Bagian III
PMII : Organisasi “Protes


Sejarah Tumbuhnya Kritisisme di PMII

Keberanian aktifis PMII untuk mempertanyakan segala yang tersisa dari tradisi, sangat dipengaruhi oleh sosok Gus Dur. Pola pikir seperti ini kemudian jika ditarik garis ke belakang, akan menemukan akar kritisisme PMII dalam wilayah pemikiran dimulai pada saat Gus Dur hijrah ke Jakarta dan mulai aktif menulis di berbagai media (sekitar awal ‘80-an). Keberhasilan Gus Dur mengangkat berbagai persoalan Islam tradisionalis Indonesia (NU) dalam belantara diskursus kebudayaan, kebangsaan dan kepolitikan Indonesia melalui tulisan-tulisan dan pikiran-pikiran menggugahnya di berbagai forum ilmiah (diskusi) telah mampu mengangkat kepercayaan diri para aktifis PMII saat itu (yang massanya mulai tersebar juga di kampus-kampus umum dan negeri, tak lagi terkonsentrasi di IAIN atau perguruan tinggi Islam swasta lainnya).
Sejak itulah, lembaran baru kritisisme PMII tertoreh. Sebab, sebelumnya, pada awal dasa warsa 70-an, PMII lebih disibukkan oleh pergulatan internal (penataan organisasi) dalam usahanya melepaskan diri dari kungkungan historis, kultural dan ideologis dengan partai NU maupun PPP. Sementara itu HMI telah memiliki seorang pemikir seperti Noercholis Madjid, dengan pemikiran neo-modernisnya mampu mengangkat ghirah kawan-kawan HMI dalam perambahan intelektual mereka yang memang anggotanya telah tersebar di berbagai kampus negeri dan umum. Jargon Cak Nur “Islam yes partai Islam no”, sekaligus mengusung pemikiran Fazlur Rahman (serta pemikir muslim modern lainnya) dalam wacana Islam Indonesia di paruh kedua dekade ‘70-an membawa inspirasi pada HMI mengklaim dirinya dalam barisan kelompok Islam neo-modernis di Indonesia. Kebanggaan HMI terhadap Cak Nur di akhir ‘70-an akhirnya ‘tertandingi’ juga oleh PMII yang tidak ‘rikuh’ malah agak “bangga” dituding sebagai penganut  dan penyebar pemikiran tradisonalisme radikal (meminjam istilah Nakamura) dan ide gerakan kulturalnya Gus Dur di awal ‘80-an. 
Apalagi semenjak Gus Dur memegang jabatan ketua umum PBNU, dimana sepak terjangnya mampu mengelakkan segala hal yang berbau serba negara (peretas budaya perlawanan dan oposan Orde Baru). Radikalitas pemikiran aktifis PMII semakin berkembang pesat dan memperoleh payung perlindungan dari keberatan para kyai ‘konservatif’ NU yang menganggap bahwa radikalitas pemikiran PMII yang mulai mempersoalkan dogma dan cara berpikir masyarakat NU yang “jumud” dan diwarnai dengan penerimaan penuh atas tradisi tanpa reserve itu sudah keluar dari pakem Islam tradisional. Mahbub Djunaidi dan Masdar Farid Mas’udi adalah produk dari dasa warsa ‘80-an ini.
Radikalitas pemikiran PMII semakin menjamur seperti cendawan di musim hujan pada awal dekade 90-an. Liberalisasi pemikiran itu tidak hanya terbatas pada pembaharuan pemikiran ke-Islaman semata, bahkan hingga pada corak pemikiran kebangsaan dan cara pandang mereka atas negara dan realitas sosial. Pada saat itulah kemudian mulai berkibar LKiS di Jogya dan kelompok kajian 164 di Jakarta, sebagai “motor” kritisisme intelektual PMII. Dasa warsa ini melahirkan sosok intelekual PMII seperti Ulil Absar Abdalla, Mun’im Dz, Ahmad Baso dan lain sebagainya
Pergulatan intens aktifis PMII dengan (pemikiran) Gus Dur dan berbagai pemikiran-pemikiran baru Islam di luar mainstream pemikiran Islam modernis (neo-modernis) seperti Jamaluddin Al Afghani, Abduh, Rasyid Ridha, Sayyid Muhammad Khan hingga Al-Maududi telah mampu meletakkan organisasi kader berbasis massa tradisional ini mengalami loncatan yang jauh daripada organisasi kemahasiswaan atau kepemudaan di Indonesia.
Pemikiran ke-Islaman Indonesia yang selama ini lebih diwarnai dengan corak pemikiran modernisme Islam, lambat laun mulai tersaingi dengan lahirnya generasi baru pemikir muda NU (yang dimotori oleh PMII) yang mengusung corak pemikiran pembaharuan pemahaman ke-Islaman liberal yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Kiri Islam-nya Hassan Hanafi, Kritik Nalar Islam-nya Arkoun, Syari’ah demokratik-nya Mahmoud Thoha, Dekonstruksi Syari’ah-nya Ahmed An-Na’im, Teologi pembebasan-nya Ali Asghar, Kritik Ushul Figh-nya Nasr Abu Zayd, hingga post-tradisionalis-nya Abed Al-Jabiri.
Sejak itu, PMII bisa dinyatakan telah mampu melakukan peramuan tradisinya dengan corak pemahaman yang terbuka (tidak saklek) bagi masuknya perspektif di luar Islam, anti ortodoksi dan  progresif sehingga mampu menghasilkan pemahaman yang lebih inklusif dan toleran. Pemahaman ke-Islaman PMII tak lagi terbatas pada koridor Aswaja melainkan mengalami lompatan jauh melampaui batas tradisionalismenya  bahkan pada batas sangat liberal.
Geliat corak pemikiran itu menjadikan PMII avant garde penolakan atas realitas ortodoksi para kyai yang memegang otoritas pemahaman keagamaan masyarakat Islam tradisional, mengatasi standar lama dalam memandang al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber pemahaman, menghindari keterjebakan klaim otoritatif pemahaman terhadap teks-teks nash sekaligus menafikan corak fundamentalisme pemikiran kaum modernis Islam Indonesia yang menjadikan Islam sebagai sumber pressure secara superior terhadap masyarakat Indonesia lainnya, utamanya yang bukan Islam.
Corak pemikiran ke-Islaman PMII di atas merupakan (respon) antitesa pola pembaharuan pemikiran Islam kelompok modernis yang mengusung simbolisme dan formalisme pemahaman Islam ataupun jargon ijtihad dan kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadits. Akibatnya, PMII menjadi sangat lekat dengan tema-tema pribumisasi Islam, penganjur pluralitas, toleransi, Islam sebagai etika sosial, Islam liberal, Islam emansipatoris dan sangat anti dengan formalisme Islam yang berorientasi pada penegakan syari’at Islam sebagai dasar hidup berbangsa dan bernegara.
Dalam konteks kebangsaan (sosial-politik) dan sosial-budaya, persentuhan kreatif aktifis PMII dengan berbagai pemikiran Islam yang dianggap “kiri” di atas ditambah pergulatan dengan kelompok pemikir post-strukturalis, dan postmodernisme Perancis, ataupun Habermas, Ritzer, Karl Popper, hingga para pemikir sekuler kiri, semacam Karl Marx, Gramsci, Freire hingga Che Geuvara telah membawa liberalisasi pemikiran sosial-kebangsaan Islam tradisionalis khususnya. Situasi ini membawa PMII sangat karib dengan diskursus tentang civil society, open society, free market ideas, masyarakat komunikatif, dan demokratisasi. Hal mana dengan ini PMII mencoba membongkar dan menafsirkan kembali realitas sosial, kebangsaan dan keindonesiaan.
Akibatnya, wacana dan praksis sosial yang dibangun PMII menekankan pada perjuangan perwujudan demokratisasi, anti kemapanan, pemberdayaan masyarakat, kemanusiaan universal, keadilan sosial dan menolak penyeragaman (de-politisasi), etatisme negara, menolak politisasi Islam maupun ide pendirian negara Islam Indonesia. PMII sejak era itu lebih tertarik pada pemikiran-pemikiran gerakan kerakyatan, liberasi, dan perjuangan kultural yang mengandung etos revolusioner dan transformatif.
Dalam konteks hubungan Islam dan negara dalam frame keindonesiaan, PMII berpandangan bahwa Islam mesti diletakkan sebagai bagian tak terpisahkan dengan wawasan kebangsaan. Perjuangan Islam mesti terintegrasi kedalam perjuangan kebangsaan. Ini bukan berarti sub-ordinasi Islam pada negara, melainkan menempatkan nilai-nilai ke-Islaman sebagai roh dari nilai-nilai kebangsaan dengan menitikberatkan corak lokal pemahaman ke-Islaman dengan karakter keindonesiaan. Resultante-nya, PMII menerima pluralisme dan demokrasi sebagai prasyarat bagi penerimaannya logika nation-state NKRI tanpa terjebak ikut-ikutan gerakan memperjuangkan masuknya Islam sebagai konstitusi negara seperti yang dilakukan oleh kelompok Islam modernis. 
Dalam hal gerakan sosial-politiknya, PMII mengkonsentrasikan dirinya pada gerakan kultural-transformatif melalui proses penyadaran dan empowering masyarakat dan warganya sekaligus menolak hegemoni negara sebagai bentuk komitmen PMII terhadap demokrasi dan terbentuknya masyarakat sipil. Pandangan ini membawa PMII menjadi entitas yang non-permisif atas kekuatan negara. Artinya, PMII tak hanya memposisikan dirinya sebagai motor counter atas hegemoni negara (pemerintah), namun juga bisa menerima kebijakan-kebijakan mereka yang dirasa menguntungkan tegaknya civil society, supremasi sipil dan demokrasi.  Akhirnya, keberhasilan PMII mewujudkan paradigma kritis-transformatif sebagai landasan gerakannya, banyak dinilai sebagai “magnum opus” organisasi di dalam mengemban fungsi kekhalifahannya di muka bumi.   

 

Anomali Demokrasi dan Civil Society

Bangsa Indonesia akhir-akhir ini dipenuhi dengan problem-problem kontekstual yang menjurus ke arah macetnya transisi demokrasi menuju konsolidasi demokrasi. Minimal ada lima fenomena besar yang menghalangi capaian demokratisasi di Indonesia, pertama, menguatnya kembali anarkhisme sosial yang dilakukan oleh individu, kelas sosial, kelompok komunal, etnis, dan sebagainya. Kedua, re-sentralisme dan elitisme dalam sistem politik, sosial dan kebudayaan. Ketiga, pelecehan institusi negara, konstitusi dan hukum. Keempat, para elit dan tokoh sipil terjebak sebagai “tahanan kota” dan budaya populer. Kelima, menguatnya kembali politik aliran dan kecenderungan mengemukanya politik etnis. 
Kelima hal di atas, yang membebani upaya konsolidasi demokrasi di Indonesia, dan merupakan kondisi khas sosio-struktural domestik Indonesia. Kondisi struktural ini sangat dipengaruhi oleh pra kondisi sebelum  tercipta akselerasi demokrasi tahun 1998-1999, yakni krisis ekonomi akibat kegagalan developmentalisme,  pola distribusi pendapatan (bangunan struktur ekonomi) dan pola mobilitas sosial (bangunan struktur sosial). Bangunan struktur ekonomi turut mempengaruhi (bahkan menentukan) ruang gerak dan orientasi mobilitas sebagian masyarakat yang hidup dalam struktur khas Indonesia di atas.
Persoalan pertama, anarkhisme sosial yang akhir-akhir ini telah menjadi problem pokok kehidupan kebangsaan Indonesia, tidak perlu ditelusuri akar muasalnya ke belakang (sejarah keindonesiaan), sebab sejak periodisasi zaman kerajaan, perlawanan terhadap kolonialisme, pergerakan nasional, Orde Lama, hingga Orde Baru kemarin, anarkhisme sosial selalu menghiasi babakan perjalanan sejarah Indonesia tersebut, meski dengan spektrum yang berbeda-beda. Namun, anarkhisme sosial yang menghalangi demokratisasi di Indonesia sejak lima tahun terakhir, metampakkan spektrum dan pola yang tampak “berbeda” dengan hal sama yang terjadi di era-era sebelumnya.
Anarkhisme sosial hari ini, tidak hanya memangsa korban di jalanan, tetapi juga rumah-rumah, aset-aset produktif (ekonomi maupun industri), kantor pelayanan publik, fasilitas umum, fasilitas sosial, hingga tempat-tempat ibadah. Akar-akar dari beban demokrasi yang satu ini dalam konteks Indonesia sangat dipengaruhi oleh budaya politik tradisional dan merupakan produk dari mekanisme sosial-ekonomi dari suatu kondisi bangunan struktural. Namun, sebagian kalangan menolak bahwa anarkhisme sosial yang terjadi (diciptakan?) sejak reformasi digelar ini sebagai warisan budaya politik tradisional.
Andrinof A. Chaniago (2002), menilai asal-usul budaya yang sedang berkembang itu dari, (1) kuatnya moral politik di kalangan sebagian elit politik nasional, yang cenderung menjadikan kaum miskin kota (serta kelompok marginal lainnya) sebagai aset untuk mempertahankan kekuasaan dan kekuatan politik mereka (status quo). Fenomena para elit, berikut para broker-nya,  untuk memaksakan kehendak dengan memobilisasi massa, berimplikasi pada terbentuknya “profesi baru” di dunia politik praktis dengan berkembangnya pekerjaan para preman politik serta kaum miskin kota dan kelompok marginal lain menjadi mandor dan buruh politik yang dengan enteng-nya bersedia memamerkan otot dan senjata tajam di muka umum. (2) populasi kaum miskin kota, pengangguran dan kelompok marginal di kota-kota dalam politik ekstra parlementer di Jawa (khususnya) tidak terpisahkan dari kondisi struktur ekonomi nasional yang sangat developmentalistik, dan meninggalkan kesenjangan sosial cukup tinggi di Indonesia. Apalagi dalam era pemerintahan sipil sekarang ini lebih dari 40 juta penduduk Indonesia menjadi pengangguran, yang sebagian besar dari mereka adalah angkatan muda dengan pendidikan yang relatif rendah dan berasal dari pedesaan. 
Situasi perekonomian Indonesia yang belum juga berorientasi pada penyerapan besar-besaran tenaga kerja, dan lebih bertumpu pada sektor konsumtif semakin menyuburkan mobilitas urbanisasi penduduk pedesaan ke kota menjadi urban poor. Kehadiran mereka semakin mempermudah para elit poltik pragmatis dan preman politik untuk selalu menggunakan mereka sebagai bahan bakar utama politik jalanan memaksakan kepentingan politik mereka. Akibatnya, tidak hanya proses pemulihan ekonomi nasional semakin terpuruk, atau melanggengkan kesenjangan sosial. Lebih dari itu fenomena ini justru sangat kontra produktif dengan proyek pembangunan sistem politik demokratis seperti telah diamanatkan oleh mahasiswa dalam reformasi kemarin. 
Re-sentralisasi dan elitisme yang muncul bagaikan arus balik yang bergerak diam-diam dalam beberapa pengambilan keputusan yang memerlukan proses politik semenjak tahun 1998 kemarin, merupakan kendala kedua demokratisasi di Indonesia. Dalam pengisian jabatan-jabatan politik di daerah, para elit di Jakarta selalu saja tak kenal lelah untuk berebut berbagai jabatan yang dikompetisikan di berbagai daerah. Lihat saja dalam kasus pemilihan gubernur di Sumatera Barat, Kalimantan Selatan di tahun 2000, Aceh, Maluku Utara, dan Gorontalo di tahun 2001, serta Lampung, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Jawa Timur dan Jawa Tengah di tahun 2003 ini. Belum lagi intervensi (keterlibatan) mereka dalam berbagai pemilihan Bupati dan Walikota sepanjang tahun 2000 hingga 2003 ini, sungguh menunjukkan sikap anti-demokrasi.
Meski tidak semuanya dimenangkan oleh para elit Jakarta, namun para elit politik yang telah mapan di Jakarta tidak bisa memungkiri akan maksud menguasai dan memperluas kekuasaan politik mereka di daerah. Di tengah euforia reformasi, fenomena re-sentralisasi dan elitisme di atas merupakan paradoks demokratisasi. Para elit ini tak segan-segan menggunakan terminologi demokrasi, untuk menutupi proses konglomerasi kekuasaan politik mereka dengan mengirimkan duta-duta politik mereka untuk menjadi pemimpin di daerah-daerah dengan berusaha mengalahkan para pemimpin lokal yang memiliki basis kuat dan dukungan moral dari masyarakat lokal yang besar.
Ketiga, pelecehan institusi negara, konstitusi dan hukum. Terlanjur bobrok, begitu para pakar hukum ternama menggambarkan penegakan hukum di Indonesia lima tahun sejak Soeharto tumbang. Reformasi hukum di bawah tiga presiden  -–Habibie, Gus Dur dan Megawati—belum menemukan aktualitas dan akurasinya dalam menegakkan supremasi hukum. Kemerosotan penegakan hukum justru terjadi di era Habibie, ketika Kejaksaan mengeluarkan SP3 dalam kasus KKN mantan presiden Soeharto, kasus Marsinah, korupsi BLBI, tragdedi Kudatuli, pelanggaran HAM Aceh, Papua, Lampung, dan Tanjungpriok belum juga tuntas. Sedangkan di era Gus Dur, masyarakat yang sebelumnya yakin pemerintah dapat berbuat banyak untuk law enforcement menjadi runtuh dengan kesimpulan DPR yang menilai bahwa Tragedi Trisakti dan Semanggi bukan pelanggaran HAM berat, pembebasan Djoko S. Tjandra dan Pande Lubis dari kasus korupsi Bank Bali, terjadinya kudeta inkonstitusional parlemen atas presiden, dan masih belum diadilinya para obligor besar. Begitu pula pada era Megawati, selama lebih dari 1,5 tahun kekuasaannya, kasus-kasus besar hukum belum juga mampu terungkap, bahkan para penyelenggara negara justru didera dengan kasus-kasus “pelanggaran” hukum seperti penjualan Indosat, kasus KKN-nya Jaksa Agung M.A Rahman, hingga penolakan para perwira tinggi TNI atas pemanggilan KPP HAM dalam kasus Tragedi Trisakti dan Semanggi.
Ini hanya sekelumit kegagalan penegakan hukum di Indonesia, masih banyak persoalan-persoalan hukum yang masih compang-camping proses pembenahan ataupun pemberlakuannya. Artinya, hingga hari ini negara telah gagal mewujudkan rasa aman dan jaminan hukum warga negara sebagai salah satu prasyarat tegaknya sistem demokrasi dan civil society di Indonesia.
Keempat, para elit dan tokoh sipil terjebak sebagai “tahanan kota” dan budaya populer. Pola pikir dan perilaku tokoh masyarakat sipil masih terlalu bias pusat (Jakarta) dalam membuat agenda demokratisasi, sebagai akibat kombinasi faktor mentalitas dan struktur ekonomi yang saling berkelindan. Hal ini tercermin dari terkonsentrasinya para tokoh masyarakat sipil di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya, sebagai imbas tekanan struktural (ekonomi, sosial dan politik). Harus diakui, bahwa eksistensi ketokohan mereka sangat tergantung dari lokasi mereka yang berbasis di centra-centra aktifitas ekonomi dan politik nasional. Sementara para tokoh masyarakat sipil di daerah kesulitan meluaskan kekuatan dirinya untuk melakukan gerakan deomkratisasi dan penegakan civil society, dikarenakan lemahnya dukungan sumber-sumber ekonomi (logistik) yang masih saja terpusat di Jakarta, sehingga mereka seringkali terbentur oleh kekurangan resources untuk memperjuangkan reformasi, demokrasi dan civil society.  
Ada beberapa hal yang menyebabkan para tokoh masyarakat sipil menjadi “tawanan kota Jakarta” dan kepapaan mereka melawan budaya populer “serba pusat”, diantaranya, (1) struktur ekonomi yang masih terpusat di Jakarta, telah membuat mereka lebih tergoda menangani masalah-masalah yang melanda para elit nasional, baik yang berada di dalam maupun di luar sistem, serta problem sosial yang bisa mengangkat popularitas para tokoh masyarakat sipil tersebut, dan (2) tersedotnya para tokoh masyarakat sipil ke dalam lembaga politik dan pemerintahan, akibat absorsi lembaga-lembaga politik formal yang sangat membutuhkan kehadiran mereka dalam jumlah yang cukup besar. Akibatnya, mereka yang selama ini vokal menyuarakan demokrasi dan civil society lebih disibukkan dengan urusan-urusan politik, pemerintahan dan parlemen.
Belum lagi, para penggerak demokrasi dan reformasi tidak bisa melepaskan dirinya dari kungkungan budaya “serba pusat”, sehingga tidak memiliki cukup energi untuk menyelesaikan persoalan demokratisasi di berbagai daerah, dan itu artinya sama juga dengan menghendaki tetap terkonsentrasinya infrastruktur perekonomian negara di Jakarta. Akibatnya, kita tidak boleh menyesal jika kemudian di berbagai daerah semakin marak munculnya perilaku anti demokrasi, tumbuhnya pusat-pusat KKN baru di daerah, dan politisasi demokrasi.
Kelima, menguatnya kembali politik aliran dan kecenderungan mengemukanya politik etnis.  Perubahan terpenting dalam lima tahun terakhir ini adalah terus dilestarikannya konsep politik aliran, baik dalam bentuknya yang paling sloganistik di zaman Soekarno maupun dalam bentuk yang tertutup di era rezimentasi Soeharto. Sejumlah penelitian telah membuktikan bahwa semenjak Pemilu 1999 lalu hingga sekarang, basis pertarungan antar kekuatan politik mengikuti garis primordial, rakyat memilih bukan atas persetujuan mereka terhadap proram partai secara rasional, tetapi lebih berlandaskan pada loyalitas dan identitas agama, daerah,  dan suku. Begitu pula dalam hal mobilisasi politik, legitimasi dan kekuasaan, peran  agama dan identitas keagamaan serta kesukuan dan kedaerahan tetap menjadi basis gerakan para elit politik sipil.
Sedangkan, masuknya pemikiran etnik dalam arus pemikiran politik kontemporer, dan menguatnya identitas politik etnik dapat diukur dengan beberapa fenomena di bawah ini, seperti ; (1) pemboikotan pemilu 1999 di Aceh, praktis yang memilih, khususnya di Aceh Utara, hanya sedikit penduduk yang dekat dengan barak-barak militer. Entitas nasional yang selama Orde Baru  dipaksakan oleh Jakarta tenggelam ditelan entitas lokal, sehingga solidaritas lokal dibangun untuk menentukan masa depan Aceh sendiri ; (2) gejolak politik dan keinginan pemisahan diri dari Papua, sebagai bentuk resistensi atas prilaku elit politik Jakarta yang menafikan kekuatan politik lokal ; (3) dukungan rakyat Sulawei Selatan kepada Habibie, dukungan terhadap Megawati oleh masyarakat Bali, dan dukungan rakyat Jawa Timur kepada Gus Dur, meskipun bersifat temporer, tetapi identitas etnik ini mampu memobilisasi kesetiaan politik massa ; (4) pecahnya konflik etnik di Kalimantan Tengah dan Barat, antara suku Dayak dengan Madura ; (5) terbentuknya propinsi baru berdasarkan etnik, seperti Banten, Maluku Utara, Gorontalo Kepulauan Riau dan mengerasnya tuntutan agar putra daerah memegang kendali politik di daerahnya masing-masing, dan ; (6) kebijakan politik nasional terhadap kelompok minoritas, khususnya etnik Tionghoa tak lagi menjadi “WNI keturunan”, bahkan diakui menjadi etnik resmi di Indonesia. (Indra J. Piliang : 2001).
Fenomena ini jika tidak segera diantisipasi secara tepat oleh seluruh elemen bangsa, justru akan menjadi sumber konflik sosial-politik baru yang akan mengancam demokratisasi civil society, dan integritas NKRI itu sendiri. Oleh karena itu, sangat mendesak dilakukannya lagi reinterpretasi nasionalisme Indonesia, jika tidak, maka kita semua mesti bersiap-siap menjadi generasi “pasca Indonesia”.

Menjadikan Kampus sebagai Kantong Perubahan

Pandangan konservatif tentang kampus selalu menempatkan kampus sebagai “rumah kehidupan ilmiah” dengan karakteristik utama liberasi pemikiran, bergagas, kreatifitas, argumentatif, dan melihat jauh ke depan sembari mencari manfaat praktis dari suatu ide ataupun penemuan. Gambaran klasik ini mewakili kehidupan kampus di negara berkembang khususnya di Indonesia yang sangat bertumpu pada kehidupan akademik. 
Sekalipun kehidupan kampus di Indonesia telah berlangsung lebih dari 13 dekade, namun pandangan di atas telah menggiring dialektika intelektual kampus dengan lingkungannya (masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan atasnya) pada dua kemungkinan pokok. Pertama,  kampus mengambil prakarsa lewat penawaran karya, gerakan reformasi dan restorasi kondisi masyarakat hingga pada gerakan politik. Dan kedua, kampus bersikap pasif, menunggu stimulus dari luar, tempat penampungan dan memberikan reaksi atas inisiatif pihak luar dengan konsekuensi kampus dijadikan arena pertarungan kekuatan politik atau partner tak sederajat oleh birokrasi negara dalam bingkai etatisme negara.
Keduanya membawa implikasi dan konsekuensi tersendiri. Kemungkinan pertama akan meletakkan kampus sebagai salah satu lokomotif perubahan, penyedia resources bagi masyarakat dalam membangun bangsa. Gerak nafas kampus akan selalu mewarnai laju perubahan yang diinginkan. Konsekuensinya, semua pihak harus mengakui peran politik mahasiswa dan para akedemikus.  Politik kampus adalah politik moral yang sangat berbeda dengan kekuatan politik praktis lainnya. Arief Budiman mempersonifikasikan peran itu dengan sosok “resi”, yakni sebagai pihak yang selalu mengabarkan kepada rakyat banyak adanya ketidakadilan, kesewenang-wenangan serta meng-influence rakyat untuk bergerak bersama melakukan pengatasan, dan ketika huru-hara tersebut tertangani, maka segenap elemen kampus tersebut kembali lagi ke pertapaannya (kampus) untuk melanjutkan tugas utamanya menuntut ilmu dan memperoduksi agen-agen perubahan yang siap bertarung di tengah masyarakat. 
Sedangkan kemungkinan kedua akan mengakibatkan kampus harus bersedia memberikan sebagian ruang dirinya untuk diintervensi oleh berbagai kekuatan politik yang ada. Besar kecilnya pengaruh politik itu akan sangat tergantung dengan kekuatan kampus dalam menanamkan paradigma dan etos kepada seluruh civitas akademika agar tidak mudah terprovokasi oleh tipu-daya politik.
Realitas kampus seperti di atas itulah, menurut saya mesti diperhatikan benar oleh PMII, sebab tanpa kampus, PMII juga akan kehilangan eksistensi dan perannya. Oleh karena itu, menjadikan kampus sebagai kantong perjuangan adalah sebuah keharusan yang tak terbantahkan. Seluruh aktifis PMII mesti mengingat benar bahwa masa depan sebagian besar rakyat Indonesia belum menjadi bagian yang pasti, tetapi tanpa melalui jalan menjadi mahasiswa jauh lebih parah. Hal ini melukiskan betapa sangat strategisnya posisi menjadi mahasiswa.
 Minimal ada tiga alasan, mengapa PMII harus menjadikan kampus sebaga basis gerakannya, pertama, kampus senantiasa berupaya merealisasikan peranannya sebagai pembaharu dan pelopor (perangsang) bagi perbaikan kondisi kehidupan masyarakat. Siapapun tidak akan menyangkal, jika gagasan-gagasan perubahan di Indonesia (hampir) selalu dimotori atau lahir dari dalam kampus, baik mulai zaman pergerakan nasional, hingga reformasi kemarin. Inilah yang menyebabkan keterlibatan kampus dalam kehidupan politik, karena berbagai tawaran / usaha-usaha pembaharuan tersebut selalu terkait dengan struktur kekuasaan. 
Kedua, realitas bahwa kampus merupakan resources politik, di kampus tersedia banyak sekali tersedia stock potensi kepemimpinan dan keahlian. Ratusan tokoh dan pemimpin bangsa Indonesia lahir dari kawah candradimuka kampus. Bahkan, beberapa pentolan angkatan ’66 dan ’98 mengatakan hal yang sama, bahwa perubahan besar bangsa ini selalu dimulai dari kampus. Lebih lanjut mereka meyakini, bahwa “kematian” kehidupan kampus adalah awal kehancuran bangsa. Agak berlebihan memang, namun pernyataan itu lahir dari salah satu sebuah paradigma pedagogik yang cukup mencengangkan, bahwa jika sebuah masyarakat menginginkan kemajuan, kesejahteraan, keadilan bahkan kejayaan, maka dirikanlah kampus.
Ketiga, watak kemandirian kampus yang tumbuh dari budaya ilmiah dan cara berfikir kritis, memberi energi besar warga kampus untuk menilai realitas di sekitanya. Sementara itu pemerintah (state) sebagai centrum aktifitas kehidupan masyarakat, juga tak lepas dari perhatian kampus. Kondisi inilah yang kemudian menjadikan kampus seringkali mesti berhadapan dengan kebijakan pemerintah, karenanya birokrasi (khususnya di negara berkembang) cenderung melakukan intervensi ke dalam kampus. Intervensi itu akan semakin membesar dan kadangkala memasung kehidupan kampus, jika kemudian kampus melahirkan gerakan kritis yang berusaha memperbaiki kehidupan masyarakat, akibat keteledoran kebijakan pemerintah. Bahkan, mulai dari Orde Lama, Orde Baru hingga sekarang ini, kampus belum pernah bebas dari intervensi politik, baik dari kelas penguasa ataupun dari kelompok kepentingan lainnya.
            Posisi dan peran strategis kampus inilah yang oleh PMII mesti tidak boleh sia-siakan, bukan sekedar “papan nama” PMII tercantum di depan nama sebuah kampus, “PMII Komisariat Universitas/Sekolah Tinggi/Institut … swasta ataupun negeri”. Lebih dari itu, para kadernya, idealismenya, program perjuangannya harus bisa menjadi “nafas kehidupan” kampus di manapun ia berada. Tak mudah mewujudkan hal itu, perlu usaha keras, yang sistemik dan terorganisir serta kerjasama “sehati” mulai dari para alumninya, PB, Cabang hingga Rayon PMII. Tulisan berikut juga tidak dimaksudkan menawarkan solusi ideal untuk permasalahan di atas, namun mungkin cukup penting untuk diungkapkan di sini sebagai salah satu bentuk kepedulian penulis yang selama ini merasa di besarkan oleh PMII
            Strategi operasional pengembangan PMII di kampus memang selama ini cukup beragam, tergantung local condition dan local culture dimana perguruan tinggi tersebut berada. Di Jawa Timur, Jawa Tengah, mungkin juga Jogya serta di kampus yang sebagian besar masyarakatnya adalah NU, tidak punya kesulitan cukup berarti dalam merekrut anggota baru, biasanya mereka tinggal menawarkan bahwa PMII itu merupakan satu-satunya organisasi kemahasiswaan yang paling dekat (historis maupun kultural) dengan NU. Bahkan, di beberapa perguruan tinggi yang milik (orang) NU, PMII justru menjadi satu-satunya penguasa kampus, ekstra maupun intra instituter. Namun, hal ini tidak berlaku di daerah-daerah yang bukan basis NU.
            Tradisi yang berkembang selama ini di tubuh PMII dalam upaya memperoleh simpati mahasiswa dan mewarnai kehidupan kampus, tidak beda jauh dari apa yang di-pattern-kan Bang Muhyiddin di atas, yakni (1) keharusan kader PMII ber-indeks prestasi tinggi, (2) setiap kader harus berperangai santun dan berbudi pekerti luhur, dan (3) setiap kader harus berprestasi dan menduduki pos-pos strategis di lembaga kemahasiswaan. Disamping itu, PMII juga mesti meningkatkan intensitas dalam melakukan dialog-dialog kualitatif dengan lembaga kemahasiswaan intra-instituer, serta secara rutin menyajikan kegiatan-kegitan kreatif yang mampu mengundang simpati mahasiswa. Strategi operasional ini bagus, namun belum cukup, sebab dinamika perubahan masyarakat semakin mengalami percepatan seiring dengan ledakan kemajuan teknologi dan informasi dunia.
Oleh karena itu, disamping terus konsisten menerapkan strategi pengembangan di atas, PMII harus mulai memperhatikan dan menimbang beberapa hal berikut ini.  Pertama, yang mesti dilakukan PMII adalah men-dekonstruksi kembali ontologi (hakikat) perguruan tinggi di Indonesia, posisi dan perannya dalam bangunan besar Indonesia Raya, eksistensi dan urgensinya terhadap kapitalisme global, serta relasinya dengan kekuasaan dan demokrasi. Salah satu hal yang cukup menggelisahkan banyak mahasiswa adalah tumbuhnya kesadaran baru bahwa kampus tidak lebih hanyalah menjadi alat (media) bagi negara dan kekuatan global untuk menyediakan tenaga terdidik (ahli) bagi ‘seribu’ proyek buatan mereka. Namun, hampir mayoritas masyarakat kampus juga mengerti, bahwa kampus juga merupakan kantong utama “pencipta tokoh” yang sanggup merubah bangsa ini menjemput keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan senafas dengan cita-cita perjuangan nasional yang termaktub dalam preambule UUD negara kita.
            Oleh karena itu, jika PMII mampu melakukan gerakan massal untuk menggelorakan “ontologi kampus” seperti pemikiran yang terakhir, dengan kembali membuka free public sphere dimana seluruh masyarakat kampus khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya memposisikan kampus sebagai pusat pembebasan, perubahan, transformasi dan demokratisasi dan bukan sebagai “budak” negara ataupun “kekuasaan modal”. Langkah sederhana untuk memulainya adalah membangun kritisisme kampus dengan mengintegrasikan kepentingan serta kebutuhan kampus dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Strategi-taktis  operasionalnya adalah dengan menginstruksikan pengurus komisariat di sebuah kampus dimana PMII didirikan, untuk membuka dialog intensif yang kualitatif dengan segenap civitas akademika. Baik itu untuk membedah muatan kurikulumnya, model pengajaran, peningkatan skill mahasiswa, hingga master plan kampus itu ke depan.Sembari PMII mendekatkan masyarakat sekitar kampus dengan kampus, sehingga ini akan melunturkan prejudice mitos “menara gading”.
Contoh lainnya adalah, ada sebagian dari masyarakat yang mengais keuntungan ekonomi dari kampus (baik itu berjualan makanan dan minuman, usaha fotocopy dan sebagainya), PMII memposisikan dirinya sebagai mediator antara keduanya dalam membuat rancangan ekonomi subsistens, yang dalam jangka panjang akan menyiapkan kemampuan bangsa Indonesia memasuki perekonomian global. Hambatan lain dari perguruan tinggi adalah rendahnya semangat research (penelitian) apapun jenisnya, jika PMII menyediakan resources peneliti muda yang bekerja sama dengan pihak kampus dalam melakukan penelitian-penelitian kecil, maka hal ini akan semakin merekatkan hubungan (image building) PMII dengan kampus. 
Kedua, PMII mesti merebut “ruang publik” di kampus dengan melakukan pembongkaran beban historis, kejumudan tradisi, dan konservatisme perguruan tinggi. Kemandirian kampus dalam era otonomi daerah dan perdagangan global merupakan prasyarat utama tegaknya integritas kampus dalam upaya pemanusiaan manusia (humanisasi). Jika, PMII di tingkatan komisariat mampu mengkonsolidasikan segenap potensi yang dimiliki, termasuk para alumninya, untuk mulai membuka selubung konservatisme, beban sejarah dan tradisi yang menghinggapi kampus, maka hal ini menjadi pintu masuk PMII untuk memperoleh simpati dari mahasiswa.   Untuk ini, PMII bisa berangkat dari hal-hal kecil yang mampu mengurai satu-persatu problematik kampus, tanpa bermaksud mengintervensi kedaulatan dan kebijakan kampus. Hal kecil ini bisa berupa partisipasi aktif kader kampus di seluruh kegiatan kampus, disiplin dalam kuliah, memanfaatkan (memenuhi) perpustakaan, menjaga kebersihan (keasrian) kampus hingga kampus merasa bahwa PMII adalah bagian tidak terpisahkan dari kampus. Karena itu, pemahaman (apresiasi) yang tinggi atas local historis maupun local culture kampus akan memudahkan PMII memerankan hal-hal kecil yang sederhana, bukan dengan hal-hal besar yang terlalu makro dan tidak ada hubungannya (dampak kongkrit) sama sekali dengan kampus.
Ketiga, PMII menyiapkan “kelompok strategis” sebagai pelopor dan pengobar semangat perubahan di kampus, sekaligus melakukan pembenahan aspek kognitif, mental dan perilaku kader serta alumni demi memperluas sayap gerakan di seluruh perguruan tinggi. Apa yang telah terurai di atas, tidak akan pernah bisa dilakukan, jika PMII tidak menciptakan terlebih dahulu sebuah “kelompok strategis” yang terdiri dari kader yang memiliki intelektualitas tinggi dengan jumlah yang disesuaikan dengan rasio mahasiswa di kampus. Kader-kader yang terpilih itu di-‘diklat’ secara khusus, dengan waktu dan metode khusus (agak eksklusif) oleh komisariat sehingga memiliki kualifikasi sebagai kader yang ideologis, bermental baja, selalu haus akan ilmu dan pengetahuan, progresif serta memiliki integritas moral tinggi. Setelah itu mereka diarahkan untuk mulai terjun aktif di berbagai aktifitas kampus beserta seluruh pergulatan apapun yang terjadi di dalamnya dengan membawa segenap idealisme, paradigma dan program-program PMII menjadi bagian yang karib dengan dinamika kampus. Mereka inilah yang akan menjadi motor PMII untuk melakukan kerja-kerja di atas, sehingga mereka akan menarik banyak mahasiswa untuk turut mengusung paradigma PMII tersebut dengan tanpa beban lagi.
Logika penciptaan ‘kelompok strategis’ di atas bertumpu pada strategi kaderisasi dari bawah ke atas (bottom up). Dengan terciptanya ‘kelompok strategis’ di setiap komisariat dengan jumlah satu kelompoknya 10 orang, maka kalau kemudian di sebuah cabang kita ambil rata-rata memiliki 4 komisariat, maka disetiap 1 cabang akan terdapat 40 orang kader ideologis dan pejuang tangguh PMII. Kalau jumlah cabang PMII jumlahnya ada 150-an, maka PMII sudah mempunyai 6000 orang kader ideologis. Bayangkan, kalau PB ke depan melakukan model pengkaderan seperti ini, maka di tubuh PMII akan tersedia motor-motor penggerak organisasi yang mampu menyuarakan dan pembumian segenap nilai-nilai, ideologi dan paradigma PMII tanpa harus berpikir reward yang mesti diterimanya, sebab konsepsi reward bagi kader ideologis itu adalah kebanggaan yang tersematkan oleh publik sebagai “the director of change” para pengarah (penentu) perubahan, bukan lagi sekedar “agent of change”, agen perubahan yang setelah usai tugasnya, kemudian dilupakan orang (ditinggal) dalam proses perubahan yang lebih besar selanjutnya.  
            Model pengkaderan semacam ini bukannya tanpa resiko, sebab pola pengaturan yang salah akan mengakibatkan kelompok strategis ini akan menjadi kelompok eksklusif, merasa paling intelek, ideologis, dan ‘berjasa’ kepada organisasi. eksklusifsme harus dihilangkan dari tubuh organisasi dan mind setiap kader PMII, sebab sikap inilah yang justru akan mengkerdilkan PMII. Oleh karena itu, PMII harus benar-benar melakukan penyaringan yang ketat dan tidak asal pilih kader, kemudian mereka bersedia diba’iat untuk selalu patuh pada nilai-nilai dan ideologi PMII, bukan pada person-person pimpinannya. Kalaupun mereka harus patuh pada pimpinannya, itu sudah barang tentu keluar dari kesadaran mereka akan amanat konstitusi, bukan karena patron-clien.
            Selanjutnya, keberadaan kelompok strategis ini bukan untuk menomorduakan kader-kader yang lain, justru keberadaan mereka diperuntukkan men-stimulus kritisisme, progresifitas dan pendigdayaan kader, bukan malah sebaliknya untuk menjadikan organisasi dan kader-kader PMII lainnya sebagai tangga bagi mereka memperoleh keuntungan politis. Kalau seluruh proposisi di atas tak tercapai, maka keberadaan ‘kelompok strategis’ ini patut dipertimbangkan.

Menyulam Tradisi Merenda Transformasi

Perubahan sosial yang dicanangkan PMII ke depan perlu dibaca ulang. Pembacaan ulang atas seluruh bangunan konsep ideologi dan paradigma organisasi merupakan syarat pokok, jika PMII kembali masuk ke dalam pusat percaturan perubahan. Tanpa hal ini, maka PMII berarti menghilangkan kesempatan ‘emas’ menata skill kader dan progresifitas organisasi, sebab banyak pihak menilai bahwa semenjak reformasi di gelar, PMII mengalami degradasi di beberapa aspek penting organisasi. Banyak pihak menilai bahwa kritisisme pemikiran, dan idealisme gerakan, sekarang ini seperti menjadi ‘barang langka’ di PMII. Dalam konteks eksternal organisasi, PMII seperti ditinggal oleh pejuang demokrasi lainnya, bahwa sekarang PMII lebih meng-elit dan melupakan gerakan populisnya, para pengurusnya lebih asyik menyiapkan diri dan kadernya untuk memiliki kemampuan bertarung diruang-ruang politik praktis, sembari melupakan pemberdayaan rakyat. Reproduksi wacana di PMII seakan mampat, reformasi yang seharusnya memberi ruang publik untuk lebih memendarkan sayap perjuangan organisasi serta pembumian ideologi PMII justru menjerumuskan PMII pada ketakberdayaan organisasional untuk tetap eksis mewarnai perubahan. Karena itulah, maka pembacaan ulang atas tradisi, ideologi, paradigma dan seluruh konteks social-historis dan sosio-kultur yang melingkupinya menjadi keniscayaan tak terelakkan, bila PMII menginginkan bangkit lagi seperti apa yang diidealkan dalam paradigma kritis-transformatif.
Hal pertama yang dipertanyakan ulang adalah bangunan konsepsional paradigma gerakan. Ada sejumlah persoalan yang mesti kita diskusikan lagi, diantaranya adalah ancangan tentang paradigma kritis-transformatif sebagai payung organisasi dalam melakukan social engineering. Istilah rekayasa sosial sendiri menurut Kang Jalal (1999) diambil dari Less dan Presley, sedangkan M.N. Ross, lebih senang menyebutnya dengan social planning (perencanaan sosial), sementara itu Ira Kaufman lebih cenderung menamainya dengan change management (majemen perubahan). Tetapi apapun istilah yang dipakai, rekayasa sosial selalu berisi tentang berbagai strategi serta seperangkat kiat (perencanaan) untuk mengubah realitas masyarakat. Karena itu, rekayasa sosial itu disebut juga planned social change (perubahan sosial yang didesain secara sengaja).  
            Rekayasa sosial yang diangankan oleh PMII adalah sekumpulan metode dan arah pergerakan dalam upaya mencapai tujuan, dengan menggunakan pendekatan, metode dan wahana yang kondusif, ditujukan untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penjajahan yang terwujud pada penghapusan sistem sosial-kemasyarakatan yang pincang, sebagai akibat dari kegagalan manusia menggagas dan mencipta kebudayaan, sentralisasi kekuasaan dan pembangunan serta usaha ekonomi finansial transnasional (PB PMII : 1997). Formulasi ideasional-konsepsional dari upaya tersebut adalah Paradigma Kritis-Transformatif itu sendiri. Rekayasa sosial yang digagas PMII itu bergerak pada 3 wilayah pokok; pertama, wilayah kebangsaan, PMII menyediakan dirinya terlibat aktif pada upaya perebutan kembali kedaulatan rakyat yang selama ini dirampas oleh negara (penguasa), sekaligus memperkuat demokratisasi, politik, ekonomi dan sosial. Kedua, wilayah budaya, rekayasa sosial ditujukan untuk menciptakan kemandirian dan memperkuat kebudayaan rakyat yang kering dan hampir mati oleh arus modernisasi dan globalisasi. Tidak hanya membebaskan kebudayaan itu dari intervensi kekuasaan negara, yang lebih penting penghidupan kebudayaan dijadikan alat humanisasi, perjuangan penegakan keadilan dan perlwanan atas penyelewengan kekuasaan. Ketiga, wilayah keagamaan, membongkar dan mendobrak segala bentuk kejumudan tradisi, taqdisun al-alfkar al-diniyyat (pensakralan atas pemikiran keagamaan), formalisme agama, politisasi agama serta upaya membumikan ajaran Islam yang rahman lil ‘alamin, dan mewujudkan nilai-nilai Islam sebagai etika sosial dalam konteks kebangsaan dan ke-Indonesia-an.
            Persoalannya kemudian adalah sejauh mana bangunan paradigma di atas compatible dan memiliki efektifitas serta ruang publik yang sesuai dengan situasi dan kondisi keindonesiaan hari ini ? Pertanyaan ini patut dikemukakan, sebab paradigma itu sangat tergantung kepada ruang dan waktu, dimana serta kapan ia diterapkan. Padahal, percepatan perubahan yang luar biasa telah terjadi di nusantara akibat semakin canggihnya teknologi informasi dan globalisasi ekonomi. Sedangkan pilihan paradigma kritis-transformatif itu sendiri cenderung berkarakteristik evolusioner, bukan revolusioner. Sedangkan, berbagai dasar teologis, filosofis dan sosiologis yang PMII ambil sebagai sumber inspirasi dari paradigma tersebut hampir semuanya bersifat kritis-revolusioner. Bagaimana mungkin berbagai pemikiran yang revolusioner itu diolah menjadi sebuah paradigma yang bersifat evolusioner ? Seperti apakah bangunan epistimologisnya yang mampu men-derivasi persoalan itu ? Hal inilah yang mesti PMII kupas lebih jauh lagi, sebab tanpa ini penulis khawatir PMII akan terjebak pada situasi  intellectual cul-de-sacs (kesesatan berpikir).
            Jika hal di atas dianggap sudah tuntas, maka kita beringsut pada persoalan kedua, yakni gagalnya proses pembumian paradigma gerakan itu dalam setiap aksi kongkrit warga pergerakan. Hal ini untuk menjawab tudingan banyak pihak terhadap PMII, bahwa apa saja yang telah dilakukan para kader PMII, sebenarnya tidak ada korelasinya sama sekali dengan paradigma gerakan yang dimiliki. Itu artinya, PMII telah gagal melakukan proses internalisasi ideologi dan paradigma gerakan itu ke dalam setiap otak kader, sehingga mereka juga kehilangan irama, panduan dan tauladan riil, seperti apakah gerak pikir, sikap dan prilaku kader yang sejiwa dengan paradigma itu ?.
            Oleh karena itu, persoalan apapun masih mengitari paradigma kritis-transformatif, seluruh kader PMII mesti mulai lagi melakukan kerja-kerja serius berupa penelusuran lebih dalam dan intens tentang bangunan tradisi Islam yang telah dihamparkan oleh Nabi Muhammad sejak abad 7 masehi hingga sekarang ini, begitu pula halnya dengan basis filosofis dan sosiologisnya. Saya masih cukup yakin, masih banyak kearifan tradisi yang terselip dan belum dikupas tuntas di PMII. Ada jalan lebar yang terpentang kalau PMII meneruskan proyek penelusuran tradisi itu, kalau NU memiliki halaqah Bahtsul Masa’il sebagai arena untuk membedah seluruh bangunan hukum Islam, maka PMII bisa membuat forum sejenis, tetapi lebih ditekankan dalam aspek pemikiran. Hal ini bisa dilakukan oleh PB beserta cabang-cabang yang memiliki tradisi keilmuan-keagamaan yang progresif, semacam Ciputat, Bandung, Cirebon, Jombang, dan Semarang. Halaqah keilmuan ini diselenggarakan secara ajeg, berkala, dan terstruktur meski tidak ketat. Kemudian, pada satu waktu yang telah ditetapkan, halaqah itu dibuatkan pusat edarnya, yakni PMII mendirikan “laboratorium tradisi”, yang tidak harus ditempatkan di Jakarta, tetapi bisa di salah satu cabang yang paling siap secara infrastruktur, resources dan atmosfirnya.
            Begitu pula halnya dengan halaqah filsafat dan ilmu-ilmu sosial, serta disiplin ilmu lainnya, PB memfasilitasi berbagai pengembaraan keilmuan itu yang pada satu titik juga akan mendirikan semacam laboratorium filsafat dan ilmu sosial, dimana kader PMII dari penjuru tanah air bisa mendapatkan pencerahan-pencerahan intelektual dari sini. Model-model pengkajian seperti ini akan memakan biaya yang sedikit, efektif dan lebih kongkrit dalam rangka pembumian paradigma di otak dan benak seluruh kader pergerakan.
             Dalam konteks aksi sosial, gerakan transformasi PMII diancangkan sebagai sebuah tindakan kolektif, terencana, dan terus-menerus untuk mengatasi (mengurangi) masalah sosial, bertumpu pada 5 (lima) unsur pokok aksi sosial, seperti yang dinyatakan Philip Kotler (1978), yakni; pertama, cause (sebab), upaya (misi) atau tujuan (visi) sosial yang dipercayai oleh PMII dapat memberikan jawaban atas problem sosial yang terjadi di Indonesia. Masyarakat terbuka, terciptanya sistem pemerintahan dan politik demokratis, Islam sebagai etika sosial merupakan beberapa tujuan dan misi dari aksi sosisl PMII. Oleh karena itu, PMIi mesti mampu mempetakan, apa dan siapa saja yang telah menghambat itu semua, kemudian segera melakukan treatment strategisnya terhadap seluruh faktor penghambat itu, artinya apakah diganti (reform), dicangkok (transplantasi) ataukan disembuhkan (recovery), berdasarkan ideologi, paradigma dan nilai-nilai yang PMII yakini. 
Kedua, change agency (pelaku perubahan), yakni eksistensi PMII sebagai the social engineer, leaders, directors, advocates, administrators, technicians, organizers, supporters perubahan dengan segenap resources yang dimilikinya. Transformasi sosial, ekonomi, politik, maupun budaya tidak akan mampu PMII wujudkan, kalau dalam tubuh PMII sendiri masih penuh dengan banyak kelemahan, ataupun persoalan internal, seperti memudarnya kritisisme, kentalnya pragmatisme, terlelapnya PMII pada kesadaran ‘naif’, dan menurunnya daya juang serta elan liberatif dan independisi kader PMII. Disamping itu, PMII mesti hadir dan eksis di tengah-tengah persoalan, dan rakyat, kalau ini tidak ditemui di PMII, maka itu akan menyulitkan PMII dalam melakukan berbagai aksi sosialnya.
Ketiga, change target (sasaran perubahan), individu, kelompok, dan lembaga yang diklasifikasikan sebagai sasaran upaya perubahan. PMII menteapkan para individu yang menjadi sasaran transformasinya, adalah aktifis PMII sendiri, semua rakyat (obligor nakal, pelaku KKN dan sebagainya) Indonesia, serta umat dunia seluruhnya yang masih ‘pingsan’ kesadarannya, konservatif, dan anti perubahan. Sedangkan, segenap institusi yang menjadi sasarannya, dikelompokkan dalam offending institutions, yakni institusi-institusi yang mengganggu, menghambat, berdosa dan penyebab masalah sosial di Indonesia. Lembaga-lembaga itu mulai Ormas (seperti FPI, Laskar Jihad, MMI, dan lainnya), parpol (Golkar, , dan sebagainya), pemerintah, legislatif, yudikatif, TNI–Polri hingga MNC (muli-national corporation) dan TNC (trans-national corporation).
Keempat, channel (saluran), media untuk menyampaikan pengaruh dan respon dari setiap pelaku perubahan ke sasaran perubahan. Beberapa saluran yang bisa menyampaikan gagasan PMII tentang perubahan mesti digeluti dan dimanfaatkan dengan se-efektif dan se-maksimal mungkin, seperti; forum-forum ilmiah, public hearing, debat publik, halaqah-halaqah intelektual, politik dan budaya, media massa, penerbit-(an) buku, jurnal, buletin ataupun pamflet, spanduk, baliho, forum-form pengajian, kegiatan kemahasiswaan (BEM dan sejenisnya), aksi jalanan, pers conferencee, parlemen dan sebagainya.  
Kelima, change strategy (strategi perubahan), meliputi seperangkat cara dan teknik PMII dalam mempengaruhi dan menimbulkan dampak positif bagi sasaran perubahan. PMII dalam melakukan aksi sosial harus meliputi 3 (tiga) strategi pokok, yang bersifat: (1) memaksa (ko-ersif atau power strategy), ini dilakukan PMII untuk memaksakan kehendak pada institusi yang telah jelas-jelas mencerabut kemerdekaan dan hak rakyat, sepert rezim Orde Baru, Golkar, ABRI dan sebagainya. (2) persuasif, digunakan PMII dalam meng-influence sasaran perubahan melalui bahasa, tradisi, budaya, media komunikasi ataupun inter-personal lainnya. Hal ini biasanya efektif ketika itu digunakan untuk melakukan perubahan di tubuh PMII sendiri, kelas menengah intelektual, agama, ekonomi dan sosial Indonesia, dan (3) mendidik (educatif), sebuah cara yang tidak hanya mengubah prilaku yang tampak, melainkan juga keyakinan, pandangan hidup dan nilai sasaran perubahan. Hal ini akan lebih cocok kalu PMII terapkan dalam merubah pola dan pandangan hidup masyarakat marginal, akar rumput, dan kaum miskin kota.    
     

PMII dan Tradisi “Protes”

             Adalah Hariman Siregar (2001), salah seorang tokoh Malari (Malapetaka 15 Januari 1974), menyatakan bahwa gerakan mahasiswa merupakan pilar ke-5 demokrasi setelah, eksekutif, legislatif, yudikatif, dan media massa (institusi pers sebagai pencipta opini publik). Salah satu alasan yang diajukannya adalah, realitas bahwa mahasiswa di dunia ketiga (khususnya Indonesia) yang selalu tampil menjadi benteng terakhir demokrasi. Ketika otoritarianisme negara memuncak, dan lembaga-lembaga demokrasi di atas tak lagi efektif memainkan perannya, maka mahasiswa mampu tampil sebagai kekuatan pendobrak yang menyedikan dirinya menjadi bumper perubahan. Apa yang terjadi pada angkatan ’66, ’74, dan ’98 kemarin adalah bukti tak terbantahkan.
            Apa yang diungkapkan Hariman di atas, memang nyata adanya, dan sudah sering diungkapkan pula oleh para cendekia ataupun para tokoh gerakan mahasiswa itu sendiri. Namun, semuanya juga mengakui bahwa gerakan mahasiswa itu berhenti pada tataran pendobrakan saja, selebihnya selalu di take over oleh para politisi, parpol ataupun kekuatan politik-strategis lainnya, karena itu mahasiswa akan selalu ditinggalkan begitu saja. Puja-puji atas kiprah mahasiswa itu cukup dihadiahi dengan sanjungan bahwa mahasiswa adalah agent of change, suaranya mewakili jeritan hati terdalam dari masyarakat tertindas dan independen serta tidak memiliki tendensi politik (gerakan mahasiswa identik dengan gerakan moral). Ada juga yang kemudian memposisikan mahasiswa sebaiknya menjalankan fungsi kontrol saja atas sistem, karena itu posisi terbaik mahasiswa terhadap negara adalah “oposisi”, tak lebih dari itu. Jika kemudian mereka ingin terlibat lebih jauh dalam proses-proses pengambilan keputusan, maka cukuplah bagi mahasiswa ini menggabungkan diri dengan parpol-parpol yang ada, itupun kalau mahasiswa mau, kalau tidak ya kembali saja ke kampus, atau tetap aktif dalam pergerakan dengan melakukan advokasi serta terlibat kembali dalam proses pemberdayaan masyarakat, sudah sampai disitu saja diskursus tentang gerakan mahasiswa. Kalau masih saja penasaran, lalu apalagi kemudian yang menarik untuk diperbincangkan tentang mahasiswa, selain dari semua hal di atas ?.     
            Bagi mahasiswa, tentunya masih banyak hal-hal yang menarik diperbincangkan selain beberapa hal di atas, begitu pula dengan PMII. Ketika mahasiswa tak lagi “dibutuhkan perannya” untuk menangani persoalan besar berskala nasional, maka gerakan mahasiswa hanya akan disibukkan dengan isu yang case by case, bernuansa lokal dan tidak ada lagi isu sentral yang sanggup mengerakkkan seluruh elemen mahasiswa kembali turun jalan. Sehingga, aksi-aksi mahasiswa itu hanya bersifat melempar persoalan itu ke permukaan agar menjadi opini publik tanpa ada upaya serius untuk menindaklanjuti hal tersebut. Lihat saja, demo mahasiswa masalah dugaan KKN-nya Jaksa Agung M.A Rahman, Demo kasus BPPN, dan lain sebagainya.
            Ada kegamangan dalam diri PMII, antara turun gelanggang dan berdiam diri, sembari menyibukkan diri dengan urusan rumah tangga (internal) organisasi, padahal masyarakat tidak ada hentinya menuntut pertanggungjawaban atas sebuah perjuangan yang belum usai. Ini terjadi, karena masyarakat hanya tahu bahwa mahasiswalah (PMII include didalamnya) yang telah mengawali semuanya (reformasi). Sementara itu, di sisi lain, PMII masih terdisorientasi dalam memposisikan diri di tengah-tengah gelanggang yang sekarang ini sudah sangat politis dengan kekhawatiran akan dipolitisir menjadi “helen of troy” berbagai kekuatan politik, baik nasional, regional maupun internasional.
            Jika, PMII terus menerus dalam kondisi ‘demam’ yang tak berkesudahan di antara dua pilihan tersebut dengan reasoning bahwa PMII mesti belajar dari para pendahulunya, dari angkatan ’66, ’74, ‘77-78, ’98, bisa jadi PMII akan terjebak pada situasi lebih buruk, seperti yang menimpa semua angkatan tersebut. Oleh karena itu, ke depan, PMII harus selalu memerankan 2 karakter gerakan dalam konstelasi lokal ataupun nasional, yakni; sebagai agent of change, sebagai kekuatan pelopor perubahan, atupun peruntuhan otoriterianisme kekuasaan dan director of change, sebagai salah satu pengendali utama perubahan. Dus, demi menjamin konsistensi dan keberlangasungan untuk memerankan hal itu, maka PMII harus selalu berdiri di atas kepentingan rakyat, ditengah-tengah rakyat, dan menjadi pusat keluh kesah rakyat, sehingga hal ini akan memudahkan PMII menyuarakan hal tersebut kepada para elit politik dan tokoh bangsa yang memiliki peran membentuk wajah negeri. Oleh karena itu, “posisi antara”, merupakan pilihan paling strategis (balancing of power) yang akan terus bisa PMII mainkan, agar tetap dalam centrum percaturan dan perubahan nasional. Disamping itu, PMII harus tetap meneguhkan jati dirnya sebagai organisasi ‘protes’ dan ‘student movement’ sesuai dengan apa yang selama 43 tahun telah dilakoni PMII.
            Akar dan tradisi ‘protes’ di PMII bisa kita telusuri dari sejak tahun 17 April 1960 hingga sekarang. PMII lahir dari sebuah keyakinan bahwa kekuatan mahasiswa itu pada kekuatan daya penalarannya (student power of the reason), namun bukan berarti mahasiswa hanya menjadi pekerja otak (knowledge worker) semata, atau terjerumus pada aksi-aksi temporer (berorientasi kekuasaan dan vested interest) tanpa konsepsi yang jelas menjangkau ke depan, melainkan harus memiliki keteguhan untuk tidak pernah bosan mengabdikan dirinya kepada masyarakat langsung, demi tegaknya keadilan, kebenaran, kejujuran, kemakmuran, penegakan hak asasi manusia, dan demokrasi. Karena itu, PMII dilahirkan untuk menerapkan prinsip; ilmu untuk diamalkan bukan ilmu untuk ilmu itu sendiri. Tak heran jika diawal kelahirannya, PMII memprotes keras keangkuhan gelar kesarjanaan sebagai ukuran superiortas mahasiswa atas kelas sosial lainnya
penguasaan lmu apa saja yang berfaedah nyata bagi peradaban dan kemanusiaan, baik ilmu agama, filsafat, eksakta, sosial maupun ekonomi. Kesarjanaan belumlah dengan sendirinya merupakan nilai yang selesai, bilamana tidak disertai dengan tindakan-tindakan riil bagi kepentingan kemajuan rakyat banyak sebagai pengabdian yang tak henti-hentinya pada masyarakat…’ (Effendi Choiri; 1991).
            Implementasi PMII sebagai organisasi ‘protes’ akan semakin terlihat dalam beberapa kebijakan organisasi di bawah ini. Pertama, Deklarasi Tawang Mangu, Desember 1961, tentang sosialisme religius, nasionalisme dan sosialisme Indonesia. Menurut PMII Islam tidak berseberangan dengan sosialisme dan revolusi Indonesia, sebab sosialisme bagi PMII merupakan :
“…tidak lain daripada sosialisme yang berdiri secara khidmat di atas Pancasila, berikap dan bertindak menurut garis tuntutan Allah SWT., dan cenderung pada pembagian kenikmatan hidup secara adil dan merata serta meninggalkan taraf hidup rakyat miskin, sebagai suatu kewajiban moral yang amat tinggi nilainya dan tidak mungkin ditangguhkan lagi… PMII insyaf dan yakin pula bahwasannya keadilan hanya bisa dicapai dengan berpegang teguh kepada moral agama Islam, mengganti segala rupa penipuan dengan kebenaran, kejujuran dan keadilan….PMII dengan sifat patriotisme nasional yang dituntunkan oleh ajaran agama Islam dan sifat taqwa kepada Allah SWT., dan keharusan cinta kepada tanah air, telah bertekad dan berdaya upaya membangun sosialisme Indonesia pengejawantahan UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta di atas runtuhan kemiskinan rakyat yang tak terhingga, di atas runtuhan daripada kebohongan-kebohongan dan penipuan, di atas runtuhan daripada ketakutan dan ketidak adaan jaminan hukum, di atas runtuhan daripada kebohongan dan dekadensi moral…”.
            Sosialisme religius yang dikembangkan PMII dalam konteks struktur (Deklarasi Tawang Mangu, point ke-3 tentang Sosialisme Indonesia), tak lain dan tak bukan adalah
 “….sosialisme Indonesia dalam artian struktur tidak bisa lain daripada adanya pemerintahan yang stabil dan berwibawa sebagai pemimpin segala kerja dan daya cipta seluruh rakyat Indonesia dengan berpedoman kepada pengabdian rakyat banyak, berpegang teguh pada penghormatan mutlak hak-hak asasi manusia, demokrasi dalam bentuk hikmah kebijaksanaan musyawarah, tidaklah bisa lain daripada penyusunan tata perekonomian berdasarkan asas kekeluargaan gotong-royong atau ta’awun, dimana cabang produksi yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak, termasuk bumi, air dan kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk kepentingan rakyat itu sendiri, sedangkan cabang produksi dan ekonomi yang bersifat menengah ringan diserahkan kepada pihak masyarakat sendiriuntuk melaksanakannya sambil dibebani pertanggungjawab sosial yang maksimum…”. 
             Jauh sebelum kader PMII bersentuhan dengan pemikiran Hasan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Arkoun, dan beberapa kelompok pemikir “kiri” dalam dunia Islam lainnya, sosialisme Indonesia yang berbasiskan religiusitas Islam telah diterima di PMII dan diperjuangkan dalam ranah struktur ataupun kultur. Sementara itu, organisasi kemahasiswaan sejenis masih berkutat dalam politisasi Islam dan kecenderungan menolak Pancasila sebagai dasar negara, serta kehendak menggantikannya dengan Piagam Jakarta. Ini sungguh sikap “protes” yang luar biasa PMII atas kehendak Islamisasi negara, “…Sebagai angkatan baru, PMII insaf dan yakin sepenuhnya akan pertanggungjawab terhaap agama Islam, Negara dan Bangsa serta kesetiaan kepada Undang-Undang Dasar 1945 yang dijiwai dan merupakan rangkaian kesatuan dengan Piagam Jakarta…”. PMII bahkan mengklaim dirinya sebagai “nasionalisme sejati” dan “pembela kaum mustadl’afin”, jauh sebelum masalah nasionalisme dan keberpihakan pada rakyat tertindas di gugat habis oleh banyak kelompok Islam modernis ataupun kelompok lainnya di Indonesia, “…adalah sifat dan tanggung jawab terpuji bertindak menurut dan mengembangkan ajaran agama Islam, memiliki sifat nasionalisme sejati dan berpihak kepada nasib dan penderitaan bangsa Indonesia serta pembelaan terhadap mereka…”
            Sikap non-kooperatif anti dengan kekuatan global (internasional) yang kerap sekarang ini disebut sebagai “imperialisme ekonomi”, justru telah PMII tetapkan sejak 1961, bukan saja imperialisme-kolonialisme fisik (militer) saja yang PMII tolak, bahkan imperialisme ekonomi, sosial dan budaya juga tidak PMII tolerir terjadi seluruh dunia. Jauh sebelum, para organisasi kemasyarakatan, kemahasiswaan, kepemudaan, dan parpol-parpol Islam hari ini begitu “kencang” melakukan aksi sosial-jalanan menolak penghancuran Afghanistan dan  penyerangan AS atas Irak ataupun dunia Islam lainnya, PMII justru telah menyuarakan hal itu sejak tahun ’60 an,
 “…menjadi pertanggungjawab PMII untuk menjaga kesatuan nasional, mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari ancaman imperialisme-kolonialisme dalam segala bentuknya, membela hak asasi dan demokrasi yang luhur, menyokong pengembangan persahabatan dengan negara-negara dan bangsa-bangsa lain demi untuk perdamaian dunia, berusaha keras tidak jatuhnya dunia ke kancah peperangan, melawan penindasan terhadap rakyat Indonesia dengan dalih apapun dan oleh siapapun, mendukung gerakan kemerdekaan tanah air oleh bangsa-bangsa yang masih terjajah di dunia…”.  
            Tak heran, jika para aktifis PMII di era ’80 dan ’90 an tidak begitu tertarik dengan wacana Islam modernis seperti, pemikir-pemikir Pan-Islamisme, Jamaluddin Al Afghani, Bduh, Rasyid Ridha, ataupun Sayyid Qutb. Justru PMII malah menceburkan dirinya dengan pergulatan Hassan Hanafie, Abed Al Jabiri, Mahmoud Toha dan pemikir Islam yang agak ke-kiri-kiri-an. Akar radikalitas pemikiran aktifis PMII sudah tertanam benar di tubuh PMII bahkan telah menjadi kultur intelektualnya. Oleh karena itu, PMII hampir tidak mengalami kesulitan cukup berarti mengadaptasikan dirinya dengan perubahan kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan dan internasionalisasi.
       Kedua, Sepuluh Kesimpulan Ponorogo, Pernyataan dan Penegasan Yogyakarta pada Kongres II dibulan Desember tahun 1963. PMII menginstruksikan kepada para kadernya harus berjiwa sosialis, demokratis, nasionalis, pejuang anti penindasan, dan revolusioner, serta meng’haram’kan kadernya apatis, isolasionis, kompromistik murahan, cepat puas, dan cepat putus asa. Implikasinya, kader PMII tidak boleh menyerahkan dirinya ‘mentah-mentah’ kepada kehendak penguasa, sekaligus tidak juga terseret pada sikap ekstrim yang mampu menggoyahkan sendi-sendi keutuhan NKRI. Keputusan ini diambil sebagai bentuk counter represifitas rezim Orla pada saat itu yang akan membabat para mahasiswa kontra (tak sepahaman dan menentang) revolusi serta menguatnya manufer-manufer politik PKI yang semakin tidak memberi ruang bagi kelompok agamis.
            Dalam ranah eknomi, segala bentuk hegemoni negara atas pos-pos ekonomi (produksi) ditolak oleh PMII, padahal ketika itu presiden Soekarno semakin yakin dengan konsep NASAKOM-nya dan begitu membuka ruang yang sangat lebar buat PKI untuk menguasai posisi-posisi strategis di berbagai departemen penting negara. PMII menyerukan bahwa penumpukan bahan pokok kebutuhan rakyat sangat bertentangan dengan Islam, monopoli perekonomian, pemerasan dan mengingatkan negara bahwa cabang dan sektor produksi yang dikuasainya harus digunakan untuk kemakmuran (sepenuhnya) rakyat, bukan sebaliknya. (lihat hasil Kongres Ke-II PMII di Yogyakarta pada tahun 1963). Rupanya hal ini juga merupakan sebuah kritik atas beberapa elit partai NU yang memiliki previlige-previlige tertentu di kekuasaan untuk menumpuk kekayaan pribadi.
Dalam konteks internasional, PMII telah mengajukan kepada pemerintah Indonesia untuk menyelenggarakan Konperensi Islam Internasional Asia-Afrika (KIAA). Artinya, PMII tidak sepenuhnya ‘sekuler’ dalam memandang agama dalam korelasinya dengan negara dan dunia. Hal ini semakin menunjukkan, bahwa PMII tidak hanya memprotes ketidakadilan yang terjadi di Indonesia, tetapi juga memiliki perhatian tinggi atas ‘internasionalisme’, khususnya keterbelakangan umat Islam di dunia, dimana kebanyakan mereka adalah warga masyarakat dunia ketiga.    
            Ketiga, Gelora Mega Mendung bulan April 1965, yang meliputi ‘gelora’ pemikiran dan gerakan PMII mengenai 5 (lima) butir masalah, yakni : ukhuwwah Islamiyyah, watak umum organisasi, berpengetahuan dan berkesadaran politik, partisipasi organisasi dalam tahap-tahap revolusioner dan tentang pondok pesantren. Disini kita bisa menilai radikalitas pemikiran organisasi kemahasiswaan yang katanya kelas intelektual masyarakat tradisional itu, bahwa watak umum organisasi mahasiswa itu adalah “…kecuali harus berpihak kepada ke-Tuhan-an, kepada sosialisme, membela buruh dan tani, mengganyang habis kemiskinan, kebodohan dan kezaliman, memihak kepada perjuangan melawan Nekolim dan penghisapan manusia atas manusia dalam segala bentuk manifestasinya…”.  
            Begitupula dengan masalah pondok pesantren, PMII memandang bahwa pondok pesantren merupakan basis gerakan anti kolonialisme, dan tempat penggemblengan serta pendidikan untuk mensukseskan usaha nation and character building. Sosialisme Indonesia yang dimaksud PMII di era Orde Lama, tidaklah sama, berbeda dengansosialisme yang orang nasionalis, komunis ataupun aliran politik lain definisikan. Sosialisme Indonesia bagi PMII adalah “… tidak ada lain daripada masyarakat adil dan makmur, materiil dan spirituil dan diridlai Allah SWT., selian dia merupakan tujuan agama Islam.. pengejawantahan daripada UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta…”. Apa yang diputuskan NU di tahun 1982 untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara yang final, harus diakui ada andilnya (terinspirasi) oleh pemikiran PMII di atas.
            Keempat, PMII menjadi motor gerakan mahasiswa, pencetus perjuangan Ampera, dan Tritura di sepnajang tahun 1966 dan 1967. Dimulai dengan terpilihnya Zamroni (salah satu ketua PB PMII) sebagai ketua presidium KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), PMII terlibat aktif dan menjadi motor gerakan mahasiswa membubarkan PKI, meminta penurunan harga, bubarkan kabinet, bersihkan serta parlemen dari unsur/gerakan PKI. Dari pusat hingga daerah, aktifis PMII menduduki posisi pertama di KAMI. Salah satu kredo terkenal KAMI yang banyak disitir oleh gerakan mahasiswa setelah itu adalah “Hitam kata rakyat, hitam kata PMII. Putih kata rakyat, putih kata KAMI”. Sebuah prestasi spektakuler bagi organisasi yang masih belia (lahir 1960), PMII mampu menjadi motor penumbangan Orde Lama untuk digantikan Orde Baru.
            Organisasi kemahasiswaan ekstra instituter, kepemudaan, Ormas ataupun partai politik, bahkan Soekarno sendiri tentunya sangat mengenal siapakah Zamroni (Salah satu ketua PB PMII) yang dengan kekuatan orasinya mampu menggerakkan mahasiswa, pelajar dan masyarakat kecil untuk segera memaksa pemerintah membubarkan PKI, menuntut perubahan besar-besaran pada tatanan sistem pemerintahan dan politik Indonesia agar sesuai dengan UUD 1945. Tak salah pak Subhan (politisi ulung NU) memilih Zamroni menjadi ketua KAMI, yang saat itu di’amini’ oleh Mahbub Djunaidi (Ketua Umum PB PMII), Ridwan Saidi (Ketua Umum PB HMI) dan kawan-kawan.
Kelima, pengakuan akan kesetaraan gender, yang selama ini sangat digandrungi dan diperjuangkan oleh hampir seluruh organisasi perempuan di Indonesia, sudah terlebih dahulu PMII suarakan pada tahun 1966 melalui “Panca Norma PMII Putri”, hanya saja PMII menamakan gerakan kesetaraan itu dengan emansipasi bukan perjuangan gender,
“…emansipasi wanita berarti memberikan hak-hak dan kesempatan kepada kaum wanita sederajat, setingkat dan seirama dengan kaum pria….tuntutan akan hak-hak wanita, meliputi segala segi kehidupan, baik politik, sosial-ekonomi, maupun kebudayaan. Hak-hak ini diberikan adalah merupakan tuntutan nurani yang mendorong manusia berkeinginan, berkehendak, dan berbuat sebagai realisasi dan manifestasi daripada ajaran IslamPMII sebagai wanita realistik, mampu menyelesaikan tugas-tugas kemasyarakatan, dan tugas-tugas ini akan diselesaikan kalau tugas-tugas dan bentuk-bentuk kegiatan-kegiatan masyarakat itu semata-mata mengarah kepada kepentingan agama, nusa, bangsa dan revolusi..”.
PMII putri juga menyerukan kepada seluruh civitas akademika diseluruh Indonesia,  agar jurang pemisah antara perkuliahan dan masyarakat mutlak ditolak, dan menempatkan organisasi kemahasiswaan sebagai jembatan emas penghubung antara keduanya. Bahkan secara kongkrit PMII putri akan mendharmabaktikan dirinya dalam seluruh bentuk kehidupan, baik dalam bidang politik, sosial ekonomi, pendidikan maupun dalam perkembangan kebudayaan.  
            Keenam, Deklarasi Murnajati ditahun 1972, sebagai tonggak Independensi PMII terhadap partai dan organisasi apapun. Ini mungkin bentuk ‘protes’ paling besar PMII terhadap NU, ataupun dunia perpolitikan nasional di era Orde Baru. Sejak itu, PMII menyatakan diri sebagai organisasi independent, tidak terikat, baik sikap maupun tindakan kepada siapapun, dan hanya commited dengan perjuangan organisasi dan cita-cita perjuangan nasional yang berlandaskan Pancasila. Polemik cukup tajam terjadi antara aktifis PMII yang membela ‘mati-matian’ independensi (karena tidak semua aktifis PMII setuju independensi) dan alumni PMII atau elit NU yang menyayangkan PMII ‘keluar’ dari NU.  Pendewasaan dan dinamika organisasi merupakan alasan utama, diambilnya kebijakan teresbut, tetapi saya melihat bahwa independesi PMII dalam konteks dimana NU masih menjadi partai, sebenarnya tidak lebih dari rekayasa Ali Moertopo (Opsus), yang bertujuan melemahkan kekuatan NU, sebab dengan memisahkan PMII dari partai NU, maka partai NU kehilangan resources dan salah satu kaki politik yang cukup bisa diandalkan untuk mengemban amanat, nilai-nilai, dan membesarkan partai NU. Namun, terlepas pro-kontra yang melingkupinya, independensi PMII itu telah terasa benar manfaatnya bagi PMII dewasa ini, berbagai capaian strategis dan kemajuan organisasi justru terjadi secara massif dan progresif dengan PMII independen dari organisasi manapun.
            Ketujuh, Pernyataan Ciloto tahun 1973. Ada beberapa hal yang cukup berani disuarakan PMII sebagai kritik atas Orde Baru. Dalam ranah ekonomi, PMII meminta agar kebijakan pemerintah mengundang modal asing untuk masuk ke dalam negeri harus berorientasi pada penciptaan (memperluas) lapangan kerja bagi pribumi dan bukan sebaliknya, perlindungan bagi pengusaha pengecer pribumi di pelosok-pelosok daerah, serta perlunya membatasi modal asing agar tidak bersifat subtansial, melainkan bersifat komplementer saja. Sedangkan dalam ranah politik, PMII memprotes perombakan struktur politik yang dijalankan pemerintah masih jauh (menyimpang) dan belum mencerminkan sepenuhnya asas-asas yang terkanung dalam UUD 1945. PMII juga mendesak pemerintah menjamin kebebasan mimbar di perguruan tinggi se-konsekwen mungkin, menghilangkan kecurigaan berlebihan terhadap aktifitas (mahasiswa) perguran tinggi dan menghindari penggunaan security approach terhadap setiap masalah (sosial-politik) yang muncul.
Meletusnya kerusuhan Malari 1974, bukanlah sesuatu yang tidak diprediksikan oleh PMII. Apa yang dimaksud dengan “Statement Ciloto”, akhir Desember 1973, adalah bentuk antisipasi PMII atas kebijakan negara yang semakin melupakan nasib pribumi, serta kecenderungan menguatnya konsolidasi para aktifis mahasiswa untuk melakukan gerakan besar menentang kebijakan itu dalam bentuk aksi-aksi jalanan seperti di tahun 1966 yang lalu. Apa yang dikhawatirkan PMII di Ciloto menjadi kenyataan, dengan meletusnya peristiwa Malari yang melahirkan Hariman Siregar sebagai salah satu tokoh utamanya.
            Kedelapan, Protes PMII atas tradisi berpikir (sebagian) orang NU yang masih kolot, menolak diberlakukannya SK Menteri P dan K No. 028, yang berisi keharusan agar dalam melaksanakan kegiatannya, mahasiswa harus meminta izin rektor terlebih dahulu, memfasilitasi berbagai pertemuan almuni PMII untuk mengawali Kebangkitan NU dengan melakukan pribumisasi Islam, penyebar pluralisme dan toleransi, mengembalikan NU pada khittah-nya, ‘motor’ menerima Pancasila sebagai asas tunggal, serta memprotes hutang luar negeri pemerintah yang semakin menggunung,. Di era ‘80 an memang tidak banyak gerakan mahasiswa yang mampu bersinar terang dalam panggung-panggung ‘mitologi’ politik nasional. Sebab, sepanjang dasa warsa ini, Orde Baru telah mampu mencengkeramkan kuku kekuasaannya dengan kuat, hampir di seluruh entias politik dan sosial (masyarakat).
Namun, PMII masih melakukan hal-hal strategis yang sangat penting bagi proses radikalisasi-liberasi pemikiran dan gerakan di sepanjang dasa warsa ’90 an. Beberapa hal di atas merupakan cerminan agar PMII mulai lagi membangun kritisisme, dan mulai menjadi corong perluasan ide-ide besar Gus Dur, baik ke dalam masyarakat Islam tradisional sendiri, ataupun bangsa Indonesia secara keseluruhan. Pada paruh terakhir dasa warsa ‘80 an, radikalisasi pemikiran aktifis PMII sudah semakin berkembang jauh, tidak hanya terbatas pada domain pemikiran keagamaan saja, tetapi semakin luas ke dalam pemikiran filsafat, dan social humaniora. Hal ini salah satunya didorong oleh semakin banyaknya kader PMII yang berasal dari perguruan tinggi umum (tak lagi terpusat di IAIN atau perguruan tinggi Islam lainnya). Begitu pula, kehadiran LkiS di akhir era ’80 an, turut mendorong liberalisasi pemikiran aktifis PMII.
            Kesembilan, di sepanjang dasa warsa ’90 an, PMII meneguhkan dirinya sebagai “organisasi protes”. Sejak kepemimpinan sahabat Iqbal, jumlah pemikir muda di PMII semakin bertambah banyak. Gerakan aksi jalanan sebagai bentuk kritik atas jalannya kekuasaan mulai sering dilakukan. Aksi jalanan ini dimulai dengan gerakan sahabat Effendy Choiri (waktu itu masih menjabat Ketua Umum PMII DKI Jakarta), di bulan Juli, tahun 1990, bersama 30 aktifis PMII lainnya, melakukan demo menuntut pemerintah Arab Saudi bertanggung jawab atas terjadinya “Tragedi Mina”, di Kedutaan Besar Arab Saudi. Aksi ini sebagai tindak lanjut dari “pernyataan dan sikap terbuka PB PMII” yang menuntut Menteri Agama RI, Munawir Sadzali mengundurkan diri dari jabatannya, karena Menag dianggap terlalu pasif, tidak responsif, tidak tegas dan terlalu lamban dalam mengambil keputuan mengenai ‘kecelakaan’ yang menimpa ribuan umat Islam Indonesia itu. Keberanian berdemonstrasi PMII ini ditunjukkan kembali saat PMII bersama Kelompok Cipayung mendatangi Kedutaan Besar Amerika, untuk menentang ‘kebrutalan’ AS dalam Perang Teluk (1991). Bahkan, Amien Rais (Ketua PP Muhammadiyah pada saat itu) mengomentari gerakan jalanan PMII itu dengan sebutan “Halilintar PMII”.
            Di paruh awal dasa warsa ’90 an ini PMII mulai menceburkan dirinya secara aktif dalam gerakan pemberdayaan ‘wong cilik’ dan perlawanan atas rezimentasi Orde Baru, misalnya, mendemonstrasi kesewenang-wenangan birokrat kampus, penggusuran tempat tinggal rakyat, pembebasan tanah, upah buruh yang minim, tuntutan hak asasi manusia, pembubaran SDSB, tuntutan demokratisasi, keadilan, dan sebagainya. Gerakan jalanan PMII ini semakin bersinar, apa yang menimpa sahabat kita di UMI Ujung Pandang, kerusuhan Tasik, kasus Situbondo, kerusuhan etnik di Kalimantan Barat, semuanya itu tidak luput dari perhatian PMII dan disuarakan secara terus-menerus lewat aksi-aksi jalanan. Puncaknya, ketika terjadi pelengseran Soeharto dari kekuasaannya di pertengahan tahun 1998, dan lahirnya “reformasi”, PMII menjadi bagian tak terpisahkan dari gerakan mahasiswa tersebut.
            Dalam konteks gerakan pemikiran, booming intelektual PMII mulai terjadi sejak tahun 1980 akhir sampai sekitar akhir 1990- an, dan patut dicatat bahwa, kebangkitan pemikir muda PMII itu tidak lagi dimonopoli oleh lulusan IAIN semata. Inilah yang oleh banyak  kalangan disebut sebagai era kebangkitan kelas santri terpelajar, bahkan Cak Nur (dedengkotnya HMI) meyakini bahwa Indonesia 2025 adalah milik NU (baca; PMII), ia memprediksikan bahwa saat itu, anak muda NU telah mampu menduduki pos-pos strategis bangsa, baik politik, ekonomi, maupun dalam institusi-institusi pendidikan tinggi di Indonesia. Pada fase inilah, PMII mampu merumuskan sebuah paradigma gerakan (sekitar akhir 1997), yang akhirnya dibakukan di Kongres Medan (2000) menjadi Paradigma Kritis-Transformatif. Dekonstruksi dan rekonstruksi pemahaman ajaran Islam, Aswaja sebagai manhajul fikr, pribumisasi Islam, pluralisme, kritik wacana agama, perjuangan keislaman dan kebangsaan melalui jalur sosio-kultural, open society, masyarakat komunikasi, post-tradisionalisme Islam Indonesia, Islam sebagai etika sosial, Islam liberal, Islam emansipatoris, merupakan beberapa produk pemikiran yang tumbuh subur (terlahir) dari para pemikir muda (ataupun alumni) PMII.
Awal 1997, PMII menilai bahwa Kelompok Cipayung sudah tidak relevan lagi dipertahankan eksistensinya, sebab HMI sebagai salah satu anggotanya telah menjadi bagian terpenting dari kekuasaan rezim Orde Baru. Oleh karena itu, PMII bersama dengan GMNI, PMKRI, GMKI, GAMKI, Pemuda Demokrat, IPNU dan IPPNU membentuk Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia (FKPI). FKPI menilai bahwa Kelompok Cipayung telah ditinggalkan sejarah, dan tak lagi mampu mengkritisi (melakukan counter gerakan) atas etatisme negara dan politisasi agama. FKPI lahir sebagai jawaban atas kehendak bersama dalam upaya menciptakan (mendorong terbentuknya iklim kondusif) revitalisasi wacana dan wawasan kebangsaan Indonesia yang selama ini telah dimonopoli oleh rezim Orde Baru. Tafsir tunggal penguasa Orde Baru atas rasa, semangat dan wawasan kebangsaan Indonesia inilah yang dinilai oleh FKPI sebagai ‘biang kerok’ terjadinya konflik SARA di beberapa daerah (Situbondo, Tasik dan Sambas) Indonesia, ‘mandulnya’ gerakan demokrasi politik dan ekonomi, hilangnya kepastian hukum, dan sebagainya.  
            Begitu pula dalam ranah pluralitas kehidupan keagamaan Indonesia, PMII dinilai berperan penting bagi pembumian ‘teologi toleransi’ yang memayungi keharmonisan hubungan antar agama dalam kaitannya mengikis hegemoni negara atas agama. Hampir di seluruh forum komunikasi antar agama di Indonesia, selalu terdapat didalamnya aktifis PMII yang terlibat intens di berbagai pertemuan, aktifitas kemanusiaan, dan dalam setiap upaya pencarian model keberagamaan yang paling ideal (sesuai) dalam konteks keindonesiaan. Tak terbilang jumlahnya kader PMII yang begitu karib dengan para romo, pendeta, bunsu, biksu serta para tokoh agama lain untuk bersama-sama menyuarakan keadilan, toleransi, keterbukaan, demokrasi, pemberdayaan civil society, dan sebagainya diberbagai kesempatan dan aktifitas bersama.
            Akhirnya, paparan di atas sebenarnya sudah cukup modal bagi PMII untuk mendeklarasikan dirinysa sebagai “organisasi protes”. Tidak hanya protes sosial, melainkan juga seluruh bangunan pemikiran, kebudayaan, ekonomi, keagamaan, sisem kenegaraan, maupun kapitalisme global yang tidak humanis, menindas, membungkam kebebasan (kemerdekaan) individu, mengingkari nilai-nilai kebenaran dan keadilan universal, anti perubahan (jumud), dan terlalu mendewakan materi (capital). Oleh karena itu, semuanya diserahkan kepada publik luas, apakah kritisisme (pemikiran maupun gerakan), dan tradisi ‘protes’ itu masih terus ‘menyala’ di PMII ataukah justru telah mengalami titik balik menuju degradasi besar-besaran ?. wallahu a’lam.
Labels: | edit post
0 Responses

Post a Comment