Kebudayaan Ideasional dan Kebudayaan Keinderawian


“Di banyak revolusi, reformasi dan rekonstruksi sosial yang besar,
Sosiologi yang itu-itu jugalah yang terbukti menjadi ideologi dan pedoman utama”
( Pitirim A. Sorokin )


Sekilas tentang Pitirim A. Sorokin
Sorokin adalah seorang profesor yang paling produktif dan paling kontroversial  dari sekian banyak penulis sosiologi modern. Karir hidup Sorokin mencapai kurun waktu dua pertiga dari abad XX. Karirnya ditandai oleh petualangan, kontroversi, produktivitas ilmiah yang mencengangkan, dan ancungan jempol dari masyarakat profesi dan khalayak ramai. Dia lahir di bagian utara Rusia pada tahun 1889. Pada tahun 1918 (masa revolusi Bolshevik), dia ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Dia dibebaskan, dipenjarakan lagi dan menunggu eksekusi. Akan tetapi dia lalu dibebaskan oleh pemerinta Lenin. Pada tahun 1922 dia meninggalkan Rusia, dan pada tahun 1923 tiba di Amerika untuk memulai suatu kehidupan yang baru. Di Amerika dia segera menarik perhatian para cendikiawan dan terus menulis sehingga berhasil merampungkan sejumlah besar publikasi yang kebanyakan ahli sosiologi akan merasa cukup berbahagia meninggalkan publikasi sedemikian banyak dalam waktu seumur hidup. Sorokin meninggal dunia pada tahun 1968.

Pandangan Sorokin tentang Pola-pola Kebudayaan
Karya yang menyebabkan namanya termashyur di negeri Paman Sam ialah penelitian empat jilidnya tentang pola-pola kebudayaan yaitu Social and Cultural Dynamics. Buku tersebut adalah karyanya yang berusaha tak kurang dari memahami pola-pola berubahnya masyarakat manusia dan kebudayaannya di ujung bumi sampai di ujung jangkauan masa sejarah. Social and Cultural Dynamics banyak dikecam karena terang-terangan memandang rendah cirri “keinderawian” peradaban modern. Namun buku tersebut menurut Sorokin sendiri merupakan “ceritera” yang paling mempesona.
Sorokin memanfaatkan kenyataan bahwa jikalau kita secara menyeluruh mengkaji kebudayaan dan masyarakat tertentu pada waktu tertentu, maka kita akan memperoleh suatu pengertian (meskipun samar-samar) tentang hubungan antara berbagai bagian kebudayaan yang saling berlainan. Sebagai contoh, dalam suatu kebudayaan seperti kebudayaan kita di mana soal-soal dunia usaha (bisnis) nampak dominant, berbagai ragam kebiasaan dan praktek-praktek kebudayaan memiliki hubungan saling dukung dengan etika dunia usaha. Namun di pihak lain, praktek-praktek kebudayaan suku Inian Pueblo nampak memiliki hubungan dengan praktek-praktek keagamaan dan beberapa konsep yang menyangkut masalah menurunkan air hujan ke tanah mereka. Sorokin secara jelas menyinggung masalah ini :
Apakah tiap kebudayaan merupakan suatu kebulatan dimana tidak ada satupun bagian inti yang kurang penting tetapi masing-masing bagian berhubungan secara organis dengan bagian lainnya? Atau, apakah kebudayaan sekedar kumpulan spasial benda, nilai, cirri, atau sifat kultural, yang secara kebetulan telah berhimpun bersama dan disatupadukan oleh kedekatan spasial atau hanya karena kenyataan bahwa benda, nilai, cirri, atau sifat tersebut terhimpunkan menjadi satu, dan bukan karena yang lain? Jika yang pertama yang  benar, maka apakah gerangan prinsip integrasi, yang sumbunya menjadi pusat semua ciri karakteristik yang esensial dan yang menjelaskan mengapa karakteristik tersebut seperti demikian adanya dan mengapa karakterisitk itu “hidup”? Jika yang kedua yang benar, maka bagaimana dapat terjadi bahwa disuatu daerah tertentu agaknya percampuran benda-benda dan nilai-nilai kultural dapat berlangsung sedangkan di daerah lainnya percampuran yang lainlah yang terjadi? Bagaimana dan mengapa bisa terjadi suatu percampuran  berlangsung satu arah sedangkan percampuran yang lainnya berubah-ubah sedemikian rupa sehingga sama sekali bertolak belakang?

Sorokin mendekati problema itu dengan asumsi bahwa suatu kebudayaan sangat dipengaruhi oleh bagaimana ia mendefinisikan sifat hakikat realitas. Ada dua pendekatan terhadap realitas. Di satu pihak kita dapat memandang apa yang kita rasakan melalui organ-organ tubh kita sebagai realitas semu (realitas sejati dianggap bersifat “supra inderawi” atau spiritual). Pendekatan lainnya membatasi realitas hanya pada hal-hal yang dapat kita rasakan oleh indera kita.

Kebudayaan Ideasional dan Kebudayaan Keinderawian
Menempatkan realitas ke dalam alam supra-inderawi atau alam spiritual merupakan karakteristik dari apa yang disebut mentalitas ideasional atau kebudayaan ideasional. Sedangkan menempatkan realitas ke dalam apa yang dapat diindera secara langsung melalui organ-organ pengamatan kita merupakan cirri karakteristik dari mentalitas keinderawian atau kebudayaan keinderawian. Kedua mentalitas tersebut adalah sumbu yang menjadi tempat memusatnya berbagai karakteristik hakiki tiap kebudayaan. Berikut adalah ciri karakteristik mentalitas idasional dan keinderawian.


Mentalitas Kebudayaan Ideasional

Mentalitas Kebudayaan Keinderawian

1.      Realitas dipandang sebagai kekal, spiritual, dan transcendental bagi indera.

  1. Kebutuhan pokok individu adalah bersifat spiritual. Keinginan-keinginan fisik jasmaniah harus ditekan
  2. “Kemajuan” dicapai melalui pengendalian diri.

  1. Keyakinan akan “Ada” dan pengabaian nilai-nilai yang bersifat sementara.

  1. Pribadi dan diri yang bersifat “nafsiah” (sensual) sedapat mungkin ditekan.

  1. Manusia berwatak tertutup dan subjektif.

  1. Kebenaran didasarkan atas pengalaman mistis “di dalam”. Intuisi, iman, dan wahyu dapat digunakan.

  1. Kaidah moral bersifat imperative, abadi, dan tidak dapat diubah.


  1. Seni itu bersifat simbolik dan ditujukan kearah nilai-nilai religius.
Realitas dipandang sebagai berlokasi didalam “benda-benda”material. Realitas dapat ditangkap oleh indera.

Kebutuhan utama individu adalah bersifat jasmaniah. Kesenangan dan kepuasan inderawi harus dimaksimalkan.

“Kemajuan” dicapai melalui pengendalian lingkungan di luar diri.

Keyakinan akan “Menjadi”.Nilai-nilai selalu bersifat sementara. Senantiasa ada “suai ulang” yang tanpa akhir.

Manusia dibaktikan bagi “pernyataan diri” dan pemenuhan kebutuhan nafsiah.


Manusia berwatak terbuka dan objektif.


Kebenaran didasarkan atas pengamatan, pengukuran dan eksperimentasi. Logikalah yang digunakan.


Moral adalah relatifistis, dapat berubah, dan berorientasi kepada kesenangan dan kebahagiaan manusia.

Seni itu ditujukan kea rah hiburan bagi manusia.


Etika dalam Ideasionalisme dan Keinderawian
Suatu kebudayaan yang didominasi oleh mentalitas Ideasional memiliki bentuk sistem etika tersendiri. Dalam kebudayaan tersebut, etika tidak dapat ditempatkan pada tugas layanan memajukan kesejahteraan, kebahagiaan, kesenangan inderawi. Kondisi tersebut adalah khayalan atau impian dan oleh karenanya tidak dapat menjadi “terminal terakhir” etika ideasional.
Persoalan kita yang pertama adalah bahwa sistem etika Ideasional tidak dapat menjanjikan kebahagiaan keduniawian. Segi kedua dari sistem etika tersebut ialah bahwa tuntutan-tuntutannya bersifat mutlak. Sisten etika ideasional dipersiapkan untuk membawa para penganutnya menuju kemanunggalan dengan yang maha tinggi. Oleh karananya sistem etika diharapkan tidak boleh dirusak. Ia mengikat siapa saja, dan kaidah-kaidah moralnya tidak dapat dirubah. Akhirnya, kaidah-kaidah etika dalam kebudayaan Ideasional berasal dari Tuhan atau sumber supra-inderawi lainnya.
Berlawanan dengan sistem etika Ideasional, sistem etika kebudayaan keinderawian menggambarkan seperangkat dalil yang sama sekali berbeda mengenai realitas dan hubungan manusia dengan realitas itu. Pertama, etika Keinderawian menyangkut kaidah-kaidah moral yang dimaksudkan untuk meningkatkan taraf kebahagiaan, kesejahteraan, dan kesenangan manusia. Kedua, cirri dari sistem etika Keinderawian ialah relativismenya. Sistem etika Keinderawian tunduk kepada perubahan jaman dan senantiasa berubah seiring dengan perubahan jaman. Sorokin menekankan bahwa etika Keinderawian pada umumnya telah mencapai apa yang dia sebut suatu tahap perkembangan yang “terlalu renum”. Arah masa depannya akan menuju ke suatu penegakan kembali nilai-nilai Ideasional. Akhirnya, etika keinderawian jelas merupakan “aturan manusia”. Jika ia mengabdi kepada kebahagiaan sekalian umat manusia, maka ia dibenarkan.

Ekonomi dalam Ideasional dan Keinderawian
Perbedaan antara kebudayaan Ideasional dan Keinderawian berkenaan dengan praktek perekonomian sama jelasnya dengan perbedaan yang berkenaan dengan etika. Dalam kebudayaan Ideasional, upaya-upaya untuk memupuk kekayaan dan memusatkan perhatian kepada kekayaan demi-untuk-kekayaan dipandang sebagai dosa. Kekayaan ditangguhkan pemanfaatannya untuk pamrih-pamrih yang lebih tinggi. Peranan kekayaan dan pentingnya ekonomi, tentu saja sangat dijunjung tinggi dalam kebudayaan Keinderawian. Karena kekayaan “mewujud” di dunia ini, dapat memberikan kenikmatan jasmaniah sementara, dapat memperkuat kekuasaan duniawi, dan menjadi suatu isyarat keberhargaan yang dapat diindera dan diukur, maka kekayaan dipandang lebih besar nilai pentingnya dalam kebudayaan Keinderawian ketimbang kebudayaan Ideasional.
Bentuk Seni dalam Ideasionalisme dan Keinderawian
Bentuk-bentuk seni Ideasional menunjukkan perhatiannya kepada soal-soal spiritual atau keagamaan. Gayanya cenderung lebih formal dan simbolis. Seni Ideasional adalah “pertapaan”. Ia memiliki kualitas non-erotis. Akhirnya, seni Ideasional diabdikan kepada Tuhan sebagai suatu subjek. Seni Ideasional penuh dengan figur suci, supra-inderawi, tuhan dan dewa. Di dalamnya ada derita dan tragedy, tetapi selalu juga ada nilai-nilai abadi dan spiritual yang terletak di balik busuknya daging dan rumitnya masalah.
Seni Keinderawian, bergerak dalam soal-soal keduniawian. Ambisi seniman adalah memotret subjeknya secara dramatis, menangkap momen realitas inderawi, mengesankan penikmat atau pendengarnya dengan suatu “benda” seni yang punya dampak. Gayanya tidak fformal dan juga tidak “kering”. Akhirnya puncak peringkat seni Keinderawian ditempati oleh individu “penyakitan” yang suka berasyik-asyik dengan tingkah-tingkah aneh.

Kecenderungan-kecenderungan Kebudayaan
 Jika kita sepakat bahwa suatu kebudayaan dapat dibatasi sebagai kebudayaan Ideasional, maka bagaimana dapat terjadi suatu kebudayaan tertentu berubah dari bentuk Ideasional menjadi Keinderawian? Sorokin menegaskan bahwa kita setidaknya mempunyai satu jawaban yang umum. Menrut Sorokin, suatu mentalitas kebudayaan tertentu senantiasa menciptakan kondisi bagi kehancurannya sendiri. Jikalau sekarang kita berada dalam suatu kebudayaan Keinderawian, maka kecendeungannya kelak berupa suatu “model baru” kebudayaan Ideasional. Dan dengan demikian jalannya sejarah akan selalu pasang surut secara konstan sepanjang era dari kebudayaan Ideasional menuju kebudayaan Keinderawian dan sebaliknya.
Sebab utama pasang surut tersebut ialah bahwa baik pendekatan Ideasional maupun Keinderawian terhadap kebenaran, tidak sepenuhnya benar. Jika bentuk Keinderawian, misalnya menjadi jawaban terakhir, maka sekali terbentuk seharusnyaia akan tetap dominant sepanjang masa. Akan tetapi tidak demikian kenyataannya. Karena kelemahan dan kekurangan yang semakin nampak apabila bentukKeinderawian dipandang dominant, ia akan banyak melahirkan ekses. Maka yang baik adalah beralih ke bentuk Ideasional. Sebaliknya, masyarakat Ideasional juga dapat berbuat salah dan pasti terkena ekses-ekses yang akhirnya harus dikoreksi dengan ke bentuk Keinderawian.
Sorokin membuat suatu ramalan tentang kondisi-kondisi yang menjadi isyarat akan keruntuhan kebudayaan Keinderawian.
1.            Karena materialisme dan objekttivitasnya, kebudayaan Keinderawian akan semakin tidak dapat membedakan benar dan salah, baik dan buruk, serta nilai-nilai kemanusiaan lainnya yang lebih abstrak. Akibatnya adalah anarki moral, sosial, dan estetik akan berkuasa.
2.            Manusia akan turun derajatnya. Mereka akan terus selalu ditafsirkan dalam pengertian mekanis dan material. Landasan spiritual harkat manusia akan terabaikan.
3.            Dengan hilangnya nilai-nilai universal, akan hilang pula consensus yang mengikat dan barakar. Sebaliknya, akan muncul sekian banyakn pendapat yang saling bertentangan.
4.            Dengan istilah Sorokin, “Kontrak-kontrak dan berbagai perjanjian akan kehilangan sisa-sisa daya ikatnya. Kemegahan gedung sosio budaya yang dibangun atas dasr kontrak oleh bangsa Barat selama abad-abad yang lewat akan hancur berkeping-keping”.
5.            Kekuatan, kekuasaan dan muslihat akan dipersyaratkan untuk menegakkan tatanan moral. Nilai-nilai akan tidak berhasil sebagai alat kendali dan kita akan terjerumus ke dalam suatu jaman slogan “kuat berarti benar”.
6.            Kebebasan akan terhambat dan digunakan sebagai mitos yang dikontrol oleh minoritas dominant yang tak dapat dilawan.
7.            Pemerintahan akan menjadi lebih tidak stabil dan lebih cenderung mengambil jalan kekerasan.
8.            Dengan merosotnya nilai-nilai universal dan kacaunya nilai-nilai Keinderawian yang “terlalu ranum”, maka keluarga akan mengalami berantakan.
9.            Kebudayaan Keinderawian akan cenderung semakin kehilangan bentuk apabila unsur-unsur budaya yang belum tercerna tetapi secara inderawi cukup menarik sudah membanjiri “pasaran”.
10.        “Kolonialisme” akan menggantikan nilai-nilai yang mementingkan mutu. Mereka yang licik akan dinilai lebih ketimbang mereka yang jenius, dan kekreatifan sistem nilai akan menyusut. Karena hal-hal yang berharga, dengan alat apapun, tidak musti dapat dijalankan di masyarakat kita, maka apa yang dapat dijalankan akan menang, sedangkan apa yang berharga semakin terabaikan.
11.        Karena meningkatnya anarki dan menurunyya kekreatifan dalam kebudayaan Keinderawian sekarang ini, maka depresi akan semakin memburuk dan taraf kehidupan akan semakin anjlok.
12.        Akan terjadi kemerosotan keamanan hidup.
13.        Penduduk dunia akan terpecah manjadi dua bagian. Di satu pihak akan ada kaum hedonis rakus yang senantiasa mengejar kesenangan. Di pihak lain, akan ada orang-orang yang menghindari dan bahkan memusuhi nilai-nilai Keinderawian atau nilai kebendaan.

Cinta Altruistis
Di penghujung Perang Dunia II, Sorokin mengarahkan perhatiannya kepada pokok persolan tentang perihal Cinta Altruistis. Salah satu faktor yang mendorong dia ke persoalan itu adalah kesadaran yang sedang bertumbuh bahwa pemerintah yang demokratis, yang telah mengusahakan pemerataan kesempatan pendidikan atau meningkatkan penghayatan dan pengalaman agama, tidaklah cukup mampu menghentikan tingkat dan kecendeungan penggunaan kekerasan dalam dunia internasional di masa sekarang.
Sorokin mengecam nilai-nilai Keinderawian dan menuduhnya sebagai penyebab merosotnya sentiment-sentimen altruistis. Menurutnya, tidak ada yang bakal sudi menghidupkan kembali moralitas altruistis selain dari seorang yang sanggup menelaah secara total semua premis kebudayaan yang menjadi landasan masyarakat kita. Untuk menemukan altruisme kita harus menyingkir dari nilai-nilai Keinderawian dan menuju Ideasional. Kita harus kembali ke ajaran moral universal, dan kita harus tidak hanya memimpikan ajaran-ajaran yang dimaksud, melainkan menciptakan suatu keadaan di mana orang dapat hidup dan bertindak dengan ajaran-ajaran itu.

Analisis Kelompok
Dia berkeyakinan bahwa, kita akan tidak berdaya menyaksikan akhir kebudayaan kreatif yang bakal terjadi. Dia masih melihat adanya harapan, namun tidak lebih. Dia tahu kemana kita harus mengarahkan ambisi kita, tetapi dia tidak dapat mengatakan kepada kita bagaimana mendapatkan arah tersebut. Sorokin mengungkapkan berbagai kekecewaan atas dimilikinya pengetahuan dan pandangan, serta betapa lemahnya seorang pribadi yang sendirian berusaha bertindak atas dasar pengetahuan itu.
Dia secara terus terang menyatakan ketidaksukaannya terhadap kebudayaan “Keinderawian” dan ia memiliki antusiasme yang besar akan pergeseran kebudayaan dimaksd kea rah bentuk yang lebih religius atau “Ideasional”.

















Sumber :

Pitirim A. Sorokin dalam Kemelut Era Kita, Yayasan Pusat Pengkajian, Latihan dan Pengembangan Masyarakat (YP2LPM), 1985, Malang.
Kebudayaan Ideasional dan Keinderawian
dalam Pandangan Pititrim A. Sorokin
( Makalah ini diajukan sebagai tugas akhir Mata Kuliah Filsafat Kebudayaan )

















Disusun Oleh :
Wahyu Tri Wibowo ( 03074 )
Dwi Panca Hartanto ( ----- )


FAKULTAS FILSAFAT
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2006
Labels: | edit post
0 Responses

Post a Comment