PENDAHULUAN
- Latar belakang
Islam
adalah agama yang sempurna. Islam adalah sebuah sistem kehidupan yang
diturunkan kepada manusia oleh Sang Maha Pencipta kehidupan. Dzat Yang Maha
Mengetahui manusia lebih dari manusia itu sendiri. Dan untuk itulah Al-Quran
diturunkan, sebagai seperangkat pedoman kehidupan.
Allah
sangat menyayangi dan memuliakan manusia. Karena itu, diciptakannya manusia dan
dijadikannya manusia sebagai khalifah fil ardh lengkap
dengan peraturan dan cara perawatannya. Bila manusia ingin selamat, Al-Quran
datang sebagai rahmat.
Sebagai khalifah
fil ardh, manusia mempunyai amanah yang besar. Karena itu, Allah
telah menetapkan masing-masing rizkinya dan menggariskan peraturan untuk
memenuhi kebutuhannya. Surat An-Nissa ayat 3 dan 4 adalah salah satu ayat yang
menerangkan tentang poligami.
- Rumusan masalah
- Bagaimana
analisa semantik dari ayat tersebut ?
- Bagaimana
ikhtisar kandungan ayat tersebut ?
- Bagaimana
keterkaitan ayat tersebut dengan ayat sebelum dan sesudahnya?
- Tujuan
- Untuk
mengetahui analisa semantik dari ayat tersebut ?
- Untuk
mengetahui ikhtisar kandungan ayat tersebut ?
- Untuk
mengetahui keterkaitan ayat tersebut dengan ayat sebelum dan sesudahnya?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PERBUATAN ADIL DALAM BERPOLOGAMI
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur (
÷bÎ*sù óOçFøÿÅz wr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷r& 4
y7Ï9ºs #oT÷r& wr& (#qä9qãès? ÇÌÈ (#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%ß|¹ \'s#øtÏU 4
bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿÏZyd $\«ÿÍ£D ÇÍÈ
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat
Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[265],
Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.Berikanlah maskawin
(mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh
kerelaan[267]. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”.
(Surat An-Nisaa: 3 dan 4)
B.
ASBABUL
WURUD
وان خفثم “dan
jika kamu”, adalah merupakan kalimat syarat dan
kalimat jawabnya adalah kata فانكحوا “maka nikahilah”, maksudnya jika
kamu takut tidak bisa berlaku adil dalam mahar dan nafkah kepada istri-istrimu,
فا نكحوا ما طبا لكم “maka nikahilah
wanita-wanita (lain)yang kamu senangi”, yaitu selain perempuan yatim itu.
Abu Ubaidah berkata خفثم bermakna “kalian
yakin”, pendapat lain mengatakan خفثم “kalian menyangka”. Ibnu
Atthiyah berkata pendapat ini merupakan pendapat Al-Hadzdzaq, dimana kalimat
tersebut bermakna zhan (sangkaan), bukan yakin dan makna implisitnya
yaitu barang siapa yang merasa bahwa ia tidak bisa berbuat adil pada perempuan
yatim yang dinikahinya, maka hendaklah ia menjauhinya.
Adapun kata ثقسطوا artinya “hendaknya kalian bersikap
adil”, contoh: اقسط الرجل artinya bersikap adil dan
قسط makna sebaliknya adalah
seorang yangmenzhalimi temannya, firman allah dalam surat Al-Jin: 15 yang
berbunyi:
$¨Br&ur tbqäÜÅ¡»s)ø9$# (#qçR%s3sù zO¨YygyfÏ9 $Y7sÜym ÇÊÎÈ
"Adapun orang-orang yang menyimpang
dari kebenaran, Maka mereka menjadi kayu api bagi neraka Jahannam"
Maknanya adalah
“dan
orang-orang yang menzhalimi orang lain, maka mereka menetapkan di dalam neraka
jahanam sebagai kayu bakar. Pada ayat سطون القا bermakna orang-orang yang zhalim,sedangkan
pada hadits lain sebaliknya Rasulullah saw bersabda yang artinya “
orang-orang yang berlaku adil dalam agamanya berada diatas mimbar yang dipenuhi
cahaya pada hari kiamat”. Pada
hadits ini سطون القا bermakna orang yang adil, Ibnu Watstsab
dan An-Nakhi membaca ayat di atas dengan memfathah-kan huruf ta’, تقسطوا
dengan memberikan huruf tambahan لا
(tidak), seakan-akan mengatakan “dan jika kamu khawatir berlaku zhalim”.
فا نكحوا
ما طاب لكم من النساء “maka
nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi”, makna ما berarti akad nikah yaitu
nikahilah dengan ikatan pernikahan yang baik. Ibnu Ishak, Al-Jahdari, dan
Hamzah membaca kata طاب dengan bacaan imalah(antara fathah dan kasroh), sedangkan
dalam mushaf Ubai tertulis طيب dengan huruf ya’. Penulisan ini
menunjukan penggunaan imalah dalam mushaf Ubai. Sementara من النساء menunjukan
bahwa seseorang tidak dikategorikan sebagai wanita dewasa, kecuali ia telah
baligh dan bentuk mufrod (tunggal) dari an-nisaa’ adalah niswaa’ dan
seorang wanita tidak disebutkan dengan niswaa’ akan tetapi imra’ah.
وثلث وربعمثنى “dua,
tiga, atau empat”, posisinya dalam
I’rab adalah badal dari ما dalam bentuk nashab yang
mana kata tersebut adalah bentuk dari nakirah dan tidak boleh di-tasrif-kan
karena termasuk ma’dhulatu washf (bentuk sifat), demikian yang dikatakan
oleh Abu Ali.
فان
خفتم الا تعدلوا فواحدة “kemudian
jika kamu tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja”, Adh-Dhahhak dan yang lainya berkata “tidak bias bersikap adil dalam
memberikan rasa cinta, kebutuhan biologis, mempergauli dan membagi waktu
diantara dua, tiga atau empat istrinya”. فواحدة maka (kawinilah) seorang saja
pelarangan menikah lebih dari satu ini karena ia melalaikan bersikap adil dan
tidak mampu membagi waktu dan mempergauli mereka dengan baik, dan ini merupakan
dalil kewajiban meninggalkan poligami bagi yang tidak mampu. Bacaan dengan rafa’
pada kalimat فواحدة adalah
bacaan yang pantas. Al-Kisa’I berkata فواحدة adalah bacaan yang pantas dan sesuai apabila dinasabkan sebab
keberadaannya sebagai dhamir fi’il yaitu فواحدة فا نكحوا.
او
ما ملكت ايمنكم “atau budak-budak yang kamu miliki”, maksudnya menggauli budak wanitanya dan kalimat ini merupakan athaf
atas kalimat sebelumnya فواحدة maksudnya
jika engkau takut tidak bisa bersikap adilterhadap seorang wanita, maka
cukuplah bagimu budak-budak wanita. Ini menunjukan bahwa seorang budak yang
dimiliki tidak harus digauli ataupun bersikap adil dalam membagi waktu, karena
makna فان خفتم الا
تعدلوا “kemudian jika kamu tidak akan dapat berlaku adil”, yaitu berlaku dalam membagi waktu. Adapun او ما ملكت ايمنك فواحدة “maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki”, ini menunjukkan bahwa budak wanita yang dimiliki berada pada
kedudukan yang sama, hanya saja tidak wajib bagi tuannya untuk menggauli serta
membagi waktu baginya, kecuali kewajiban bersikap lemah lembut kepadanya.
ذلك ادنى
الا تعولوا “yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”,
maksudnya adalah lebih dekat (baik) dari pada kamu bersikap plin
plan kepada kebaikan dan berbuat aniaya.
C.
ASBABUN NUZUL
Poligami
merupakan sesuatu yang disyariatkan oleh Allah swt sebagai solusi dari
kehidupan masyarakat pada saat itu yang tidak ada pembatasan bagi seorang
laki-laki dalam memiliki istri serta untuk memenuhi tuntutan sosial masyarakat
yang semakin hari jumlah kaum wanitanya jauh lebih banyak dari kaum prianya.Ijma
para ulama menyatakan bahwa diperbolehkan seseorang melakukan poligami dengan
dua persyaratan :
1.
Mampu berlaku adil terhadap para istrinya,
2. Memiliki kemampuan untuk memberikan nafkah
kepada para istrinya itu, sebagaimana firman Allah swt :
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى
يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ (٣٣)
D. Artinya : “dan orang-orang yang
tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah
memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An Nuur : 33)
Memang didalam siroh
disebutkan bahwa Rasulullah saw baru melakukanpoligami padausia 53 tahun
setelah Khodijah ra meninggal dunia hingga usia beliau 60 tahun
Poligami yang dilakukan Rasulullah saw dikarenakan tuntutan
da’wah. Pada saat itu usia Nabi saw semakin tua sementara tugasnya bertambah
berat didalam menyampaikan risalahnya sehingga beliau saw membutuhkan
orang-orang yang paling dekat dengannya untuk menjadi perantara dalam
menyampaikan hukum-hukum syariat yang berkenaan dengan wanita muslimah.
Tentunya sangatlah merisihkan diri nabi saw jika beliau saw secara langsung
menjelaskan hukum-hukum syariat tentang wanita kepada para wanita muslimah.
Karena itulah, fungsi menyampaikan ini diambil oleh hampir seluruh istrinya.
Apa yang dilakukan Rasulullah saw dengan berpoligami setelah
meninggalnya Khodijah sebagai istri pertamanya adalah juga perintah dari Allah
swt. Dan hal itu tidak berarti bahwa setiap muslim baru bisa berpoligami
setelah istri pertamanya meninggal dunia.
Islam adalah agama fitrah yang mengerti akan kebutuhan setiap
manusia. Tentunya kebutuhan setiap manusia tidaklah sama antara satu dengan
yang lainnya termasuk dorongan syahwat (libido). Ada diantara mereka yang
membutuhkan istri lebih dari satu untuk memenuhi libidonya sementara sebagian
lainnya merasa cukup dengan satu istri. Atau mungkin ada diantara mereka yang
sedang diuji dengan sakit berkepanjangan yang dialami istrinya sehingga tidak bisa
melayani kebutuhan seksual suaminya sementara dirinya membutuhkan jalan keluar
untuk itu, lalu apakah solusi buat suaminya itu ?
Apakah dirinya harus menanti hingga istrinya meninggal dunia?!
Sementara dorongan seksualnya semakin hari terus semakin bertambah! dan bukan
tidak mungkin jika tidak ada solusi berpoligami maka dirinya akan jatuh kedalam
perbuatan yang diharamkan untuk memenuhi kebutuhannya itu.
Tidak ada nash didalam Al Qur’an maupun sunnah yang melarang
seorang muslim untuk berpoligami sementara istri pertamanya masih ada
disampingnya selama dirinya sudah termasuk orang-orang yang memenuhi
persyaratan untuk itu. Nash-nash Al Qur’an dan sunnah hanya memberikan batasan
bagi seseorang yang berpoligami untuk tidak memiliki istri lebih dari empat orang,
sebagaimana Diriwayatkan oleh Ahmad dari Salim dari ayahnya bahwa Ghailan bin
Salamah ats Tsaqofi masuk islam sementar dirinya memiliki sepuluh orang istri.
Lalu Nabi saw berkata kepadanya,”Pilihlah empat orang saja dari mereka.”
Adapun sebab nuzul dari ayat 3 surat an Nisa tentang poligami
diatas, sebagaimana disebutkan didalam ash shahihain adalah bahwa Urwah bin az
Zubeir bertanya kepada Aisyah tentang firman Allah وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى
, maka Aisyah berkata,”Wahai anak saadara perempuanku sesungguhnya anak
perempuan yatim ini berada didalam perawatan walinya—ia menyertainya didalam
hartanya, lalu walinya tertarik dengan harta dan kecantikan anak perempuan
yatim itu dan menginginkan untuk menikahinya dan tidak berlaku adil terhadap
maharnya, dia memberikan mahar kepadanya tidak seperti orang lain memberikan
mahar kepadanya. Maka mereka dilarang untuk menikahi anak-anak perempuan yatim
kecuali apabila mereka dapat berlaku adil terhadap anak-anak perempuan yatim
itu dan memberikan kepada anak-anak perempuan yatim itu yang lebih besar dari
kebiasaan mereka dalam hal mahar. Maka para wali itu pun disuruh untuk menikahi
wanita-wanita lain yang disenanginya selain dari anak-anak perempuan yatim
itu.”Ayat 3 dari surat An Nisa ini turun pada tahun kedelapan setelah
Rasulullah saw berhijrah ke Madinah setelah meninggalnya Khodijah ra pada bulan
Ramadhan tahun kesepuluh kenabian dan juga setelah beliau saw menikahi seluruh
istrinya dan wanita terakhir yang dinikahinya adalah Maimunah pada tahun ke-7
H.
amien,, salam kenal juga,,,