Mencari Pijakan Strategi Kebudayaan NU
Sebuah “provokasi” mula



“Kita semua gagal dalam mencapai impian kita mengenai karya yang sempurna, karena itu rata-rata kita berada dalam kegagalan indah untuk mencapai sesuatu yang tidak terjangkau”.
William Faulkner, Solilokui

Nahdlatul Ulama. Menyebut nama ini imajinasi kita akan dibawa dalam suatu cerita tentang pergulatan sosial nan panjang dan berkelok. Wajah sosiologisnya  begitu plural, begitu juga penafsirannya. Baik tafsir yang datang dari outsider maupun insider. Pujian dan cibiran sentimentil datang  silih berganti. Kritisisme dan apologetisme datang  beriringan. Skeptisimse dan optimisme bergantian membalut masa depannya. Namun kalangan ilmuwan sosial mengakui, sejarah sosial Indonesia penuh dengan guratan jejak langkahnya, yang kadang kontroversial, mengejutkan, mencemaskan, juga nelangsa. Lebih dari itu, NU merupakan salah satu kekuatan sosial penting yang ikut mewarnai formasi kebangsaan dan keislaman Indonesia.
Perjalanan sejarahnya melintasi ruang waktu. Berproses dalam sekian rezim formasi sosial yang terus bergulir. Bahkan, sebelum natian-state Indonesia terbentuk, arus gerak kebudayaannya telah membentuk komunitas epistemis khas. Sebuah konstruksi epistemis yang dibentuk oleh dialektika ahlussunah dan tradisi lokal yang melahirkan, meminjam Weber, suatu web of meaning (jaringan makna). Ketika kolonialisme merangsek ke bumi pertiwi ini, semenjak itulah tradisi perjuangan melawan penindasan yang berasal dari spirit agama  dimulai. Maka, membaca sejarah kolonialisme identik dengan menyaksikan sejarah organisasi ini.  Dinamika internal, perubahan sosial eksternal, konteks sosial dan kulturalnya yang khas berpadu dan berdialektika hingga kini. Dengan dialektika yang panjang tersebut, kita menyaksikan munculnya sekian generasi muda kreatif (berdaya karya) yang mencoba menerobos setiap kebuntuan gerakan, mendobrak kemandegan zaman, dan membangunkan NU dari gejala konservatisme sosiologis. 
Generasi tersebut ada yang “min quraisyin,” ada yang bukan. Ada yang dari pesantren, ada yang dari perguruan tinggi, ada yang dari petani, pedagang, hingga buruh. Kadang individual kadang kolektif. Kadang ada yang bergerak dalam arus struktural NU kadang ada yang memilih jalur kultural. Ada yang berasal dari aktifis struktural kelembagaan NU ada yang berasal dari  sayap kultural. Demikianlah, zaman berputar, ada yang terus berdialektika hingga kini, ada yang hilang begitu saja. Akhirnya, kristalisasi semangat dan gerak zaman tersebut menjadikan NU sebagai ikon sosial, budaya, dan agama di Indonesia, yang menjulang, seperti zamrud katulistiwa. Seorang pengamat sosial, Emmanuel Subangun, membahasakannya dengan kata-kata indah, sejauh mata memandang (Indonesia) NU jualah yang nampak.
Dengan segala keterbatasan, tulisan ini bukanlah upaya untuk memotret secara presisi, maupun menawarkan formula strategi kebudayaan NU. Tulisan ini sekedar refleksi seorang warga NU, yang sejak dalam kandungan sudah menghirup tradisi sosio-religio-kultural NU, yang gelisah dengan kapal peradaban bernama NU. Refleksi ini lahir dari proses pengamatan, sedikit keterlibatan (sosial involvement), bacaan tentang sejarah sosial NU, serta kenyataan sosial mutakhir.  Secara samar-samar hanya akan memberikan kontribusi secuil soal perspektif strategi kebudayaan atau paradigma gerakan sosial NU, agar lebih sistematik, programatik, dan transformasional. Namun, meski minimalis, tulisan ini punya ambisi provokatif, bagaimana membangunkan NU dari, meminjam istilah Kant, “tidur dogmatisnya”.
Tulisan ini diramu dari desakan eksternal dan internal. Secara internal, tulisan ini hendak menunjukkan berbagai kebuntuan gerakan sosial NU. Sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia, bahkan dunia, daya dorong transformasionalnya terasa minimalis dan lamban.  Jauh di bawah kapasitas modal sosial kulturalnya. Bahkan seolah mengalami kebingungan menghadapi berbagai perubahan yang memang intensity, extensity, dan velocitynya, begitu meningkat dan kompleks. Hal ini nampak, misalnya, dari tulisan Khamami Zada, pemikir muda NU (representasi lapisan stratifikasi sosial paling maju di NU) di Kompas dalam menyambut Mukernas Lakspesdam NU di Palembang beberapa waktu lalu. Tulisan itu, ahh, bicara soal penyelamatan asset management masjid. Bukan soal urgensi isu itu yang disoal. Namun, watak reaksionernya itu lho. Ini hanya menunjukkan bahwa NU bernasib sama dengan filsafat yang, kata Hegel, seperti burung Minerva. Burung yang hanya mau terbang setelah hari telah begitu senja. Alias selalu terlambat.  Orang manajemen mengatakan, if  you are  reacting the change, you are so late, you must anticipate the change. NU telah gagal melihat berbagai kemungkinan-kemungkinan strategis saat ini dan ke depan sehingga gagap ketika kemungkinan itu menjadi kenyataan empiris.
Secara eksternal, pergeseran sosial di level global dan nasional secara niscaya membutuhkan jawaban baru. Sebab konteks baru ini sudah tidak dapat lagi dijawab dengan paradigma lama. Konsep dan pola gerakan lama sudah ketinggalan kereta. Jika formasi sosial terus bergeser, namun pada saat yang sama NU tidak beranjak dari strategi kebudayaan lama, maka kemungkinan besar NU akan hilang dalam peradaban sejarah. Tinggal memusiumkan. Seperti sebuah jam, meski jarum jam NU menunjukkan angka yang sama, namun sesungguhnya itu satu atau dua tahun lalu.  NU akan mengalami kesenjangan kesadaran sejarah seperti pernah dialami ashabul kahfi. Mengalami keretakan kesadaran.
Untuk sampai ke tahapan tersebut, tulisan ini hendak mencoba melayari berbagai ceruk pelabuhan penting. Yang pertama hendak dihampiri adalah pelabuhan gerakan sosial sebagai basis teorisasi gerakan yang hendak dipakai. Kemudian hendak sejenak menelusuri goa sejarah NU, sambil sejenak menelisik karakter khas dan unik sosiologis dan antropologis NU, agar kita orang NU, “araofa nafsahu.” Dari hampiran sejarah tersebut diharapkan dapat mendapat pelajaran berharga yang akan diolah untuk meraba strategi kebudayaan ke depan. Pelabuhan selanjutnya adalah formasi sosial globalisasi-neoliberal. Dari sinilah kita menjadi tahu tantangan sosial sebenarnya NU, sebagai gerakan kebudayaan dalam level ekonomi, politik, sosial, sampai pendidikan. Dalam pengertian demikian, apa yang disebut dengan strategi kebudayaan disamakan dengan paradigma “gerakan sosial yang diperkaya”.
Setelah memperoleh saripati pelajaran gerakan kebudayaan, kemudian dibenturkan dengan realitas internal NU. Realitas ini dirumuskan atas sintesis padu antara realitas obyektif dan realitas subyektif. Ini adalah upaya memahami kesejarahan NU, di samping untuk melakukan kritik sejarah juga sebagai mencari titik tolak upaya merancang strategi kebudayaan NU. Urgensinya terletak dalam hal NU, sebagai entitas sosial atau subkultur, pada dasarnya memiliki tradisi perjuangan yang amat panjang.
Namun demikian, substansi gerakan NU pasca-kemerdekaan pun memiliki pararelitas kesejarahan. Artinya pasca kemerdekaan, gerak NU juga mewakili tradisi perjuangan panjang tersebut. Hanya saja, struktur dan formasi perjuangannya mengalami pergeseran seiring pergeseran formasi sosial.  Bila pra-kemerdekaan NU terlibat pergulatan melawan imperialisme, setelah pascakemerdekaan, NU menghadapi paling tidak dua tantangan besar. Yakni metamorfosa imperialisme dalam bentuk neoimperalisme dan strukturisasi negara  secara sempurna dalam format otoritarian-birokratik. Pada decade 70-80 an formasi tersebut mengalami pergeseran signifikan. Formasi politik dan ekonomi neoliberal yang menelanjangi tanggung jawab sosial negara. Pergeseran tersebut menorehkan kanvas respons sosial NU. Manifestasi sosiologis respons tersebut terlihat dari perubahan artikulasi perjuangannya. Sejarah mencatat, setidaknya, NU pernah menjadi organisasi sosial keagamaan, sebagai partai politik, dan kembali menjadi organisasi sosial keagamaan. Dilihat dari rentang waktu, NU mengalami era imperialisme, kemerdekaan (orla), orba, kemudian era reformasi.
Sampai di sini, pada akhirnya NU menghadapi era globalisasi. Era yang disebut Stegger sebagai the new market ideologi. Suatu era yang bukan saja penuh tantangan, ancaman, dan penuh peluang, namun juga menggeser teori dan praksis gerakan sosial, dari old sosial movement menuju new sosial movement. Dari isu-isu berbasis material menuju isu-isu berbasis politik identitas.


Belajar dari gerak kebudayan
Gerakan kebudayaan tidak lahir dalam ruang hampa sejarah. Bagian dari teks sosial. Dia lahir di tengah-tengah pergumulan sejarah dan kemanusiaan. Gerakan kebudayaan bukanlah gerakan spontan, rutinitas, namun sebuah gerakan yang sadar, memiliki konsep, tahapan, bahkan strategi dan  taktik. Sebelum merumuskan konstruk strategi kebudayaan, diperlukan menengok sejenak sejarah gerakan kebudayaan agar dapat dipakai sebagai pijakan i’tibar tarikhy.
Penelusuran ini pertama-tama akan mengacu pada apa yang terjadi di Barat, yang sedikit banyak juga bersinggungan dengan proses-proses sosial di tingkatan nasional. Namun yang akan ditelusuri sebatas gerakan yang muncul pada paruh pertama abad 19. Aufklarung dan renaisans yang berhasil membongkar otoritas agama atas rasio secara perlahan terus bergerak yang kemudian melahirkan gerakan liberal. Gerakan ini tumbuh sekaligus mengiringi perkembangan formasi sosial kapitalisme. Gerakan ini membongkar kebudayaan feudal dan merkantilis. Gerakan ini hendak membongkar kebudayaan yang diageni negara sebagai aktor tunggal dan nalar masyarakat yang dibelenggu kultur feodalistik sehingga menghancurkan kreatifitas dan kebebasan berpikir, ekonomi, politik, dan berekspresi. Formasi semacam ini melahirkan berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan. Gerak kebudayaan pun mandeg, mengalami involusi.
Dalam konteks itulah lahir reformasi liberal. Dipantik oleh gagasan liberalisme yang hendak menempatkan negara sesuai kewenangannya. Terjadilah proses denegaranisasi. Negara dipinggirkan sebagai agen sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Keagenan negara diganti oleh kekuatan yang disebut Adam Smith sebagai “invisible hand.”  Transformasi ini berjalan dalam tiga level: level politik kewenangan negara  ditransformasikan menjadi institusi penegak supremasi hukum, pada level ekonomi diserahkan pada mekanisme pasar yang melahirkan industrialisasi awal, sedangkan pada level  budaya, paternalisme feudal  didekonstruksi menjadi individualisme. Inilah contoh strategi kebudayaan di Eropa yang kelak berevolusi menjadi kebudayaan demokrasi liberal. Jika disingkat, strategi kebudayaan ini bertumpu pada dorongan industrialisme, individualisme, dan rasionalisme. Sebuah gerak budaya yang bahkan mengundang pujian leluhur musuh bebuyutannya, Karl Marx.
Yang menarik, strategi kebudayaan ini dikemudian hari dikoreksi secara internal. Meskipun desakan terhadap konstruksi kebudayaan ini juga datang dari kalangan marxis. Dari alur ini dikritik kapitalisme yang melahirkan eksploitasi, ketidakadilan, dan imperialisme ke penjuru dunia. Selain kritik tersebut, perubahan ini juga dipengaruhi oleh resesi dunia tahun 1929 yang menghancurkan pusat-pusat saham dunia. Peletak dasar kerangka teoretiknya adalah ekonomi John Maynard Keynes. Dia menegakkan kembali keagenan negara meski tidak seabsolut era feodalisme. Argument yang dibangun adalah, negara dibutuhkan dalam mempertahankan stabilitas pasar, serta membantu warga negara yang tidak berdaya dalam kontestasi ekonomi dan politik secara bebas. Jika dilihat dalam sejarah teori pembangunan, inilah era yang disebut sebagai state-led-development.
Mengiringi proses ini, patut dicatat, dua hal penting yang terjadi. Pertama, hal itu mengiringi menguatnya dominasi dan hegemoni Amerika dalam penyusunan tata ekonomi dunia pasca-perang. Dalam konteks pertarungan global, langkah ini merupakan langkah penyiapan blok kapitalisme baru untuk menandingi tawaran program sosialis dari Uni Soviet sekaligus upaya membendung ekspansi komunisme. Kedua, pada fase ini terjadi proses pelembagaan peran altruisme negara yang ditandai oleh ratifikasi berbagai instrumen perlindungan HAM oleh PBB seperti penghapusan diskriminasi, perlindungan hak sipil dan politik. Kritik dan gerakan bertubi-tubi dari gerakan kiri mendorong diratifikasinya hak-hak ekonomi, sosial, budaya, sebagai bagian dari HAM.
Sampai titik ini, pola-pola gerakan/perubahan kebudayaan di atas masih bertumpu pada paradigma esensialisme. Paradigma ini percaya perubahan bertumpu pada pusat-pusat arus gerak struktural ekonomi dan politik. Gagasan yang mengemuka masih seputar isu-isu material. Namun sudah meluas kerangka kelembagaannya. Pertautan transnasional semakin kuat dan intens. Formasi seperti itu terus berjalan sampai kemudian mendapatkan tantangan dari tiga jurusan.
Pertama, dari kalangan liberal sendiri, yang menyodorkan fakta bahwa keagenan negara melahirkan berbagai perselingkuhan ekonomi-politik, antara pasar dan negara, antara elit ekonomi dan politik, dan lahirnya inefisiensi dalam mekanisme produksi dan konsumsi. Ekonomi Keynesian diserang karena menciptakan stagflasi dan ketidakmenentuan ekonomi masa depan. Berbagai komoditas ekonomi bernilai tinggi harus terpotong secara legal oleh PBB. Ekspansi, investasi, dan akumulasi kekuatan borjuasi pun terhambat secara struktural. Untuk merebut kembali persaingan bebas yang diintroduksi Adam Smith, kekuatan ini menciptakan GATT, embrio WTO, untuk merestrukturisasi tatanan ekonomi dan politik global. Inilah akar-akar neoliberalisme. Dari kubu ini, jika disingkat, intinya adalah keyakinan kultural bahwa sebaik apapun peran negara tetap jauh di bawah kemampuan pasar bebas dalam mewujudkan masyarakat maju.
Kedua, datang dari kalangan NGO yang memiliki spectrum ideologi beragam. Kalangan ini mengkritik sentralisme negara dalam pembangunan ekonomi, politik, hingga urusan-urusan publik lainnya. Formasi yang ditawarkan keynesian dianggap melahirkan negara otoritarian birokratik dan elite-elite komprador. Strategi kebudayaan pada era ini diarahkan untuk membongkar sentralisme negara dam hegemoni kapitalisme global. Gerak ini melahirkan beberapa perangkat operating system yang dibutuhkan seperti teori-teori kritis dan varian neomarxian lainnya.
Ketiga, datang dari sayap pembaharu marxis yang menuding peran sosial negara tidak lebih sebagai upaya untuk mempertahankan kekuasaan negara. Logika yang dibangun adalah, masyarakat yang kalah dalam kontestasi publik, jika dibiarkan tanpa subsidi, akan menggelinding dan berakumulasi menjadi sebuah gerakan sosial yang mengancam stabilitas politik yang dibutuhkan pembangunan ekonomi.
Digempur sedemikian, ditambah menguatnya kontradiksi internal kapitalisme, lahirlah neoliberalisme. Dikemudikan oleh intelektual kanan baru, neoliberalisme menyerang persetubuhan negara dalam gerak budaya, ekonomi, politik, dan masyarakat yang keterlaluan, menyebabkan hilangnya karakter kebudayaan pasar. Karenanya agenda meraka adalah mengembalikan kembali pasar sebagai pusat kebudayaan, pasar sebagai agen ekonomi, sosial, dan politik. Tangung jawab sosial negara pun dibonsai. Meledaklah harga kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, dan hancurnya hak-hak publik lainnya. Hebatnya, filsafat pun diperalat untuk melegitimasi kebijakan tersebut. Dalam teori keadilan neoliberal, santunan negara terhadap warga negara tidaklah adil, sebab diberikan kepada masyarakat yang kebanyakan pemalas, oportunis, bahkan parasit sosial karena tidak menghargai nilai kerja. Jika ada subsidi seharusnya diberikan kepada masyarakat yang menghargai waktu, tenaga, progresif sebab merekalah yang banyak memberikan kontribusi pada negara.
Dalam pemikiran politik mereka mengatakan telah terjadi distorsi demokrasi, yakni tirani mayoritas. Mayoritas  atas nama kuantitas  dituduh memaksakan  agenda mereka terhadap keseluruhan masyarakat. Konsep redistribusi dianggap semata kepentingan politik pemerintah untuk memperkuat basis legitimasinya. Persamaan penghasilan ala negara kesejahteraan haruslah dikembalikan pada makna asal liberalisme: persamaan kesempatan. Kanan baru menganggap welfare state sebagai intervensionistik terhadap hak individu untuk mengatur kehidupannya.
Dalam ruang inilah lahir gerakan sosial baru. Menurut Rajendra Singh (2002) sebuah gerakan yang tidak lahir untuk melawan narasi-narasi besar seperti antikapitalisme. Tidak terlibat dalam retorika heroistik seperti perjuangan kelas, revolusi sosial, perjuangan proletariat, maupun penggulingan rezim pemerintah.
Aktor gerakan ini, sebagaimana sasarannya, adalah plural. Gerakan ini tidak lagi berbasis kelas sosial. Namun lintas kelas.  Begitu juga isu yang dibangun. Cukup beragam, mencakup lingkungan, hak asasi, gender, antinuklir, perdamaian, kebebasan sipil, budaya, identitas, dan lainnya. Tujuannya untuk menata kembali relasi pasar, Negara, dan masyarakat, dan untuk membangun ruang publik di mana wacana demokrasi, otonomi, kebebasan, identitas, orientasi dapat secara bebas ditransaksikan.
Menurutnya, gerakan sosial baru dicirikan (1) kebanyakan konsepsi ideologis gerakan sosial baru berasumsi masyarakat sipil tengah meluruh; (2) secara radikal mengubah paradigma marxis yang menjelaskan problem sosial dalam kerangka konflik dan kontradiksi kelas; (3) kebanyakan mengabaikan model organisasi serikat buruh dan model politik kepartaian kecuali kelompok hijau Jerman dan partai Hijau; (4) strukturnya didefinisikan oleh pluralitas cita-cita, tujuan, kehendak dan orientasi, serta heterogenitas basis sosial mereka.
Sedangkan menurut Cohen, seperti dikutip Singh, gerakan sosial baru membatasi diri pada empat pengertian: (1) umumnya aktornya tidak berjuang untuk kembali ke komunitas utopia tak terjangkau pada masa lalu; (2) aktornya berjuang untuk otonomi, pluralitas, dan keberbedaan tanpa menolak prinsip-prinsip egalitarian formal dari demokrasi, parlemen, partisipasi politik, dan representasi publik pada struktur yuridis; (3) aktornya secara dasar belajar dari pengalaman masa lalu untuk merelatifkan nilai-nilai mereka melalui penlaeaan kecuali dalam ekspresi fundamentalis gerakan sosial baru; (4) aktornya menerima keberadaan formal negara dan pasar.
.  
Memetik Hikmah
Dari bentangan paparan di atas, kita dapat belajar banyak pada gerakan sosial kebudayaan. Sejarah menunjukkan munculnya suatu gerakan sosial dilatarbelakangi  oleh kondisi sosial obyektif  dan respons ubyektif terhadapnya. Pergeseran formasi sosial selalu diikuti oleh pergantian paradigma kebudayaan. Perubahan ini dikarenakan kegagalan paradigma sebelumnya dalam menjawab tantangan problem yang berkembang dan atau residu yang lahir, meskipun pada awalnya menjadi lokomotif perubahan.
Gerakan liberal relative berhasil membebaskan masyarakat dari belenggu-belenggu feodalistik dan otoritas  agama yang melampaui kewenangannya, menumbuhkan pusat-pusat ekonomi, tegaknya rasionalitas, dan berkurangnya praktik-praktik KKN yang distortif. Namun, seiring waktu, keberhasilan tersebut menyisakan banyak persoalan. Yang terjadi hanyalah sekedar pergantian actor. Eksploitasi dan dominasi tetap terjadi, bahkan dalam skala global menciptakan imperialisme. Sementara itu introduksi Keynesian membuka intervensi negara yang salah kaprah. Muncul pakta dominasi dalam negara dan rezim kapitalisme global.
Begitu juga dengan neoliberalisme. Kerakusan dan agresivitasnya melampaui gerak sebelumnya. Proses komodifikasi dan kapitalisasi merambah semua ruang spasial kehidupan. Semuanya diorientasikan untuk akumulasi kapital. Marginalisasi terhadap masyarakat kian menjadi-jadi. Deregulasi, privatisasi, swastanisasi, dan pencabutan subsidi, nyaris tidak menyisakan bagi masyarakat untuk survive. Gerakan sosial baru, yang merespons perkembangan yang ada, sebagian besar terjebak dengan agenda setting neoliberalisme. Perubahan yang diharapkan secara gradual-progresif justru menuai semakin kuatnya legitimasi hegemoni neoliberalisme. 

Belajar dari Gerakan NU
Sepanjang sejarahnya, NU dapat dibagi dalam dua fase besar. Fase pra-pelembagaan dan fase pasca-pelembagaan. Pembagian ini dengan demikian merupakan antitesa terhadap pemahaman sejarah bahwa NU lahir tahun 1926. Sebuah pembacaan sejarah yang distortif yang berpotensi menghapus mandat sejarah NU. Pemahaman tersebut hanya benar dalam konteks pelembagaan NU dalam bentuk organisasi formal-struktural. Fase pra-pelembagaan dimulai ketika mulai terbentuk komunitas yang  dipandu oleh jaringan makna tradisi yang sama sampai tahun 1926 ketika dideklarasikan. Fase ini belum terbentuk nation-state yang namanya Indonesia.. Terdapat tiga tahapan penting fase ini, fase konsolidasi gerakan ekonomi, pendidikan, dan kultural; fase plus konsolidasi politik; dan fase dekonsolidasi ketika pusat gerakan berbasis pantai ditarik ke pedalaman seiring deklarasi Mataram Islam. Pada fase pelembagaan NU mengalami tahapan sebagai organisasi sosial keagamaan, politik, dan organisasi sosial keagamaan.
Memahami fase pra-pelembagaan sama artinya membaca proses terbentuknya masyarakat nahdhiyyin di Nusantara. Peletak dasar nya, sekaligus pelopor  masuknya Islam Indonesia, adalah  leluhur kaum nahdliyyin, yakni  walisongo. Dalam konteks ini, pertanyaan  pentingnya adalah, strategi kebudayaan apa yang mereka lakukan begitu menginjakkan kaki di tengah masyarakat yang dikuasi oleh feodalisme, dikuasai oleh imperium politik berskala internasional Majapahit, dan dikonstruksi oleh kesadaran mistik Hindu-Budha selama ribuan tahun?
Jika sejarah dieksplorasi, pada fase dakwah hingga sebelum berdirinya kerajaan Demak, paling tidak terdapat tiga kata kunci yang dilakukan. Pertama, membangun basis pendidikan Islam di pesisir sebagai pusat pengembangan pemikiran keislaman. Karenanya, mereka  juga dianggap sebagai perintis pesantren nusantara. Kedua, membangun basis ekonomi di pesisir pantura, sehingga dapat “nyambung” dengan pelaku ekonomi global dari China, India, dan Timur Tengah. Ketiga, melakukan pengorganisiran masyarakat, yang membuat mereka begitu dekat dan memahami problem-problem real masyarakat, bahkan hingga memiliki pasukan pelopor.
Jika dibahasakan dalam terma gerakan sosial modern, apa yang dilakukan tersebut adalah proses akumulasi pengetahuan, akumulasi basis ekonomi, dan pembasisan sosial pada masyarakat basis. Kombinasi dan paduan tiga pilar strategi kebudayaan tersebut, sebagaimana terlihat dalam sejarah,  berhasil membongkar hegemoni kekuatan politik kerajaan Majapahit, sekaligus pada saat bersamaan membangun identitas kebudayaan yang Islami namun berakar kuat pada tradisi lokal, serta penyebaran Islam yang massif dan cepat. Pada dasarnya, inilah embrio gerakan sosio-kultural-keagamaan yang dikemudian hari menjelma secara kelembagaan menjadi NU.
Pada fase kerajaan Demak, gerakan kebudayaan tersebut mencapai puncaknya ketika berhasil memegang arus struktural politik. Pada fase inilah  pribumisasi Islam mencapai jaya-jayanya yang melahirkan sintesa padu Islam dan tradisi budaya lokal. Tahapan ini, kita tahu, mengalami kemerosotan karena pertikaian internal yang merupakan warisan kultural panjang kerajaan-kerajaan Nusantara serta masuknya kolonialisme di Indonesia. Berikut ini akan dicatat sejarah dan dampak kolonialisme dan resposn kebudayaan NU.

Ekonomi
Sejarah ekonomi Indonesia adalah sejarah penaklukan. Sejarah eksploitasi dan kolonialistik. Hingga sekarang struktur ekonomi politik kita tidak lain dari warisan struktur ekonomi kolonial. Meskipun nusantara sebenarnya pernah mengalami kejayaan luar biasa. Ada dua kerajaan besar yang dapat dijadikan acuan. Pertama, kerajaan Sriwijaya yang pernah menguasai Malaka dan Jawa. Sriwijaya menjadi kekuatan dan cermin dari budaya maritime yang sangat besar. Kedua, kerajaan Majapahit yang kemudian pada tahun 1377 mampu menundukkan Sriwijaya. Kedua kerajaan besar ini pernah menguasai beberapa wilayah yang saat ini  menjadi negara tetangga Indonesiaa.
Kekuatan di atas perlahan dihancurkan seiring dengan masuknya kolonialisme dan imperialisme di Indonesia. Tahun 1511 Portugis masuk ke Nusantara dengan mengirim ekspedisi militer setelah dua tahun sebelumnya utusan mereka ditolak oleh Sultan Mahmud Syah di Malaka.  Malaka pun jatuh karena faktor persenjataan. Mereka, tentara portugis tersebut, merupakan veteran, dan dengan demikian disemangati oleh, perang salib. Misi mereka, seperti diungkap dalam buku sejarah SMP dan SMA, adalah gold, glory, dan gospel.
Setelah menguasai Malaka, Portugis meluaskan wilayahnya ke Maluku, Jabar, Jatim (hanya mampu menembus Pasuruan dan Blambangan), Timor, hingga Nusatenggara. Pada fase ini secara politik "negara-negara nusantara" masih memiliki kadulatan politik, hanya saja struktur ekonominya mulai diambilalih oleh kolonial. Memanfaatkan perpecahan internal kerajaan atau ketegangan antar-kerajaan merupakan strategi yang biasa dipakai, di samping menghancurkan kapal-kapal pedagang Islam dari Arab atau India.
Ekspansi Portugis sempat terganggu dengan hadirnya Spanyol tahun 1921 di Maluku.  Dua kapal ekspedisi spanyol yang datang dari Filipina dan Kalimantan Utara melaju menuju Tidore, Bacan, dan Jailolo. Terjadilah persaingan antara Portugis dan spanyol. Karena kalah kekuatan militernya, Spanyol hanya dapat bertahan hingga tahun 1534.
Setelah merdeka dari Spanyol (1581), Belanda mulai masuk dalam struktur ekonomi dan politik nasional. Tepatnya tanggal 23 Juni 1595, empat buah kapal pimpinan de Houtman tiba di Banten. Tahun 1598 Belanda untuk kedua kalinya mengirimkan 22 kapal ke Banten, dan setahun kemudian berhasil berdagang di Tuban dan daerah Maluku (Banda, Ambon, dan Ternate). Pertarungan pun mulai terjadi.  Setahun berikutnya (1600) Portugis membangun basis ekonomi di Jepara dan Timor. Dua tahun kemudian VOC didirikan, sebagai instrumen  untuk monopoli perdagangan rempah-rempah. Pertarungan mengeras, tahun 1619 Belanda membakar Jepara dan pusat dagang Inggris di Jepara. Pada tahun 1641 VOC berhasil merebut Malaka dari Portugis.  VOC memperluas ekspansi, membakar dan mendirikan pos di Palembang tahun 1659.  Belanda secara perlahan mulai menjadi penguasa ekonomi nasional menggeser Portugis.  Tanam paksa dan liberalisasi ekonomi yang mendorong penghisapan  bukan hanya oleh Belanda tapi juga swasta Belanda, menjadi icon penjajahan ekonomi ini.
Politik
Dominasi dan hegemoni ekonomi Belanda, sebagaimana Portugis, mendapatkan perlawanan  rakyat. Namun karena berbagai sebab banyak perlawanan patah di tengah jalan. Maka, secara perlahan kemudian struktur politik pun dikuasai. Kerajaan-kerajaan yang melakukan perlawanan mulai ditaklukkan. Jayakarta direbut oleh VOC dalam perang tahun 1618-1619 dari Pangeran Wiyakrama.  Maluku Jatuh (1675).  Banten Jatuh (1682). Kalimantan (gowa dan Banjar) jatuh (1667). Perlawanan Kaum Sultan Ageng Tirtayasa, Padri, Diponegoro juga dapat dipatahkan, begitu juga dengan perlawanan di Sulawesi Selatan (1907), Kalimantan Selatan (1905), Bali (1909), Aceh, Kerajaan Mataram berhasil dipecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta, serta masing-masing terdapat  "Negara dalam Negara" yakni Mangkunegaran dan Pakualaman. Jadilah Hindia-Belanda yang kini disebut dengan Indonesia. 

Pengetahuan dan Budaya
Sebelum struktur politik digenggam oleh Belanda secara total, struktur pengetahuan juga mulai dihegemoni. Politik etis menandai, meminjam kacamata postcolonial, penaklukan medan simbolik dan basis epistemiologis bangsa Indonesia. Lembaga-lembaga pendidikan pribumi seperti pesantren secara perlahan dipinggirkan dan dihancurkan. Rakyat kecil dan miskin dijadikan kelas ketiga sehingga tidak mungkin menikmati sekolah yang menyebabkan mereka terhenti dalam mobilitas sosial.
Menyertai proses panjang tersebut, nalar, rasio, dan struktur kesadaran masyarakat dibentuk oleh apa yang disebut dengan feodalisme Jawa. Feodalisme ini dimotori oleh kerajaan-kerajaan yang melahirkan hierarki sosial dan kultur feudal. Suatu kultur yang membangun logika masyarakat atas dasar tuan-hamba, priyayi-kawulo alit/wong cilik, pemerintah-rakyat, yang secara sistematik menghasilkan budaya antikritik di kalangan penguasa dan hancurnya nalar kritis di masyarakat.
Pertanyaannya adalah, bagaimana respons kebudayaan NU melihat kenyataan sosial seperti itu?  Responsya dapat dilihat dalam cara pandang terhadap NU. Terdapat dua cara pandang terhadap NU, yakni berasal dari komunitas internal dan berasal dari komunitas eksternal. Yang dimaksud di sini tentu saja NU pra-kelembagaan yang masih berupa jaringan masyarakat yang diikat oleh suatu tradisi, yang memberikan respons terhadap realitas sosial eksternal. Makna kelahirannya, menurut KH HM Dachlan (Feillard: 1999: 15), berakar pada perjuangan antikolonial. KH Saifudin Zuhri (A. Ghaffar Karim, 1995: 50) mengatakan bahwa dorongan yang melahirkan konsolidasi NU adalah kesadaran bertanggung jawab kepada  Islam, umat Islam, dan tanah air (pandangan internal). Peneliti  Jerman, Manfred Ziemek (1986: 64-65), menyimpulkan bahwa NU mewakili tradisi perlawanan ratusan tahun terhadap kekuasaan kolonial Belanda, dengan kedudukan mandiri, bebas, dan terdesentralisasi pada masyarakat pedesaan yang para kyainya orang-orang paling berpengaruh dan tak diperintah siapapun. Yang dimaksud Manfred adalah tradisi perlawanan terhadap kolonial yang dipimpin oleh para ulama sejak 1500-an (pandangan eksternal).
Jika ditilik basis material argumen tersebut, kita akan sampai pada sejarah perjuangan bangsa. Hanya saja, jika kita tidak kritis dalam membaca sejarah, kita akan dihilangkan dalam sejarah. Seperti yang banyak terjadi, sejarah pergerakan nasional mengalami pemenggalan, yakni biasanya hanya dimulai dari politik etis. Akibatnya,  perjuangan pembebasan nasional yang pada dasarnya sudah dimulai sejak kaum imperialis menancapkan kakinya di nusantara, tidak terbaca secara memadahi. Padahal, jika saja pembacaan sejarahnya dimulai sejak era-perlawanan, maka segera kita saksikan bahwa sebagian besar pelopor dan basis-basis perlawanan antikolonialisme tersebut berakar dan berbasisi dari masyarakat yang  terorganisir dalam masyarakat nahdhiyyin.

Pasca Kemerdekaan/Pasca-Pelembagaan
            Pascakemerdekaan, pemerintah pada 3 November 1945, mengeluarkan maklumat No.X/November/1945, yang isinya imbauan kepada masyarakat untuk mendirikan partai politik.. Maklumat ini menggeser medan politik, dari perjuangan dengan basis panggung politik  rakyat ke panggung politik formal. Setelah itu, berbagai proses politik lebih banyak diageni kekuatan-kekuatan formal politik. Medan politik jalanan, yang dengan heroik diageni oleh semua rakyat, secara perlahan tenggelam. Era demokrasi liberal dimulai, sekaligus mengawali NU dalam pentas politik nasional.  Jabatan menteri agama yang dibentuk 3 Januari 1946 diberikan ke NU. Namun belum selang lama, proses peminggiran politik NU mulai terjadi. Pemerintahan RIS yang disahkan Belanda 27 Desember 1949 meminggirkan peran politk NU.
Peminggiran NU dalam partai Masyumi juga terjadi secara sistematik.  NU pun keluar dari Masyumi pada 15 April 1952. Ini merupakan awal baru kehidupan NU.  Krisis politik nasional mendorong Sukarno memberlakukan keadaan darurat perang, membubarkan Dewan Konstituante, dan membentuk Kabinet Gotong Royong serta Dewan Nasional melalui Dekrit 5 Juli 1959. Dekrit ini menandai dimulainya era Demokrasi Terpimpin. Sukarno menjadi sentral dalam mengelola konflik empat kekuatan besar yang menjadi kawan koalisinya: PKI, NU, dan militer.
Selain krisis politik, krisis ekonomi yang sudah dimulai awal 1957 kian menjadi-jadi. Kebijakan sanering mengalami kegagalan. Kondisi ini memberikan basis legitimasi keterlibatan militer. Untuk mengimbangi pengaruh militer pimpinan Nasution ini , Sukarno merapat  ke parpol dan merangkul AU (C. Ricklefs, 1991). Pada saat yang sama, konflik PKI-NU-Masyumi-Militer, dan Sukarno  memuncak. Akibatnya, kondisi ekonomi kian terpuruk. Harga-harga naik, sejak 1963 tarif kereta api naik 500%, tarif bus berlipat dan tarif angkatan udara menanjak sampai 500%,  tarif jasa umum seperti listrik dan air minum mencapai 400%. Lewat drama politik yang dramatis, Soekarno jatuh. Era Orba dimulai.
            Kekuasaan Suharto tercapai sempurna setelah Pemilu 1971. Hasil pemilu ini digugat oleh NU. Gugatan ini dijawab dengan tindakan sewenang-wenang  seperti pembreidelan koran Duta Masyarakat dan pembuangan NU dari depag, dan dimulainya penjinakkan terhadap parpol melalui fusi.  Pergerakan struktural negara yang terjadi mengarah ke proses liberalisasi ekonomi, yang ditandai oleh, pertama, proses ekonomi makin mengikuti mekanisme pasar bebas. Kedua, makin terintegrasinya sistem perekonomian domestik ke global, dan ketiga, peranan swasta sebagai pelaku ekonomi berkurang (Dawam Raharjo, 1999: 52). Proses kapitalisasi yang dijalankan berada dalam jalur negara (kapitalisme negara) yang dijalankan melalui penciptaan borjuasi baru yang lahir dari industrialisasi yang cepat. Inilah pola dasar kapitalisme yang bekerja di Asia Tenggara yang oleh Kunio disebut ersatz capitalism.
Fase baru dimulai ketika NU kembali ke Khittah pada Muktamar Situbondo. Kembali ke khittah ini menurut Martin (1996: 115) merupakan respons NU terhadap tekanan politik dari luar, sekaligus menunjukkan adanya perubahan pandangan mengenai apa yang harus diperjuangkan, kepentingan mana yang harus dibela, dan bagaimana semua itu harus dilakukan.
Gelombang reformasi mentransformasikan NU dalam kehidupan nasional baru. NU menfasilitasi pembentukan Partai Kebangkitan Bangsa yang akhirnya tercerai berai.  Pada fase ini makna khittah diperebutkan dan dikontestasikan untuk kepentingan basis politik baik oleh masyarakat politik NU maupun masyarakat sipil NU.  Mobilisasi NU untuk membela Gus Dur pada saat hendak dilengserkan maupun mobilisasi NU untuk pemilihan presiden yang digerakkan oleh KH Hasyim Muzadi merupakan bagian dari perebutan makna khittah. Di sini, eksistensi NU sebatas tahapan proses pencarian repositioning yang pas, belum menemukan peran kebudayaan yang harus diambil.

Strategi kebudayaan NU
Dari paparan di atas, kita mendapatkan suatu kesimpulan bahwa terjadi keretakan sejarah perjuangan NU. Strategi kebudayaan para leluhur NU yang relative nonkoorporasi dan berbasis kenyataan lokal tidak dilanjutkan pada fase berikutnya. Lima ratus tahun setelah gerak kebudayaan dimulai, sebenarnya hendak lahir kembali spiritnya melalui gerakan ekonomi (nahdlatut-tujjar) dan gerak intelektual  (taswirul afkar). Akan tetapi, dua pilar gerak kebudayaan ini mengalami proses involusi begitu dilembagakan dalam institusi formal NU. Pelembagaan ini mengalihkan gerak NU dari makro-kebudayaan ke hal-hal kecil seperti debat furu’iyyah.
Pada fase Orla dan terutama Orba, NU dihadapkan oleh negara dan hegemoni kapitalisme  global. Pada fase ini NU mencoba mengelak dari dominasi negara melalui strategi khittah sekaligus concern pada pemberdayaan rakyat. Program-program pemberdayaan yang dilakukan oleh Lakspesdam dapat ditunjuk sebagai basis materialnya.  Jika diteorisasikan, pada fase ini, gerakan sosial kebudayaan NU bertumpu pada beberapa pilar. Pertama, dekonstruksi terhadap rezim Orba. Yang paling fenomenal adalah keberhasilan NU memblokade intervensi kekuasaan pada muktamar Cipasung.  
Kedua, produksi dan reproduksi wacana keagamaan. Jika dilihat secara garis besar, produksi wacana ini memiliki dua gelombang besar. Gelombang pertama adalah proses libera(lisa)si terhadap kungkungan teks yang ketat dan kaku. Dekonstruksi terhadap Orba berbarengan  dengan diseminasi kritik wacana agama. Kritik wacan agama yang bergerak di ranah kultural NU ini memiliki resonansi kuat sehingga di tingkatkan structural berhasil menggeser manhaj bahtsul masail dari taqlid qouly ke taqlid manhajy. Proses ini membuka komunitas NU terhadap akses wacana-wacana sosial kritis. Gelombang kedua ketika wacana keislaman tersebut berdialog dengan wacana sosial kritis yang kemudian melahirkan konsep Kiri Islam, Islam sebagai kritik sosial, Islam transformatif, Islam pembebasan, dan lainnya.   Ketiga, gerakan pemberdayaan masyarakat melalui pengorganisiran, pelatihan, pendampingan, pendanaan, dan advokasi, yang sebagian dilakukan oleh Lakspesdam.
Ketika Orba runtuh, nampak terjadi banyak pergeseran namun belum melahirkan repositioning NU dalam ranah masyarakat sipil. Seperti disebut dimuka, mobilisasi untuk mem-back up Gus Dur maupun mobilisasi untuk wapres KH Hasyim Muzadi menunjukkan ketidakjelasan arah dan orientasi gerakan NU. Jika direfleksikan soal berdirinya PKNU, kesimpulannya sederhanya, bahwa ruang politik NU belum berubah, orientasi internalnya masih sedemikian kuat sehingga melupakan orientasi eksternal yang sesungguhnya menjadi medan perjuangan politik yang sesungguhnya. Paradigma politik NU yang konon kebangsaan dan kerakyatan terlampau normatif sehingga gagal memberi orientasi politik yang jelas bagi NU. Paradigma itu lebih menjadi politik bunyi-bunyian ketimbang menjadi landasan operasional. Akibatnya, saat terjadi keretakan politik, tidak ada satu pun kekuatan yang mampu menjadi konsolidator gagasan dan gerakan politik NU dalam satu jurusan. Implikasi ini sangat luar biasa dan mengancam kerja-kerja kultural di akar rumpt. Sebabnya adalah munculnya kembali paternalisme patron-klien di bawah. Masyarakat politik NU berlomba-lomba melakukan pembasisan di ranah kultural bukan untuk membangun sinergisitas gerakan, namun lebih untuk membangun legitimasi dan garis politik mobilisasi ke bawah.  
Di sinilah gerakan kebudayaan NU mengalami keretakan paradigmatik. Keretakannya terletak dalam tiga hal. Pertama, reposisi NU terhadap negara. Ini terkait dengan dua hal pokok, yaitu runtuhnya Orba yang kemudian menggeser pandangan yang tidak bisa lagi vis a vis terhadap negara. Sebab negara membutuhkan proses penguatan demokratik ketika berhadapan dengan arus deras neoliberalisme. Dan, secara internal, terjadinya proses negaranisasi para aktifis sosial NU. Terjadi gelombang migrasi sebagian generasi muda NU dari domain masyarakat sipil ke masyarakat politik. Implikasi proses ini juga berantai. Di satu sisi, terjadi kekosongan aktor gerakan yang harus menemani masyarakat, mendampingi, dan melindungi hak-hak publiknya, karena kehabisan human resources karena menegara tersebut, di sisi lain kebingungan dalam mengartikulasikan kritik sosial karena sebagain lini negara telah diisi aktifisnya yang dulu berada di ranah masyarakat.
Kedua, kemandegan transformasi gerakan Islam. Dua gelombang pemikiran Islam, liberalisasi dan Islam transformative, dirumuskan dalam konteks Orba. Pasca-Orba, pemikiran ini kehilangan relevansi sosial dan intelektualnya sehingga mengalami kemandegan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kantong yang biasanya produktif dalam menghasilkan pemikiran-pemikiran segar. Diskusi serius, kajian buku, tema-tema dalam majalah termasuk Taswirul Afkar, dan seminar, mulai melemah. Hal ini terjadi dikarenakan adanya perubahan sosial yang mencipatkan basis material baru, yakni globalisasi neoliberal. Namun respons paling maju dalam konteks ini adalah mengkaitkan Islam dengan kultural differences. Secara tidak sadar (?), produksi wacana Islam terperangkap dengan agenda setting kepentingan internasional seperti terlihat dalam isu-isu yang dibawa Islam liberal, pluralis, dan multikulturalis. Isu ini bukannya tidak penting, namun dalam konteks sosial negara berkembang seperti Indonesia, isu itu mengalami lompatan terlalu jauh, meminggirkan isu-isu kerakyatan konkret-empiris.
Ketiga,  dalam ranah gerakan sosial, isu-isu yang didorong NU ataupun lembaga-lembaganya seperti Lakspesdam, juga terjebak arus sesaat. Program-program seperti Forum Warga, pendidikan pemilih, Islam toleran, gerakan antikorupsi, menjadikan NU seolah seperti “guide” atau pekerja teknis dari suatu program  yang desainnya tidak berada di tangan NU. Sekali lagi, bukan isu tersebut secara substansial tidak penting, namun lebih pada perspektif yang dibangun. Perspektif isu tersebut di samping masih berputar pada wilayah penguatan hak sipil dan politik (belum beranjak  ke penguatan hak ekonomi, sosial, dan budaya nahdliyyin), juga mengabaikan kritik paradigmatic terhadap program tersebut.  Seperti dikritik Hetifa dalam disertasinya (2005), bahwa forum warga yang mendorong partisipasi warga sebagian besar tidak efektif dan mengabaikan relasi-relasi kekuasaan yang kompleks. Padahal, partisipasi dengan mengabaikan relasi tersebut justru hanya akan memperkuat hegemoni kapitalisme global. Atau seperti gerakan antikorupsi PBNU yang abai terhadap epistemologi ini. Kampanye antikorupsi didesakkan karena teah terjadi proses take over terhadap beberapa lembaga ekonomi dan politik oleh kapitalisme global (untuk minimalisasi rent-seeking behavior) , dan upaya menuntaskan proses swastanisasi dan privatisasi. Nalarnya adalah, korupsi telah menyengsarakan rakyat, menciptakan pembusukan terhadap negara, dan lainnya, karenanya harus diberantas. Konsep tawarannya adalah goof governance. Untuk menciptakancelan and good governance, maka peran pemerintah harus disingkirkan dan diawasi. Di sinilah terjadi swastanisasi dan privatisasi.
Dari paparan di atas, sebenarnya susah ditemukan strategi kebudayaan NU yang koheren pasca-Orde Baru. Baik itu di tingkatan structural kelembagaan NU maupun yang berada di ranah kultural NU. Berangkat dari kekosongan konsep tersebut, tulisan ini menawarkan sebuah kerangka gerakan kebudayaan yang diturunkan dari ahlussunah wal-jamaah. Aswaja bukan lagi sebagai basis nilai, manhajul fikr, namun juga paradigma perubahan sosial yang operasional.

Aswaja sebagai Basis Gerakan Kebudayaan[1]

1. Akidah
Sebagaimana ditetapkan dalam khitah 1926 aswaja merupakan cara berfikir, bersikap dan bertindak bagi warga nahdliyin. Sikap dasar itu yang menjadi watak NU sehingga berbeda dengan kelompok Islam yang lain, dengan watak keislamannya yang mendalam dan dengan citra keindonesiaannya yang matang. Cara pandang, tafsir sejarah, yang darinya diperoleh mandat sejarah dirurunkan dari nilai-nilai tersebut. Perspektif tersebut juga bukan sekedar memberikan basis nilai, namun juga paradigma dan strategi perubahan sejarah.  Semuanya itu kemudian direfleksikan dalam berfikir dan bersikap serta bertindak.
Cara Berfikir: Cara berfikir menurut  NU sebagai refleksi ahlussunah wal jama’ah adalah cara berfikir dialektis sekaligus hierarkis yang memadukan antara dalil naqli (doktrin) dengan dalil aqli (rasio) dan dalil waqi’i (empiria). Maka,  di sini NU menolak rasionalisme murni, sebagaimana yang dikembangkan kelompok free-thinker/pemikir liberal dan positivisme ortodoks seperti yang dikembangkan  materialisatis. Demikian juga NU menolak pemahaman zahir dan kelompok skriptualis, karena tidak memungkinkan memahami agama dan realitas sosial secara mendalam.
Cara Bersikap: NU memandang dunia sebagai realitas yang plural, karena itu pluralitas diterima sebagai kenyataan. Namun juga bersikap aktif yakni menjaga dan mempertahankan pluralitas tersebut agar kehidupan menjadi harmoni, saling mengenal (litaa’rofu) dan memperkaya secara budaya. Sikap moderat dan toleran menjadi spirit utama dalam mengelola pluralitas tersebut. Dengan demikian NU juga menolak semua sikap yang mengganggu keanekaragaman atau pluralits budaya tersebut.
Cara Bertindak: Dalam bertindak, aswaja mengakui adanya kehendak Allah (taqdir) tetapi aswaja juga mengakui bahwa Allah telah mengkaruniai manusia pikiran dan kehendak. Karena itu dalam bertindak, aswaja NU tidak bersikap pasif fatalis dalam menghadapi kehendak Allah, tetapi berusaha untuk mencapai taqdir Allah yang dalam teologi dikenal dengan istilah kasab (berjuang/berusaha). Namun demikian tidak bersifat antroposentris, bahwa manusia bebas berkehendak (seperti Qodariyah-mu’tazilah). Tindakan manusia tidak perlu dibatasi dengan ketat, karena dengan sendirinya akan dibatasi oleh alam, oleh sejarah,. Sementara Allah tidak dibatasi oleh faktor-faktor itu. Dengan demikian tindakan ala NU bukan tindakan yang sekular melainkan sebuah dinamika iman yang mengejawentah dalam seluruh aspek kehidupan.

2. Ideologi
       Dari kaedah tersebut dijabarkan dalam konsep ideologi NU. Karena aswaja berangkat dari nalar dialektis antara teks-konteks-rasionalitas, dan berangkat dari historisitas perjalanan bangsa ini, maka gerakan ideologi NU bersifat:

a.  Nasionalistik
Mengingat bangsa ini terdiri dari berbagai suku, adat, budaya dan agama. Maka prinsip kebangsaan sangat tepat untuk mewadahi pluralitas yang terbentuk sejak zaman awal sejarah Nusantara. Selain itu prinsip kebangsaan itu juga sangat penting untuk membentengi bangsa ini dari intervensi dan penjajahan bangsa lain, baik penjajahan secara politik, militer maupun kolonialisme-imperialisme pengetahuan dan kebudayaan. Dengan adanya komitmen kebangsaan itu kedaulatan rakyat, kedaulatan Negara serta martabat bangsa bisa dipertahankan dan dijunjung tinggi.

b. Kerakyatan
            Kebangsaan yang terbentuk secara budaya itu dengan sendirinya dibentuk secara bersama oleh keseluruhan warga bangsa (rakyat), maka nasioalismenya berwatak antropologis, bukan politis an sich, karena itu seluruh gerak bangsa ini baik yang bersifat politik, ekonomi, kultural harus diorientasikan pada kepentingan rakyat, karena memang tumbuh dari rakyat. Maka nasionalisme borjuis sangat berbahaya bagi keutuhan bangsa karena cenderung pragmatis dan berwatak kolaborator terhadap kekuatan kolonial. Sementara nasionalisme populis menolak segala bentuk kolaborasi dengan kekuatan imperialis sebab hanya akan merusak keutuhan dan meruntuhkan martabat bangsa. Karenanya, dibutuhkan semacam radikalisasi terhadp rumusan-rumusan fiqh seputar maqoshid-syariah agar bergeser dari kritik moral menuju kritik sosial, kritik ideology, dan kritik ketidakadilan sosial. 

c. Pluralis
Terbentuknya kekuatan nasional baik secara politik maupun kebudayaan sering berbenturan dengan realitas lokal yang plural. Maka nasionalisme tidak boleh dibiarkan melebur corak-corak lokal, tetapi harus terus menjaga keanekaragaman budaya baik yang diekspresikan oleh etnis, agama atau tradisi yang lain. Disini kebangsaan harus aktif menjaga pluralitas dan bertindak tegas terhadap setiap pengancam pluralitas bangsa baik yang dibawa oleh globalisme maupun oleh agama-agama universal.


3. Prinsip
Setiap gerakan di samping punya aqidah, idologi, harus juga menegakkan prinsip-prinsip agar gerakan tersebut dijalankan dengan sungguh-sungguh dan penuh kayakinan. Adapun prinsip-prinsip gerakan NU adalah:

A. Ukhuwah
            Sebuah gerakan mengandaikan sebuah kolektivitas, karena itu perlu diikat dengan ukhuwah atau solidaritas yang kuat (al urwatul wutsqo) sebagai perekat gerakan tersebut. Adapun gerakan ukhuwah gerakan NU adalah meliputi :

a. Ukhuwah nahdliyyah
Sebagai gerakan yang berbasis NU tentu ukhuwah NU-ah harus menjadi prinsip utama sebelum melangkah ke ukhuwah yang lain. Ini bukan untuk memupuk fanatisme kelompok, sebaliknya sebagi pengokoh ukhuwah yang lain sebab hanya kaum NU yang mempunyai sistem pemahaman keagamaan yang mendalam dan bercorak sufistik yang moderat yang penuh toleransi serta gigih menjaga kemajemukan budaya, tradisi adat, kepercayaan dan agama yang ada, serta anti terhadap ketidakadilan sosial.
Karena itu kader NU yang mengabaikan ukhuwah nahdliyyah dengan dalih mengutamakan ukhuwah yang lebih luas, yakni ukhuwah Islamiyah, Wathoniyah, atau Basyariyah, apalagi hanya demi kepentingan politik personal atau geng,  adalah sebuah penyimpangan bahkan dalam kader tertentu bisa disebut sebagai pengkhianatan. Sebab ukhuwah tanpa dasar aqidah yang kuat akan mudah pudar karena tanpa dasar dan sering dimanipulasi untuk kepentingan pribadi. Ukhuwah nahdliyyah  berperan sebagai penggodokan dan pemotongan ukhuwah yang lain karena ukhuwah bukanlah reaksi spontan melainkan sebuah keyakinan, penghayatan, dan pandangan yang utuh serta matang yang secara terus menerus perlu di kuatkan.

b.      Ukhuwah Islamiyah
Ukhuwah Islamiyah bersepektrum lebih luas yang melintasi aliran dan madzhab dalam Islam. Oleh sebab itu ukhuwah ini harus dilandasi dengan kejujuran, cinta kasih, dan rasa saling percaya. Tanpa landasan tersebut Ukhuwah Islamiyah sering dimanipulasi oleh kelompok tertentu untuk mendominasi yang lain, sehingga menjadi ukhuwah kusir kkuda, yang satu menjadi tuan besar yang lain diperlakukan sebagai kuda tunggangan.
Ukhuwah islamiyah semacam itu harus ditolak, harus mengembangkan ukhuwah islamiyah yang jujur dan amanah serta adil. Dan itupun dijalankan untuk kesjahteraan umat islam serta tidak diarahkan untuk menggangu ketentraman agama atau pihak yang lain. NU berkewajiban mengawal agar ukuwah islamiya terus terjaga dengan demikian ukhuwah yang lain juga bisa dikembangkan.
Dengan ukhuwah islamiyah yang jujur dan adil itu umat islam seluruh indonesia seluruh dunia bisa saling mengembangkan, menghormati, melindungi seta membela dari gangguan kelompok lain yang membahayakan eksistensi iman budaya dan masyarakat islam secara keseluruhan.

c.       Ukhuwah Wathaniyah
Sebagai organisasi yang berwawasan kebangsaan, maka NU berkewajiban untuk mengembangkan dan menjaga ukhuwah wathoniyah (solidaritas nasional). Dalam kenyataannya bangsa ini tidak hanya multi ras, multi agama dan multi budaya tetapi juga multi ideologi.
Bagi NU yang lahir dari akar budaya bangsa ini tidak pernah mengalami ketagangan dengan konsep kebangsaan yang ada. Sebab NU adalah bentuk dari Islam Indonesia (Islam yang berkembang dan melebur dengan tradisi dan budaya indonesia) bukan Islam di Indonesia (Islam yang baru datang dan tidak berakar dalam budaya Indonesia). Karena itu NU berkewajiban turut mengembangkan ukhuwah wathoniyah untuk menjaga kerukunan nasional. Karena dengan adanya ukhuwah wathoniyah ini eksistensi NU, umat Islam dan agama lain terjaga. Dan bila seluruh elemen bangsa ini solid akan disegani bangsa lain dan mampu menahan serangan dari bangsa lain yang ingin menjajah bangsa ini. Dalam kepentingan itulah NU selalu gigih menegakkan ukhuwah wathoniyah sebagai upaya menjaga keutuhan dan menjunjung martabat bangsa Nusantara.

d.     Ukhuwah Basyariyah
Walaupun NU memegang teguh prinsip ukhuwah Nahdliyah, Islamiyah dan Wathoniyah, tetapi NU tidak berpandangan, berukhuwah sempit, melainkan tetap menjunjunhg solidaritas kemanusiaan universal, menolak ekspiotasi dan penjajahan satu bangsa dengan bangsa lain karean hal itu mengingkari martabat kemanusiaan.
Menggugat kenyataan ini maka pencptaan tatadunia yang adil tanpa penindasan dan peghisapan merupakan keniscayaan. Menggunakan isu kemanusiaan sebagai sarana kolonialis merupakn tindakan moral yang harus dicegah agar tidak meruntuhkan martabat kemanusiaan.
Ukhuwah Basyariyah memandang manusia sebagai manusia tidak tersekat oleh sekat agama, ras atau ideologi semuanya ada dalam satu perasudaraan universal. Persaudaran ini tidak bersifat pasif tetapi selalu aktif membuat inisiatif dan menciptakan terobosan baru dengan berusaha menciptakan tatadunia baru yang jauh dari penjajahan, yang lebih relevan bagi kondisi manusia kontemporer.

B. Amanah
Dalam kehidupan yang serba materialistis sikap amanah mendapat tantangan besar. Namun demikian perlu terus dipertahankan. Sikap amanah (saling percaya) ditumbuhkan dengan membangun kejujuran baik pada diri sendiri maupun pihak lain.
Sikap tidak jujur akan menodai prinsip amanah, karena itu pelakunya harus dikenai sangsi organisasi secara tegas. Amanah sebagai roh gerakan harus terus dipertahankan dibiasakan sdan ditradisikan dalam sikap dan perilaku sehari-hari.

C. Ibadah (pengabdian)
Berjuang dalam NU untuk masyarakat dan bangsa haruslah berangkat dari semangat pengabdian baik mengabdi pada NU, umat, bangsa, dan seluruh umat manusia. Dengan demikian mengabdi di NU bukan untuk mencari pengahasilan mencari pengaruh atau mencari jabatan. Tetapi memiliki tugas berat dan mulia.
Dengan semangat pengabdian itu mereka akan gigih dan ikhlas membangun dan memajukan NU. Tanpa semangant pengabdian, NU hanya dijadikan termpat mencari kehidupan, menjadi batu loncatan untuk memproleh jabatan dipemerintahan. Selama ini NU terbengkalai karena hilangnya rasa pengabdian bagi para aktifisnya sehingga tidak banyak waktu untuk  aktif dikantor,  tidak terinisiatif menggerakkan kader organisasi dan tidak melakukan terobosan pemikiran atau langkah terobosan yang konkrit, sepeti penataan organisasi serta memanaj pola kerja.
Maka spirit pengabdian itu yang harus dinamakan dalam gerakan agar NU berkambang lebih dinamis dengan banyaknya sukarelawan yang siap berjuang mengembangkan organisasi.

D. Asketik
Sikap amanah dan pengabdian muncul bila seseorang memiliki jiwa asketik (bersikap zuhud). Karena pada dasarnya sikap materialistik (hubbud dunya) akan menggerogoti sikap amanah dan akan merapuhkan semangat perngabdian karena dipeNUhi pamrih duniawi maka sikap zuhud suatu keharusan bagi aktifis pergerakan NU sikap ini bukan anti duniawi anti kemajuan tetapi menempuh hidup sederhana, tahu batas, tahu kepantasan sebagaimana diajarkan oleh para slafus sholihin. Dengan sikap asketik itu integrasi kader pergerakan NU akan terjaga, sehingga kekuatan moral yang dimiliki bisa digunakan untuk menata bangsa ini.

E. Non Kolaborasi
Prinsip ke 5 ini perlu ditegaskan kembali mengingat dewasa ini banyak lembaga yang disponsori kaum kapitalkis-imperialis asing yang menawarkan berbagai jasa dan dana yang tujuannya bukan untuk memandirikan, melainkan untuk menciptakan ketergantungan dan pengaburan terhadap khittah serta prinsip-prinsip gerakan NU, melalui intervensi dan pemaksaan ide dan agenda mereka.
Karena itu untuk menjaga kemandirian, maka gerakan NU menolak untuk berkolaborasi dengan kekuatan kapitalis-imperialis baik secara akademik, politik, maupun ekonomi. Selanjutnya kader-kader NU berkewajiban membangun paradigma keilmuan sendiri, sistem politik dan sistem ekonomi sendiri yang berakar pada budaya sejarah bangsa NUsantara sendiri.

F. Komitmen Pada Korp
            Untuk menerapkan prinsip-prinsip serta menggerakkan roda pergerakan maka perlu adanya kesetiaan dan kekompakan dalam korp pergerakan karena itu seluruh korp harus secara bulat menerima akidah ideologi dan seluruh prinsip pergerakan.
Demikian juga pimpinan tidak hanya cukup menerima ideologi akidah serta prinsip pergerakan tetapi harus menjadi pelopor, teladan dan penggerak prinsip-prinsip tersebut. Segala kebijakan pimipinan haruslah merupakan representasi organisasi. Dengan demikian seluruh korp harus tunduk dan setia pada pimpinan.
Dalam menegakkan prinsip dan melaksanakan program pimpinan harus tegas memberi ganjaran dan sanksi pada korp, demikian juga harus berani bersikap terbuka dan tegas pada pimpinan dan berani menegur dan meluruskan bila terjadi penyimpangan.

G. Kritik-Otokritik
            Untuk menjaga mekanisme pergerakan serta memperlancar jalannya program maka perlu adanya mekanisme organisasi untuk mengatasi kemungkinan terjadinya kemandekan atau bahkan penyimpangan maka dibutuhkan mekanisme kontrol dalam bentuk kritik otokritik mekanisme. Kritik otokritik ini bukan dilandasi semangat permusuhan tetapi dilandasi semangat persaudaraan dan rasa kasih sayang demi lancarnya roda pergerakan.

4.  Strategi Gerakan
A.    Pribumisasi (agama, politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, budaya). TATA NILAI
B.     Koservasi (budaya, alam,/culture-nature).
C.     Nasionalisasi (sistem politik, sistem ekonomi, budaya) KELEMBAGAAN


5. Langkah
A.    Penyadaran (posisi NU, Situasi Nasional, politik global).
B.     Sosialisasi
C.     Pembentukan Jaringan (santri, siswa, mahasiswa, pemuda, ulama, birokrasi, profesional, usaha, tentara).
D.    Kampanye
E.     Gerakan (sosial, budaya, politik, ekonomi)

6 .  Manajemen Gerakan

  1. Berbasis teknologi informasi


Salah satu kekuatan penting di dunia ini adalah perkembangan teknologi informasi. Dengan perkembangan teknologi ini dunia menjadi desa buana, sekat-sekat antarbangsa luruh, dunia tanpa batas. Dalam konteks seperti itu sirkulasi informasi menjadi amat cepat dan kompleks. Pola komunikasi pun menjadi berubah secara radikal, bukan lagi mengandalkan kehadiran fisik atau bahasa lisan. Dengan teknologi informasi ini, berbagai informasi atau kejadian apapun dapat dengan cepat disirkulasikan dengan efektif dan massif.

  1. Transformasi teknologi informasi.
Dampak tak terhindarkan kecepatan informasi melalui teknologi adalah lemahnya kemampuan atau menyaring dan memahami informasi secara benar. Karenanya kecepatan sirkulasi informasi ini harus bertumpu pada mekanisme transformatif dalam memahaminya. Artinya, kemampuan memahami secara benar dan kritis semua informasi menjadi penting. Sebab hasil pemahaman akan menjadi dasar pijakan organisasi dalam mengambil keputusan. Kesalahan dalam memahami informasi menyebabkan kekeliruan dalam membangun penjelasan sejarah, yang menyebabkan kesesatan dalam menyusun agenda gerakan. Kesalahan ini seringkali melahirkan kegagalan merebut momentum. Misalnya, wacana Islam yang di Barat diasosiasikan dengan Al Qoidah dan di Asia jamaah islamiah, gagal direbut ruang kosong ini, sehingga wacana aswaja ala NU gagal menjadi alternative internasional. Bahkan, justru aneh bin ajabib. Momentum mengglobalnya terorisme justru menjadikan pesantren kita sebagai tertuduh, sehingga para kyai diajak “plesir” ke Amerika atau Inggris. Anehnya, ini dianggap sebagai suatu kebanggaan. Hwahahaa. Respons  tersebut menunjukkan kedangkalan dalam memahami dinamika gerak sejarah. Padahal jika memahaminya dengan benar, maka berbagai respons tersebut dapat dihadirkan dalam  bentuk yang cerdas, elegan, dan strategis.

  1. Berbasis pada dinamika pengaruh negara superpower dunia.
Gerak global saat ini masih ditentukan oleh kebijakan superpower yang memiliki perangkat nyaris sempurna. Kebijakan sentrum ekonomi dan politik dunia tersebut memiliki pengaruh signifikan terhadap dunia global.  Kecepatan dan ketepatan dalam memahami informasi di atas kemudian dipersenjatai dengan "kemampuan cerdas" menangkap semua peluang strategis  yang ada sebagai dampak perubahan global.



7. Infrastruktur manajemen

  1. Berbasi sumber daya kader yang berdedikasi, komitmen, dan full time dalam mengelola NU.
Mengelola NU tidak mungkin dilakukan dengan setengah-setengah, apalagi disambi dengan "mbroker" ke sana kemari. Ini artinya dibutuhkan reorientasi pengurus harian dan lembaga NU untuk memaknai pengabdiannya di NU  bukan sebagai aktifitas sambilan, atau batu loncatan. Sebagai imbal baliknya, secara kelembagaan NU dituntut untuk memenuhi basic need mereka yang telah secara total mengalokasikan energi dan pikirannya untuk NU. Kebutuhan sumber daya seperti itu sudah tak terelekakan jika ingin akumulatif. Implikasinya dibutuhkan rekonstruksi teologis dalam berjuang. Secara minimalis, kebutuhan tersebut dipenuhi dengan menyediakan staf professional.

  1. Berbasis sumber dana organisasi yang kuat untuk operasional dan pengembangan organisasi.
Dana merupakan system pendukung yang penting. Diidealisasikan NU memiliki fundraising yang kuat sehingga menjadi organ independent dalam mendanai organisasinya.  Kemampuan ini menjadi strategis ke depan untuk menghasilkan performance organisasi yang berwibawa di tengah konstelasi nasional dan global.

  1. Berbasis fasilitas teknologi informasi.


8. Manajemen Program
Dalam menjalankan programnya, NU juga harus bertumpu pada manajemen program yang terdiri dari tiga pilar. Yang dimaksud dengan manajemen program di sini adalah system pengelolaan kegiatan organisasi dalam program tahunan yang telah dirumuskan dan menjadi desain besar kepengurusan. Pertama, terarah. Program tahunan NU dalam setiap levelnya harus memiliki arah yang jelas. Kedua, terukur, memiliki parameter yang  jelas, obyektif, empiris, sehingga dapat dinilai dengan jelas. Keterukuran ini untuk menentukan atau menjadi dasar sejauh mana tingkat keberhasilan sebuah kepemimpinan atau kepengurusan. Ketiga, memiliki mekanisme kontrol yang jelas sehingga tidak mudah dibelokkan untuk kepentingan tertentu baik pihak eksternal maupun internal.


Bagaimana memulainya?
Bagaimana memulai kerja besar ini? Idealnya NU secara kelembagaan memiliki strategic planning yan akurat, yang diturunkan menjadi program, dan diterjemahkan dalam action plan tahunan. Dari perpektif ini  terdapat tiga tingkatan yang masing-masing memiliki formulasi manajerial yang berbeda-beda. Tingkatan paling ideal adalah tahapan ketika sistem sudah terbangun dengan kuat, yang disebut dengan management by system. Yang menjadi penentu dinamika organsiasi sistem dan kultur yang terbangun sehingga dengan kekuatannya NU tidak lagi membutuhkan sumber daya kader yang dibutuhkan, namun sistem itu sendiri yang akan membentuknya dan menciptakan dirinya sebagai wahana pembelajaran yang efektif. Pada tahapan ini NU tidak diributkan lagi pada pencarian siapa yang akan menempati pos atau pekerjaan tertentu.  Untuk mencapai tahapan ini dibutuhkan kesatuan pemahaman semua kader NU menenai visi, misi, progam, sampai pada penafsiran dan kontekstualisasi visi misi.
Jika kondisi itu belum tercapai, NU berada di tahapan di bawahnya, yakni management by structure. Pada tahapan ini  yang dilakukan NU adalah mencari kader yang sesuai atau dianggap mampu mengerjakan atau menjadi motor penggerak NU.  Jika tetap gagal, mau tidak mau, harus berangkat dari management by behavior, yakni  mencari kader yang mau untuk mendorong berbagai agenda gerakan, dan tidak lagi mempersoalkan kapasitas kader.





[1] Ini adalah elaborasi dari hasil diskusi beberapa orang di NU Online yang difasilitasi dan dipantik oleh Mun’im DZ pada tahun tengah 2006 lalu.
Labels: | edit post
0 Responses

Post a Comment