage media terhadap aksi-aksinya) maka sangat jelas bahwa orientasi hanya
bersifat jangka pendek. Gerakan-gerakan inilah yang didorong justru oleh
struktur neoliberalisme karena gampang di patahkan dan di aborsi.
Mari
kita mencoba melihat nalar masing-masing gerakan ini. Gerakan anti globalisasi
(jika sungguh-sungguh) didominasi oleh nalar anti asing (xenophobia) yang
melihat setiap orang luar yang masuk ke dalam wilayahnnya sebagai ancaman tanpa
mencoba mengambil manfaat dari interaksi yang mungkin terjadi antara keduanya.
Karena globalisasi berintikan pemain-pemain asing yang dilihat sebagai ancaman,
maka untuk melawannya harus dengan gerakan anti globalisasi. Gerakan ini
menafikkan interaksi dan komunikasi, pertukaran antara global structure dengan
local structure. Nalar anti asing ini bermanfaat jika secara setrategis dapat
digunakan untuk membangkitkan semangat dan kreatifitas internal berhadapan
dengan global threat tadi. Tetapi dampak yang ditimbulkan oleh nalar semacam
ini adalah isolasi diri dari pergaulan dunia tanpa mencoba untuk belajar dari
keberhasilan negara-negara lain, walaupun tidak harus mengikuti jalan mereka.
Sementara
nalar para pendukung buta globalisasi adalah nalar agent (baca : marsose) jika
diletakkan dalam kondisi kerapuhan dan fragmentasi struktur lokal ini. Nalar
ini bekerja sesuai dengan keinginan supplier dan produsennya, tidak mempunyai
kesetiaan terhadap komunitas besar dari mana ia berasal dan menghanyutkan diri
dalam hiruk-pikuk kepentingan sang juragan. Yang menarik di level praksis
gerakan anti globalisasi akan dihadapkan dengan agen-agen ini. Jadi medan
pertempuran kedua gerakan ini tetap di dalam kampung sendiri sehingga ketika
pertempuran usai hanya menyisakan puing-puing sementara barang-barang berharga
milik kampungnya telah di jarah oleh sang juragan.
Kedua
model gerakan ini tidak memiliki contigensy plan karena memang tidak didesain
untuk dapat survive, ini dapat terlihat dari jalur0jalur
produksi-distribusi-warring position. Gerakan seharusnya ditujukan untuk
kemajuan komunitas besar dari mana ia berasal. Kamajuan dalam pengertian
naik-kelas dari komunitas yang tidak dapat berbuat apa-apamenjdi bersuara dan
didengar oleh orang lain.Tentu naik-kelas disini berada pada level dunia
Kerja-kerja gerakan adalah kerja-kerja sistem dunia (baca peradaban) sehingga
para aktivis gerakan tidak terjebak dalam kenikmatan sesaat yang ditawarkan
oleh sistem yang hendak di ubahnya.
Dalam
situasi dan kondisi kuatnya penetrasi struktur global atas fragmentasi struktur
lokal, maka setrategi gerakan yang paling dimungkinkan dan memiliki tingkat
survival yang tinggi adalah gerakan yang mampu bermain di tengah-tengah tekanan
ini. Dari sini gerakan ini setidaknya melakukan perebutan (warring position) di
tiga front sekaligus, yaitu local front, global front dan internal-movement
front. Karena itu setrategi yang harus di gunakan adalah multi level setrategy.
Kita harus meninggalkan single setrategy yang selama ini kita gunakan dengan
dalih konsistensi gerakan. Jika bukan lagi anti-systemic movement ala
Wallersteihn, bukan juga systemic movement karena itu dapat terpeleset menjadi
korban. Bukan systemic movement pun karena tidak ditujukan untuk memperkuat
sistem yang berjalan, tetapi non systemic movement berjalan dalam sistem
tersebut sambil menciptakan conditions of possibilities untuk membangun sistem
yang sama sekali berbeda. Ini terkait erat dengan setrategy gerakan multi-level
dalam front yang berbeda. Dengan demikian, ini meniscayakan multi centers yang
saling memahami posisi masing-masing, dalam tataran tertentu memang diperlukan
central-planner.
Gerakan
di tiga front tersebut secara terpusat memerlukan kelenturan yang luar biasa,
ini terkait denganh energi di ketiga front. Pada suatu ketika struktur global
diperlukan untuk menghapuskan local structural constraints yang membahayakan
gerakan. Demikian pula struktur lokal juga diperlukan untuk menghambat gerak
maju struktur global tersebut. Diluar keduanya front dalam gerakan
(internal-movement) menempati posisi yang paling penting dalam kontinuitas
gerakan membangun sistem karena front ini adalah home-base bagi kedua yang
lain. Justru energi yang diperoleh dari perebutan di front lokal dan global
tersebut harus dipertaruhkan untuk memperkuat front ini. Disinilah hidup mati
gerakan.
Ditingkat
operasional paradigma ini dapat dimulai dengan hal-hal yang sangat sederhana.
Untuk front global dapat dimulai dengan membangun sebuah pusat kajian untuk
pasar bebas, pusat kajian Cina dan lain sebagainya. Sementara untuk front lokal
dapat dimulai dengan membangun kajian tentang kerja-sama antar pulau (insular
cooperation) dan sebagainya untuk membangun jalur-jalur konvensional patah. Pada gilirannya front
dalam gerakan menyediakan mekanisme kaderisasi yang secara terus menerus
menyediakan para pemain untuk mendidtribusikan disemua front. Sebagai home-base
maka front ini harus totally secured, secara akumulatif-sirkular, gerakan ini
akan memperbesar ruang pengaruhnya (spare of influence) sehinga berhasil
membangun tata peradaban baru.
BAGIAN KEDUA
URGENSI KADERISASI DI PMII
Menimbang Argumentasi Perkaderan PMII
(Di kutib dari buku Pendidikan
Kritis Transformatif)
Individu-individu yang membentuk
komunitas PMII dipersatukan oleh konstruks ideal seorang manusia. Secara idelogis,
PMII merumuskannya sebagai ulul albab-citra diri seorang kader PMII. Ulul
albabsecara umum didefinisikan sebagai seseorang yang selalu haus akan ilmu
pengetahuan (olah pikir) dan ia pun tak pula mengayun dzikir. Dengan sangat
jelas citra ulul albab disarikan dalam motto PMII dzikir, pikir dan amal
sholeh.
Dalam
Al Qur’an secara lengkap kader ulul albab digambarkan sebagai berikut :
1.
Al-Baqarah (2): 179
“dan dalam hokum qishas itu ada
(jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai Ulul Albab, supaya kamu bertaqwa.
2.
Al-Baqarah (2): 197
“ dan apa yang kamu kerjakan
berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sebaik-baik
bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku wahai Ulul Albab.”
3.
Al-Baqarah (2); 296
“Allah menganugerahkan al-hikmah
(kefahaman yang mendalam tentang Al-Quran dan Hadits) kepada siapa saja yang
Dia kehendaki. Dan barang siapa dianugerahi al-hikmah itu, maka ia benar-benar
dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulul Albab-lah yang dapat
mengambil pelajaran.”
4.
Ali-Imran (3):190
“dialah yang menurunkan
al-kitab kepada kamu. Diantra (isi)nya ada ayat-ayat muhkamah itulah
pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat, Adapun orang
yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat
mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari Tugas
Akhir’wilnya, padahal tidak ada orang yang tahu Tugas Akhir’wilnya kecuali
Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya mengatakan: “kamu beriman kepada
ayat-ayat mutasyabihat, semua itu dari sisi Tuhan kami.” Dan kami tidak dapat
mengambil pelajaran (darinya) melainkan Ulul Albab.”
5.
Ali Imran (3): 190
“sesungguhnya dalam penciptaan
langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
Ulul Albab.”
6.
Al-Maidah (5) 100
“katakanlah : tidak sama yang
buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka
betaqwalah kepada Allah hai Ulul Albab, agar kamu mendapat keuntungan.”
7.
Al-ra’d (13): 19
Adakah orang yang mengetahui
bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar-benar sama
dengan orang yang buta? Hanyalah Ulul Albab saja yang dapat mengambil
pelajaran.”
8.
Ibrahim (14); 52
“(Al-Quran) ini adalah penjelasan
sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan denganya, dan supaya
mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan agar Ulul
Albab mengambil pelajaran.”
9.
Shaad (38): 29
“ini adalah
sebuah kitab yang diturunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka
memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran Ulul Albab.”
10. Shaad
(38): 29
“ dan kami anugerahi dia (dengan
mengumpulkan kembali) keluarganya dan (kami tambahkan) kepada mereka sebanyak
mereka pula sebagai rakhmat dari Kami dan pelajaran bagi Ulul Albab.”
11.
Al-Zumar (39): 9
“(Apakah kamu hai orang-orang
musrik yang lebih beruntung)ataukah orang-orang yang beribadat diwaktu malam
dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan
mengharapkan rahmat Tuhanya? Katakanlah: “adakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” sesungguhnya Ulul
Albab-lah yang dapat menerima pelajaran.”
12. Al-Zumar:
(39): 17-18
“dan orang-orang yang menjauhi
taghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita
gembira, sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka
itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah Ulul
Albab.”
13. Al-Zumar
(39): 21
“ Apakah kamu tidak memperhatikan
bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air langit dari bumi, maka diaturnya
menjadi sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan dengan air itu
tanaman-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu ia menjadi kering lalu kamu
melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi Ulul
Albab.”
14. Al-Mu’min
(40): 53-54
“ dan sesungguhnya telah Kami
berikan petunjuk kepada Musa, dan kami wariskan taurat kepada Bani Israil untuk
menjadi petunjuk dan peringatan bagi Bani Ulul Albab.”
15. Al-Talaq
(65):10
“ Qallah menyediakan bagi mereka
(orang-orang yang mendurhakai perinath Allah dan rasul-Nya) azab yang keras,
maka bertaqwalah kepada Allah hai Ulul Albab, yaitu orang-orang yang beriman.
Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatan kepadamu.”
Dari
elaborasi teks di atas, komunitas ulul-albab dapat dicirikan sebagai berikut :
(secara skematik dapat dirumuskan dalam bagan)
a.
Berkesadaran histories-primordial
atas relasi Tuhan-manusia-alam.
b.
Berjiwa optimis-transedental atas
kemampuan mengatasi masalah kehidupan/.
c.
Berpikir secara dialektis.
d.
Bersikap kritis.
e.
Bertindak Transformatif
Sikap atau
gerakan seperti ini bisa berinspirasi pada suatu pandangan keagamaan yang
transformatif. Nah, Ulul Albab adalah orang yang mampu mentransformasikan
keyakinan keagamaan atau ketaqwaan dalam pikiran dan tindakan yang membebaskan:
, melawan thaghut.
Kegelisahan Kaderisasi Di PMII
|
|||||||||
|
|||||||||
a. Inventarisasi pemetaan dan pemilahan problem pengkaderan
Latar belakang Kader
|
Motivasi
|
Hasil
|
-
Santri NU
-
Gaul, orang bebas
-
Ikut-ikutan Teman
-
Ekonomi Menengah Ke bawah
-
Abangan
-
Masyarakat pedalaman (desa)
- Masyarakat Tradisionalis
|
-
Aktualisasi diri,
-
Aktif di NU,
-
Tertarik dengan figur,
-
Ikut teman
-
Tertarik dg PMII
-
Belajar organisasi
-
Belajar Islam
-
Pinter
-
Demo
-
Banyak pengalaman
-
Anti Muhammadiyah/kelompok
kanan
-
Kekuasaan/politik/batu loncatan
-
Mendapatkan sesuatu yang baru
|
-
Biasa saja
-
kurang agresif
-
Militan
-
Setengah-Setengah
-
Tidak aktif lagi di PMII
-
|
b. Mengapa hal-hal tersebut di atas terjadi.
c. Anatomi setrategis kaderisasi Kader
Keterangan
|
Anatomi Setrategis Kaderisasi
|
||||||||
Identitas kultural
|
|
||||||||
Agama
|
|
||||||||
Aktualisasi diri
|
|
||||||||
Akses politik
|
-
PMII jadi batu
loncatan atau itu adalah dampak = rawan
sehingga ada masalah baru
-
Tidak ada
modul bagi politisi
-
PMII memberi
ruang untuk
-
Isu strategis:
ruang aktualisasi politik bagi kader
-
Contoh
ruang : partai di kampus-ruang
alternatif, BEM - diaspora \
-
Politik
eksternal : PMII menyiapkan ruang
untuk berkompetisi
-
Matri : Manajemen konflik/manajemen Forum
-
Apa
kepentingan PMII? Politik kampus dengan pembelajaran ketrampilan berpolitik.
-
Ansos Politik
Pribadi Media pembelajaran
Politik eksternal Politik Mahasiswa
(DPRD, Birokrasi) (BEM, Internal)
-
Materi : merebut politik kampus
-
Wacana
politik : materi
|
SISTEM PERKADERAN
PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA
Menimbang Argumentasi Perkaderan PMII
A. Citra Diri Ulul Albab
Individu-individu yang membentuk komunitas PMII
dipersatukan oleh konstruks ideal seorang manusia. Secara idelogis, PMII
merumuskannya sebagai ulul albab-citra diri seorang kader PMII. Ulul
albabsecara umum didefinisikan sebagai seseorang yang selalu haus akan ilmu
pengetahuan (olah pikir) dan ia pun tak pula mengayun dzikir. Dengan sangat
jelas citra ulul albab disarikan dalam motto PMII dzikir, pikir dan amal
sholeh.
Dalam Al
Qur’an secara lengkap kader ulul albab digambarkan sebagai berikut :
11.
Al-Baqarah (2): 179
“dan dalam hokum qishas itu ada (jaminan
kelangsungan) hidup bagimu, hai Ulul Albab, supaya kamu bertaqwa.
12.
Al-Baqarah (2): 197
“ dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan,
niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sebaik-baik bekal adalah taqwa
dan bertaqwalah kepada-Ku wahai Ulul Albab.”
13.
Al-Baqarah (2); 296
“Allah menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang
mendalam tentang Al-Quran dan Hadits) kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Dan
barang siapa dianugerahi al-hikmah itu, maka ia benar-benar dianugerahi karunia
yang banyak. Dan hanya Ulul Albab-lah yang dapat mengambil pelajaran.”
14.
Ali-Imran
(3):190
“dialah yang menurunkan al-kitab kepada kamu. Diantra (isi)nya ada ayat-ayat
muhkamah itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyabihat, Adapun orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka
mereka mengikuti sebagian ayat-ayat mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan
untuk mencari-cari Tugas Akhir’wilnya, padahal tidak ada orang yang tahu Tugas
Akhir’wilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya mengatakan:
“kamu beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat, semua itu dari sisi Tuhan kami.”
Dan kami tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan Ulul Albab.”
15.
Ali Imran (3): 190
“sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi
dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi Ulul Albab.”
16. Al-Maidah (5) 100
“katakanlah : tidak sama yang buruk dengan yang
baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka betaqwalah kepada
Allah hai Ulul Albab, agar kamu mendapat keuntungan.”
17. Al-ra’d (13): 19
Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar-benar sama dengan orang yang buta?
Hanyalah Ulul Albab saja yang dapat mengambil pelajaran.”
18. Ibrahim (14); 52
“(Al-Quran) ini adalah penjelasan sempurna bagi
manusia, dan supaya mereka diberi peringatan denganya, dan supaya mereka
mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan agar Ulul Albab
mengambil pelajaran.”
19.
Shaad (38): 29
“ini adalah sebuah kitab
yang diturunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan
ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran Ulul Albab.”
20. Shaad (38): 29
“ dan kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan
kembali) keluarganya dan (kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula
sebagai rakhmat dari Kami dan pelajaran bagi Ulul Albab.”
11. Al-Zumar
(39): 9
“(Apakah kamu hai orang-orang musrik yang lebih
beruntung)ataukah orang-orang yang beribadat diwaktu malam dengan sujud dan
berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhanya?
Katakanlah: “adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang
tidak mengetahui?” sesungguhnya Ulul Albab-lah yang dapat menerima pelajaran.”
16. Al-Zumar: (39): 17-18
“dan orang-orang yang menjauhi taghut (yaitu)
tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira, sebab
itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan
lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang
yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah Ulul Albab.”
17. Al-Zumar (39): 21
“ Apakah kamu tidak memperhatikan bahwa
sesungguhnya Allah menurunkan air langit dari bumi, maka diaturnya menjadi
sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan dengan air itu tanaman-tanaman
yang bermacam-macam warnanya, lalu ia menjadi kering lalu kamu melihatnya
kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi Ulul Albab.”
18. Al-Mu’min (40): 53-54
“ dan sesungguhnya telah Kami berikan petunjuk
kepada Musa, dan kami wariskan taurat kepada Bani Israil untuk menjadi petunjuk
dan peringatan bagi Bani Ulul Albab.”
19. Al-Talaq (65):10
“ Qallah menyediakan bagi mereka (orang-orang
yang mendurhakai perinath Allah dan rasul-Nya) azab yang keras, maka bertaqwalah
kepada Allah hai Ulul Albab, yaitu orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah
telah menurunkan peringatan kepadamu.”
Dari
elaborasi teks di atas, komunitas ulul-albab dapat dicirikan sebagai berikut :
(secara skematik dapat dirumuskan dalam bagan)
f.
Berkesadaran histories-primordial atas relasi
Tuhan-manusia-alam.
g.
Berjiwa optimis-transedental atas kemampuan
mengatasi masalah kehidupan/.
h.
Berpikir secara dialektis.
i.
Bersikap kritis.
j.
Bertindak Transformatif
Sikap atau gerakan seperti
ini bisa berinspirasi pada suatu pandangan keagamaan yang transformatif. Nah,
Ulul Albab adalah orang yang mampu mentransformasikan keyakinan keagamaan atau
ketaqwaan dalam pikiran dan tindakan yang membebaskan: , melawan thaghut.
B. Ulul Albab Adalah Kader Pelopor
Ulul Albab itulah yang dalam
bahasa pergerakan disebut dengan kader pelopor (vanguardist).
Kepeloporan dalam pengertian apa? Siapakah sebenarnya kader pelopor tersebut?
Asal usul istilah pelopor
berasal dalam khasanah politik. Pertama kali diperkenalkan oleh Lenin di Rusia
pada sekitar tahun 1980-an. Istilah itu digunakan untuk menyebut suatu partai
pelopor (Vanguard party). Artinya, kepeloporan pada mulanya bermakna
politik. Dalam penertian lenian ini kepeloporan dimaknai sebagai kepeloporan politik
atau propaganda. Partai pelopor
Berkesadaran historis-primordial atas relasi Tuhan-Manusia-alam
|
Yang utama dari ayat-ayat tentang ulul albab adalah bahwa mereka
merupakan manusia yang memiliki kesadaran teologi yang dibangun dari
pandangan dunia bahwa : (1) manusia adalah makhluk yang terikat dengan
“perjanjian primordial” dengan tuhan dan karenanya manusia selalu hidup dalam
bingkai ke-tuhanan; dan (2) bahwa untuk melaksanakan perjanjian tersebut
keberagamaan manusia harus mampu mentransformasikan keyakinan dalam bentuk
pemikiran atau filsafat hidup untuk mengelola dunia dengan segala
persoalannya berdasarkan hukum-hukum sosial dan proses kesejarahan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Manusia bertanggung jawab sepenuhnya atas proses
sejarah yang terjadi dan dia tidak bisa mengelak atau melarikan diri dari
tanggung jawab itu, Karen apertanggung jawaban dimaksud adalah pertanggung
jawaban kepada Tuhan karena ia sudah terikat dalam perjanjian primordial
sebagai insane berketuhanan dan sebagai khalifah di bumi.
|
Berjiwa optimis transedental atas kemampuan pribadi dalam mengatasi semua
persoalan kehidupan
|
Sikap optimis-transedental sejatinya hanya dan selalu lahir dari jiwa
orang-orang yang bertaqwa. Dalam al-quran disebutkan bahwa “barang siapa yang
bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan
selalu memberikan kepadanya jalan keluar.” (al-Talaq (65): 2). Ketaqwaan atau
juga kesadaran transendental sesungguhnya selalu berkorelasi positif dengan
sikap sikap optimis. Artinya pesimisme adalah cermin dari orang-orang yang
“bertaqwa”, atau bertaqwa tetapi ia tidak mampu memaknai ketaqwaanya dan
tidak bisa mentransformasikan ketaqwaan itu dalam kecakapan pribadi dan
kepercayaan diri yang dipupuk dengan prinsip-prinsip hidup utama. Jadi kader
ulul albab adalah kader yang bertaqwa (al-Talaq(65) :10; al-Maidah (5):100;
al-Baqarah (2) 179, 197). Ini berarti taqwa harus dimaknai sebagai keyakinan
yang hidup diatas kesadrab transedental yang darinya akan lahir pribadi yang
teguh memegang prinsip dan disertai komitmen yang konsisten untuk membangun
suatu orde keadilan. Komitmen itu sendiri lahir dari suatu pandangan teologis
yang mapan, bahwa tugas manusia di dunia adalah “mengelola dunia dann menjaga
agama”
|
Berpikir dialektis-struktural dalam melihat berbagai peristiwa sosial
masyarakat
|
Dalam ayat-ayat tentang Ulul Albab diatas jelas dinyatakan pentingnya
berpikir dialketis menyangkut fakta atau persoalan yang terkait dengan
hokum-hukum alam yang permanen atau hukum-hukum sosial yang bisa direkayasa
oleh manusia sendiri. (Misalnya dialektika sebab akibat, siang malam, tumbuh
mati). Cara berpikir dialektis dengan sendirinya akan berporos pada usaha
pengembangan struktur sosial yang lebih baik melalui kerangka
aksi-refleksi-aksi, dst, konteks-teks-konteks, struktur-kultur-struktur, dst.
Sebagai contoh, dalam melihat suatu fakta atau persoalan sosial dalam
kerangka pikir dialektis structural, maka pertama akan melakukan aksi,
melihat konteks, dan mengupayakan perubahan dengan pendekatan structural. Baru
kemudian diperlukan refleksi, melihat kembali khazanah kulutural yang adadan
juga mencari rujukan teks yang diperlukan. Setelah itu kembali lagi ke aksi,
konteks, dan struktur.
|
Bersikap kritis-prasporsional menghadapi berbagai perbedaan dan
pluralitas pendekatan, sudut pandang, dan ideologiyang berekembang erkembang
dimasyara
|
Salah satu karakter utama dan menonjol kader
ulul albab adalah bahwa ia selalu mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa
dan fakta yang ada ditengah masyarakat. Mampu mengambil pelajaran artinya ia
bisa membuat suatu refleksi dan identifikasi/pemetaan masalah dengan
mengedepankan cara berpikir kritis-proporsional. Kritis juga berarti
berkemampuan untuk menyampaikan pesan secara akurat sehingga ulul albab selalu
menjadi corong yang mampu me
|
Berkembang di
masyarakat.
Bertindak transformatif cultural
|
Mampu menyampaikan dan menyelesaikan persoalan dengan
bahsa kaumnya.
Salah satu karakter utama dan menonjol kader ulul albab
adalah bahwa ia selalu mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa dan fakta
yang ada ditengah masyarakat. Mampu mengambil pelajaran artinya ia biasa
membuat suatu refleksi dan identitas/ pemetaan masalah dengan mengedepankan
cara berpikir kritis-proporsional. Kritis juga berarti berkemampuan untuk
menyampaikan pesan secara akurat sehingga ulul albab selalu menjadi corong
yang mampu menyampaikan dan menyelesaikan persoalan dengan bahasa kaumnya.
|
C. Macam Dan Pengertian Perakaderan PMII
Kaderisasi PMII pada hakekatnya adalah totalitas
upaya-upaya yang dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan untuk membina
dan mengembangkan potensi dzikir, fikir dan amal soleh setiap insan pergerakan.
Secara kategoris dapat dipilih dalam tiga bentuk yakni: Perkaderan Formal
Basic, Perkaderan Formal Pengembangan dan Perkaderan Informal. Ketiga
bentuk ini harus diikuti oleh segenap warga pergerakan, sehingga pada saatnya
kelak akan terwujud kader yang berkualitas ulul albab.
Perkaderan formal basic meliputi tiga
tahapan dengan masing-masing follow-up-nya. Ketiganya itu adalah Masa
Penerimaan Anggota Baru (Mapaba), Pelatihan Kader Dasar (PKD), dan Pelatihan
Kader Lanjutan (PKL). Ketiga tahapan dengan follw-up yang menyertai itu
merupakan satu kesatuan tak terpisahkan, karena kaderisasi PMMI pada hakekatnya
merupakan proses terus menerus, baik di dalam maupun di luar forum kaderisasi (long-life-education).
Perkaderan Formal Pengembangan adalah berbagai
pelatihan dan pendidikan yang ada di PMII. Perkaderan jjenis ini dibedakan
dalam dua macam, yakni 1) yang wajib diikuti oleh segenap kader secara mutlak,
dan 2) yang wajib di ikuti sebagai pilihan. Yang sifatnya wajib mutlak,
disamping sebagai pembekalan mengenai hal-hal dasar yang harus dimiliki kader
pergerakan, juga merupakan prasyarat bagi keikutsertaan kader bersangkutan
dalam PKD atau PKL.
Sedang perkaderan informal
adalah keterlibatan kader pergerakan dalam berbagai aktifitas dan peran
kemasyarakatan PMII. Baik dalam posisi sebagai penanggung jawab, menjadi bagian
dari team work, atau bahkan sekedar partisipan. Perkaderan jenis ini
sangat penting dan mutlak diikuti. Disamping sebagai tolak ukur komitmen dan
militansi kader pergerakan, juga jauh lebih real disbanding pelatihan-pelatihan
formal lain, karena langsung bersinggungan dengan realitas kehidupan.
Di atas semua pelatihan tersebut terdapat satu
pelatihan lagi yakni pelatihan fasilitator. Pelatihan ini dimaksudkan untuk
menciptakan kader-kader pergerakan yang secara terus menerus akan membina dan
menangani berbagai forum perkaderan di PMII. Pelatihan lebih utama ditujukan
bagi kader-kader potensial yang telah mengikuti semua bentuk perkaderan
sebelumnya, dan yang telah teruji komitmennya terhadap PMII maupun aktifitas
dan peran-peran sosial.
D. Penjenjangan Kaderisasi
Secara berurutan , penjenjangan pelatihan-pelatihan, baik pelatihan formal basic, pelatihan formal pengembangan maupun pelatihan informal dan pelatihan Fasilitator adalah sebagai berikut:
1. Masa Penerimaan Anggota Baru, disingkat MAPABA.
Mapaba merupakan forum pengkaderan formal basic tingkat pertama. Disamping sebagai masa penerimaan anggota, forum ini juga sbagai wahana pengenalan PMII dan penanaman nilai (doktrinasi) dan idealisme sosial PMII.
Pada fase ini harus ditanamkan makna idealisme yang bermuatan relegius bagi mahasiswa dan urgensi perjuangan untuk idealisme itu melalui PMII baik pada struktur formalnya sebagai organisasi maupun pada aspek substansinya sebagai komunitas gerakan mahasisiwa yang berkatar kultur Islam. Karena itu terget yang harus dicapai pada fase ini adalah tertanamnya keyakinan pada setiap individu anggota bahwa PMII adalah organisasi kemahasiswaan yang paling tepat untuk mengembangkan diri dan memperjuangkan idealisme tersebut. Dari tahap ini output yang diharapkan adalah anggota yang mu’taqid.
Follow up Mapaba
Merupakan forum pengayaan wawasan ketrampilan anggota baru, sekaligus menjadi salah satu persyaratan untuk memasuki tahap kedua perkaderan formal basic (PKD). follow up Mapaba diarahkan pada studi-studi fakultatif, sebagai upaya pengembangan diri kader pergerakan. Studi fakultatif ini dilakukan melalui forum small group di mana kader diarahkan untuk memiliki scientific attitude dengan melakuakan pengkajian-pengkajian secara intensif dan terus menerus mengenai berbagai persoalan actual di bidang agama dan keberagaman, sosial budaya, politik, ekonomi, dan lain-lain.
Selain follow up di atas, setelah Mapaba seorang kader pergerakan juga harus mengikuti dua pelatihan formal pengembangan, yang juga merupakan syarat mutlak bagi keikutsertaan kader bersangkutan dalam PKD. Kedua pelatihan itu adalah:
a. Studi Epistemologi
Studi ini dimaksudkan untuk membekali kader pergerakan dengan perangkat paling dasar ilmu pengetahuan, yang juga meliputi ontology dan aksiologinya. Panduan dan kurikulum pelatihan ini dapat dilihat pada bagian ketiga buku ini.
b. Pengembangan Ketrampilan Bahasa Asing (Inggris elementary).
Target wajib minimal yang harus dicapai adalah penguasaan atas kosa kata dan kalimat-kalimat percakapan sehari-hari. Pelatihan ini dapat dilakukan secara individual dengan mengikuti kursus reguler atau yang diadakan oleh PMII sendiri.
2. Pelatihan Kader Dasar, disingkat PKD
Pelatihan Kader Dasar merupakan perkaderan formal basic tingkat kedua. Pada fase ini persoalan doktrinasi nilai-nilai dan misi PMII, penanaman loyalitas dan militansi gerakan, diharapkan sudah tuntas. Target yang harus dicapai pada fase ini adalah terwujdnya kader-kader militan, mempunyai komitmen moral dan dasar-dasar kemampuan praksis untuk melakukan Amar ma’ruf nahi munkar.
Dalam PKD, kepada peserta mulai diperkenalkan berbagai berbagai model gerakan, prinsip prinsip dasar Analisa Sosial,dasar-dasar Advokasi dengan segala macam bentuknya serta dasar-dasar managerial pengelolaan aktifitas dan gerakan. Output dari PKD adalah seorang kader pergerakan yang siap terjun di tengah masyarakat.
Follow up PKD
MerupakaN forum pengembangan wawasan dan keahlian kader sekaligus menjadi persyaratan untuk memasuki tahap ketiga Pelatihan Formal Basic (PKL). Follow up PKD diarahkan pada studi-studi pengembangan atau diskusi-diskusi intens, sebagai upaya peningkatan kualitas kader pergerkan. Studi intens ini dilakukan melalui forum small group, dimana kader diarahkan untuk memiliki sense of movement dengan melakukan pemgkajian-pengkajian secara intensif dan terus menerus mengenai berbagai persolan actual di masyarakat dan tokoh-tokoh gerakan rakyat dan atau gerakan sosial. Apabila dipandang perlu, forum small group dapat didampingi oleh seorang fasiliitator atau kader dengan kualifikasi telah lulus PKL, serta memiliki penguasaan yang relatif lebih luas atas persoalan yang menjadi konsens dari small group yang bersangkutan.
Selain follow up di atas, setelah PKD seorang kader pergerakan juga harus mengikuti dua pelatihan formal pengembangan, yang juga merupakan syarat mutlak bagi keikutsertaan kader bersangkutan dalam PKL. Kedua pelatihan itu adalah:
a. Sekolah Analisa Sosial
Disamping dimaksudkan untuk memperkokoh komitmen sosial warga pergerakan, pelatihan ini juga dimaksudkan untuk membekali kader pergerakan tentang perangkat analisa sosial yang mutlak diperlukan dalam berbagai aksi dan kemasyarakatan PMII. Panduan dan kurikulum pelatihan ini dapat dilihat pada bagian ketiga buku ini.
b. Pengembangan Ketrampilan Bahasa Asing (Inggris intermediate)
Target wajib minimal yang harus dicapai adalah selain penguasaan dalam memahami naskah-naskah berbahasa Inggris (transltion) juga kemahiran (fluently) atas kosa kata dan kalimat-kalimat percakapan forum (English of meeting) Pelatihan ini dapat dilakukan secara individual dengan mengikuti kursus reguler atau yang diadakan oleh PMII sendiri.
Setelah PKD, seorang kader pergerakan harus mengikuti minimal satu pelatihan formal pengembangan yang bersifat pilihan, yang juga merupakan syarat mutlak bagi keikutsertaan kader bersangkutan dalam PKL. Pelatihan formal pengembangan kader atas pilihan-pilihan peran sosial transformatif atau gerakan/aksi minat, kecenderungan dan potensi masing-masing kader. Pelatihan-pelatihan tersebut adalah:
1. Pelatihan Advokasi Hukum (Pralegal)
Pelatihan ini dimaksudkan untuk melahirkan kader-kader
yang memiliki kesadaran kritis terhadap terjadinya pelanggaran HAM dan civil
violent serta kemampuan praksis dalam melakukan penegakan hokum pada
segenap sector kehidupan.
2.
Pelatihan Advokasi Petani dan Nelayan
Pelatihan
ini dimaksudkan unutk melahirkan kader-kader yang memiliki kesadaran kritis
terhadap terjadinya marginalisasi atas petani/nelayan serta kemampuan praksis
dalam melakukan penguatan (empowerment) terhapadap mereka.
3.
Pelatihan Advokasi Lingkungan
Pelatihan
ini selain dimaksudkan untuk membekali kader pergerakan dengan diskursus
lingkungan beserta konsepsi paradigmatic yang mendasarinya; dan terjadinya
pelanggaran hokum lingkungan; juga kemampuan analitis dan praksis serta
managerial dalam penegakan hokum lingkugan menuju terciptanya tatanan semua
aspek kehidupan yang ramah lingkungan.
4. Pelatihan advokasi Buruh
Pelatihan ini dimaksudkan untuk melahirkan kader-kader
yang memiliki kesadaran kritis terhadap terjadinya marginalisasi atas buruh
serta kemampuan praksis dalam melakukan penguatan (empowerment)terhadap
mereka.
5.
Pelatihan Advokasi Perempuan
Pelatihan
ini dimaksudkan untuk melahirkan kader-kader yang memilii wawasan tentang
kesetaraan gender dan kesadaran kritis terhadap terjadinya ketidak-adilan atas
perempuan serta kemampuan praksis dalam melakukan penegakan atas hak-hak
mereka.
6.
Pelatihan Penelitian Akademik
Pelatihan
ini selain dimaksudkan untuk membekali kader pergerakan dengan perangkat dasar
ilmu pengetahuan beserta aspek ontologis dan aksiologisnya, juga untuk
membekali kemampuan analitis dan metodologis dalam pembuktian akademik terhadap
kasus-kasus empirik khususnya yang menyangkut sector-sektor kehidupan publik.
7.
Pelatihan Risaet Aksi Partisipatoris (PAR)
Pelatihan ini selain dimaksudkan untuk membekali kader
pergerakan dengan perangkat dasar ilmu pengetahuan beserta aspek ontologis dan
aksiologisnya, juga untuk membekali kemampuan analitis dan metodologis dalam
melakukan riset-riset aksi partisipatoris.
8. Pelatihan Jurnalistik dan
Manajemen Informasi
Pelatihan ini selain dimaksudkan untuk membekali kader
pergerakan dengan dimensi-dimensi dasar jurnalistik dan informatika beserta
aspek ontologis dan aksiologisnya, juga untuk membekali kemampuan analitis dan
praksis atau managerial dalam pengelolaan informasi dan penciptaan opini.
9.
Pelatihan Kewirausahaan dan Penguatan Ekonomi
Rakyat
Pelatihan
ini selain dimaksudkan untuk melahirkan kader-kader pergerakan yang memiliki
kesadaran kritis dan transformatif mengenai persoalan ekonomi dan politik, juga
untuk membekali kemampuan praksis dalam menciptakan dan memanfaatkan peluang
pengembangan usaha dan kewirausahaan, menuju terciptanya ekonomi rakyat yang
kuat.
Panduan
dan kurikulum untuk pelatihan-pelatihan tersebut dapat dilihat pada bagian
ketiga buklu ini.
3.
Pelatihan Kader Lanjut, disingkat PKL
Tahapan ini merupakan fase spesifikasi
untuk mengarahkan kader kepada kemampuan pegelolaan organisasi secara
professional. Dengan pemahaman dan keyakinan terhadap nilai-nilai dan misi
organisasi yang telah ditanamkan pada PKD, maka dalam PKL ini kader ditempa dan
dikembangkan seluruh potensi dirinya untuk menjadi seorang pemimpin yang
menyadari sepenuhnya amanah kekhalifahanya dengan didukung oleh kematangan
leadership dan kemampuan managerial. Output dari pelatihan tahap ini adalah “Leader
of Movement and Institusion”.
Follow up PKL
Follow
up PKL dilakukan melalui (dalam bentuk) pengelolaan aksi sosial
transformatif. Hal ini dimaksudkan untuk peningkatan kualitas kepemimpinan
kader pergerakan, baik dalam rangka pengembangan organisasi maupun dalam
memecahkan persoalan-persoalan strategis yang berkaitan dengan dinamika
internal organisasi dan dinamika eksternal yang terjadi di masyarakat.
Selain follow up di atas, terdapat dua
bentuk Pelatihan Paska PKL, yakni:
1.
Pelatihan Human dan Komunikasi Publik.
Pelatihan ini selain dimaksudkan untuk membekali
kader pergerakan dengan dimensi-dimensi dasar human realition dan
komunikasi publik, juga untuk membekali kemampuan praksis dalam pengembangan
kepribadian, melakukan komunikasi (lobby, negoisasi dll) serta kemampuan
menjalin kemitraan dengan berbagai pihak menuju terciptanya performance PMII
yang simpataik, perfect dan
disegani. Pelatihan formal pengembangan jenis ini wajib diikuti oleh semua
anggota pergerakan.
2.
Pelatihan Fasilitator Pelatihan
Pelatihan ini dimaksudkan untuk melahirkan
kader-kader pergerakan yang memiliki kemampuan sebagai fasilitator untuk semua
jenis pelatihan yang di di PMII.
Panduan dan kurikulum untuk kedua jenis pelatihan
tersebut dapat dilihat pada bagian ketiga buku ini.
E. REFLEKSI PKL DAN KADERISASI KAMPUS UMUM
Pelatihan Kader Lanjutan (PKL) telah
terselenggara dengan frekuensi relatif lebih banyak dari sebelumnya. Hal ini
terjadi karena inspirasi PKC dan cabang pelaksana PKL serta motivasi PB PMII
untuk melakukan kerjasama dalam penyelenggaraan pelatihan tingkat lanjutan
tersebut. Dengan pengalaman 9 kali pelaksanaan PKL di berbagai daerah memang
belum terlalu bisa menggambarkan sebagai perwujudan profil Alul Albab kader
secara maksimal dan merata. Namun, pemupukan ke arah penjenjangan perkaderan
secara tepat dari Mapaba, PKD dan follow-up kemudian PKL mengarah pada
keseriusan pembentukan profil kader seperti yang tercermin dalam Tujuan PMII
pada Bab IV pasal 4 Anggaran Dasar.
Selain
frekuensi pelaksanaan, perlu diketahui pula bahwa selama periode ini PKL
dilaksanakan dengan mengangkat isu-isu lokal di masyarakat, seperti advokasi
pertambangan, pemberdayaan masyarakat industri, studi politik masyaralat dan
lainnya. Proses pembelajaran dengan mengangkat beberapa isu tersebut dilakukan
dengan metode partisipatoris. Karena peserta belajar disumsikan sebagai orang
yang telah memiliki wawasan, pengalaman dan kemampuan. Proses belajar dilakukan dengan model
andragogi. Kelanjutan dari PKL di beberapa daerah tersebut dengan membentuk
solidaritas bersama mengenai isu-isu kemasyarakatan yang rentan dengan
intimidasi pemerintahan lokal. Hal ini menjadi kesepakatan Rencana Tindak
Lanjut oleh masing-masing peserta PKL di beberapa daerah.
PKL
dilaksanakan dengan tujuan terciptanya kader profesional yang mengarah pada
pembentukan pribadi kader pada dua hal; kepemimpinan dan kemampuan manajemen
kader. Dua hal tersebut diharapkan menjadi bekal bagi kader PMII untuk
melanjutkan masa pengabdiannya sebagai ketua umum Pengurus Cabang, Pengurus
Koordinator Cabang, Pengurus Besar maupun sebagai bekal dalam rangka kompetisi
di luar ruang PMII. Kompetisi antar kader di dalam organisasi maupun di luar
organisasi ini bisa dilihat di mana kader PMII berada. Kalau kita menyangsikan “keberanian”
berkompetisi kader PMII selama ini, boleh jadi karena kader peserta PKL yang
dimiliki PMII masih relatif kurang. Untuk itu, proses pelaksanaan PKL ke depan
harus lebih matang di tingkat metode, kedalaman materi, kamatangan fasilitator
dan seleksi peserta yang ketat.
Kader
PMII lulusan PKD diharapkan menjadi kader mujtahid yaitu kader yang
bersungguh-sungguh untuk melakukan perjuangan dalam mengamalkan nilai-nilai
perjuangan pergerakan. Selain itu kader tersebut juga aktif melakukan
pergesekan pemikiran, sehinga muncul pemikiran-pemikiran baru dari mereka.
Sebagai mujtahid diasumsikan bahwa mereka belum memiliki kesadaran
profesionalitas untuk memimpin dengan manajemen yang bagus. Mereka baru merasa
mewakili segenap pengalaman dan bahan-bahan bacaan yang dipelajarinya. Kader mujtahid
juga diharapka memiliki kemampuan untuk menjadi organizer bagi segenap
potensi kritik untuk berada pada oposan sejati, tapi belum mampu mengorganiser
kekuatan eksternal untuk membangun akses politik-ekonomi dengan unsure-unsur di
luar komunitasnya.
Dengan
memperbandingkan antara kemampuan yang dibangun dalam pendidikan PKD dengan
keterampilan pada PKL, maka diharapkan muncul kesadaran kader PMII untuk lebih
banyak lagi mengadakan PKL. Betapa penting PKL dilaksanakan dalam rangka
mengantarkan setiap individu kader pada cita-cita menjadi insan Ulul Albab
sebagaimana tujuan organisasi.
Interaksi
sosial selalu menghasilkan perubahan, baik secara cepat maupun lambat, dari
pihak-pihak yang saling berinteraksi tersebut. Kajian-kajian teoritis yang
telah dibuat berkenaan dengan interaksi dan pertukaran antara organisasi dan
lingkungannya tersebut menunjukkan bahwa persaingan antar kelompok-kelompok
dalam kumpulan organisasi sejenis turut ditentukan oleh faktor-faktor lingkungannya.
Oleh karena itu perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan bersaing akan
berpengaruh secara signifikan terhadap eksistensi dan kemampuan suatu
organisasi.
Pada sisi yang lain, secara internal setiap organisasi
mengalami pertumbuhan. Dalam telaah teori-teori organisasi sejumlah pakar
mencatat adanya kesamaan pola-pola tertentu dalam kehidupan organisasi
berdasarkan perbandingan antara usia organisasi dengan ukuran dan
kompleksitasnya, yang membawa pada kesimpulan berupa teori tahapan/fase-fase
pertumbuhan organisasi. Salah satu pakar yang terkenal dalam kajian pertumbuhan
organisasi adalah Larry Greiner. Greiner menyimpulkan sebagai berikut:
1.
Setiap organisasi bertumbuh melalui suatu tahapan
atau fase-fase pertumbuhan tertentu;
2.
Setiap fase pertumbuhan menciptakan krisisnya
sendiri, karena itu setiap fase “cenderung” diakhiri dengan suatu krisis;
3.
Jika krisis dapat diatasi dengan tepat, maka
berakhirnya krisis merupakan awal dimulainya fase/tahapan baru dalam
pertumbuhan organisasi.
Umumnya suatu organisasi
mengalami tahapan/fase-fase kaderisasi dan krisisnya sebagai berikut:
a.
Fase kreatifitas, berakhir dengan krisis
kepemimpinan
b.
Fase pengarahan, berakhir dengan krisis otonomi
c.
Fase pendelegasian, berakhir dengan krisis
pengendalian
d.
Fase koordinasi, berakhir dengan red tape
crisis
e.
Fase kolaborasi, dalam teori Greiner tidak jelas
krisis yang mengakhiri fase kolaborasi
Suatu krisis ditandai oleh beberapa gejala diantaranya
adalah: terjadinya konflik yang berlarut-larut dan terus menajam; retaknya kohesivitas
kelompok; menurunnya kinerja organisasi; serta tidak tercapainya target-target
dan tujuan pendirian organisasi. Kelambanan dan kegagalan menangani gejala
krisis akan mengarahkan organisasi pada puncak krisisnya. Jika krisis tidak
mampu direspons dengan tepat maka niscaya organisasi akan mengalami kemunduran,
atau kalaupun eksist namun action organisasi tidak mampu memberi makna
dan pengaruh signifikan bagi pemenuhan kebutuhan internal maupun eksternal
organisasi.
Greiner juga mencatat adanya kasus-kasus khusus
dimana organisasi tidak bertumbuh melalui tahapan dan krisis-krisis tersebut
secara berurutan, karena bisa saja suatu fase terlompati atau tidak diakhiri
dengan krisis. Selain itu Greiner tidak memberikan kelanjutan teorinya tentang
krisis apa atau apa yang terjadi sesudah fase kolaborasi. Namun sejumlah ahli
berpendapat bahwa pasca fase kolaborasi organisasi bertumbuh dari awal kembali,
tidak secara mekanistik melainkan secara organik.
Walaupun terdapat sejumlah catatan kritis
terhadap teori Greiner, namun teori ini dianggap cukup capable dan
relevan menjelaskan daur hidup organisasi; karena itulah teori ini sangat
sering dikutip dan dipakai.
Melalui fase-fase di atas organisasi dari jenis
apapun bertumbuh. Pada setiap fase dikembangkan strategi, struktur, sistem,
proses dan perilaku (kultur) yang berbeda, sebagai respons terhadap ukuran (size)
dan kompleksitas organisasi serta tantangan lingkungannya yang terus
berubah. Namun perlu dicatat bahwa suatu struktur, sistem, strategi dan kultur
yang berhasil pada suatu fase tertentu belum tentu tepat dipakai untuk fase
lainnya.
Krisis dalam organisasi terjadi tatkala
stabilitas organisasi terguncang, sejumlah fungsi organisasi tidak berjalan
optimal atau bahkan men-disfungsi. Penyebabnya bisa datang dari dalam maupun
dari luar organisasi, atau bersama-sama secara simultan. Akibat krisis adalah
menurun/merosotnya kinerja (performance) dan organisasi tak mampu
mencapai target-targetnya.
Agar organisasi tidak jatuh dalam krisis maka
setiap saat organisasi harus merespons gejala krisis dengan tepat, yaitu melalui pemetaan situasi dan
faktor-faktor problematik yang signifikan mempengaruhi kinerja dan pencapaian
target-target secara berkesinambungan, untuk kemudian melakukan penataan ulang
organisasi yang disesuaikan dengan kompleksitas pertumbuhan dan perubahan
lingkungannya.
Kebutuhan-kebutuhan baru akibat pertumbuhan
organisasi dan perubahan-perubahan lingkungan bersaing organisasi tersebut
perlu direspons secara tepat agar organisasi memiliki posisi persaingan yang
baik serta mampu menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi oleh para anggota
organisasi secara khusus dan masyarakat secara umum merupakan tujuan
pembentukan organisasi PMII.
II. PELATIHAN KADER DASAR (PKD)
1. Pengertian
Pelatihan Kader Dasar (PKD) merupakan perkaderan formal basic tingkat kedua. Pada fase ini persoalan doktrinasi nilai-nilai dan misi PMII, penanaman loyalitas dan militansi gerakan, diharapkan sudah tuntas.
2. Model Pendekatan
Karena persoalan doktrinasi nilai, ideologi visi-misi PMII yang sudah tuntas, sehingga pendekatan doktrinasi sudah tidak diperlukan dalam pelatihan formal basic kedua ini. Tetapi pendekatan yang harus di pakai adalah dengan pendekatan partisipatoris aktif, sehingga peranan semua unsur yang terlibat dalam pelatihan sangat mempengaruhi terjadinya dinamika dan dialektika selama proses pelatihan berjalan.
3. Tujuan Dan Target
Secara garis besar PKD ini bertujuan untuk membekali kader dengan kemampuan – kemampuan praksis dengan pijakan teori dan pengetahuan Karena itu tujuan dan terget yang harus dicapai pada fase ini adalah
a. Tertanamnya keyakinan dan komitmen terhadap dunia gerakan
b. Penguasaan terhadap prinsip-prinsip analisa sosial
c. Penguasaan terhadap teori-teori sosial sebagai pijakan pengetahuan untuk membaca realitas masyarakat dan negara dalam konteks lokal-nasional dan global
d. Penguasaan materi advokasi dan strategi-strateginya
- Kurikulum
Sesi I : BINA SUASANA
Tujuan Peserta,
panitia dan fasilitator mengetahui semua komponen yang terlibat dalam pelatihan
sehingga dapat mengenali dirinya sendiri dan teman sepelatihannya, sehingga
dapat terbina suasana pelatihan yang penuh dengan keakraban dan kebersamaan di
antara semua komponen tersebut. Disepakatinya beberapa aturan main selama
pelatihan berlangsung, baik kewajiban, hak dan kekhawatiran-kekhawatiran yang
akan terjadi selama pelatihan berlangsung.
Pokok Bahasan 1.
Perkenalan
2. Penyusunan
Harapan dan kekhawatiran dari Peserta,
panitia dan fasilitator
3.
Citra diri peserta
4. Kontrak belajar (Aturan Main dan tata tertib PKD)
Bahan-Bahan -
Kertas kecil secukupnya
- Spidol/kapur tulis
- Papan tulis/kertas plano
Metode -
Permainan/role palying
- Brain storming
Waktu
120 Menit
Proses Kegiatan
1.
Panitia/Fasilitator membuka sessi dengan memperkenalkan
identitas dirinya, dan meminta tiap-tiap peserta untuk memperkenalkan identitas
dan pengalaman dirinya yang dibantu dengan role playing.
2. Fasilitator meminta tiap-tiap
peserta untuk mengungkapkan harapan-harapannya selama mengikuti seluruh rangkaian
atau proses pelatihan ini serta kekhawatiran-kekhawatiran yang ditakutkan akan
terjadi.
3. Fasilitator meminta tiap-tiap
peserta untuk menyebutkan hal-hal yang diperlukan/ dilakukan demi tertib,
lancar dan suksesnya proses pelatihan ini;
4. Fasilitator mendorong terjadinya
kesepakatan antar peserta tentang perlunya tata-tertib pelatihan;
5. Seluruh peserta menyepakati
tentang 'tata-tertib pelatihan'.
Sesi
II : ASWAJA SEBAGAI MANHAJ
AL FIKR
Tujuan -
Peserta mampu memahami dan merekonstruksi, sejarah perkembangan
pemikiran-pemikiran Islam sejak zaman Nabi hingga sekarang.
- Peserta mampu memahami proses keunculan
pemikiran-pemikiran Islam sebagai sebuah pengetahuan (teori) dan konstruksi
global
-
Peserta mampu memahami aswaja sebagai metodologi berfikir dalam upaya memahami
ajaran-ajaran Islam dan landasan gerakan sebagai upaya untuk menemukan posisi
gerakan PMII dalam konteks lokal-nasional dan global.
Pokok Bahasan 1.
Pengaruh sosio-historis-kultural bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain terhadap perkembangan
pemikiran Islam
2. Latar belakang
ekonomi-sosial-politik pemerintahan Islam zaman awal terhadap proses
pelembagaan madzab dalam Islam
3. Aswaja sebagai manhaj al fikr
Bahan-Bahan -
Spidol/kapur tulis
- Papan tulis/kertas plano
-
Makalah / materi ceramah
Metode -
Ceramah/presentasi
- Dialog (tanya jawab)
-
Diskusi Kelompok
Waktu
240 Menit
Proses Kegiatan
1.
Moderator/fasilitator membuka sesi dengan penjelasan umum tentang materi
sessi ini;
2.
Narasumber/fasilitator menguraikan pokok-pokok bahasan tentang materi sessi
ini;
3.
Dialog dan/atau klarifikasi;
4.
Disksi kelompok, dan diskusi pleno membahas hasil diskusi kelompok.
Sesi III : ISLAM DAN TEOLOGI
PEMBEBASAN
Tujuan - Peserta memahami latar belakang
kemunculan teologi pembebasan dalam perspektif amar ma`ruf nahi mungkar
- Peserta memiliki sense-gerakan terhadap kenyataan empiris dalam konteks
lokal-nasional maupun global
-
Peserta menginternalisasi dan mengimplemantasikan prinsip dan nilai-nilai
egalitarianisme dan universalitas Islam
Pokok Bahasan 1.
Latar belakang kemunculan teologi pembebasan dan perspektifnya terhadap
perubahan
2. Hakekat amar
ma`ruf nahi mungkar dalam konteks perubahan sosial
3. Nilai-nilai
egalitarianisme sebagai nilai tertinggi dalam perubahan sosial
Bahan-Bahan - Spidol/kapur tulis
- Papan tulis/kertas plano
-
Makalah / materi ceramah
Metode -
Ceramah/presentasi
- Dialog (tanya jawab)
-
Diskusi Kelompok
-
Study Kasus
Waktu
120 Menit
Sesi IV :
PARADIGMA PMII
Tujuan Peserta memahami
paradigma gerakan PMII dan menjadikanya sebagai metodologi berpikir dan
gerakan serta dalam
mengimplementasikannya dalam perilaku , sikap dan kehidupan pribadi,
berorganisasi dan berdialektika dalam pergerakan.
Pokok Bahasan 1. Membaca
Realitas gerakan dan ke-Indonesiaan sebagai landasan epistimologi paradigma
gerakan
2. Filosofi paradigma PMII
3. Rumusan paradigma sebagai setrategi
gerakan
4. Internalisasi dan implementasi
paradigma gerakan dalam kehidupan pribadi dan berorganisasi
Bahan-Bahan - Spidol/kapur tulis
- Papan tulis/kertas plano
-
Makalah / materi ceramah
Metode -
Ceramah/presentasi
- Dialog (tanya jawab)
-
Diskusi Kelompok
- Study Kasus
Waktu
240 Menit
Proses
Kegiatan
1. Moderator/fasilitator membuka
sesi dengan penjelasan umum tentang materi sessi ini;
2. Narasumber/fasilitator
menguraikan pokok-pokok bahasan tentang materi sessi ini;
3.
Dialog dan/atau klarifikasi;
4.
Disksi kelompok, dan diskusi pleno membahas hasil diskusi kelompok.
Sesi V :
ANALISA SOSIAL
Tujuan - Peserta memahami
realitas masyarakat sebagai landasan analisa dalam perspektif lokal-nasional
dan global
-
Peserta memahami prinsip-prinsip dan model analisa untuk menentukan strategi
dan posisi PMII sebagai organisasi pergerakan
Pokok Bahasan 1. Realitas masyarakat
2. Prinsip dan model-model nalisa sosial
3. Fungsi analisa sosial untuk menentukan
posisi dan strategi gerakan
4. Perangkat-perangkat analisa sosial
Bahan-Bahan - Spidol/kapur tulis
- Papan tulis/kertas plano
-
Makalah / materi ceramah
Metode -
Ceramah/presentasi
- Dialog (tanya jawab)
-
Diskusi Kelompok
- Role playing
Waktu
240 Menit
Proses Kegiatan
1. Moderator/fasilitator membuka
sesi dengan penjelasan umum tentang materi sessi ini;
2. Narasumber/fasilitator
menguraikan pokok-pokok bahasan tentang materi sessi ini;
3.
Dialog dan/atau klarifikasi;
4.
Disksi kelompok, dan diskusi pleno membahas hasil diskusi kelompok.
Sesi VI : STUDY ADVOKASI
Tujuan - Peserta memahami teori dan
tehnik-tehnik advokasi
-
Peserta memahami bentuk dan macam-macam advokasi
-
Peserta memahami setrategi advokasi
Pokok Bahasan 1. Filosofi dan
urgensi advokasi
2. Macam dan bentuk Advokasi
3. Model-model advokasi
4. Advokasi sebagai setrategi
Bahan-Bahan - Spidol/kapur tulis
- Papan tulis/kertas plano
-
Makalah / materi ceramah
Metode -
Ceramah/presentasi
- Dialog (tanya jawab)
-
Diskusi Kelompok
-
Study kasus
Waktu
150 Menit
Proses Kegiatan
1. Moderator/fasilitator membuka
sesi dengan penjelasan umum tentang materi sessi ini;
2. Narasumber/fasilitator
menguraikan pokok-pokok bahasan tentang materi sessi ini;
3. Dialog dan/atau klarifikasi;
Sesi VII :
ANALISA WACANA
Tujuan - Peserta memahami
alur dan nalar dari setiap kemunculan wacana.
- Peserta mampu
memahami tekhnik membaca wacana
-
Peserta mampu memahami ada apa di balik wacana-wacana tersebut
Pokok Bahasan 1. Teknik membaca
wacana
2. Wacana sebagai bagian dari sub sistem
pengetahuan dunia
3. Wacana sebagai ideologi
Bahan-Bahan - Spidol/kapur tulis
- Papan tulis/kertas plano
-
Makalah / materi ceramah
Metode -
Ceramah/presentasi
- Dialog (tanya jawab)
-
Diskusi Kelompok
-
Study Kasus
Waktu
150 Menit
Proses
Kegiatan
1. Moderator/fasilitator membuka
sesi dengan penjelasan umum tentang materi sessi ini;
2. Narasumber/fasilitator
menguraikan pokok-pokok bahasan tentang materi sessi ini;
3. Dialog dan/atau klarifikasi;
Sesi VIII :
POLA DAN STRATEGI PENGEMBANGAN PMII
Tujuan -
Peserta mampu memahami makna strategi
sebagai cara yang harus dilakukan untuk memobilisasi kekuatan (forces
mobilization) secara efektif. Strategi mengarah pada upaya untuk memenangkan suatu pertarungan
(kontestasi).
-
Peserta memahami nilai-nilai perjuangan
PMII untuk membangun masyarakat yang memiliki kekuatan dan jejaring untuk
merancang perubahan ke arah yang lebih baik sebagai langkah untuk memberikan
penguatan kepada kader.
- Peserta memahami
pola dan setrategi ke depan PMII sebagai upaya untuk menentukan posisi gerakan
ke depan
Pokok Bahasan 1.
Filosofi dan urgensi dari pola dan setrategi pengembangan PMII
2. Identifikasi
peluang dan potensi PMII
3. Membaca alternatif peran gerakan PMII
untuk menentukan posisinya masa kini dan masa depan
Bahan-Bahan - Spidol/kapur tulis
- Papan tulis/kertas plano
-
Makalah / materi ceramah
Metode -
Ceramah/presentasi
- Dialog (tanya jawab)
-
Diskusi Kelompok
-
Study kasus
Waktu
150 Menit
Proses
Kegiatan
1. Moderator/fasilitator membuka
sesi dengan penjelasan umum tentang materi sessi ini;
2. Narasumber/fasilitator
menguraikan pokok-pokok bahasan tentang materi sessi ini;
3. Dialog dan/atau klarifikasi;
Sesi IX :
REKAYASA SOSIAL
Tujuan -
Peserta memiliki pemahaman holistik dalam proses transformasi sosial
-
Peserta memahami prinsip-prinsip dasar dengan berbagai alternatif rekayasa
sosial
Pokok Bahasan 1.
Proses transformasi sosial
2. Prinsip dasar
rekayasa sosial
3.
Pendekatan-pendakatan dalam rekayasa sosial
Bahan-Bahan - Spidol/kapur tulis
- Papan tulis/kertas plano
-
Makalah / materi ceramah
Metode -
Ceramah/presentasi
- Dialog (tanya jawab)
-
Diskusi Kelompok
-
Study kasus
Waktu
90 Menit
Proses
Kegiatan
1. Moderator/fasilitator membuka
sesi dengan penjelasan umum tentang materi sessi ini;
2. Narasumber/fasilitator
menguraikan pokok-pokok bahasan tentang materi sessi ini;
3. Dialog dan/atau klarifikasi;
Sesi X :
PENGELOLAAN OPINI DAN GERAKAN MASSA
Tujuan -
Peserta memiliki kemampuan untuk membaca dan membuat isue-isue setrategis
- Peserta memahami pentingnya komunikasi massa
-
Peserta memahami prinsip-prinsip serta perangkat gerakan massa
-
Peserta memiliki kemampuan untuk merangcang gerakan massa, mengelola opini,
melakukan gerakan massa dengan pendekatan setrategis
Pokok Bahasan 1. Manajemen
(pengelolaan informasi dan opini) isue
2. Isue sebagai setrategi kampanye untuk
membangun opini
3. Prinsip-prinsip
gerakan massa
4. Analisa situasi
dan pembacaan medan
5. Setrategi dan taktik menciptakan,
mengelola dan memimpin gerakan massa
Bahan-Bahan - Spidol/kapur tulis
- Papan tulis/kertas plano
-
Makalah / materi ceramah
Metode -
Ceramah/presentasi
- Dialog (tanya jawab)
-
Diskusi Kelompok
-
Study kasus
- Role playing
Waktu
240 Menit
Proses Kegiatan
1.
Moderator/fasilitator membuka sesi dengan penjelasan umum tentang materi
sessi ini;
2.
Narasumber/fasilitator menguraikan pokok-pokok bahasan tentang materi sessi
ini;
3.
Dialog dan/atau klarifikasi;
4.
Disksi kelompok, dan diskusi pleno membahas hasil diskusi kelompok.
Sesi XI : PENGORGANISASIAN KAMPUS
Tujuan - Peserta
memahami proses, prinsip-prinsip dan unsur utama dalam pengorganisasian di
kampus
- Peserta
mampu memahami dan memetakan kelompok-kelompok setrategis di kampus
-
Peserta memiliki kemampuan analisa dengan cepat dan tepat dalam merespon
isue-isue dan dinamika di kampus
-
Peserta memahami potensi dan peluang-peluang di kampus sebagi upaya untuk
menguasai kampus
Pokok Bahasan 1.
Potensi dan peluang kampus dalam perspektif antropologi
2. Prinsip pengorganisasian
3. Kelompok-kelompok setrategis di kampus
4.
Strategi penguasaan kampus
Bahan-Bahan - Spidol/kapur tulis
- Papan tulis/kertas plano
-
Makalah / materi ceramah
Metode -
Ceramah/presentasi
- Dialog (tanya jawab)
-
Diskusi Kelompok
-
Study kasus
Waktu
120 Menit
Proses
Kegiatan
1. Moderator/fasilitator membuka
sesi dengan penjelasan umum tentang materi sessi ini;
2. Narasumber/fasilitator
menguraikan pokok-pokok bahasan tentang materi sessi ini;
3.
Dialog dan/atau klarifikasi;
4.
Disksi kelompok, dan diskusi pleno membahas hasil diskusi kelompok.
Sesi XII : GENERAL REVIEW
Tujuan Peserta memahami keterpaduan antara
keseluruhan materi yang telah disampaikan, dapat mereview materi-materi
tersebut sehingga mampu menemukan pijakan setrategis dalam gerakan.
Pokok Bahasan 1. Substansi dari
materi-materi yang telah disampaikan
2. Unsur-unsur kesinambungan antar materi
yang telah disampaikan
3. Urgensi PMII sebagai oranisasi
pergerakan dalam merespon segala dinamika dalam konteks lokal-nasional dan
global.
Bahan-Bahan - Spidol/kapur tulis
- Papan tulis/kertas plano
-
Makalah / materi ceramah
Metode -
Review keseluruhan materi
- Dialog (tanya jawab)
- Diskusi Kelompok
-
Brain strorming
Waktu
90 Menit
Proses
Kegiatan
1. Panitia/Fasilitator membuka sessi
dengan meminta tiap-tiap peserta untuk melakukan review materi-materi dan
mengevaluasi jalannya/proses pelatihan;
2. Fasilitator meminta tiap-tiap
peserta untuk menyatakan apakah harapan-harapannya terhadap pelatihan yang
dikemukakan pada saat bina suasana tercapai;
Sesi X : RENCANA TINDAK
LANJUT
Tujuan Peserta memahami PMII sebagai
organisasi gerakan sehingga terbangun sense of movement yang tentunya dengan
dibekali dengan pengetahuan dan kemampuan praksis untuk bergerak.
Pokok Bahasan 1. Identifikasi
potensi, bakat-minat dan kecenderungan kader
2. Bentuk-bentuk follow up
3. Kesepakatan menagerial pengelolaan
follow up
Bahan-Bahan - Spidol/kapur tulis
- Papan tulis/kertas plano
Metode
- Dialog (tanya jawab)
-
Brain strorming
Waktu
90 Menit
Proses
Kegiatan
1.
Fasilitator meminta tiap-tiap peserta
untuk menyebutkan hal-hal yang diperlukan/dilakukan untuk menindak-lanjuti
pelatihan ini;
2.
Fasilitator mendorong agar terjadi kesepakatan antar peserta tentang
perlunya membuat agenda atau kegiatan bersama sebagai tindak lanjut dari
pelatihan ini;
3.
Seluruh peserta menyepakati agenda bersama tindak lanjut pelatihan.
Sesi XI : EVALUASI DAN PENUTUPAN
a.
Evaluasi
Evaluasi perlu
dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dari pelatihan, untuk mengukur
apakah target, harapan dan kekhawatiran terpenuhi dan terjadi selama proses PKD
berlangsung. Hal ini akan berguna sebagai
masukan dan pertimbangan dalam pelaksanaan pelatihan-pelatihan
selanjutnya. Hal- hal yang harus di evaluasi adalah mencakup keseluruhan
komponen yang terlibat dalam PKD, baik metodologi pelatihan, peserta, panitia,
fasilitator, pembicara, tempat, serta fasilitas dan unsur-unsur lain yang
terlibat dalam pelatihan.
b.
Penutupan
Penutupan harus dilaksanakan untuk
membangun kedisiplinan bersama di PMII karena penutupan adalah bagian yang
tidak bisa dipisahkan dalam metodologi pelatihan.
- Follow Up
Follow Up harus dilakukan sebagai satu pilihan untuk meneguhkan komitmen
PMII sebagai organisasi gerakan serta untuk membangun kesinambungan antar kader
dan tetap berjalan sebagaimana kesepakatan dalam pembahasan follow up di
PKD. Selain itu juga sebagai media untuk
melakukan pendalaman materi dan mempraktekkan materi-materi yang didapatkan
selama pelatihan. Dalam Follow Up berbentuk kelompok-kelompok kecil (small
group) yang beranggotakan antara 5-10 orang agar memudahkan fasilitator untuk
melakukan pendampingan secara intensif. Pengelolaan dan managerial small group
ini harus diserahkan langsung kepada
peserta sebagai media untuk uji coba terhadap keseriusan dan tanggung jawab
baik dalam konteks pribadi maupun organisasi.
Beberapa kegiatan yang bisa dilakukan sebagai follow up PKD yang
memungkinkan juga sebagai bentuk uji coba terhadap small group:
1.
Kegiatan-kegiatan insidental, seperti :
a.
Bakti sosial
b.
Penyikapan terhadap isu-isu di kampus
c.
Dll
2.
Berbagai pelatihan-pelatihan
Pelatihan-pelatihan ini akan dibahas dalam pembahasan selanjutnya.
***
III. PELATIHAN KADER LANJUT (PKL)
1. Pengertian
Pelatihan Kader Lanjut (PKL) merupakan tahapan perkaderan formal basic tingkat ketiga dalam jenjang pengkaderan formal di PMII. Pada fase ini peserta PKL sudah tidak lagi memperdepatkan mengenai persoalan doktrin, manajerial keorganisasian, karena itu pelatihan ini di orientasikan pada pembangunan dan penguatan pengetahuan yang akan menopang pilihan-pilihan gerakan PMII untuk masa sekarang dan masa depan yang berangkat dari pembacaan realiatas secara obyektif.
2. Model Pendekatan
Karena persoalan majerial ke-organisasian yang sudah tuntas, dengan bekal pemahaman keyakinan terhadap organisasi dan nilai-nilai maka pendekatan pendekatan yang digunakan lebih banyak menggunakan brainstorming dan study kasus. Hal ini sangat strategis untuk menyiapkan kader agar mampu memahami betul mengenai realitas masyarakat dan ke-Indonesiaan yang benar-benar obyektif dan membekali kader dengan pengetahuan sebagai alat analisa serta berbagai kemampuan/skill tertentu sehingga mampu berkompetisi dengan elemen-elemen gerakan yang lain, sebagai upaya agar tetap survive serta memenangkan kompetisi. Sehingga pengetahuan dan pengalaman masing-masing peserta akan sangat signifikan dalam menentukan metodologi pelatihan.
3. Kegiatan Pra PKL
Kegiatan ini dilakukan sebagai tahapan awal untuk melakukan rekruitmen dan
seleksi terhadap para calon peserta PKL yang kemudian disebut dengan screening.
Dalam screening ini metode yang digunakan adalah dengan alat bantu makalah dan
wawancara. Sehingga para calon peserta diwajibkan untuk membuat makalah dengan
dengan tema-tema tertentu dan mempresentasikannya dihadapan Tim khusus yang dibentuk
oleh kepanitiaan PKD.
4.
Gambaran Umum Alur Pelatihan
5.
Tujuan Dan Alat Analisa Materi PKL
5.
Kurikulum
6.
Sesi
|
Waktu
|
Materi
|
Pokok Bahasan
|
Metode
|
Bahan-Bahan
|
I
|
600 menit
|
Geopolitik -ekonomi
|
1.
Peta
geopolitik-ekonomi internasional dan dampaknya terhadap negara ketiga dan
Indonesia
2.
Pengaruh
konstelasi geopolitik-ekonomi terhadap isu dan diskursus yang berkembang
3.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi geopolitik-geoekonomi dunia
|
1.
Ceramah/presentasi
2.
Dialog (tanya jawab)
3.
Diskusi Kelompok
4.
Study Kasus
|
1.
Spidol/kapur tulis
2.
Papan tulis/kertas plano
3.
Makalah /
materi ceramah
|
II
|
180 menit
|
Sejarah masyarakat dan social movement dunia dan Indonesia
|
1.
Alur sejarah
dan varian gerakan sosial-politik di dunia dan Indonesia
2.
Watak dan
nalar masyarakat dunia dan Indonesia
3.
Sosiologi-Antropologi
masyarakat
|
1.
Ceramah/presentasi
2.
Dialog (tanya jawab)
3.
Diskusi Kelompok
4.
Study Kasus
|
1.
Spidol/kapur tulis
2.
Papan tulis/kertas plano
3.
Makalah /
materi ceramah
|
III
|
180 menit
|
Relasi negara-masyarakat Dan Relasi Kuasa
|
1.
Alur teoretik
konsep negara (state) dan masyarakat (civil society)dulu
hingga kini
2.
Alur relsasi
negara- masyarakat dalam konteks relasi kuasa
3.
Imbasnya
terhadap Indonesia
|
1.
Ceramah/presentasi
2.
Dialog (tanya jawab)
3.
Diskusi Kelompok
4.
Study Kasus
|
1.
Spidol/kapur tulis
2.
Papan tulis/kertas plano
3.
Makalah /
materi ceramah
|
IV
|
120 menit
|
Faktor-faktor dan prasyarat perubahan di Indonesia
|
1.
Faktor-faktor
penting gerak sejarah perubahan di Indonesia
2.
Prasyarat-prasyarat
perubahan di Indonesia
|
1.
Ceramah/presentasi
2.
Dialog (tanya jawab)
3.
Diskusi Kelompok
4.
Study Kasus
|
1.
Spidol/kapur tulis
2.
Papan tulis/kertas plano
3.
Makalah /
materi ceramah
|
V
|
180 menit
|
Kritik Wacana Agama
|
1.
Teks, konteks
dan relasi kuasa
2.
kritik
terhadap tafsir, teks yang pro statusquo
3.
Kritik teks
bias jender
4.
Wacana agama
yang kritis-transformatif ala Hassan, an-naim, Ashghar, Arkoun, al-jabiri dll
|
1.
Ceramah/presentasi
2.
Dialog (tanya
jawab)
3.
Diskusi Kelompok
4.
Study Kasus
|
1.
Spidol/kapur tulis
2.
Papan tulis/kertas plano
3.
Makalah /
materi ceramah
|
VI
|
180 menit
|
Peta
pemikiran dan gerakan Islam
|
1.
Peta gerakan
revivalisme, modernisme, tradisionalisme, posttradisionalisme dan Islam
liberal
|
1.
Ceramah/presentasi
2.
Dialog (tanya jawab)
3.
Diskusi Kelompok
4.
Study Kasus
|
1.
Spidol/kapur tulis
2.
Papan tulis/kertas plano
3.
Makalah /
materi ceramah
|
VII
|
120 menit
|
Membedah “PMII” perspektif ideologi
|
1.
PMII dan
ideologi PMII (transendensi, berfikir kritis, dialektis, transformatif dll.)
|
1.
Ceramah/presentasi
2.
Dialog (tanya jawab)
3.
Diskusi Kelompok
4.
Study Kasus
|
1.
Spidol/kapur tulis
2.
Papan tulis/kertas plano
3.
Makalah /
materi ceramah
|
VIII
|
120 menit
|
Membedah
“PMII” perspektif organisasi
|
1.
-Kekuatan dan
kelemahan PMII (manajerial, model relasi struktur, jaringan, dana dll)
2.
Leader ship
3.
Kepemimpinan
gerakan
|
1.
Ceramah/presentasi
2.
Dialog (tanya jawab)
3.
Diskusi Kelompok
4.
Study Kasus
|
1.
Spidol/kapur tulis
2.
Papan tulis/kertas plano
3.
Makalah /
materi ceramah
|
IX
|
120 menit
|
Membedah “PMII”
perspektif kaderisasi
|
1.
Kekuatan dan kelemahan PMII dalam
kaderisasi
2.
Citra diri kader
PMII
3.
Fase-fase
pengkaderan dan tipologi kader
4.
Relasi kader
dan alumni
5.
Tantangan ke
depan berkaitan dengan kaderisasi
|
1.
Ceramah/presentasi
2.
Dialog (tanya jawab)
3.
Diskusi Kelompok
4.
Study Kasus
|
1.
Spidol/kapur tulis
2.
Papan tulis/kertas plano
3.
Makalah /
materi ceramah
|
X
|
150 menit
|
Membedah “PMII”
perspektif format, strategi dan taktik pergerakan
|
1.
Kesadaran “PMII” tentang orientasi gerakan PMII
2.
Posisi tawar PMII di medan pergerakan
3.
PMII dalam relasi“kekuasaan”
4.
Format ideal
gerakan PMII kultural-struktural (?)
5.
Strategi dan
taktik gerakan PMII ( kesadaran relasi kawan-lawan, aliansi taktis-strategis)
|
1.
Ceramah/presentasi
2.
Dialog (tanya jawab)
3.
Diskusi Kelompok
4.
Study Kasus
|
1.
Spidol/kapur tulis
2.
Papan tulis/kertas plano
3.
Makalah /
materi ceramah
|
XI
|
120 menit
|
Membedah
“PMII” perspektif kepemimpinan
|
1.
Perilaku
kepemimpinan di PMII kelemahan dan kekuatan
2.
Citra diri
pemimpin PMII
|
1.
Ceramah/presentasi
2.
Dialog (tanya jawab)
3.
Diskusi Kelompok
4.
Study Kasus
|
1.
Spidol/kapur tulis
2.
Papan tulis/kertas plano
3.
Makalah /
materi ceramah
|
XII
|
150 menit
|
Community organizing
|
1.
Urgensi dan
tujuan CO
2.
Planning
pengorganisasian
3.
Membangun
basis
4.
Kerangka
(setrategis, teknis, taktis) pengorganisasian masyarakat bagi pengembangan
organisasi.
|
1.
Ceramah/presentasi
2.
Dialog (tanya jawab)
3.
Diskusi Kelompok
4.
Study Kasus
|
1.
Spidol/kapur tulis
2.
Papan tulis/kertas plano
3.
Makalah /
materi ceramah
|
XIII
|
120 menit
|
Analisis Issu
|
1.
Konstruksi
antara need, interest, positioning,
action dan issu
2.
Strategi
pengemasan issu dalam perebutan wacana publik
|
1.
Ceramah/presentasi
2.
Dialog (tanya jawab)
3.
Diskusi Kelompok
4.
Study Kasus
|
1.
Spidol/kapur tulis
2.
Papan tulis/kertas plano
3.
Makalah /
materi ceramah
|
XIV
|
150 menit
|
Analisis wacana
|
1.
Teknik
menganalisis teks/wacana
2.
Wacana
sebagai bagian gerakan
|
1.
Ceramah/presentasi
2.
Dialog (tanya jawab)
3.
Diskusi Kelompok
4.
Study Kasus
|
1.
Spidol/kapur tulis
2.
Papan tulis/kertas plano
3.
Makalah /
materi ceramah
|
XV
|
120 menit
|
Analisis Media
|
1.
Pejarah dan
perkembangan perang media di Indonesia
2.
Teknik
menganalisis media
3.
Peranan media
dalam membangun watak dan nalar masyarakat
|
1.
Ceramah/presentasi
2.
Dialog (tanya jawab)
3.
Diskusi Kelompok
4.
Study Kasus
|
1.
Spidol/kapur tulis
2.
Papan tulis/kertas plano
3.
Makalah /
materi ceramah
|
XVI
|
120 menit
|
Lobby dan Jaringan
|
1.
Teknik lobby
2.
Teknik
membangun dan menjaga jaringan
|
1.
Ceramah/presentasi
2.
Dialog (tanya jawab)
3.
Diskusi Kelompok
4.
Study Kasus
|
1.
Spidol/kapur tulis
2.
Papan tulis/kertas plano
3.
Makalah /
materi ceramah
|
XVII
|
120 menit
|
General Review
|
1.
Substansi dari
materi-materi yang telah disampaikan
2.
Unsur-unsur kesinambungan antar materi
yang telah disampaikan
3.
Urgensi
stratak PMII sebagai dan posisioningnya dalam konteks ke-Indonesiaan dan
global.
|
1.
Dialog (tanya
jawab)
2.
Diskusi Kelompok
|
1.
Spidol/kapur tulis
2.
Papan tulis/kertas plano
|
XIII
|
60 Menit
|
RTL
|
1.
Identifikasi potensi, bakat-minat dan
kecenderungan kader
2.
Bentuk-bentuk follow up
3.
Kesepakatan menagerial pengelolaan
follow up
|
1.
Dialog (tanya
jawab)
2.
Diskusi Kelompok
|
1.
Spidol/kapur tulis
2.
Papan tulis/kertas plano
|
XIV
|
60 menit
|
Evaluasi
Dan Penutupan
|
-
|
-
|
-
|
7.
Follow Up
Follow Up harus dilakukan sebagai pilihan stratak
dan pilihan positioning PMII sebagai organisasi gerakan dalan konteks ke
Indonesiaan dan global, serta untuk membangun infrastruktur penguasaan medan
gerakan PMII sekarang maupun kedepan dengan prinsip distribusi kader di semua
lini.
Follow up yang dilaksanakan pasca PKL adalah
terbentuknya komunitas alumni PKL yang bertujuan untuk :
-
Melakukan
pendiskusian dan pendalaman atas materi-materi PKL agar terjadi kesepahaman
pengetahuan bersama
-
Mencari ruang
implementasi dilapanagan sebagai try out atas stratak gerakan PMII sesuai
dengan kecenderungan masing-masing
-
Sebagai wahana untuk melakukan refleksi
atas try out stratak di lapangan
*************
PENGKADERAN NON FORMAL DAN INFORMAL
Sistem pengkaderan PMII
selain mengenal pengkaderan formal basic juga mengenal pengkaderan non-formal
dan informal. Sistem pengkaderan yang selama ini dilakukan oleh PMII baik
formal, non-formal dan informal,
sebagian besar hanya berorientasi untuk mengembangkan kapasitas kader agar
mampu mengisi ruang-ruang yang ada di PMII baik struktural maupun kultural berdasarkan
dengan pemetaan dan kecenderungan kader serta mainstream besar PMII. Dengan
Pola dan sistem pengkaderan seperti ini, akan terjadi banyak penumpukan kader
di dalam tanpa ada upaya setrategis untuk melakuakn pembagian medan dan
distribusi kader. Sehingga didalam PMII mempunyai kecenderungan terjadinya
perebutan medan sesama kader. (SMS : Sahabat Makan Sahabat).
Pendidikan dan pelatihan non-formal maupun informal
perlu dilakukan dan menjadi setrategis karena sebagai wahana untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kader pada aras
pengembangan kapasitas, skill pribadi (sesuai dengan kecenderungan dan keahlian
fakultatif kader) serta memenuhi kebutuhan-kebutuhan organisasi yang tidak
hanya berorientasi untuk mengisi ruang-ruang kosong PMII (struktural dan kultural)
tetapi harus dengan cara pandang ke depan dalam wilayah yang lebih besar dan
setrategis. Sehingga pendidikan dan pelatihan ini harus, juga harus mampu
memberikan ruang akselerasi kader diluar keluarga besar NU, yang tentunya
berangkat dari pemetaan terhadap kelompok-kelompok setrategis. Dengan pola ini
diharapkan PMII mampu berperan dalam melakukan distribusi kader di semua lini.
A. KADERISASI INFORMAL
Dasar filosofi mengenai urgensinya kaderisasi
informal ini adalah adanya keresahan bersama dalam keluarga besar PMII
tentang adanya penurunan kwantitas kader secara sistematis. Sehingga terjadi
ketidak seimbangan antara rekruitmen kader dengan output yang dihasilkan dari
PMII.
MAPABA
PKD
PKL
RUANG KOSONG
Dari gambar tersebut di atas, bisa bisa melihat
bahwa dari proses pengkaderan formal basic yang dialakukan oleh PMII (Mapaba,
PKD dan PKL) terjadi penurunan kwantitas kader. Indikator yang mungkin bisa di
jadikan sebagai ukuran adalah terjadinya penurunan jumlah peserta pelatihan,
dari Mapaba, PKD dan PKL.Padahal idealnya adalah tetap terjadinya kontinyuitas
pengkaderan badik dari sisi jumlah maupun kapasitas kader secara sistematis,
sebagaimana idealnya yang tergambar dalam ruang-ruang kosong tersebut.
Maka pengkaderan informal lebih diorientasikan
untuk menjaga ritme pengkaderan PMII (kwantitas dan kapasitas) dengan mengisi
ruang-ruang kosong (lihat gambar di atas) sehingga mampu terjadi keseimbangan
antara input dengan out put kader juga kesinambungan terhadap kerja-kerja besar PMII untuk melaksanakan kaderisasi
serta mendistribusikan kader di semua lini.
Beberapa kegiatan pengkaderan informal antara
lain :
No
|
Bentuk
|
Orientasi
|
Jenis Kegiatan
|
1
|
Pra Mapaba
|
1.
Untuk sosialisasi dan memperkenalkan tahap awal keberaaan PMII
2.
Perekrutan kader
|
1.
Bimbingan test masuk perguruan tinggi
2.
Penyebaran selebaran , buletin dan pamflet
|
2
|
Small Group
|
1.
Untuk melakukan internalisasi nilai dan
ideologi
2.
Pendalaman materi dan meningkatkan kapasitas
keilmuan dan pengetahuan
3.
Ruang dan wahana untuk melakukan refleksi dan
evaluasi bersama
4.
- Terbentuknya komunitas-komunitas kecil di
PMII yang akan melakukan pengkajian dan merespon berbagai perkembangan dan
isue-isue yang terjadi, baik lokal, nasional maupun global
|
1.
Diskusi
2.
Bedah buku
Nb : Kegiatan ini bisa
dilaksanakan pada kegiatan-kegiatan Follow Up pasca pengkaderan formal
(Mapaba, PKD dan PKL)
|
3
|
Aksi-Aksi Sosial
|
1.
Untuk meneguhkan komitmen dan visi kerakyatan
PMII
2.
Ruang aktualisasi kader-kader PMII di lapangan
3.
Merebut simpati massa
|
1.
Bakti sosial
2.
Live In
3.
Bazar
|
4
|
Struktur Kekeluargaan
|
1.
Terbangunya ikatan emosional antara kader PMII
maupun dengan pengurus
2.
Terbangunya kebersamaan yang kuat
|
1.
Silaturahmi
2.
Tadabur alam
3.
Study tour
4.
Study banding
|
5
|
Politik Distribusi Kader
|
1.
Mencari dan membuka ruang baru untuk
pendistribusian kader
2.
Merebut kepemimpinan seperti kepemimpinan di
kampus
3.
Media pembelajaran kader
4.
- Terciptanya kantong-kantong massa mahasiswa
|
1.
Pelibatan kader dalam kepanitiaan kegiatan
2.
Mendidtribusikan kader pada kelompok-kelompok
setrategis di kampus dan lainnya
|
6
|
Dll
|
-
|
-
|
B. Kaderisasi
Non-Formal
Kaderisasi Non-Formal lebih di tujukan untuk
memenuhi dan menfasilitasi kebutuhan-kebutuhan kader, seperti pengembangan
diri, skill dal lain-lain. Sehingga perlu di desain agar kaderisasi non-formal
yang dilakukan benar-benar berangkat dari hasil pemetaan terhadap bakat-minat
dan kecenderungan kader. Hal ini menjadi setrategis, karena sebagai proses dan
tahapan awal untuk mencari medan dan mendistribusikan kader pasca PMII.
Pada fase ini, kaderisasi juga di rancang untuk
melakukan pembacaan terhadap statak gerakan PMII sekarang dan ke depan, sebagai
upaya untuk mencari posisioning PMII, yang keberadaanya sudah tidak bisa
dipisahkan dari persoalan sejarah masa lalu serta dinamika nasional dan global.
Beberapa bentuk kagiatan dari kaderisasi
non-formal adalah :
No
|
Kegiatan
|
Orientasi
|
Output Dan Out Come
|
Pelaksanaan
|
1
|
Palatihan Ke-Islaman
|
1.
Memberikan pemahaman tentang, prinsip dan
nilai-nilai universalitas Islam
2.
Mencapai keseimbangan pemahaman tentang Islam
antara kampus agama dan kampus umum
|
1.
Kader memahami prinsip dan nilai-nilai
universalitas Islam
2.
Kader memiliki pemahaman atas pluralitas agama
3.
Toleransi sesama dan antar umat beragama
|
Pasca Mapaba /
Pasca PKD
|
2
|
Pelatihan Bahasa Asing
|
1.
Memiliki kepampuan terhadap bahasa-bahasa asing
|
1.
Kader mampu menulis dan berbicara bahasa asing
2.
Kader yang siap berkompetisi dengan organisasi
dan lembaga-lembaga lain
|
Pasca Mapaba /
Pasca PKD atau Pasca PKL
|
3
|
Pelatihan Administrasi dan Manajemen
|
1.
Memberikan pemahaman atas administrasi,
keorganisasian dan managerial organisasi
2.
Mampu menutupi kelemahan-kelemahan administrasi
di PMII yang merupakan masalah klasik PMII
|
1.
Kader mampu melakukan managerial organisasi
2.
Adanya rasa dan penghargaan terhadap administrasi
dan manajemen keorganisasian
|
Pasca Mapaba / Pasca
PKD
|
4
|
Pelatihan Jurnalistik
|
1.
Agar kader memuliki pemahaman tentang jurnalisme
2.
Agar mampu membaca logika dan nalar media
|
1.
Kader yang mampu membaca realitas media dan
maenstream besar media dan jurnalisme
2.
Mempunyai media publik yang bisa diakses oleh
kader dan masyarakat sebagai sebagai upaya untuk ikut membangun dan menguasai
opini publik
|
Pasca Mapaba
/ Pasca PKD
|
5
|
Kursus Politik HAM dan Demokrasi
|
1.
Membangun pengetahuan dan prinsip-prinsip
politik, HAM dan Demokrasi
2.
Membedakan dan memahami nalar dan logika politik
3.
Mampu menguasai atau mengambil kepemimpinan
kelompok-kelompok setrategis baik dikampus maupun di gerakan
|
1. Memiliki
pemahamahan yang memadai tentang politik; HAM dan Demokrasi
2. Mengetahui
relasi politik dan kekuasaan
3. Mengetahui
tentang etika politik dan kekuasaan
4. Mengenal,
menyadari dan memahami hak-hak politiknya sebagai warga negara
5. Mampu membedakan
antara praktik politik yang etis dan distorsi dalam politik
|
Pasca PKD atau
Pasca PKL
|
6
|
Pelatihan Analisa Sosial
|
1.
Mampu membaca dan menganalisa siyuasi sosial baik
yang terjadi di lokal, nasional maupun globa
2.
Pembacaan yang diharapkan mampu memberikan
input terhadap stratak PMII untuk menempatkan posisioning PMII
|
1. Memiliki
wawasan yang memadai tentang konsep analisis sosial dan kelompok strategis
2. Memahami
model-model, fungsi, prinsip-prinsip, dan langkah-langkah analisis sosial,
terutama untuk melakukan pemetaan (poleksosbud) kelompok strategis di
masyarakat lokal
3. Memiliki
kesadaran kritis dan kepekaan tinggi terhadap gejala perubahan sosial yang
terjadi di masyarakat di mana dia berada (tingkat lokal)
|
Pasca PKD
atau Pasca PKL
|
7
|
Pelatihan Advokasi (Buruh, Nelayan, KMK,
Lingkungan, Petani, kebijakan publik
dll)
|
1.
Meneguhkan komitmen visi kerakyatan PMII
2.
Memahami Advokasi (Buruh, Nelayan, Petani,
KMK, Kebijakan Publik, Lingkungan dll)
|
1.
Mampu melakukan Advokasi
2.
Bisa melakukan pendampingan
terhadap masyarakat
|
Pasca PKD
atau Pasca PKL
|
8
|
Pelatihan CO
|
1. Bisa melakukan
pengorganisasian di masyarakat
|
1. Miliki
wawasan yang memadai tentang konsep pengorganisasian masyarakat;
2. Memahami
fungsi, prinsip-prinsip, model-model pendekatan dan langkah-langkah dalam
melakukan pengorganisasian masyarakat;
|
Pasca PKD
atau Pasca PKL
|
9
|
Manajemen Komunikasi
|
1.
Mampu melakukan komunikasi yang sistematis dan
efektif
2.
Menguasai dan membangun opini di masyarakat
3.
Terbangunnya jaringan setrategis
|
1. mengetahui
konsepsi dan arti penting retorika,
manajemen issues dan jaringan informasi strategis (JIS);
2. Tembangunnya
opini publik;
|
Pasca Mapaba /
Pasca PKD
|
10
|
Sekolah Filsafat Dan Teori–Teori Sosial
|
1.
Membangun kembali citra PMII sebagai kelompok
intelektual
2.
Menjadikan landasan filsafat dan teori sosial
dalam merumuskan stratk PMII
|
1.
Memiliki pemahaman yang memadai tentang
konsepsi dasar ideologi, filsafat dan teori-teori sosial lainnya
|
Pasca Mapaba
/ Pasca PKD
|
11
|
Pendidikan Seni dan Budaya
|
1.
Membuka ruang baru bagi PMII
2.
Memenuhi kebutuhan-kebutuhan kader yang konsen
terhadap dunia seni dan budaya
|
1.
Terbentuknya kemunitas seni dan budaya di PMII seperti kelompok teater,
rebana dll
|
Pasca Mapaba
/ Pasca PKD
|
12
|
Pelatihan Gender
|
1. Membangun
kesetaraan Gender
|
1. Pengakuan
terhadap hak, ruang dan partisipasi
perempuan
|
Pasca Mapaba
/ Pasca PKD
|
13
|
Pelatihan Metodologi penelitian
|
1.
Menutupi dan mengisi ruang-ruang kosong PMII
khususnya mengenai metodologi penelitian
|
1. Peran dan
andil PMII dalam melakukan penelitian-penelitian sebagai alat bantu dalam
malaukan analisa dan merumuskan stratk
|
Pasca Mapaba
/ Pasca PKD atau Pasca PKL
|
14
|
Pelatihan Kefasilitatoran
|
1.
Terjadinya regenerasi
2.
Terorganisirnya pelatihan-pelatihan di PMII
3.
Tercapainya target-target pelatihan dan
pendidikan lainnya
|
1.
Adanya instruktur-instruktur yang handal dan
memenuhi kualifuikasi
|
Pasca Mapaba
/ Pasca PKD
|
15
|
Petatihan-pelatihan fakultatif
|
1.
PMII memiliki kader-kader yang ahli terhadap
disiplin dan skill tertentu
2.
Untuk mempersiapkan distribusi kader
|
1. Kader yang ahli dalam disiplin ilmu dan skill tertentu, seperti
ekonomi, hukum, teknik, kewirausahaan dll
|
Pasca Mapaba
/ Pasca PKD atau Pasca PKL
|
16
|
Dll
|
-
|
-
|
-
|
Post a Comment