JUDICIAL REVIEW SEBAGAI UPAYA PENEGAKAN HUKUM BERDASARKAN
KONSTITUSI
Pemberhentian
Hendarman Supandji dari jabatan Jaksa Agung oleh Presiden merupakan dampak dari
dikabulkannya judicial review atas masa Jabatan Jaksa Agung dalam Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia oleh Mahkamah
Konstitusi. Persoalan ini sempat menjadi sebuah isu kontroversial dalam ranah
hukum ketatanegaraan. Uji materi atau
judicial review sebanarnya bukan merupakan persoalan baru dalam disiplin ilmu
hukum ketatanegaraan. Secara historis Uji Materi atau judicial review muncul
pertama kali di Amerika Serikat melalui putusan
Supreme Court Amerika
Serikat dalam perkara “Marbury vs Madison” pada 1803. Meskipun
Undang-Undang Dasar Amerika Serikat tidak mencantumkan judicial review, Supreme
Court Amerika Serikat membuat putusan
yang mengejutkan. Chief
Justice John Marshall didukung empat hakim agung lainnya
menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan undang-undang yang
bertentangan dengan konstitusi. Keberanian John Marshall dalam kasus itu
menjadi preseden dalam sejarah Amerika yang kemudian berpengaruh luas terhadap
pemikiran dan praktik hukum dibanyak negara. Semenjak itulah, banyak
undang-undang Federal maupun
undang-undang negara bagian yang
dinyatakan bertentangan dengan
konstitusi.
Menurut Ishaq,
Suatu Undang-Undang diberlakukan berdasarkan sejumlah asas, salah satunya
adalah asas Undang-Undang tidak bisa diganggu gugat. Asas ini seolah
bertentangan dengan praktik ketatanegaraan yang dilaksanakan oleh Mahkamah
Konsitusi. Sedangkan Hakim Konstitusi, sebagaimana hakim-hakim yang lain
dilarang menolak perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau
kurang jelas. Berdasarkan
persoalan di atas muncul pertanyaan, bolehkah dilakukan uji materi terhadap
Undang-Undang yang telah berlaku? Apakah Mahkamah Konstitusi secara
ketatanegaraan memiliki wewenang melakukan judicial review terhadap
Undang-Undang?
Reformasi yang
dicetuskan pada tahun 1998 merupakan titik tolak penting dalam upaya penegakan
hukum yang sebenarnya di Indonesia. Terciptanya Good Govermance dalam
menyelenggarakan kekuasaan negara dan peradilan yang independen merupakan salah
satu motivasi dasar dari gerakan ini. Reformasi juga menuntut adanya
desakralisasi terhadap konstitusi negara dan produk-produk perundang-undangan
yang ada dibawahnya. Sebagai upaya desakralisasii Undang-Undang Dasar adalah
dilakukanya amandemen. Ada beberapa persoalan mendasar sebagai alasan
amandemen, pertama dominasi presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dalam
menjalankan tugasnya. Selain menjalankan fungsi eksekutif, presiden diberikan
wewenang untuk membentuk undang-undang. Kedua, tidak adanya check and balances
antar lembaga negara agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Terlebih
Undang-Undang Dasar 1945 meligitimasi Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai
lembaga tertinggi negara karena dipandang sebagai lembaga yang menjalankan
kedaulatan negara. Ketiga, terdapat aturan-aturan yang tidak jelas dan multi
tafsir. Misalnya klausul yang menyatakan bahwa presiden dapat dipilih kembali
tanpa memberikan batas waktu atau berapa kali periode. Persoalan-persoalan di
atas, dapat menghambat adanya penegakan hukum.
Empat kali
amandemen Undang-Undang Dasar 1945 sejak tahun 1999 hingga tahun 2002 membawa
dampak yang signifikan dalam ranah ketatanegaraan di Indonesia. Semua lembaga
negara yang ada diberikan kedudukan yang sama dan dapat melakukan check and
balances. MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara melainkan hanya lembaga
tinggi negara yang kedudukannya sama dengan Presiden dan Dewan Perwakilan
Rakyat. Dan pelasanaan kedaulatan negara berdasarkan kepada Undang-Undang
Dasar. Sebagai salah satu negara yang menganut sistem civil law, penegakan
hukum di Indonesia harus didasarkan pada aturan perundang-undangan yang ada.
Amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 juga berimplikasi terhadap prosedur
pembuatan peraturan perundang-undangan. Setelah amandemen, Undang-Undang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat atas persetujuan presiden. Meskipun
usulan rancangan Undang-Undang bisa dari presiden dan DPR, DPR, atau presiden
saja. Hal ini menunjukkan adanya check and ballances dalam melaksanakan
kekuasaan yang diberikan oleh negara. Apabila Undang-Undang telah dimuat dalam
lembar negara dan telah dimuat dalam berita negara maka Undang-Undang tersebut
dipandang sah dan berlaku.
Sebelum
amandemen UUD 1945, Undang-Undang yang telah diberlakukan, secara normatif
tidak bisa diganggu gugat dan wajib dilaksanakan oleh semua golongan, baik
penyelenggara kekuasaan negara maupun rakyat. Hal ini merupakan asas yang
melekat pada setiap undang-undang yang ada. Undang-Undang akan tetap berlaku
meskipun substansinya bertentangan dengan undang-undang dasar dan tidak ada
suatu pengadilan tertinggi yang berhak menyatakan tidak sah dan tidak berlaku.
Jika terdapat persoalan pada substansi Undang-Undang, hanya lembaga pembuat
undang-undang yang memiliki wewenang untuk melakukan uji materi. Dan dalam
konteks tata negara Indonesia DPR-lah yang memiliki wewenang untuk melakukan
uji materi. Akan tetapi, legislative review dipandang kurang efektif karena
sangat tergantung pada kehendak lembaga legislatif untuk mengkaji kembali
substansi dari suatu Undang-Undang. Sedangkan Mahkamah Agung sebagai
penyelenggara kekuasaan yudisial hanya berwenang untuk melakukan judicial
review terhadap peraturan perundang-undang di bawah Undang-Undang.
Pembentukan
suatu lembaga yang secara khusus berwenang melakukan uji materi terhadap
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar menjadi salah satu tema pembahasan
dalam amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945. Gagasan ini muncul atas
desakan agar tradisi pengujian peraturan perundang-undangan perlu ditingkatkan
tidak hanya terbatas pada peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang.
Dan kewenangan itu diberikan kepada sebuah mahkamah tersendiri di luar Mahkamah
Agung. Gagasan ini juga muncul sebagai respon atas sejumlah aturan perundang-undangan,
termasuk produk Undang-Undang yang secara substansi bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi bahkan Undang-Undang Dasar, namun tidak ada lembaga
atau mekanisme pengujian yang efektif melalui lembaga yudisial (judicial
review). Fenomena ini mengarah pada pengingkaran
terhadap prinsip kedaulatan rakyat.
Sebagai hasil
pembahasan yang mendalam, cermat, dan demokratis dari tema di atas,
terbentuklah Mahkamah Konstitusi sebagai dampak disahkannya pasal 24 ayat (2)
dan pasal 24 C Undang-Undang Dasar 1945.
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga, pertama kali diperkenalkan oleh
Hans Kelsen (1881-1973), pakar konstitusi dan guru besar Hukum Publik dan
Administrasi University of Vienna. Kelsen menyatakan bahwa
pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara
efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas
untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan
tidak memberlakukannya jika menurut organ ini produk badan legislatif tersebut
tidak konstitusional. Untuk kepentingan itu, kata Kelsen, perlu dibentuk organ
pengadilan khusus berupa constitutional
court, atau pengawasan
konstitusionalitas undang-undang yang dapat juga diberikan kepada
pengadilan biasa. Gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia telah
dikemukakan oleh Prof. Muhammad Yamin pada saat pembahasan rancangan UUD 1945.
Namun, gagasan ini ditolak oleh Prof. Soepomo yang menyatakan bahwa keberadaan
MK tidak sesuai dengan nalar berfikir UUD dan prinsip supremasi parlemen yang
menempatkan MPR sebagai tertinggi negara. Tugas hakim menurut Soepomo adalah
melaksanakan Undang-Undang bukan menguji Undang-Undang.
Sebagai lembaga
yang baru terbentuk. MK diberikan kedudukan
sejajar oleh konstitusi
dengan lembaga-lembaga lainnya. MK diposisikan sebagai salah satu
penyelenggara kekuasaan yudikatif yang setara dengan Mahkamah Agung. Otoritas
khusus yang diberikan kepada MK adalah
menjadi pengawal konstitusi. Hal ini memiliki arti bahwa MK bertugas
menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan konstitusi bukan sebagai lembaga tertinggi negara.
Tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam pasal 24C
ayat (1) dan ayat (2), antara lain:
(1) Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2) Mahkamah Konstitusi
wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan
pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Meskipun telah mendapat legitimasi dari UUD 1945, Mahkamah
Konstitusi belum bisa menjalankan tugas dan wewenangnya secara maksimal.
Regulasi yang berkaitan dengan tata cara pelaksaan tugas dan wewenangnya (hukum
formil) belum dibentuk. Baru pada tahun 2003 dibentuklah Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagai sandaran formil pelaksanaan
tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi.
Munculnya
aturan-aturan di atas, baik formil maupun materiil berlakulah asas lex
specialis derogat lex generalis. Artinya secara normatif MK dijadikan sebagai
lembaga khusus yang bertugas melakukan judicial review terhadap Undang-Undang
dan mengesampingkan lembaga-lembaga negara lain yang juga memiliki wewenang
yang sama, seperti Mahkamah Agung dan DPR.
Sebagai sebuah kesimpulan, Asas Undang-Undang tidak bisa diganggu
gugat tetap berlaku selama Undang-Undang tersebut tidak bertentangan dengan UUD
sebagai hukum tertinggi dalam suatu negara. Jika terdapat pertentangan antara
substansi Undang-Undang dengan substansi Undang-Undang Dasar diperlukan adanya uji
materi oleh lembaga yang diberikan kuasa terhadap persoalan tersebut, baik
legislatif sebagai pembuat Undang-Undang atau lembaga yudikatif sebagai
penyelenggara kekuasaan kehakiman. Atau dengan kata lain, suatu Undang-Undang
dapat di review jika bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi dan keadilan
sosial.
Fungsi
pengujian undang-undang itu
tidak dapat lagi
dihindari penerapannya dalam ketatanegaraan Indonesia sebab UUD 1945
menegaskan bahwa anutan sistem bukan lagi supremasi parlemen melainkan
supremasi konstitusi. Kemunculan MK sebagai lembaga tinggi negara yang khusus
melakukan judicial review terhadap Undang-Undang tidak bertentangan dengan
sistem ketatanegaraan yang dianut oleh Indonesia. Indikator pelanggaran sistem
ketatanegaraan berada dalam UUD sebagai konstitusi suatu negara. Melalui pasal
24C UUD 1945 Mahkamah Konstitusi mendapatkan sandaran yang kuat. Hal ini
menunjukkan adanya dukungan konstitusi terhadap keberadaan serta tugas dan
wewenang MK.
Post a Comment