BAGIAN PERTAMA
MELIHAT KENYATAAN YANG
SEBENARNYA
Pendahuluan
Sebuah
gerakan yang rapi dan massif harus mengandaikan terbentuknya faktor-faktor
produksi, distribusi dan wilayah perebutan. Tanpa mengunakan logika ini maka
gerakan akan selalu terjebak pada heroisme sesaat dan kemudian mati tanpa
meninggalkan apa-apa selain kemasyuran dan kebanggaan diri belaka. Katakanlah
kita sedang akan membangun sebuah gerakan maka dimana wilayah perebutan yang
akan kita temui dan oleh karena itu apa yang harus kita produksi dan mengunakan
jalur distribusi seperti apa agar produk-produk gerakan kita tidak disabotase
di tengah jalan. Rangkaian produksi-distribusi-perebutan ini adalah sebuah mata
rantai yang tidak boleh putus, karena putusnya sebuah mata rantai ini berati matinya
gerakan atau setidak-tidaknya gerakan hanya akan menjadi tempat kader-kadernya
heroisme-ria. Dan yang lebih penting bahwa gerakan semacam ini akan lebih mudah
untuk di aborsi.
Yang
pertama-tama perlu di kembangkan di PMII adalah bahwa sejarah itu berjalan
dengan masa lalu, bukan karena semata-mata masa lalu itu ada, tetapi karena
masa lalu telah membentuk hari ini dan hari esok. Artinya capaian tertinggi
dari sebuah gerakan adalah ketika satu generasi telah berhasil mengantar
generasi berikutnya menaiki tangga yang lebih tingi. Visi historis inilah yang
akan menjadikan PMII sebagai organisasi besar yang berpandangan kedepan dan
universal, karena PMII tidak didirikan hanya untuk bertahan selama sepuluh atau
dua puluh tahun, tetapi PMII didirikan untuk melakukan perubahan tata struktur
dan sistem. Dengan demikian paradigma
menempati posisi yang sangat vital dalam membangun gerakan PMII ke depan, bukan
semata-mata karena kita membutuhkan paradigma, tetapi karena paradigma itu
seharusnya memandu gerakan PMII dalam longue duree dalam bingkai dunia.
Selama
ini, perdebatan paradigmatik di PMII hanya bersifat reaksioner, bukan sebuah
inisiatif yang didasarkan pada gerak maju yang terencana. Kondisi seperti
inilah yang kemudian membatasi ruang lingkup gerakan PMII yang hanya melingkar
di orbit internal NU dan tidak mampu melakukan pendudukan dan perebutan
sektor-sektor setrategis yang memiliki resonansi luas kepada publik. Sejauh
berkaitan dengan perubahan struktural yang dicitakan PMII, maka pendudukan dan
perebutan sektor-sektor publik adalah suatu keniscayaan. Masalahnya selama ini
yang di puja-puja oleh sebagaian besar aktifis PMII adalah gerakan kultural an
sich yang mengabaikan segala sesuatu yang bersifat struktur. Katakanlah
dikotomi gerakan kultural-struktural yang menjadikan PMII sebagai penjaga
gerbang kultural sementara organisasi kemahasiswaan yang lainnya, misalnya
sebagai pemain struktural telah menimbulkan kesesatan berfikir sedari awal
tentang gerakan yang dibayangkan (imagined movement) oleh kader-kader
PMII, bahwa PMII cukup hanya bergerak di LSM-LSM saja dan tidak perlu
berorientasi di kekuasan. Jadi paradigma merupakan suatu keniscayaan yang di bangun berdasakan atas pandangan PMII
tentang dunia dalam realitas globalisasi dan pasar bebas yang saat ini sedang
berjalan.
Indonesia Dalam Globalisasi Dan
Pasar Bebas Sebagai Relitas dan Modal Gerakan
Dalam
peradapan baru dunia global, kemajuan tekhnologi dan informasi menjadi
infrastruktur penopang bergeraknya globalisasi dan liberalisasi ekonomi (baca
neoliberal). Sebagai contohnya keberadaan pasar maya yang merupakan sistem dan
tatanan baru bagi keuangan internasional yang kemudian banyak disebut dengan
disebut dengan pasar modal dan pasar uang. Kemajuan elektronik global, membuat
para pemegang modal diberbagai sektor seperti keuangan, perbankan, investasi
langsung dan lain-lain, dengan mudahnya dapat memindahkan modalnya dalam jumlah
besar dari negara yang lain ke negara yang lainnya hanya dengan memencet mouse
kompiuter dengan jaringan internet yang terakses langsung disemua negara di
dunia. Sehingga
dengan mudahnya mereka malakukan intervensi terhadap perekonomian satu
negara bahkan satu kawasan. Karena
pergerakan aliran lalu lintas modal global sangat mempengaruhi pasar modal
dalam satu negara. Selain itu terpakunya standar pertukaran internasional hanya
pada dollar AS, mempunyai kecenderungan untuk mempengaruhi perputaran dan
pergerakan pasar uang global.
Sistem dunia akan terus
bergerak dan mempunyai kecenderungan untuk bergerak linier yang akan berproses
secara kompleks serta akan selalu memunculkan kontradiktif atau pertentangan.
Sistem dunia juga akan merasuki semua aspek kehidupan manusia dan negara,
sehingga ada kecenderunagn suatu negara tak terkecuali Indonesia akan
kehilangan sebagian kekuatan ekonominya. Dilain pihak globalisasi akan
mendorong kekuatan-kekuatan lokal (baca kearifan lokal) untuk mampu bertahan
dalam dunia yang menglobal ini.
Sebagaimana dikatakan oleh Anthony
Giddens, “Globalisasi tidak hanya berkaitan dengan sistem-sistem besar, seperti
tatanan keuangan dunia, globalisasi bukan sekedar apa yang ada diluar sana
terpisah, dan jauh dari orang perorang. Ia juga merupakan fenomena di sini yang
mempengaruhi aspek-aspek kehidupan kita yang intim dan pribadi. Perdebatan mengenai
nilai-nilai keluarga yang tengah berlangsung di banyak negara misalnya, mungkin
terkesan sangat jauh dari pengaruh globalisasi. Tidak demikian halnya, dibanyak
belahan dunia, sistem keluarga tradisional kian berubah atau terdesak khususnya
setelah kaum perempuan menuntut kesetaraan yang lebih besar. Sepanjang yang
kita ketahui dari catatan sejarah, belum pernah ada masyarakat yang kaum
perempuannya hampir setara dengan pria. Ini sunguh merupakan revolusi global
dalam kehidupan sehari-hari yang konsekwensinya dirasakan diseluruh dunia ,
dari wilayah kerja hingga wilayah politik”. (Anthony Giddens : 2001)
Keberadaan
Indonesia tidak lepas dari pergerakan di luar apalagi dalam dunia yang
menglobal. Dinamika perpolitikan internasional yang akan mendorong semakin
menguatnya trend global kedepan dan trend ini tentunya akan terus berubah
mengikuti irama pasar. Sistem dunia yang didukung sepenuhnya negara-negara di
dunia pertama, sehingga mereka memainkan peran setrategis setiap pengambilan
kebijakan mengenai aturan-aturan internasional melalui lembaga-lembaga
tertentu. Sebagai contoh adalah adanya ISO (international Standart
Organisation) yang menjadi salah satu aturan internasional dalam perdaganan
barang lintas negara. Cara pandang penetapan aturan dengan mengunakan cara
pandang barat, yang sudah barang tentu berbeda dengan cara pandang, kondisi dan
potensi yang dimiliki oleh negara-negara di dunia ketiga. Aturan seperti ini
sudah barang tentu akan mengalalahkan daya saing negara-negara ketiga, karena
aturan ISO memiliki kecenderungan untuk menghadapkan pada hokum besi mekanisme
pasar.
Mekanisme
pasar sejauh membuka kesempatan kepada semua pihak untuk berinteraksi secara
setara dapat di terima. Tetapi dalam sistem neoliberal seperti yang sekarang
kita temui ini, dijumpai sebuah kondisi dimana prinsip kesetaraan tidak ada,
atau terjadi interaksi yang asimetris. Prinsip perdagangan bebas yang dipandu
dengan sistem monetarisme hampir-hampir tidak menyisakan ruang bagi ekonomi
kecil untuk survive. Para pemilik modal besarlah yang memiliki kesempatan emas
untuk bermain dalam sistem ini.
Keterlibatan
Indonesia dalam perdagangan bebas dengan diresmikannya AFTA, tetapi jika di
analisis lebih dalam Indonesia tidak akan dapat berbuat banyak dihadapan
modal-modal asing raksasa. Kita dapat membayangkan bagaimana seandainya
sektor-sektor ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak akan di kuasai
oleh segelintir individu yang dengan laluasa akan dapat memainkannya untuk kepentingan pribadinya.
Negara yang seharusnya mengabdi demi hajad hidup orang banyak telah di pereteli
kekuasaanya oleh pasar, sehingga tidak lebih hanya akan bertindak sebagai agen
pasar berhada[an dengan masyarakat sendiri.
Dengan
agenda payung privatisasi misalnya kita telah dan akan melihat bagaimana banyak
BUMN di privatisasi demi memenuhi budget pemerintah yang telah mengalami
defisit. Yang menarik adalah privatisasi itu terjadi atas desakan IMF yang
merupakan kepanjangan tangan negara-negara core dalam moneter dunia. Ini secara
gamblang menjelaskan bagaimana pemerintah (baca : negara) tidak berdaya di
hadapan sistem pasar yang telah mapan (neoliberalisme).
Yang sangat ironis, ditengah
kencangnya gerak maju neoliberalisme justru tidak ada struktur lokal yang mampu
menghadapinya. Struktur lokal telah terfragmentasi sedemikian rupa sehinga
neoliberalisme dapat menjebol benteng Indonesia tanpa perlawanan sama sekali.
Dalam hubungan antar negara bangsa, pemerintah dan rakyat yang sama sekali
tidak saling terkait kita menyaksikan bahwa Indonesia telah benar-benar
terkunci dalam gerak sejarah. Jika hari ini adalah lima puluh tahun yang silam
dan kita telah memiliki keawasan seperti hari ini, niscaya kita akan memilih
Mao Tse Tung atau Tan Malaka yang memilih kemerdekaan sepenuh-penuhnya, bukan
negociated independence seperti yang kita alami. Seandainya kita memiliki
kesempatan untuk berbenah diri ke dalam tanpa harus mengintegrasikan diri dalam
interaksi global yang asimetris ini, maka politik isolasi mungkin adalah
pilihannya. Resikonya adalah seperti apa yang telah di alami Cina (RRC), selama
beberapa dekade sibuk berbenah diri melakukan reformasi struktur internal dan
kemudian dalam hitungan dekade kelima telah mampu bersaing dengan hegemon
dunia. Tentu Cina memiliki kekhasan yang tidak bisa disamakan dengan Indonesia,
tetapi paling tidak ia merupakan gambaran bahwa there in (an) Alternative (TIA)
selain blue-print AS yang harus di ikuti oleh negara pery-pery.
Konsolidasi
politik negara-negara Eropa dan Amerika yang banyak menganut demokrasi liberal
pasca perang dunia ke-2, untuk menciptakan format baru penjajahan dari
kolonialisme dan imperalisme lama. Konsolidasi yang menghasilkan adanya
pertukaran politik global sehingga memunculkan imperium global yag diikuti
dengan perkembangan diplomasi multerateral dan regulasi internasional dan
pembentukan instritusi-institusi politik global, seperti PBB dan institusi
regional seperti Uni Eropa, NAFTA dan lain-lain. Institusi politik internasional inilah yang
akan menciptakan aturan main percaturan politik global berskala internasional
khususnya yang menyangkut isu-isu perdagangan, perang dan perdamaian.
Perkembangan politik internasional yang ditopang dengan aturan internasional
tersebut akan menghilangkan sekat-sekat batas negara sehingga akan memunculkan
rezim internasional yang mempunyai pengaruh cukup signifikan dan memiliki
otoritas untuk menentukan masa depan negara-negara yang lain. Perkembangan
internasionalisasi dan transnasional politik yang mempunyai kecenderungan
hilangnya peran negara atas warganya, dan kecenderungan untuk membangun satu
pemerintahan rezim global yang berlapis dengan kekuasaan mayanya, tetapi mampu
mengerakkan struktur sosial dan politik dari sebuah negara. Konsekwensi dari politik
transnasional ini adalah miunculnya hukum-hukum internasional yang
kosmopolitan.
Posisi
Indonesia yang merupakan bagian dari dunia, tidak akan mungkin lagi terhindar
dari proses internasionalisasi politik tersebut apalagi dengan kondisi
geo-geografis Indonesia yang strategis. Indonesia akan kehilangan banyak peran dan hanya
menjadi bagian kecil dalam pentas dunia.
Pemerintah Indonesia dan negara-negara ketiga lainnya akan semakin kehilangan
kontrol atas arus informasi, teknologi,
penyakit, migrasi, senjata, dan transaksi finansial baik legal maupun ilegal yang
melintasi batas-batas wilayahnya. Aktor non-negara, mulai dari kalangan bisnis
hingga organisasi-organisasi non-profit akan semakin memainkan peranan penting
dalam lingkup nasional maupun internasional. Kualitas pemerintahan nasional dan
internasional akan ditentukan oleh tingkat keberhasilan negara dan masyarakat
dalam mengatasi kekuatan-kekuatan global di atas.
Oleh karena itu, kita perlu melihat Indonesia dalam
gambar dan ruang lebih besar lagi yaitu dunia. Dengan melihat Indonesia sebagai
bagian dari sebuah sistem dunia yang sedang berjalan, kita dapat mengenali
relasi apa yang sedang terjadi dalam sebuah peristiwa. Dengan mengenali
relasinya kita dapat melihat pola-pola yang di gunakan oleh sistem tersebut
untuk beroperasi, katakanlah kita perlu melihat dengan perspektif sistem dunia
ini, lalu bagaimana kita menghubungkan perubahan-perubahan internal Indonesia
dengan sistem dunia ini ?
Adalah Emanuel Wellerstain dan teman-temannya di Fernan
Broudell Center Binghamton University yang mencoba memperkenalkan perspektif
sistem dunia ini sebagai alat baca. Dalam pandangan para world sistemizer dunia ini terbagi ke dalam tiga wilayah kerja
(internasional divisiopn of labour) yaitu
1.
Core, terdiri dari negara yang memiliki proses-proses produksi
yang cangih, didaerah ini borjuis indigenous memiliki industri otonom yang
memproduksi komoditas manufaktur untuk pasar dunia. Pola-pola kontrol buruh
yang dominan adalah wage labour dan self-employment, negara-negara core
biasanya dengan strong state machinesries. Negara core pada umumnya Northwest
Eropa, Amerika Serikat, Kanada, Jepang, dan Australia.
2.
Periferi, terdiri dari negara-negara yang memiliki proses produksi
yang sederhana. Biasanya produk-produk negara periferi ikut menyumbang proses
akumulasi kapital dinegara-negara core karena dagang memerlukan
pertukaran-pertukaran yang tidak seimbang. Kontrol buruh juga dijalankan dengan
kekerasan, dengan struktur negara yang lemah. Negara periferi menurut
Wallerstain’s tidak cukup kuat untuk mengintervensi lajunya komoditas, kapital
dan buruh antar zona ini denfgan zona yang lainnya dalam system dunia. Tetapi
cukup kuat untuk memfasilitasi flows yang sama.
3.
Semi Periferi, mempunyai kompleksitas
kegiatan ekonomi, modus kontrol buruh, mesin negara yang kuat dan sebagainya. Fungsi
politik periferi adalah sebagai buffer zone antara dua kekuatan yang saling
berlawanan. Secara historis, semi periferi terdiri dari negara-negara yang
sedang naik atau turun dalam system dunia.
POLA HISTORIS GLOBALISASI POLITIK
|
Pra-Awal Modern
(Abad 14
–18)
|
Modern
(Abad 19 –
20)
|
Kontemporer
(1945
- )
|
Ekstensits
|
Sebagian besar bersifat
intra-teritorial dan intra-regional tetapi juga memulai ekspansi imperial.
|
Emperium
global;
Muncul
sistem negara bangsa
|
Sistem
negara global;
Muncul
tataan politik global;
Regionalisasi
politik dan inter-regionalisme
|
Intensitas
|
Volumenya
rendah, tetapi melonjak ketika para kompetitor politik atau ekonomi
bertemu dan berbenturan
|
Volumenya
meningkat dan terjadi ekspansi hubungan
|
Terjadi
peningkatan drastis pada kesepakatan-kesepakatan internasional, jaringan dan
berbagai hubungan formal maupun informal.
|
Percepatan
|
Terbatas;
Sporadis
|
Meningkat
|
Terjadi
percepatan pada interaksi politik global seiring dengan kemajuan teknologi
komunikasi.
|
Pengaruh
(negatif)
|
Sedikit;
tetapi terkonsentrasi
|
Meningkatnya
konsekuensi-konsekuensi institusional dan struktural
|
Tinggi:
saling terkait, sensitif dan rentan.
|
Infrastruktur
|
Minimal;
kerangka kerja amultilateral bergerak sangat lamban, mulai dari traktat
hingga konferensi organisasi
|
Munculnya
Organisasi dan rejim-rejim internasional maupun transnasional.
|
Perubahan
besar baik pada ukuran, bentuk, jumlah rejim, organisasi internasional dan
transnasinal serta mekanisme hukum.
Komunikasi
global “realtime” dan infrastruktur media.
|
Institusionalisasi
|
Minimal,
tetapi mulai ada diplomasi dan regularisasi jaringan kerja antar negara.
|
Perkembangan
rejim-rejim, peraturan-peraturan dan hukum internasional bersifat tentatif
tetapi rentan.
|
Ditandai
dengan pengembangan rejim, hukum internasional, dasar-dasar hukum
kosmopolitan serta struktur organisasi antar pemerintah maupun organisasi
transnasional (swasta).
|
Stratifikasi
|
Perkembangan
tatanan dunia yang Eropa sentris.
Organisasi
politik lemah, tersebar dan tidak merata melintasi batas teritotial.
|
Hirarki
kekuatan politik, militer dan ekonomi terkonsentrasi di Barat/Utara.
Kapabilitas
politik dikembangkan, tetapi hubungan yang tidak seimbang (asimetris) tetap
dipertahankan.
|
Dari
Dunia yang Bipolar (perang dingin) ke Multipolar.
Kesenjangan
Utara dan Selatan mulai dikikis
seiring dengan munculnya NICs (Negara Industri Baru) dan aktor-aktor
non-negara.
|
Pola
Interaksi
|
Persaingan;
perang-perang terbatas; Konfliktual/Koersif; Imperialis.
|
Teritorial;
Diplomatik; Geopolitik/Koersif; Imperialis; Konflik dan Kompetisi;
Pembentukan ke arah “total war”
|
Deteritorialisasi
dan reteritorialisasi.
“Reason
of State” diupayakan dalam kerangka
hubungan kerjasama (kooperatif)
dan kolaboratif.;Kerjasama dan Persaingan;Geo-ekonomik
dan End of empire
|
Sumber : Derrived from Global Transformations; Politic,
Economic and Culture, David Held and
Anthony McGrew, David Goldblatt
and Jonathan Perraton, Polity Press, UK, 1999.
Proses
pergeseran tatanan politik dunia baru sebagaimana yang tersebut di atas, akan
menopang struktur ekonomi global, dengan menyiapkan infrastruktur aliran dan
lalu lintas modal baik langsung maupun tidak langsung. Aturan main
internasional sebagai hasil dari kebijakan lembaga-lembaga politik dan ekonomi
internasional seperti, PBB, IMF, world Bank, WTO dll, juga akan mempengaruhi
Indonesia untuk tetap bisa survive didalamnya. Pertumbuhan negara, kemampuan negara
meningkatkan pendapatan, mengatasi kemiskinan dan menguranggi pengangguran akan
sangat tergantung kondisi dan tatanan ekonomi internasional. Tak terkecuali
adalah lalu lintas modal dalam negara, karena kesemuannya dikemas dalam hukum
kosmopolitan yang namanya mekanisme pasar, yang menghadapkan individu , negara
dengan pasar.
Perekonomian
global akan sangat ditentukan juga oleh negara-negara adi kuasa yang secara
kemampuan memiliki kelebihan-kelebihan struktur ekonomi, seperti Cina, AS,
Inggris, Swedia, kanada dll. Kemampuan untuk mengsuplay kebutuhan-kebutuhan
negara di dunia, akan memunculkan pemenang-pemenang ekonomi, karena hegemoni ekonomi
global akan menentukan gaya hidup borjuis, hiperbalis dengan tingkat
konsumerisme yang tinggi di masyarakat, sehingga akan mengakibatkan tingkat
ketergantungan penduduk dan negara di dunia ketiga akan semakin tinggi terhadap
negara-negara suplayer, tak terkecuali Indonesia. Hal ini akan semakin membuat
keberadaan kemiskinan yang meningkat di negara-negara dunia ketiga dan
kesenjangan ekonomi yang sangat tinggi.
Membangun Paradigma Berbasis Kenyataan
Membangun
paradigma gerakan memang sesulit membaca kenyataan yang semestinya menjadi
pijakan paradigma itu. Gerakan yang dibangun tidak diatas landasan kenyataan
hanya akan menjadi struktur apalagi peradaban. Paradigma yang baik adalah
paradigma yang mampu menjadikan sejarah sebagai bahan penyusun yang dipadukan
dengan kenyataan hari ini. Kenapa sejarah menjadi penting dalam penyusunan
paradigma gerakan? Sebagaimana diketahui bahwa sejarah itu menyimpan masa lalu
yang telah menyusun masa kini dan masa depan. Jadi, dengan mengkombinasikan
sejarah dengan real-life hari ini, kita akan mampu membaca kenyataan secara
benar sehingga kita tidak akan terjebak dalam kenyataan mediatik yang
manipulatif dan menyesatkan.
Dengan
selalu berangkat dari kenyataan real, kita akan mampu menangkap struktur apa yang saat ini sedang bergerak dan geraka
yang kita jalankan akan mampu memutus roda-gila (free-wheel) peradaban yang
hegemonik. Selama ini, nalar mainstrem yang digunakan dalam penyusunan
paradigma di PMII adalah nalar yang berangkat dari asumsi yang belum tentu terkait
dengan kenyataan yang sehari-hari terjadi. Jadi, konsep ideal (logos) itu
dianggap lebih penting dan ideal dari pada kenyataan.
a.
Belajar Dari Sejarah Gerakan Mahasiswa
Realitas
politik memang mengatakan independensi perguruan tinggi yang notabene adalah
basis pendidikan nasional, sehingga banyak harapan akan adanya
pemikiran-pemikiran baru tentang ke-Indonesiaan yang dihasilkan dari institusi
ini. Selain civitas akademika yang merepresentasikan kelompok intelektual,
mahasiswa juga diharapkan mampu memberikan gagasan dan ide-ide ke-Indonesiaan,
dengan beragam aktualisasi. Selain sebagai kelompok intelektual, ternyata
dinamika perpolitikan negara juga cukup signifikan untuk mengerakkan mahasiswa
menjadi satu kekuatan gerakan ekstra parlementer sebagai salah satu pilihan
aktualisasinya. Melalui peran ini,
mahasiswa tentunya ingin mengartikulasikan kepentingan-kepentingan dan aspirasi
politiknya untuk mempengaruhi proses-proses pengambilan keputusan di tingkat
nasional, yang kesemuanya itu dibingkai dalam kerangka menyuarakan
kepentingan-kepentingan rakyat dan atas nama demokrasi, yang mencoba untuk
berbareng bergerak bersama rakyat, sehingga akan menjadi satu gerakan people
power yang masiff dan progresif.
Cita-cita
luhur para mahasiswa Indonesia, ternyata hanya menjadi utopi, karena gerakan
mahasiswa Indonesia hanya menjadi alat dari kelompok-kelompok kepentingan yang
mengatasnamakan rakyat. Hal ini tentunya didasari pada beberapa fakta dari
proses sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia. Pertama, gerakan mahasiswa
tahun 1945-1966, mahasiswa bangkit karena melihat kondisi negara yang sedang
mengalami kegoncangan sistem politik nasional yang selalu mengalami perubahan
bentuk pemerintahan, mulai dari RIS, Demokrasi Terpimpin dan kembali lagi ke
Republik, yang disebabkan oleh lemahnya posisi negara atas rakyatnya.
Sebagaiman ditulis Fachri Aly “Kondisi ini diperlihatkan dengan gejala
kemiskinan massal di perkotaan ataupun di daerah pedesaan, hancurnya sarana dan
prasarana ekonomi sehingga menyebabkan kehancuran ekonomi dan tingginya tingkat
utang serta rusaknya atau tidak berfungsinya prasarana dan sarana transportasi,
komunikasi dan modernisasi”(Fachry Ali : 1985).
Kekuatan
mahasiswa memang mampu mengulingkan kekuasaan Presiden Soekarno tahun 1966,
tapi perlu diingat bahwa kekuatan mahasiswa tidak muncul dengan sendirinya,
Badan Kerja Sama Pemuda Militer yang terbentuk tahun 1957, adalah bentuk
infiltrasi politik ABRI, yang waktu itu
itu mulai menunjukkan sifat kohesinya yang kuat dalam kehidupan politik,
sebagai respon atas pertentangan ideologi, sehingga melirik mahasiswa sebagai
kelompok independen untuk menjadi mitra. Hasil perjuangan mahasiswa telah mampu
menaikkan Jenderal Soeharto untuk menduduki kursi RI-1, justru mahasiswa yang
kritis atas situasi perpolitikan negara harus berhadapan dengan strategi
de-politisasi oleh pemerintah berkuasa, karena Presiden Soeharto lebih tertarik
untuk berkoalisi dengan intelektual dan tekhnokrat murni yang selama ini tidak
pernah concern dengan persoalan politik.
Kedua, gerakan mahasiswa tahun
1974/1975, juga sempat terprofokasi oleh isu-isu anti Jepang sehingga pada
tanggal 15 Januari 1975 yang kemudian di kenal dengan Malari, terjadi
pembakaran produk-produk Jepang di Indonesia, padahal ini tidak lebih akibat
dari pertarungan untuk memperebutkan pasar antara AS dan Jepang. Gerakan yang
kemudian dijawab oleh pemerintah dengan dikeluarkannya NKK/BKK (Normalisasi
Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Ketiga, gerakan
Mahasiswa tahun 1998-pun tidak jauh beda. Mahasiswa terprovokasi oleh isu-isu
yang di buat oleh pihak luar, meskipun gelombang aksi terjadi di seluruh
penjuru Indonesia, tetapi yang lebih signifikan untuk mendorong pemerintah
Soeharto mundur adalah fluktuatifnya kurs rupiah atas dollar AS dan berhentinya
pasar modal dalam negeri, sebagai respon atas kekuasaan Soeharto berlebihan
yang hanya berorientasi membangun istana ekonomi keluarga dan kroni, sehingga
menutup peluang investasi pengusaha-pengusaha asing khususnya AS dan mengamcam
kepentinagn internasional AS. Situasi pemerintahan yang seperti ini, sehingga
memunculkan isu-isu populis yang kemudian terkenal dengan 6 visi reformasi
(Adili Soeharto, Cabut Dwi Fungsi ABRI, Hapus KKN, Tegakkan Supremasi Hukum,
Otonomi Daerah dan Amandemen UUD`1945)
yang entah dari mana datangnya, namun tiba-tiba mengema dan menjadi
simbul perlawanan yang disuarakan oleh mahasiswa di seluruh Indonesia. Momentum
gerakan mahasiswa yang kemudian dimanfaatkan oleh elit tertentu. ”Gerakan
reformasi ini telah dimanipulasi para elit politik, baik elit politik yang lama
maupun yang baru, yang masih berambisi meraih kekuasaan bagi diri dan
kelompoknya dengan cara saling kompromi diantaranya lewat pemilu yang
dilaksanakan tahun 1999” (Meluruskan Arah Perjuangan Reformasi Dan Merajut kembali
Merah-Putih Yang Terkoyak : Iluni UI). Akankah kita para mahasiswa sekarang
kembali akan menjadi alat dan terprovokasi dengan isu-isu populis tertentu yang
ternyata hanya menguntungkan kelompok tertentu dan jauh dari kepentingan riil
masyarakat ?
b.
Gerakan Moral Mahasiswa
Terlepas dari sejarah panjang perjalanan gerakan
mahasiswa di Indonesia, kekuatan mahasiswa hanya mampu menjadi kelompok preasure
group yang ternyata di dorong oleh kepentingan kelompok tertentu. Pada sisi
lain mahasiswa tidak mampu memberikan satu rumusan konseptual dan solusi atas
berbagai problematika transisi. Kegagalan-kegagalan yang tetap harus kita akui
sebagai bentuk kelemahan kita bersama, yang salah satunya disebabkan
keterjebakan kita dalam stigma gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral.
Sejarah panjang mengenai peran gerakan mahasiswa di
Indonesia, memang telah mengoreskan tinta sejarah dengan menyebut gerakan
mahasiswa sebagai gerakan moral. Hal
ini tentunya dilatar belakangi dengan keberhasilan gerakan mahasiswa menumbangkan
rezim Soekarno tahun 1966, Soeharto tahun 1998 dan Gus Dur tahun 2001, yang
konon katanya digerakkan oleh berhentainya proses demokratisasi, penegakan HAM,
tidak berjalannya supremasi sipil dan
supremasi hukum serta lain-lainnya. Latar belakang inilah yang kemudian
cukup signifikan mempengaruhi kemunculan stigma gerakan mahasiswa sebagai
gerakan moral yang katanya akan selalu menyuarakan kepentingan rakyat banyak
dengan idiom-idiom demokrasi, HAM, supremasi sipil dan lain-lain.
Meminjam istilah Ben Anderson dalam bukunya Revolusi
Pemuda, mengenai peran pemuda yang
sangat besar dalam menentukan masa depan sebuah bangsa. Dimana dalam peran ini
mahasiswa menjadi bagian didalamnya. Selain itu adanya pepatah Arab yang
berbunyi “Syubhanul yaum rijaalul ghoddi (Pemuda Sekarang Adalah pemimpin
masa depan)”. Kedua hal
tersebut di atas paling tidak menjadi landasan epistimologi yang akan semakin
menguatkan stigma gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral, sebagaimana kuatnya
memori kolektif masyarakat yang menyebut bahwa pemuda Indonesia pada tahun 1908
telah mempunyai andil yang cukup besar terhadap bangsa Indonesia dengan
keberahasilannya melaksanakan sumpah pemuda,
dimana masyarakat tidak pernah paham mengenai kenyataan empiris tentang
kondisi dan situasi sosial-politik dan ekonomi dalam negeri serta tren politik
global pada waktu itu.
Budiaman Sudjatmiko pada tahun 2000 dalam tulisannya
Demoralisasi Gerakan Mahasiswa menyebutkan bahwa yang disebut dengan
demoralisasi gerakan mahasiswa diartikannya dengan surutnya atau tidak adanya
kekompakkan berbagai elemen gerakan mahasiswa
pada waktu itu dalam merespon isu-isu yang berkembang saat itu, yang
menarik pengertian dari pemengalan kata demoralisasi, dengan mengartikan bahwa de-
yang artinya tidak atau mengecil dan moral yang diartikan respon
mahasiswa yang mengunakan idiom-idiom demokratisasi, HAM, supremasi hukum dan
lain-lain.
Gerakan mahasiswa tidak pernah mengunakan gerakan moral
sebagai pilihan bentuk aktualisasinya, tetapi yang dilakukannya adalah gerakan
politik. Hal ini dilatar belakangi oleh beberapa alasan, pertama,
gerakan mahasiswa dalam orientasinya yang ingin melakukan perubahan, selalu
mengunakan ukuran perubahan struktur atau lebih spesifik perubahan kebijakan
sebagai ukuran keberhasilannya. Fenomena
tentang perubahan struktur atau perubahan kebijakan yang terjadi di
Indonesia selalu dihasilkan dari proses gerakan politik bukan gerakan moral. Kedua,
stigma gerakan moral tidak lain adalah bentuk justifikasi dari kebenaran
akademis yang kelahirannya dilatar
belakangi karena independensi perguruan tinggi, yang berimplikasi pada cara pandang bahwa gerakan
mahasiswa adalah gerakan yang masih murni dan independen yang sangat jauh dari kepentingan pragmatis
dan kepentingan politik tertentu. Padahal realitas empiriknya gerakan mahasiswa
banyak mendapatkan donor dari partai politik, pemerintah, founding
internasional dan lain-lain. Ketiga,
gerakan mahasiswa yang mengklaim dirinya menyuarakan aspirasi rakyat dengan
mengunakan idiom demokrasi, HAM, supremasi sipil, supremasi hukum dan yang
lainnya, telah menjadikan idiom-idiom
tersebut sebagai standar moral gerakan. Standar moral yang cenderung dikotomis
karena pada realitasnya, moral kemudian kemudian menjadi alat untuk mengukuhkan
eksistensi gerakan mahasiswa dan menyerang lawan (baca : negara) yang pada sisi
lain negara yang dalam perwujudannya sebagai bentuk dari konsep trias politika
(eksekuti, legeslatif dan yudikatif) juga mengunakan idiom yang sama dalam
menjalankan tugas dan fungsinya, tetapi kemudian mengapa gerakan structural
negara dalam kontes yang sama tidak disebut sebagai gerakan moral tetapi lebih
cenderung disebut gerakan politik yang identik dengan relasi kuasa. Keempat,
moral dalam gerakan mahasiswa sebenarnya hanya menyetuh pada aspek psikologi,
emosional dan romantisme, bukan moral yang menjadi élan dan subtansi dari
gerakan, karena kebangkitan gerakan mahasiswa lebih signifikan dipengaruhi
faktror eksternal yang lebih massif. Contohnya adalah terbentuknya Badan Kerja
Sama Pemuda-Militer (BKSPM) yang terbentuk tahun 1957, adalah bentuk infiltrasi
politik ABRI. dan gerakan mahasiswa tahun 1974/1975 yang melakukan pembakaran
produk-produk Jepang di Indonesia, yang
terkenal dengan Malari, sebenarnya hanyalah akibat dari pertarungan antara AS
dan Jepang untuk memperebutkan pasar di Indonesia.
Untuk itu, refleksi bersama atas
internal gerakan mahasiswa yang katanya sebagai tulang punggung masa depan
bangsa harus segera mungkin dilakukan. Keberadaan moral dalam gerakan mahasiswa
tidak lain adalah bentuk pelarian dari individu seorang mahasiswa yang tidak
mampu membebaskan diri dari belenggu moral dalam konteks pribadi, yang kemudian
membawanya dalam komunitas gerakan mahasiswa. Tidak bebasnya belenggu disini
meliputi, Pertama, belenggu moral dalam prespektif teologis yang
mengikat relasi manusia dengan Tuhan dalam menjalankan hukum agama dan
kewajiban sebagai seorang hamba-Nya
dimana terdapat penilaian atas perilaku individu yang kemudian disebut
dengan dosa atau tidak dosa dan halal atau haram. Kedua, belenggu dalam
perspektif norma yang mengikat hubungan antar individu dan masyarakat, dimana terdapat penilaian masyarakat terhadap
perilaku individu yang kemudian disebut bermoral atau amoral karena perilakunya
yang keluar dari batasan-batasan norma, etika dan adat yang berlaku di
masyarakat.
Dari penjelasan di atas, maka moral
sebenarnya adalah system nilai yang berlaku universal bagi individu bukan
komunitas (baca gerakan) dan menjadi
alat mekanisme kontrol atas perilaku individu dalam menjalankan kehidupannya
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
c.
Belajar
Dari Sejarah PMII
Sebagai sebuah organisasi yang
telah berusia hampir setengah abad, semestinya PMII telah mencapai periode
kamatangan, sejak didirikan pada 17 April 1960 sebagai bagian integral dari
organisasi NU, PMII memang berfungsi sebagai sayap mahsiswa NU di samping GP
Ansor di sayap pemuda, Muslimat di sayap ibu-ibu, Fatayat di sayap remaja putri
dan IPNU/IPPNU di sayap pelajar serta Banom-Banom lain, maka komitmen PMII
kapada jam`iyah NU adalah suatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Maka
keterlibatan PMII di masa-masa awal berdirinya sebagai penyokong Partai NU
adalah sebuah keharusan.
Pada tahun 1974 ketika NU telah melakukan fusi politik dengan partai-partai
Islam lain, dalam PPP, maka deklarasi independensi di Munarjati Malang juga
merupakan pilihan sejarah yang sangat penting. Dengan tegas PMII menyatakan
independen dari NU karena PMII memang harus menegaskan visinya bukan sebagai
bagian partai politik.
Demikian pula, deklarasi interdependensi pada dekade 1980-an, yang kembali
menegaskan ke saling tergantungan antara PMII-NU adalah bukti bahwa PMII tidak
akan dapat meninggalkan komitmennya terhadap jam`iyah NU. Pilihan-pilihan
dependensi-independensi-interdependensi ini sebenarnya tidak perlu terlalu
dipermasalahkan. Perdebatan-perdebatan selama tiga dekade awal PMII tampaknya
hanya berkisar di sekitar pilihan-pilihan ini belaka. Ini berakibat pada
terbengkalainya rancangan-rancangan kedepan yang berada di luar batas-batas NU.
Ini tentunya kontra produktif terhadap PMII sebagai sebuah gerakan yang
mengandaikan adanya perubahan sistem dan struktur dalam jangka panjang, karena
tidak akan perubahan dapat bergerak keluar dari batas-batas kulturalnya. Ini
yang kemudian disebut sebagai jebakan primodialisme dalam gerakan, karena PMII
tidak akan dapat pernah berperan sebagai agen transformasi kedalam NU yang
nyata-nyata adalah komunitas dari mana ia lahir, alih-alih menjadi bagian dari
kemapanan NU yang membekukan.
Dengan demikian komitmen PMII terhadap NU adalah komitmen yang mengambil
bentuknya dalam clas of strugle yang akan mengawal visi dan misi NU kedepan
disamping transformasi internal tersebut. Perdebatan yang lebih produktif baru
muncul dekade 1990-an seiring dengan semakin luasnya pengaruh pemikiran Gus Dur
di kalangan muda NU, terutama PMII. Figuritas Gus Dur sebagai tokoh demokrasi
dan pengusung civil society yang kritikal terhadap pemerintahan rezim Soeharto
sangat berpengaruh dalam pembentukan pola fikir aktifis-aktifis PMII.
Yang perlu di catat adalah bahwa secara paradigmatik kepengurusan sahabat
A. Muhaimin Iskandar pernah mensosialisasikan ( paradigma Arus Balik
Masyarakat Pinggiran ) yang implikasinya sangat luas terhadap pola gerakan
PMII hampir diseluruh Indonesia. Dipandu oleh gagasan free market of ideas periode
ini menyaksikan sebuah massive enlightenment di tubuh PMII. Selama
setidak-tidaknya, paruh kedua dekade 1990-an PMII dengan gigih memperjuangkan
demokrasi dan civil society sebagai nilai-nilai pembebasan. Dari
masa inilah muncul optimisme baru tentang gairah gerakan di PMII.
Selama ini, kepengurusan di PMII dan organisasi-organisasi mahasiswa ekstra
lainnya semisal HMI, IMM, PMKRI, GMNI dan GMKI adalah sebagai batu loncatan
untuk menduduki kursi-kursi di KNPI yang didukung oleh pemerintah.
Nyata-nyatanya hanya organisasi-organisasi pro pemerintah yang pada
akhirnya mendapatkan kursi di KNPI dan
selanjutnya kursi di DPR/MPR RI. Organisasi-organisasi kritis tidak akan mendapatkan
tempat dalam kultur politik orde baru yang sangat nepotis. Artinya, antrian
menuju kursi kekuasaan tidak akan pernah sampai kecuali dengan melalui
setrategi lain yang berada di luar mainstream. Dan PMII melakukan itu tak kala
HMI menjadi rival utamanya selama ini justru sedang bermesraan dengan rezim
orde baru melalui politik ijo royo-royo dimana lebih dari 300 orang anggota MPR
RI adalah alumni HMI.
Akhirnya, PMII bersama organ-organ mahasiswa forum Cipayung minus HMI
mendirikan sebuah forum bernama Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia (FKPI)
sebagai bentuk keprihatinan atas mentalnya politik aliran di Indonesia yang
ditandai dengan semakin massifnya kelompok-kelompok yang tergabung di dalam
ICMI, mengusung bendera representasi Islam yang mayoritas di dalam kekuasaaan.
Dengan dukungan pemerintah Soeharto, ICMI melakukan ekspansi ke berbagai lini
dengan mengusung isu-isu Islamisasi, baik di sektor ekonomi dengan mendirikan
Bank Muamalat, di media dengan mendirikan Republika yang diasumsikan sebagai
koran Islam, maupun di permodalan dengan mendirikan BPR-BPR syariah. Disektor
ekonomi, isu yang diusung adalah kemandirian ekonomi umat dan anti cina,
sebagai kelompok yang dianggap menghancurkan ekonomi Indonesia.
Klimaks dari resistensi terhadap pemerintahan rezim oede baru adalah
gerakan mahasiswa di penghujung dekade 1990-an dimana PMII berdiri di barisan
paling depan dalam menghancurkan rezim orde baru, sebagaimana NU juga berdiri
di barisan paling depan dalam menganyang PKI pada paruh ke-dua tahun 1960-an.
Paradigma arus balik masyarakat pingiran yang di pandu oleh gagasan free
market of ideas tersebut berhasil menciptakan kader-kader PMII yang kritis
dan memiliki militansi gerakan yang memadai dan sikap yang terbuka. Keterbukaan
itu ditandai dengan luasnya pergaulan aktifis-aktifis PMII dengan kelompok-kelompok
minoritas yang selama ini selalu terkucilkan. Dengan bekal pemahaman teologis
yang inklusif para kader mampu melampaui sekat-sekat agama yang selama ini di
pelihara demi kelanggengan kekuasaan. Hampir di semua level, komunikasi (baca :
silaturahmi) kader-kader PMII dengan kalangan katolik, misalnya berjalan dengan
natural dan tidak di buat-buat. Sampai sekarang pergaulan lintas agama ini
telah jauh melampaui gagasan dialog agama atau konsep masyarakat multi kultur
yang didukung kuat oleh funding agency. Jika orang-orang masih ramai
berbicara tentang teologi inklusif melalui dialog-dialog formal, maka
kader-kader PMII telah jauh berinteraksi dan secara timbal balik meresap di
dalam keberagamaan itu sendiri. Singkatnya, don`t teach me how to act inclusively
since i`m coming from such a society !
Namun, diluar keberhasilan paradigma arus balik dan FMI
tersebut, selalu ada yang terasa belum selesai dibangun di PMII, indikasi yang
paling jelas adalah ketika KH Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden RI
yang ke-4 pada november 1999. Secara serta merta para aktifis PMII ( dan NU dan
juga aktifis-aktifis civil society pada umumnya) mengalami kebingungan apakah
perjuangan civil society harus berakhir ketika Gus Dur yang selama ini menjadi
tokoh dan simbul perjuangan civil society di Indonesia telah naik ketampuk
kekuasan. Nampaknya sikap para kader PMII terbelah dua pada saat itu. Ada yang
menghendaki agar PMII tetap bergerak di jalur kultural dan ada pula yang
menghendaki agar PMII harus membela Gus Dur. Dari sinilah kemudian mulai muncul dikotomi NU
kultural dan NU struktural, yang secara otomatis juga terjadi di PMII. PMII kultural dan PMII struktural, yang kedua-duanya
tidak saling bertemu dan cenderung saling menyalahkan. Sampai sekarang, dikotomi
itu masih sedikit terasa sekalipun telah kehilangan relevansinya semenjak Gus
Dur di jatuhkan oleh sebuah konspirasi politik maha tinggi.
Artinya paradigma arus balik telah patah disini.
Paradigma ini kemudian di ganti dengan paradigma Kritis-Transformatif yang
nalar penyusunannya tidak juah beda dengan nalar penyusunan paradigma arus
balik. Dengan kata lain, paradigma ini melanjutkan kagagapan PMII dalam
bersinggungan dengan kekuasan. Setidak-tidaknya ada tiga alasan untuk
menjelaskan patahnya ke dua paradigma ini. Pertama, keduanya di desain
hanya untuk melakukan resistensi terhadap otoritarianisme tanpa kompleksitas
aktor di level nasional yang selalu terkait dengan perubahan di tingkat global
dan siklus politik-ekonomi yang terjadi. Sebagai contoh maraknya LSM pro
demokrasi dan gencarnya isu anti militerisme pada dekade 1990-an adalah akibat
dari runtuhnya Uni Soviet sebagai rival USA dalam kompetisi hegemoni dunia.
Secara siklis dapat dijelaskan sebagai berikut, Soeharto
berhasil merebut tampuk kekuasaan dari Presiden Soeharto pada tahun 1966
melalui supersemar dengan dukungan penuh dari politik luar negeri AS yang
sedang gencar-gencarnya melakukan containment terhadap komunisme. Saat
itu adalah sedang panas-panasnya persaingan antara blok barat yang kapitalis
dan blok timur yang komunis. Posisi Indonesia demikian pentingnya pada waktu
itu karena seandainya Indonesia jatuh ketangan komunisme maka negara-negara
yang berada disebelah utara Indonesia seperti Malaysia, Thailand, Filipina dll
secara otomatis akan jatuh. Maka, Indonesia harus di bebaskan dari hantu komunisme ( le spectre de
la communisme)
Dan Soeharto adalah seorang jenderal tentara yang dapat
menjalankan misi AS tersebut. Seiring dengan berjalannya waktu, komunisme jatuh
pada tahun 1989 dan ini berakibat pada merosotnya dukungan AS kepada Soeharto.
Dengan kata lain Soeharto harus di jatuhkan. Dari saat inilah kemudian AS mulai
mendorong demokratisasi di Indonesia melalui Isu-isu HAM dan civil society,
melalui berbagai LSM yang danai melalui funding agency, pada sisi lain
Soehartopun menjalin kekuatan dengan kelompok-kelompok Islam yang justru selama
ini di marginalkannya. Puncaknya adalah berdirinya ICMI pada awal dekade
1990-an, sebagai sayap politik baru Soeharto pasca hilangnya dukungan AS kepada
pemerintahannya. Dari sini, kemudian
juga terjadi pembelahan, mereka yang bergerak dengan isu HAM dan civil society
melawan rezim otoriter Soeharto yang mulai didukung oleh organisasi-organisasi
Islam politik dibawah payung ICMI. Dan PMII terlibat di sini di pihak pertama
sebagai pengusung isu demokrasi dan civil society. Sebenarnya, jika para aktor
politik Indonesia tidak terjebak pada peristiwa-peristiwa politik lokal dan
mencoba sedikit melihat keluar, hampir di pastikan Soeharto dapat di jatuhkan tanpa
harus menunggu terlalu lama.
Kedua, kedua paradigma ini hanya menjadi bunyi-bunyian
yang tidak pernah secara real menjadi habitus atau laku di PMII. Akibatnya,
bentuk resistensi yang muncul adalah resisten tanpa tujuan, yang penting
melawan. Sehingga ketika perlawanan itu berhasil menjatuhkan Soeharto terlepas
ada aktor utama yang bermain, PMII dan organ-organ pro demokrasi lainnya tidak
tahu harus berbuat apa. Dari sini, dapat di baca bahwa paradigma itu tidak
disertai dengan semacam contingency plan yang dapat menyelamatkan
organisasi dalam situasi apapun.
Ketiga, pilihan paradigma ini tidak didorong oleh
setrategi (not strategy-driven paradigm) sehingga paradigmanya di anggap
sebagai suatu yang baku. Mustinya, ketika medan pertempurannya telah berganti,
maka strateginyapun harus berbeda. Ketika medan pertempuran melawan
otoritarianisme orde baru telah di kalahkan, PMII masih berpikir normatif
dengan mempertahankan nalar paradigma lama. Ini membuktikan bahwa PMII tidak
berpikir strategis.
Berangkat dari berbagai pengalaman
di atas, maka sudah saatnya kita berpikir relistis atas kondisi bangsa kita
saat ini. Membangun Indonesia yang benar-benar demokratis dengan menyerahkan kedaulatan di tangan
rakyat sebagaimana yang dicita-citakan oleh para founding father kita
dalam UUD`1945. Bagimanapun demokrasi adalah gagasan yang paling mengairahkan
yang kemunculannya sejak abad XX, sehingga banyak negara-negara di belahan
dunia berlomba untuk bisa mengkalin dirinya sebagai negara yang demokratis.
Kompleknya persoalan-persoalan bangsa kita, mulai dari kemiskinan, beban
hutang, KKN, ancaman disintegarsi, penegakan HAM, dan lain-lain menjadi
tantangan Indonesia yang harus segera diselesaikan. Krisis ekonomi sejak
pertengahan tahun 1997, memang telah menghancurkan struktur ekonomi dan politik
kita. Namun sebagai manusia Indonesia memang
kita dilahirkan atas dasar naluri
individual dan kebebasan, tapi tidak dilahirkan dengan pengetahuan yang membuat
struktur ekonomi dan politik menjadi kebebasan yang akan dinikmati secara
Cuma-Cuma, namun pilihan untuk berdemokrasi harus menjadi implementatif dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga menjadi ciri dalam berinteraksi
antar warga negara. Sebagaimana disebut Karim Suryadi, ”Menata demokrasi belum
cukup hanya dengan mendirikan kelembagaan demokrasi, demokrasi yang sehat untuk
sebagian besar bergantung pada pengembangan budaya warga negara yang demokratis
(democratic civic culture), budaya dalam artian perilaku,
praktek-praktek dan norma-norma yang mencerminkan kemampuan rakyat untuk
mengatur diri mereka sendiri, terlebih dalam hal menyikapi konflik, melakukan
kompromi dan konsensus”.(Karim Suryadi : 1999)
Untuk itu diperlukan yang namanya
pendidikan demokrasi kepada warga negara dan harusnya menjadi satu perhatian
mendasar bagi pemerintah dan partai politik sebagai infrastruktur politik
negara. Hal ini didasari pada kepentingan bersama yaitu, pengakuan dan
penghormatan atas hak asasi, harkat dan martabat individu diakui, penegakan
aturan hukum, menjalankan kewajiban bersama dan menempatkan kepentingan umum
menjadi kepedulian bersama. Untuk membangun satu struktur ekonomi dan politik
Indonesia kedepan yang akan mengerakkan berjalannya proses demokratisasi, kita
juga harus mempertimbangkan faktor-faktor eksternal lainnya.
Suatu
persoalan kompleks yang selama ini tidak pernah muncul dalam pikiran kita
bersama. Sebagaimana disebut Jacob Oetama,”ekonomi pasar dalam bentuknya yang
liar justru berlawanan dengan visi, orientasi dan nilai-nilai Indonesia, sangat
besar bahkan sangat menentukan peranan kepemimpinan dalam pemerintahan dan
masyarakat, dalam lembaga-lembaga pemrintah dan lembaga-lembaga kemasyarakatan
termasuk lembaga ekonomi masyarakat seperti usaha-usaha swasta” (Jacob Oetama :
2001). Berbagai hal ini harusnya bisa diantisipasi sejak dulu jika pemerintah
waktu itu tegas melaksanakan pendekatan integralistik yang berbasiskan pada
beragamnya entitas etnik dalam konteks
ke-Indonesiaan. Sebagai mana disebut Dr.Ir.H. Bunyamin Ranto, SE, “secara
sederhana, makna konsep integralistik dalam konteks ke-Indonesiaan adalah
sebuah konsep yang senantiasa mengacu kepada azas keterpaduan yang dilandaskan
pada prinsip-prinsip keserasian, keselarasan dan keseimbangan” (Dr.Ir.H.
Bunyamin Ranto, SE : 1995)
Selama
ini, nalar penyusunan gerakan di Indonesia
setelah Tan Malaka lebih bersifat akademik. Artinya diawali dengan
berbagai konsep ideal tentang masyarakat atau negara yang berasal dari barat.
Konsep-konsep yang dipakai dikalangan akademis kita semuanya berbau liberalisme,
sehingga secara akademis tidak ada kemungkinan untuk meloloskan diri dari arus
liberalisme. Semenjak dari pikiran, gerakan itu memang tidak akan pernah
berhasil. Yang dibayang kan disini, setiap konsep itu berlaku secara universal
tanpa mempertimbangkan kenyataan yang menjadi setting aplikasi konsep tersebut.
Contoh
yang sering dikemukan tentang tidak nyambungnya antara konsep ideal-barat
dengan kenyataan Indonesia adalah konsep-konsep politik-ekonomi yang dibawa
oleh para elit politik dan tokoh gerakan Indonesia semenjak kemerdekaan sampai
sekarang ini. Apada awal-awal kemerdekaan isu “revolusi” menjadi semacam isu
tunggal, dengan asumsi revolusi ala Mark yang mengandaikan adanya pertentangan
kelas-kelas sosial. Soekarno yang dengan gigih mengusung isu revolusi ini
justru akhirnya gagal dan terguling dengan kekuasaanya. Demikian pula dengan
isu “ pembangunan” yang diusung oleh
rezim orde baru, yang diasumsikan bahwa setelah mengikuti beberapa tahapan yang
telah digariskan Indonesia akan dapat melakukan tinggal landas menjadi negara
industri maju.
Konsep-konsep
revolusi dan pembangunan yang di negeri asalnya berjalan dengan baik, justru
tidak berjalan di Indonesia. Apa yang salah ? Konsepnyakah yang memang
mempunyai keterbatasan kontekstual ataukah memang kondisinya yang salah
sehingga konsep-konsep ideal itu tidak dapat bersanding dengan kenyataan real
yang setiap hari di jalani oleh masyarakat.
Atau
belum lama ini muncul gagasan tentang ekonomi kerakyatan yang bertujuan untuk
memandirikan masyarakat Indonesia pribumi. Anehnya isu kemudian malah menjadi
praksis bukan lagi ekonomi karakyatannya, tetapi isu anti cina yang selama ini
di anggap menjadi biang kerok hancurnya ekonomi Indonesia. Isu ekonomi
kerakyatan berubah menjadi isu rasial yang sangat merugikan Indonesia karena
etnik Cinalah yang secara real memegang jalur-jalur distribusi ekonomi sampai
level yang paling bawah. Jika isu anti Cina yang di usung oleh beberapa
gelintir elit pribumi yang dikompromi oleh rezim hegemoni dunia tersebut
menjadi kenyataan, maka yang paling di rugikan adalah masyarakat Indonesia
sendiri.
Dari
sini, kita melihat bahwa di kepala para elit kita sekalipun belum terbentuk satu cara pandang
yang memadai dalam membaca kenyataan Indonesia dan kemudian mencoba mengunakan
hasil bacaan tersebut sebagai pijakan untuk menjadikan Indonesia naik kelas.
Dengan
kata lain persoalan sulitnya membangun paradigma berbasis kenyataan di PMII itu
pararel dengan kesulitan membuat agenda nasional yang berangkat dari kenyataan
Indonesia. Sehingga, apabila PMII merintis sebuah paradigma semacam itu,
sekalipun untuk sementara akan tersisih dari pergaulan mainstream, maka suatu
hari nanti sejarah akan mencatat PMII sebagai gerakan sosial yang menjadi
pelopor Indonesia baru yang mbenar-benar merdeka.
Memang,
saat ini orang selalu berpikir Instan dan hanya mau melihat hasil tanpa mau
melihat bagaimana sebuah proses terjadi untuk mewujudkan utopia. Sehinga
benturan pertama bagi sebuah paradigma untuk berjalan adalah dampak jangka
pendeknya, atau dengan kata lain problem survaival menuntut kita untuk
meningalkan pikiran-pikiran panjang kita. Gerakan harus mampu berkayuh di
antara gelombang panjang dan gelombang pendek, agar gelombang panjang tetap
terkejar dan gelombang pendek tidak cukup kuat untuk menghancurkan biduk kita
yang rapuh.
Bagaimanapun untuk membangun gerakan kita harus
mendahulukan realitas ketimbang logos.
Strategy Bergerak Dengan Paradigma Berbasis Kenyataan
Akhir abad
XX dan awal abad XXI ini telah menyaksikan maraknya gerakan anti globalisasi
yang telah mengharu-biru Seattle sampai Genoa dan sekarang mulai menyebar
kenegara-negara dunia ke tiga. Gerakan seperti ini akan mengalami kegagalan
dalam situasi seperti ini karena nalar anti globalisasi sama dengan nalar
globalisasi. Tidak ada ruang setrategi yang tersisa dengan gerakan yang
demikian frontral. Dinegara-negara maju gerakan semacam ini dimungkinkan karena
di topang oleh kesadaran setrategis yang mendalam, sementara di negara-negara
peryphyery seperti Indonesia gerakan ini berubah menjadi semacam gerakan
konsorsium LSM anti globalisasi yang mengajukan diri untuk mendapatkan kucuran
dari funding agency sebagai kepanjangan tangan langsung dari suatau pemerintah.
Artinya gerakan anti globalisasi di Indonesia menjadi lelucon bahan tertawaan
di siang hari.
Atau
katakanlah gerakan itu benar-benar didasari oleh suatu keyakinan bahwa
globalisasi telah membunuh ekonomi masyarakat kecil, tetapi karena gerakan itu
tidak mempertaruhkan sebuah skenario pasca perlawanan (skenario sukses) maka
gerakan itu akan berubah bentuk menjadi heroisme individu-individu belaka, yang
justru dimanfaatkan oleh para aktor politik untuk maraih keuntungan dari
gerakan ini, lantas apakah gerakan yang tepat adalah gerakan pro globalisasi
atau reserve ?
Gerakan
pro globalisasi tanpa reserve berati menghanyutkan diri dalam arus globalisasi
tanpa pengetahuan yang cukup bagaimana harus menepi, karena sekali tersedot
arus maka akan sulit untuk kembali. Bentuknya yang paling kongkrit adalah
menjadi agen kepentingan-kepentingan global baik pada aras wacana maupun pada
aras operasi khusus mereka. Hanyut dalam arus neoliberalisme berati menjadikan
uang sebagai tanah air dan bangsa, karena ideologi pasar bebas tidak mengenal
batas-batas teretori negara-bangsa, yang dikenal adalah hambatan-hambatan
tarif, proteksi, subsidi, nasionalisasi. Itulah batas-batas negara-pasar
(market-state).
Gerakan
yang berangkat dari kedua paradigma di atas, yaitu gerapan pro dan anti
globalisasi akan mengalami kegagalan karena tidak mempertaruhkan sesuatu yang
lebih besar dari pada proyek politik isu tunggal dan heroisme belaka. Atau
gerakan ini memang tidak didesain untuk melakukan perubahan sistem dalam jangka
panjang. Karena nalarnya yang mediatik (ukuran keberhasilannya di ukur dari
coverage media terhadap aksi-aksinya) maka sangat jelas bahwa orientasi hanya
bersifat jangka pendek. Gerakan-gerakan inilah yang didorong justru oleh
struktur neoliberalisme karena gampang di patahkan dan di aborsi.
Mari
kita mencoba melihat nalar masing-masing gerakan ini. Gerakan anti globalisasi
(jika sungguh-sungguh) didominasi oleh nalar anti asing (xenophobia) yang
melihat setiap orang luar yang masuk ke dalam wilayahnnya sebagai ancaman tanpa
mencoba mengambil manfaat dari interaksi yang mungkin terjadi antara keduanya.
Karena globalisasi berintikan pemain-pemain asing yang dilihat sebagai ancaman,
maka untuk melawannya harus dengan gerakan anti globalisasi. Gerakan ini
menafikkan interaksi dan komunikasi, pertukaran antara global structure dengan
local structure. Nalar anti asing ini bermanfaat jika secara setrategis dapat
digunakan untuk membangkitkan semangat dan kreatifitas internal berhadapan
dengan global threat tadi. Tetapi dampak yang ditimbulkan oleh nalar semacam
ini adalah isolasi diri dari pergaulan dunia tanpa mencoba untuk belajar dari
keberhasilan negara-negara lain, walaupun tidak harus mengikuti jalan mereka.
Sementara
nalar para pendukung buta globalisasi adalah nalar agent (baca : marsose) jika
diletakkan dalam kondisi kerapuhan dan fragmentasi struktur lokal ini. Nalar
ini bekerja sesuai dengan keinginan supplier dan produsennya, tidak mempunyai
kesetiaan terhadap komunitas besar dari mana ia berasal dan menghanyutkan diri
dalam hiruk-pikuk kepentingan sang juragan. Yang menarik di level praksis
gerakan anti globalisasi akan dihadapkan dengan agen-agen ini. Jadi medan
pertempuran kedua gerakan ini tetap di dalam kampung sendiri sehingga ketika
pertempuran usai hanya menyisakan puing-puing sementara barang-barang berharga
milik kampungnya telah di jarah oleh sang juragan.
Kedua
model gerakan ini tidak memiliki contigensy plan karena memang tidak didesain
untuk dapat survive, ini dapat terlihat dari jalur0jalur
produksi-distribusi-warring position. Gerakan seharusnya ditujukan untuk
kemajuan komunitas besar dari mana ia berasal. Kamajuan dalam pengertian
naik-kelas dari komunitas yang tidak dapat berbuat apa-apamenjdi bersuara dan
didengar oleh orang lain.Tentu naik-kelas disini berada pada level dunia
Kerja-kerja gerakan adalah kerja-kerja sistem dunia (baca peradaban) sehingga
para aktivis gerakan tidak terjebak dalam kenikmatan sesaat yang ditawarkan
oleh sistem yang hendak di ubahnya.
Dalam
situasi dan kondisi kuatnya penetrasi struktur global atas fragmentasi struktur
lokal, maka setrategi gerakan yang paling dimungkinkan dan memiliki tingkat
survival yang tinggi adalah gerakan yang mampu bermain di tengah-tengah tekanan
ini. Dari sini gerakan ini setidaknya melakukan perebutan (warring position) di
tiga front sekaligus, yaitu local front, global front dan internal-movement
front. Karena itu setrategi yang harus di gunakan adalah multi level setrategy.
Kita harus meninggalkan single setrategy yang selama ini kita gunakan dengan
dalih konsistensi gerakan. Jika bukan lagi anti-systemic movement ala
Wallersteihn, bukan juga systemic movement karena itu dapat terpeleset menjadi
korban. Bukan systemic movement pun karena tidak ditujukan untuk memperkuat
sistem yang berjalan, tetapi non systemic movement berjalan dalam sistem
tersebut sambil menciptakan conditions of possibilities untuk membangun sistem
yang sama sekali berbeda. Ini terkait erat dengan setrategy gerakan multi-level
dalam front yang berbeda. Dengan demikian, ini meniscayakan multi centers yang
saling memahami posisi masing-masing, dalam tataran tertentu memang diperlukan
central-planner.
Gerakan
di tiga front tersebut secara terpusat memerlukan kelenturan yang luar biasa,
ini terkait denganh energi di ketiga front. Pada suatu ketika struktur global
diperlukan untuk menghapuskan local structural constraints yang membahayakan
gerakan. Demikian pula struktur lokal juga diperlukan untuk menghambat gerak
maju struktur global tersebut. Diluar keduanya front dalam gerakan
(internal-movement) menempati posisi yang paling penting dalam kontinuitas
gerakan membangun sistem karena front ini adalah home-base bagi kedua yang
lain. Justru energi yang diperoleh dari perebutan di front lokal dan global
tersebut harus dipertaruhkan untuk memperkuat front ini. Disinilah hidup mati
gerakan.
Ditingkat
operasional paradigma ini dapat dimulai dengan hal-hal yang sangat sederhana.
Untuk front global dapat dimulai dengan membangun sebuah pusat kajian untuk
pasar bebas, pusat kajian Cina dan lain sebagainya. Sementara untuk front lokal
dapat dimulai dengan membangun kajian tentang kerja-sama antar pulau (insular
cooperation) dan sebagainya untuk membangun jalur-jalur konvensional patah. Pada gilirannya front
dalam gerakan menyediakan mekanisme kaderisasi yang secara terus menerus
menyediakan para pemain untuk mendidtribusikan disemua front. Sebagai home-base
maka front ini harus totally secured, secara akumulatif-sirkular, gerakan ini
akan memperbesar ruang pengaruhnya (spare of influence) sehinga berhasil
membangun tata peradaban baru.
Post a Comment