Perkembangan Peradilan Islam di Indonesia pada hakikatnya berhubungan erat dengan proses perkembangan bangsa Indonesia, karena umat Islam merupakan bagian terbesar dari bangsa Indonesia. Penyebaran Islam di Jawa Barat dilakukan dari dua daerah yang berbeda, yaitu di daerah barat tepatnya di Banten ebagai penyebaran, dan di daerah timur tepatnya di Cirebon. Sedangkan Mataram merupakan Kerajaan terbesar yang berada di tengah pulau Jawa. Perkembangan peradilan juga muncul di Kerajaan Mataram, pada masa Sultan Agung.
1.     Dasar Penyelenggaraan peradilan di Kesultanan
Di Mataram, masa kepemimpinan Sultan Agung, seorang Raja yang alim dan menjunjung tinggi agamanya, pengaruh Islam masuk pada tata hukum yang diwujudkan khusus dalam pengadilan Pradata yang diubah menjadi Pengadilan Surambi, karena diadakan di serambi mesjid Agung. Dasar hukum penyelenggaraan peradilan pada masa kesultanan in adalah adanya pendelegasian wewenang dari Sultan kepada Penghulu. Pada tahun 1645, sultan agung wafat dan digantikan oleh Amangkurat I. Beliau mengubah Pengadilan seperti dahulu kembali. Pengadilan pradata maksudnya perkara-perkara yang diadili oleh Raja dan diadakan di Negaragung, yaitu pusat pemerintahan di Ibukota Negara.
Di banten, masa kepemimpinan Sultan Hasanudin, pada abad ke-17 di Banten hanya ada satu macam pengadilan, yaitu yang dipimpin oleh Kadhi. Pendelegasian wewenang dari Raja kepada Kadhi.
Di cirebon, setelah pangeran Girilaya wafat dan meninggalkan tiga anaknya, sehingga Cirebon dibagi tiga, yang dipimpin oleh Sultan Sepuh, Sultan Anom, Panembahan Cirebon. Meski dibagi tiga, namun dalam permasalahan yang besar, mereka tetap bersama. Kemudian dalam menyelesaikan perkara, diserahkan kepada 7 menteri sehingga menjadikan pendelegasian wewenang dari ketiga sultan kepada 7 menteri tersebut untuk menyelesaikan perkara. Adapun ketujuh menteri ini adalah delegasi diantara 3 orang dari Sultan Sepuh, 2 orang dari Sultan Anom, dan 2 orang dari Panembahan Cirebon. Kemudian pada tahun 1688 terjadi perjanjian de hartogh merupakan dasar hukum sehingga mengubah pengadilan 7 menteri yang diganti menjadi pengadilan 7 jaksa.


2.     Kedudukan Pengadilan
Di Mataram, kedudukan pengadilan yang menjadi wewenang penghulu, tetap menjadi kekuasaan Sultan Agung, karena ditakutkan bertentangan pada hukum adat yang ada. Meski demikian, penyelesaian yang dilakukan Sultan tidak bertentangan dengan keputusan pengadilan surambi. Dan ini memang keputusan yang dikeluarkan oleh penghulu. Pada tahun 1645, sultan agung wafat dan digantikan oleh Amangkurat I. Beliau mengubah Pengadilan seperti dahulu kembali. Sehingga Pengadilan Pradata tetap ada dalam tangan Raja dan tidak terikat oleh kitab-kitab hukum manapun. Namun setelah ada papakem Cirebon, ada kedudukan lain, yaitu adanya Pengadilan Penghulu yang sebagian besar wewenang pengadilan karta (jaksa) menjadi wewenang Penghulu.
Di Banten, kedudukan pengadilan yaitu dengan dipimpin oleh kadhi. Dalam putusannya, kadhi menetapkan putusan mengadili seseorang, manun kedudukannya tetap ada dibawah raja. Faktanya yaitu karena setiap adanya putusan dari Kadhi harus tetap disahkan oleh Raja.
Di Cirebon, kedudukan 7 menteri ada di bawah tiga Sultan, karena merupaka perwakilan dari ketiga Sultan. Ketujuh menteri ini yang setelah perjanjian de Hartogh itu berubah menjadi tujuh Jaksa, melakukan perbuatan mengadili orang yang berperkara dengan mengeluarkan keputusan yang diambil dari ketujuh jaksa secara bersama-sama yang disebut dengan surat bulat.

3.     Susunan Pengadilan
Pengadilan surambi ini dipimpin oleh penghulu yang mempunyai beberapa ulama sebagai anggota. Hal ini identik dengan musyawarah. Meski tidak sesuai dengan hukum Islam bahwa figur hakim hanya seorang saja, tetap saja Sultan Agung yang memberi keputusan. Hal ini dilakukan untuk memelihara faham kedaulatan, meski begitu, tetap saja keputusan berdasarkan atau tidak menyimpang dari nasehat putusan Pengadilan Surambi. Pada tahun 1645, sultan agung wafat dan digantikan oleh Amangkurat I. Beliau mengubah Pengadilan seperti dahulu kembali. Perkara-perkara yang diadili berlaku bagi daerah-daerah bekas Negara-negara yang takluk pada mataram, sehingga Negaragung menjadi pusat pengadilan. Susunannya berubah, karena Pengadilan Pradata telah ada dalam tangan Raja dan tidak terikat oleh kitab-kitab hukum manapun. Namun setelah ada papakem Cirebon, sehingga terjadi pelimpahan kekuasaan dari Pengadilan Jaksa kepada Pengadilan Penghulu. Sehingga Pengadilan Jaksa (karta) hanya mengadili perkara padu saja.
Pengadilan di Banten yang dikepalai oleh Kadhi tidak mempunyai susunan, karena pengadilan dipimpin hanya oleh seorang Kadhi saja. Adapun di Cirebon, susunan pengadilannya yaitu bahwa perwakilan dari ketiga penguasa itu berkedudukan sama. Jadi susunannya yaitu Tujuh Jaksa bersama-sama dalam surat bulat, kemudian apabila belum bisa di putuskan maka dilakukan dengan Sidang para Sultan yang setelah Cirebon menerima perjanjian itu, maka residen Belanda pun ikut hadir dalam sidang para sultan.

4.     Kekuasaan Pengadilan
Pengadilan di Mataram, yaitu pengadilan surambi yang dipimpin oleh penghulu dan dibantu dengan beberapa alim ulama. Pengadilan ini kebiasaan mengadili perkara-perkara mengenai perkara perkawinan dan kewarisan. Kekuasaan penghulu ialah memberikan keputusan-keputusan yang mempunyai arti suatu nasehat (adpis) kepada raja didalam mengambil keputusannya. Pada tahun 1645, sultan agung wafat dan digantikan oleh Amangkurat I. Beliau mengubah Pengadilan seperti dahulu kembali. Perkara-perkara yang diadili berlaku bagi daerah-daerah bekas Negara-negara yang takluk pada mataram, sehingga Negaragung menjadi pusat pengadilan. Sehingga kekuasaan Raja ialah mengadili perkara dalam Pengadilan Pradata dan tidak terikat oleh kitab-kitab hukum manapun. Raja adalah sumber hukum dan sumber keadilan,karena Menurut Amangkurat I, tradisi harus tetap dijalankan, karena wajib untuk memelihara tradisi. Adapun daerah yang telah takluk, diberi wewenang dari Raja kepada wakil Pemerintah Pusat untuk menjalankan pengadilan di daerahnya tapi hanya mengenai perkara-perkara Padu, dan sumbernya yaitu kitab-kitab hukum. Namun setelah ada papakem Cirebon, sehingga terjadi pelimpahan kekuasaan dari Pengadilan Jaksa kepada Pengadilan Penghulu. Sehingga Pengadilan Jaksa (karta) hanya mengadili perkara padu saja.
Adapun di Banten, kekuasaan Kadhi yang merupakan kekuasaan pengadilan tunggal, berkuasa mengadili perkara-perkara (hingga perkara hukuman mati) namun tetap kekuasaannya dibawah raja karena dalam pengesahannya memrlukan pengesahan dari raja.
Selain itu di Cirebon, yang pengadilannya dipimpin oleh tujuh menteri (tujuh jaksa), mempunyai kekuasaan mengadili perkara-perkara yang merupakan hal-hal yang biasa (Tresna, 1978: 25). Adapun kekuasaan mengadili perkara tertentu yang menghasilkan keputusan bersama-sama dengan surat bulat. Adapun apabila salah satu tidak sepakat, maka pengadilan dialihkan kepada sidang para sultan.
5.     Hukum substantif
Hukum materiil yang digunakan di pengadilan mataram ialah kitab-kitab fiqh yang bermadzhab syafi’ karena Islam masuk pertama kali bermadzhab Syafi’i. Pada tahun 1645, kekuasaan beralih kepada Amangkurat I yang mengubah Pengadilan seperti dahulu kembali. Sehingga kekuasaan Raja ialah mengadili perkara dalam Pengadilan Pradata dan tidak terikat oleh kitab-kitab hukum manapun. Raja adalah sumber hukum dan sumber keadilan, karena menurut Amangkurat I, wajib memelihara tradisi. Adapun daerah yang telah takluk, diberi wewenang dari Raja kepada wakil Pemerintah Pusat untuk menjalankan pengadilan di daerahnya tapi hanya mengenai perkara-perkara Padu, dan sumbernya yaitu kitab-kitab hukum.
Banten juga memakai hukum materiil yang sama dari Islamnya, adapun tetap terdapat hukum hindu yang merupakan adat dari zaman dahulu. Hukum hindu itu ialah hukuman mati yang dijatuhi oleh Kadhi.
Adapun di Cirebon, kitab hukum yang digunaka yaitu Papakem Cirebon yang didalamnya terdiri dari macam-macam ketentuan dari hukum Jawa-kuno. Diambi dari beberapa kitab, diantaranya Kitab huum Raja Niscaya, undang-undang Mataram, Jaya Lengkara, Kontra Menawa dan Adilulah, juga disebut Surya Alam.

6.     Hukum Acara yang ada
Hukum acara pada kesultanan Mataram belum ada hukum yang mengatur tentang acara pengadilan. Adapaun di banten pula, seperti itu. Adapun selain kedua kesultanan ini, Kesultanan Cirebon yang di dalam segala perkaranya, yang menjadi acara sidang menteri itu diputuskan menurut “undang-undang jawa”.
"Dengan menggunakan pengkajian model Sosio-historis"
Perkembangan Peradilan Islam di Indonesia tidak terelepas dari lintas sejarah Indonesia dan kerajaan-kerajaan di Indonesia pada abad ke-7 M yang kira-kira pada abad pertama Hijriyah. Ketika itu ada pedagang mekkah yang singgah dengan rakyah di kepulauan sumatra. Mereka tetap menggunakan ajaran Islam dalam interaksi pribumi. Adapun hukum-hukumnya berdasarkan kitab-kitab fiqh yang didalamnya membadhas dari mulai thaharah, shalat, puasa, zakat  haji serta peradilan yaitu qadha’. Qadha’ atau peradilan ini dapat digunakan dengan cara menerapkan hukum yang ada apabila ada persengketaan antara penduduk. Namun karena belum sepenuhnya dilaksanakan, maka perkara-perkara (nonpidana) itu diselesaikan oleh Tahkim, yaitu ahli agama yang dengan sukarekala untuk menyelesaikan sengketa atau perkara. Perkara diserahkan kepada ahli agama dengan catatan orang yang berperkara itu akan mematuhi putusan yang dikeluarkan ahli agama yag menyelesaikan perkara itu.
Selanjutnya, dibeberapa tempat, Tahkim ini menjadi lembaga tersendiri yang disebut Peradilan Syara’. Dengan meyakinkan bahkan ada diantara tempat kerajaan, tahkim bisa berdampingan dengan raja. Dari cara tersebut, besar kemungkinan bahwa, pertama kali Peradlian Islam berkembang di indonesia ialah setelah adanya Tahkim yang merupakan ahli agama yang memutusakn perkara-perkara nonpidana diantar masyarakat.
Setelah periode tahkim, kemudian periode tauliyah ah lal wa al-aqd, yang secara singkat ceritanya, bahwa Pemerintah Hindia Belanda menyerahkan wewenang sebagian peradilan kepada raja-raja seperti Samudera Pasai, Demak, dan Banten. Periode berikutnya yaitu tauliyah dari imam yang dimulai dari datangnya Islam dan diterima oleh raja-raja seperti di mataram, secara otomatis maka, Hakim pelaksana peradilan diangkat oleh sultan atau imam. Pada saat itu jabatan keagamaan berdampingan dengan kerajaan. Pelaksana Peradilan ada  dari mulai tigkat desa sampai pada tingkat kerajaan yang kemudian dikenal dengan Pengadilan Surambi.
Pengadilan Surambi ini didirikan pertama di Mataram sejak pemerintahan Sultan Agung, yang dalam prakteknya, Pengadilan Surambi yang dipimpin oleh Penghulu ini bagaikan penasehat Sultan Agung untuk memutuskan perkara. Jadi Sultan Agung tetap saja sebagai yang memutuskan, akan tetapi keputusannya tidak bertentangan dengan keputusan Pengadilan Surambi. Dalam menangani perkara, Sultan Agung memisahkan perkara yang diselesaikan dengan hukum Islam dan perkara yang diselesaikan dengan huum adat. Seperti perkara perkawinan, perceraian, warisan dan sebagainya diselesaikan oleh penghulu dalam memmutuskan dalam pengadilan. Penghulu beranggotakan tiga orang anggota majlis Surambi sebagai penasehat. Setelah Sultan Agung wafat dan digantikan Oleh Amangkurat I (1645 M). Belanda mulai mempengaruhi sehinga alim ulama dipengadilan dikurangi dan Perngadilan Perdata dihidupkan kembali. Tahun 1677, Belanda mulai masuk pada badan-badan peradilan. Pada masa Amangkurat II yang menyerahkan sepenuhnya kepada pejabat-pejabat peradilan, dan Raja tidak ikut campur melainkan pejabat yang beratas namakan raja. Perkembangan Islam mulai surut apalagi ketika Mataram berpecah menadi Yogyakarta dan surakarta yang menjadikan peluang bagi Pemerintah Belanda untuk ikut campur dalam peradilanya.
Adapun di Priangan yang memiliki tiga macam pengadilan yaitu Pengadilan Agama, Pengadilan Drimaga, dan Pengadilan Cilaga. Namun dengan campur tangan Belanda, segala sesuatu itu diselesaikan dengan hukum adat dan kebiasaan. Adapun penghulu itu hanya mengurus perkawian, perceraian dan lainnya, namun tidak diberi peraturan seperti saat penghulu dan pejabat di pengadilan. Kemudian di betawi, terbentuk majlis yang berwenang menyelesaikan seua sengketa keagamaan, soal perkawinan dan pusaka sepanjang tidak ada pengeturan oleh para pihak dengan akta notaris. Pemerintah masa itu memberikan penjelasan Pasal 13 Staatsblad No. 22 Tahun 1820, yaitu :  “Apabila terjadi sengketa antar orang-orang jawa satu sama lain mengenai soal-soal perkawinan, pembagian harta dan sengketa-sengketa sejenis yang harus diputus menurut hukum Islam, maka para “pendeta” memberi keputusan, tetapi gugatan untuk mendapatkan pembiayaan yang timbul dari keputusan dari para “pendeta” itu harus diajukan keada pengadilan-pengadilan biasa”. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa Hukum Eropa jauh lebih baik dari hukum yang telah ada sebelumnya di Indonesia.
Di Surakarta dan Yogyakarta setelah dikeluarkannya Staatsblad No. 30 Tahun 1847 bahwa penghulu tidak boleh mengadili perkara yang dahulu memutuskan di Pengadilan Surambi pada masa Sultan Agung. Tahun 1848 pemerintah Hindia Belanda mula menalankan politik konkordansi dengan mengundangkan B.W. dan Kitab UU Hukum untuk orang Eropa yang ada di Indonesia yang sebenarnya ini telah lama berlaku di Belanda dari tahun 1838. Hukum yang diberlakukan oleh belanda ini berdampak pada hukum di Indonesia, khususnya tentang Peradilan Agama yang semula Peradilan agama itu percampuran hukum Islam dan Hukum adat pada masa kesultanan.

Labels: | edit post
0 Responses

Post a Comment