It is time to Change, my friends….


Kembali ke Organ Pergerakan Sejati

Persatuan Pergerakan
dengan Minimum Program



Man sanna sunnatan hasanatan, falahu ajruha, wa ajruman amila biha ila yaumil qiyamah, al-hadits.

Kader pergerakan yang  mampu secara kreatif menerobos kebuntuan-kebuntuan pergerakan, memandu, dan membangun orientasi perjuangan, maka baginya pahala kebaikan kepeloporan tersebut, dan pahala dari kader pergerakan yang terinpsirasi dan memakai kepeloporan dan panduannya, sampai hari kiamat.
Awalan
Pergerakan mahasiswa Islam Indonesia. Mendengar istilah ini imajinasi kita serta merta dibawa dalam panggung pergulatan sosial panjang nan berkelok dan berdarah-darah. Wajah sosiologis dan mediatiknya plural. Begitu juga tafsir sejarah atasnya. Baik yang datang dari outsider maupun insider. Tulisan komunitas lain tentang PMII, atau buku seputar peran kesejarahan terbitan PB PMII, atau buku "PMII di Persimpangan Jalan," hanya sebagian kecil contoh sesat piker tentang organ pergerakan kita. Pujian, kritik, distorsi, sinisme silih berganti menghampiri dan menyorotinya. Tiarap tanpa denyut nafas sosial, ledakan gerak transformasional, lontaran gagasan alternatif dan radikal, seringkali mewarnai kanvas kesejarahannya.

Tidak heran jika arsitektur sejarah Indonesia pun penuh dengan guratan jejak langkahnya, yang, subhanalloh, mematrikan gagasan dan perubahan yang terus berdialektika hingga kini. Meskipun pada saat lain, kita melihat, dari rahim organ ini lahir berbagai corak gerakan kontroversial seperti terobosan kawin kontrak di lokalisasi, yang menggelisahkan, dan memuakkan.
Apapun, jelas, sejarah sosial negeri ini tidak dapat dilepaskan dari keberadaan pergerakan ini. Seorang antropolog Jepang dengan berani mengatakan, membaca sejarah Indonesia sama artinya menyimak lembaran panjang perlawanan berabad-abad kaum santri, perlawanan terhadap kelaliman kolonialisme dan imperialisme. Yang dimaksud dengan kaum santri tiada lain adalah leluhur kita, yang tidak ternoda oleh pengkhianatan terhadap penjajah, yang dengan heroisme luar biasa berjuang demi tegaknya kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan karakter kebudayaan yang khas. Mereka, para leluhur kita, yang melahirkan kita, yang sekarang melanjutkan paralelisme peran sejarah lewat organ yang disebut dengan PMII.

Contoh sesat pikir di atas, jika dilihat dari perspektif kesejaraharan. Setiap kaderisasi, hampir semua buku tentang sejarah PMII yang ditulis sendiri pun, memaknai kelahirannya tahun 1964. Pemahaman ini  ahistoris dan mitologis. Dampak dari pemahaman ini sebagian kader PMII tidak memiliki kebanggaan sejarah, gagal menjadikan sejarah sebagai pijakan idoelogis dan orientasi perjuangan. Sebab hanya memahami PMII sebagai sintesa pertarungan internal di tubuh organ lain. Simplistic dan distortif. PMII sesungguhnya telah lahir bahkan sebelum kata Indonesia ditemukan. PMII harus dimaknai lahir  akhir abad 14. Tepatnya  ketika putra Raden Fattah, Adipati Unus, me-launching perlawanan pertama terhadap kolonialisme Portugis tahun 1512. Pergerakan dan perlawanan berikutnya selalu lahir dari masyarakat yang merupakan leluhur kita. Pemahaman tahun 1964 harus dimaknai sebagai proses pelembagaann nilai dasar perjuangan yang sudah mendarah daging dalam konteks organisasi modern.

Perjalanan sejarahnya melintasi ruang dan waktu. Berproses secara dialektik dalam sekian rezim dan formasi sosial yang terus berganti. Dinamika internal, arus perubahan sosial eksternal, konteks sosial dan kulturalnya yang indigenous, berpadu, dan berdialektika, memahat wajahnya. Dalam dialektika nan panjang tersebut, kita menyaksikan munculnya generasi-generasi yang kreatif, kritis, transformatif, yang mampu mendobrak kebekuan pergerakan dan menjawab tantangan obyektif kondisi eksternal. Generasi ini ada yang "min quraisyin," ada berasal dari anak petani dan buruh, ada juga yang berasal dari masyarakat biasa-biasa saja. Kadang individual, kadang kolektif.  Kadang ada yang bergerak dalam struktur kelembagaan, sekali waktu datang dari komunitas kulturalnya. Ada yang berasal dari mereka yang sudah  memahami anatomi struktural medan penuh pencak siasat (Jakarta), namun tidak kurang banyaknya yang berasal dari daerah pelosok yang mampu menertawakan Jakarta sebagai pusat siasat tersebut.

Demikianlah. Zaman berputar, menguji, dan merekam dinamika tersebut. Ada yang menguap begitu saja dari sejarah, ada yang terus berdialektika, bahkan tidak jarang yang dampak sosialnya melampaui batas-batas kelembagaan dan basis massa tradisional PMII. Darah dan air mata, onak dan duri, cerita tentang indahnya kolektifitas dan solidaritas, heroisme dan ketulusan serta keikhlasan, berpadu menjadi satu meramu tampilan sejarahnya. Harus diakui juga, oportunisme, intrik mengintrik, childish leftism, bahkan pengkhiatan, juga ikut mewarnainya.

Dengan bismillah, ala hadzihin niyyah, wakulli niyyathin sholihah, dengan segala pengakuan atas keterbatasan dan sumbangsih semua sahabat yang amat signifikan, risalah ini ditulis untuk tujuan membangunkan PMII dari "tidur dogmatisnya" yang panjang. Risalah ini merupakan ikhtiar sederhana meracik paradigma perjuangan sosial PMII ke depan, agar lebih sistematik, programatik, dan transformasional. Sejarah panjang perjuangan di atas harus direbut, dimaknai ulang, dan dijadikan pijakan dalam mengayuh perahu PMII di era globalisasi. Belum terlambat mengembalikan kembali PMII ke orbitnya, ke garis perjuangannya, khitthah-nya, sebagai kekuatan sejarah yang berpijak pada prinsip dan nilai dasar tertentu serta setia pada proses.

Risalah ini lahir oleh dorongan eksternal dan internal. Secara internal, risalah ini mencoba memotret berbagai kegelisahan pergerakan yang merata di kesadaran kader, tentang berbagai kebuntuan gerakan PMII, dan meresponnya secara kreatif, programatik, sistematik, dan profesional. Sebagai organ gerakan dengan basis dan jaringan terbesar di Indonesia, bahkan di jagad raya, daya dorong dan performance-nya nampak masih jauh di bawah kapasitas kelembagaan semestinyanya. Bahkan, yang memprihatinkan, nampak muncul semacam "keretakan espitemologis" (disorientasi gerak) dalam menghadapi perubahan yang cepat dan kompleks. Berbagai momentum internasional, nasional, dan lokal, yang bukan hanya gagal direbut, namun bahkan gagal dipahami, menunjukkan "kebangkrutan" historis aras gerak PMII.
Secara ekstrenal, pergeseran sosial di level global dan nasional secara niscaya membutuhkan jawaban baru. Membutuhkan perspektif baru yang responsif, dan formasi kelembagaan baru yang fleksibel dan mobile. Tanpa reparadigmatisasi ini PMII terancam menjadi zombie, mayat hidup, yang justru menakutkan murid taman kanak-kanak. Gejala kea rah itu sudah sangat terlihat. Energi gerak PMII lebih banyak terkuras untuk mengurus hal-hal  administratif, pertarungan internal yang tidak jelas epistemologinya, sehingga melalaikan tanggung jawab sejarah yang sesungguhnya. Beraktifisme di PMII bukan berbasis imajinasi kolektif bahu membahu mendorong  perubahan, namun justru bayangan untuk masuk ke partai politik, birokrasi, maupun basis financial. Bergerak berdarah-darah sudah lama menghilang dari kesadaran kolektif warga pergerakan. Banyak kader menjadi pengasong, pengecer  sio may, yang menawarkan bargain dirinya, untuk dirinya, bukan menghimpun potensi kekuatan pergerakan, menyatukan, mengkonsolidir, dan mengarahkannya. Hubungan organisatoris secara hierarkhis, antar-lembaga di PMII pun berjalan tanpa komunikasi, tanpa koordinasi, tanpa kesatuan gerak (ittihadul-harakah). Persekawanan cultural pun bahkan lumpuh oleh sesuatu yang tidak jelas epistemologinya.

Demikianlah, risalah ini mencoba menjadi salah satu bagian yang merefleksikan kegelisahan, ikhtiar, sekaligus impian-impian kita tentang masa depan PMII. Berpijak di bumi, berdikari, risalah ini mencoba menguak angkasa dan sang kala, mengibarkan bendera PMII, dan menariknya untuk kembali pada garis perjuangan yang sebenarnya. Mitologi yang berkembang bahwa ketulusan, keikhlasan, keujujuran, kolektifitas, berbaur dan berproses bersama masyarakat, adalah nilai-nilai kuno yang tidak applicable di belantara kekuasaan, harus dihancurkan. Kurang apa kerasnya kekuasaan politik dan uang zaman rasul saw, junjungan kita, dengan hati dan keteguhan prinsip, peradaban agung pun berdiri tegak di muka bumi. Sayyidina Husain rela membangun oposisi kritis hingga meregang nyawa terpenggal daripada tunduk menjilat pada kekuasaan korup. Satu per satu, kini, mereka telah pergi, meninggalkan kita. Namun semangat, roh, zeitgeist, teladan perjuangan mereka masih terngiang di depan mata. Siapa lagi penerus perjuangan mereka, jika bukan kita? Adipati Unus telah memulainya.

Untuk sampai ke sana, risalah ini akan melayari berbagai simpul-simpul sejarah penting. Simpul pertama adalah apa yang disebut dengan era globalisasi. Formasi globalisasi neoliberal akan menghadirkan tantangan-tantangan pergerakan yang sesungguhnya. Banyak orang bicara tentang globalisasi, mulai dari penjual warteg, akademisi, aktifis sosial, hingga  guru ngaji. Optik yang dipakai melahirkan konsekuensi logis tentang pemahaman globalisasi yang beraneka. Artinya, globalisasi bukanlah berwajah tunggal. Multidimensional. Memahami semua aspek dan pendapat  para ahli menjadi penting, agar tidak terjebak kacamata kuda. Yang dibaca adalah ide, kekuatan-kekuatan sosial, politik, gagasan, dan ekonomi, yang menjadi motor penggerak globalisasi, mekanisme kelembagaan, modus operasional, dan dampak-dampaknya baik dalam level politik, ekonomi, sosial, pendidikan, maupun keagamaan.

Simpul di atas disintesakan dengan realitas kesejarahan internal PMII. Realitas ini merupakan sintesa padu antara sejarah sebagai realitas obyektif dalam dirinya, dan subyekifitas kesadaran yang menjadikannya sebagai medan makna pergerakan. Upaya ini dilakukan untuk membangun kembali basis sejarah perjuangan yang mulai hilang, yang berimplikasi pada pijakan ideologis yang kabur, sekaligus melakukan kritik sejarah.
Setelah menelusuri dua simpul di atas yang menghadirkan arisitektur problem sosial kontemporer dan trend ke depan serta pemahaman terhadap sejarah panjang bangsa ini, sembari menelisik lebih lanjut karakter gerakan yang khas PMII agar  warga pergerakan "arofa nafsahu…," kini mulai terlihat cahaya di ujung garis depan paradigma gerakan PMII yang pas dan cocok, yang mampu menjawab problematic internal dan berbagai tantangan social eksternal.  Pergerakan tanpa basis pemahaman yang memadahi tentang sejarah, tentang tantangan-tantangan sosial, hanya akan melahirkan gerakan tanpa karakter, reaksioner, tanpa arah, dan akhirnya malah menjadi bagian dari mata rantai persoalan masyarakat.

Setelah menjumpai sejarah, menghampiri tantangan global, nasional dan lokal, merumuskan paradigma gerakan, yang tidak kalah pentingnya adalah bicara soal instrumen, yakni organisasi. Paradigma sekuat apapun tanpa dukungan supporting system akan kandas di tengah jalan. Struktur organisasi, sistem kaderisasi, kepemimpinan, manajemen, fund-rising, jaringan, merupakan bagian dari supporting system yang harus dimiliki oleh PMII. Tantangan di sini hanya satu, bagaimana memadukan kekuatan organisasi yang pengelolaannya berbasis kultural yang selama ini ada di PMII, dengan pola berorganisasi berpola manajemen sistemik, yang rapi, terukur, dan terarah. Bagaimana mentransformasikan modal sosial dan kultural tradisi dalam konteks kelembagaan organisasi sistemik menjadi amat penting.


Memahami Logika Global Design, Local Histories
Orang besar Bangsa ini adalah orang yang berpegang teguh pada pinsip dan setia pada proses. Tan Malaka, Madilog: 86.

Pada akhir abad ke-19, Eropa dan Amerika Serikat (AS) memperluas tanggung jawab mereka bukan hanya menjaga ketertiban internal dan eksternal, namun juga melakukan intervensi sosial untuk mendekonstruksi "ketidakadilan sosial". Intervensi negara ini kian menguat seiring merosotnya perekonomian dunia sebagai dampak perang dunia I, yang menghancurkan saham wall street, dan meledaknya angka pengangguran.

Menjawab tantangan tersebut, sekaligus untuk membendung komunisme yang menawarkan berbagai subsidi sosial, Eropa dan AS menyusun sistem dan jaminan kesejahteraan sosial. Program redistribusi kekayaan, penyediaan fasilitas minimum, subsidi pendidikan, kesehatan, perumahan, dan perawatan pribadi diluncurkan. Inilah periode ketika negara memainkan peran penting dalam mewujudkan kesejahteraan pasca-perang dan aktor akumulasi modal dalam perekonomian. Hal ini ditandai dengan kesepakatan Bretton Woods tahun 1944 yang menerapkan regulasi ketat terhadap pasar, kebijakan Keynesian yang menggusur liberalisme klasik. Keynes meyakini pemerintah harus melakukan intervensi terhadap perekonomian untuk menciptakan kondisi full employment, sesuatu yang secara alamiah tidak dimiliki oleh pasar. Strategi ekonomi campuran ini (negara-swasta) ini pada kondisi saat itu cukup efektif. Model pembangunan yang disebut dengan government-led-development ini dieskpor ke berbagai negara berkembang. (Dalam konteks Indonesia, hal tersebut membuka perselingkuhan antara rezim-konglomerasi-intelektual, yang menghasilkan developmentalisme dan negara otoritarian birokratik).

Pada dekade 70 an formasi di atas mengalami pergeseran. Kontradiksi internal kapitalisme, rivalitas yang kian sengit, dan konteks global yang melambungkan harga minyak seiring pembentukan OPEC oleh negara-negara Arab, melahirkan resesi, pengangguran, inflasi mencapai lebih dari 20%, dan meluasnya  dunia ketiga yang gagal melunasi hutangnya. Gagasan intervensi pemerintah terhadap pasar ditentang. Menurut Hayek dan Friedman, pasar memang bisa gagal dan terbukti telah gagal, namun mereka meyakini bahwa pasar bebas mampu mengalokasikan barang-barang dan jasa lebih efektif dibandingkan dengan negara, dan usaha negara memerangi distorsi pasar lebih banyak madharat daripada manfaatnya.

Di sinilah kemudian terjadi reposisi peran negara. Negara mulai disingkirkan dalam proses-proses ekonomi. Harapan terhadap peran negara untuk mewujudkan kesejahteraan terlalu berlebihan, sebab tujuan negara hanyalah menyediakan kerangka yang memungkinkan rakyat mengejar tujuan-tujuan mereka. Menjamin kesejahteraan memang tanggungjawab negara, namun bukan dengan membebaninya sebagai salah satu aktor dalam kompetisi pasar guna menyediakan kesejahteraan bagi publik. Inilah pokok pemikiran aliran kanan baru, yang sering disebut ekonomi Thatcherisme atau reaganisme.

Neoliberalisme dipraktekkan pertama kalinya oleh PM Margareth Thatcher  di Inggris, dengan menghapus kewajiban negara memikul tanggung jawab terhadap rakyat yang tidak produktif, meminggirkan komitmen pemerintah mewujudkan full employment, memangkas secara radikal subsidi-subsidi sosial, dan sebagai gantinya pemerintahan ini lebih mementingkan pelayanan terhadap swasta, melakukan pemotongan pajak, menjalankan program privatisasi/swastanisasi dan liberalisasi, menghilangkan pengawasan terhadap penyiaran, telekomunkasi, transportasi dan perikanan, membabat habis seluruh serikat buruh seraya menyalahkannya sebagai penyebab rendahnya kinerja industri Inggris.

Amerika di bawah Ronald Reagan juga melakukan hal yang sama. Argumen yang dibangun adalah jika  si kaya mendapat insentif seperti pajak rendah, mereka akan lebih giat berwiraswasta dan pada gilirannya akan menciptakan pertumbuhan dan pekerjaan, jika industri diserahkan ke swasta maka akan lebih efisien  dan akan menciptakan banyak lapangan pekerjaan sehingga akan menekan pengeluaran pemerintahan untuk pembayaran tunjangan pemerintah.  Dengan bekal teori seperti itu, maka Reagan melakukan deregulasi ekonomi yang sudah dirintis carter tahun 1970-an. Kontrol atas harga minyak dicabut, aturan transportasi kereta api, industri minyak dan gas, penyiaran, diperlonggar. Sebagaimana thatcher, Reagan membelenggu kekuatan serikat buruh.

Setelah dikonsolidasikan di dua rezim tersebut, neoliberalisme segera di(meny)sebar ke hampir seluruh dunia, meliputi Amerika Latin, Asia Timur, India, hingga hampir semua negara Afrika.  Negara-negara yang memulainya adalah negara-negara dominion Inggris seperti Australia pada era Paul Keating. kemudian diikuti Kanada, New zealand, Cile, Argentina, Brasil,  Jerman, Italia, Perancis, hingga Zambia dan Tanzania.

Kekuatan neoliberalisme yang maha syahwat ini hingga berhasil mentransformasikan platform parta-partai politik yang cenderung kiri menjadi kanan seperti pemerintahan Tony Blair dari Inggris, Schroder dari Jerman, Lionel Jospin dari Perancis, yang semuanya berasal dari Partai Buruh.

Dampak dari penerapan neoliberalisme terdapat segelintir negara mengalami kemajuan ekonomi yang fantastis. Di Inggris, penduduk yang memiliki tempat tinggal sendiri melonjak dari sekitar separo pada tahun 1980 menjadi sekitar dua pertiga pada akhir kepemimpinan Thatcher, penjualan TV, CD, AC, dan mobil melonjak drastis, setiap empat dari lima rumah memiliki video recorder, 43% rumah tangga Inggris  memiliki komputer. Selandia Baru mengalami tingkat pertumbuhan  rata-rata empat persen pertahun sejak 1992 dan mampu mencapai angka pengangguran hanya 6%. Australia menikmati satu tingkat lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan negara-negara maju. Cile mengalami pertumbuhan rata-rata  7% pertahun selama satu dekade mulai dari 1988-1998 (Noreena Hertz, 2005) .

Namun, seperti adagium masyarakat bisnis, there is no free lunch. Lantas apa yang harus dibayar untuk semua itu? Mari kita lihat dalam konteks keindonesiaan.  Fenomena apa yang harus dibayar di atas terasa sangat mudah diraba dalam konteks Indonesia. Inilah yang menjadi arus gerak dan gerak structural sejarah local. Sejak reformasi yang membuka kran kebebasan politik konsolidasi neoliberalisme begitu massif dan cepat di Indonesia. Percepatannya melebihi konsolidasi koalisi sipil demokratik  di Indonesia sehingga pelembagaan politik yang terjadi pasca-dekonstruksi Orba bukan bercorak transformasi demokratik, namun neoliberalisasi ekonomi politik. Jejak-jejak neoliberal tersebut dapat dilacak dalam semua dataran: politik, ekonomi, hukum, pendidikan, hingga kebudayaan.

Dalam wilayah politik penguatan demokrasi liberal-demokrasi prosedural- di dukung oleh berbagai lembaga funding yang berperan dalam proses pemilihan umum. Pengawasan pemilihan umum tidak bertujuan memastikan keterwakilan masyarakat, namun agar tidak terjadi pelanggaran teknis yang dapat menyebabkan krisis legimitasi formal, yang dapat menciptakan instabilitas sosial politik (yang dihindari dunia bisnis).  Peran negara ditelanjangi dan digantikan dengan lembaga-lembaga supranegara. Matilah Negara sebagai actor yang bertanggung jawab atas terwujudnya keadilan social di negeri ini. Bahkan,  telah menjadi kaki tangan kekuatan neoimperialis.

Dalam dunia ekonomi ditandai oleh proses privatisasi massif. Begitu privatisasi dibuka dengan sekejap terjadi perampokan besar-besaran terhadap aset negara. Untuk menyebut contoh aset negara yang sekarang sudah dikuasasi pemodal asing adalah BRI, BNI, PT Adhi Karya,  PT Pembangunan Perumahan, PT Perusahaan Gas Negara, PT Asuransi Kredit Indonesia, PT Kawasan Berikat Nusantara, PT Pulo Gadung Kumpus Negara, Telkomsel, Bank Mandiri, PT Danareksa, PT Angkasa Pura, PT Kimia Farma, PT Indosement, PT Jakarta Internasional, PT Semen Gresik, PT Wisma Nusantara, PT Intirub,  PT Atmindo, PT Iglas,  PT Kertas Padalarang, PT Kertas Basuki rahmat, PT Angkasa Pura II. Privatisasi aset-aset public service tinggal menunggu eksekusi, seperti privatisasi rumah sakit, privatisasi Perguruan Tinggi (pendidikan), dan yang sungguh mengerikan adalah rencana privatisasi barang-barang publik  hajat hidup orang banyak, seperti privatisasi air lewat UU SDA.

Selain privatisasi atau swastanisasi, juga secara agresif mendorong deregulasi dan liberalisasi perdagangan. Menurut Bonnie Setiawan (2003: 85-104),  melalui  organisasi perdagangan multilateral (WTO), kapitalisme global hendak menjangkau bidang perdagangan dagang; jasa; dan HAKI. Dampaknya, menurutnya, aling tidak empat hal. Pertama, dampak kebijakan, Indonesia tidak memiliki pilihan kebijakan apapun selain liberalisasi ekonomi pasar bebas sesuai aturan WTO. Kedua, bidang kekayaan intelektual (TRIPs). Kebijakan di bidang ini diakomodir dalam UU No. 15/2000 tentang Paten, UU No. 29/2000 tentang varietas Tanaman, UU No. 31/2002 tentang desin industri. Ketiga, liberalisasi sektor jasa yang luas mengancam sektor jasa dalam negeri (pendidikan; kesehatan; sektor jasa publik seperti air; listrik; transportasi; perbankan; pariwisata; dan lainnya). Keempat, persoalan tarif industri yang akan mengurangi bahkan membebaskan PMA dari kewajiban membayar pajak. Hal ini akan memukul industri nasional yang berarti terjadi proses deindustrialisasi nasional, mematikan usaha lokal, dan hilangnya pekerjaan ribuan buruh.

Dalam konteks hukum,  system hukum yang dikembangkan, yang direformasi sebagai bagian dari letupan reformasi lebih banyak memberikan basis legal material bagi operasi kapitalisme global ketimbang menjadi basis rekayasa social yang berpihak pada masyarakat. Produk-pruduk  hukum yang ada lebih merefleksikan anatomi structural kepentingan modal dan kekuasaan yang sedang mencengkeram Indonesia saat ini.

Dalam bidang pendidikan, medan pergerakan dan perjuangan kita, kapitalisme pendidikan semakin tidak terbendung. Bukan saja filsafat pendidikan yang telah dicuri oleh modal, dari pendidikan sebagai kekuatan liberasi dan trasnformasi menjadi instrument pembentukan nalar liberal, namun bahkan telah menjadi arena baru proses akumulasi modal. Komersialisasi telah menjadikan komodifikasi pendidikan. Di tengah-tengah meluasnya pemiskinan, ketidaksiapan infrastruktur dalam negeri,   proses ini memiliki dampak hancurnya nalar kritis masyarakat, neoimperialisasi melalui gagasan, hingga terciptanya masyarakat Indonesia ke depan sebagai masyarakat tanpa-pendidikan. Masyarakat ini, di tengah rivalitas global berbasis pengetahuan, hanya akan terpuruk ke sector sektor  informal seperti menjadi TKW atau TKI.

Demikianlah. Realitas yang sedang bekerja digerakkan oleh global design untuk kepentingan-kepentingan neolimperialis. Kita hidup dalam sebuah desain global yang tidak terjadi dengan sendirinya, alamiah, namun dilakukan secara sadar melalui mekanisme dan actor-aktor yang dirancang secara sistemik. Desain global tersebut menciptakan konstruk sejarah local yang memiliki dinamikanya sendiri yang juga harus dipahami dengan baik.


Momotret Akar Keterpurukan Indonesia: Pendekatan historis struktural

Hanya Tuhan  Narator yang dapat bertahan, bukan tuhan hasil sublimasi ketakutan, Tan Malaka, Madilog

Membaca sejarah Indonesia sama halnya mengeja sejarah kompleksitas. Di sana terdapat imperialisme, kolonialisme, heroisme perjuangan, telikung-menelikung, hingga pengkhianatan. Ada sejarah lisan, ada sejarah tertulis. Ada sejarah jatuh bangunnya kerajaan, ada sejarah pergantian kolonialisme. Ada sejarah tokoh-tokoh besar, ada sejarah kolektif-masyarakat. Ada yang terkait dengan localitas, ada yang terkait dengan arus gerak internasional. Mistik dan rasionalitas sejarah juga berpadu dalam kesejarahan Indonesia. Itulah selintas kesan begitu kita mendengar istilah sejarah Indonesia. Di sini kita hanya akan membaca sejarah dengan unit analisis sejarah ekonomi, sejarah politik, pengetahuan, dan budaya. Inipun secara selintas. Bacaan sejarah ini menjadi dasar untuk merangkai kembali, atau memaknai ulang, apa yang disebut paradigma perjuangan PMII.
Kata Indonesia baru muncul di kalangan pergerakan tahun 1920-an. Bahkan kata ini temuan orang asing, bukan bangsa kita. Sebelum itu Indonesia lebih tepat disebut nusantara yang terdiri dari puluhan kerajaan yang masing-masing memiliki kedaulatan politik. Malangnya Nusantara ini tidak identik dengan Indonesia sekarang. Di sinilah Indonesia mengalami keretakan sejarah. Apa yang disebut dengan Indonesia sebenarnya tidak memiliki basis kesejarahan real kecuali semata-mata warisan jajahan Hindia-Belanda.  Bukan warisan kerajaan yang pernah hidup di bumi pertiwi ini. Hal ini disebabkan oleh dua sebab, yakni eksternal (masuknya imperialisme dan kolonialisme) dan internal (perpecahan internal berbagai kerajaan nusantara).

Sejarah Ekonomi
Sejarah ekonomi Indonesia adalah sejarah penaklukan. Sejarah eksploitasi dan gerak kolonialistik. Hingga sekarang struktur ekonomi politik kita tidak lain dari warisan struktur ekonomi colonial. Meskipun sejarah Nusantara pernah mengalami kejayaan luar biasa. Ada dua kerajaan besar yang dapat dijadikan acuan. Pertama, kerajaan Sriwijaya yang pernah menguasai Malaka dan Jawa. Sriwijaya menjadi kekuatan dan cermin dari budaya maritime yang sangat besar. Kedua, kerajaan Majapahit yang kemudian pada tahun 1377 mampu menundukkan Sriwijaya. Kedua kerajaan besar ini pernah menguasai beberapa wilayah, Malaysia, Singapura, Brunai, dan beberapa daratan Asia Tenggara lainnya.  Sebelum kolonialisme datang terjadi peristiwa sejarah yang mentransformasikan Indonesia dari Negara berbasis maritime ke Negara berbasis pedalaman atau daratan. Munculnya kerajaan Mataram Islam, yang menghancurkan pusat-pusat kota di pesisir pantai utara  membawa pusat pemerintahan ke Jawa Tengah bagian selatan.
         
Kekuatan di atas dihancurkan seiring dengan masuknya kolonialisme dan imperialisme di Indonesia. Tahun 1511 Portugis masuk ke Nusantara dengan mengirim ekspedisi militer setelah dua tahun sebelumnya utusan mereka ditolak oleh Sultan Mahmud Syah di Malaka.  Malaka pun jatuh. Mereka, tentara portugis, merupakan veteran, dan dengan demikian disemangati oleh, perang salib.

Pada awalnya Portugis hanya melakukan kontak dagang, tidak  membuka front terbuka secara politik atau militer, sebagai strategi penetrasi, namun secara perlahan mampu menciptakan ketergantungan ekonomi, yang kemudian dipungkasi dengan penguasaan struktur ekonomi. Setelah menguasai Malaka, Portugis meluaskan wilayahnya ke Maluku, Jabar, Jatim (hanya mampu menembus Pasuruan dan Blambangan), Timor, hingga Nusatenggara. Pada fase ini secara politik "Negara-negara nusantara" masih memiliki kadulatan politik, hanya saja struktur ekonominya mulai diambilalih oleh kolonial. Memanfaatkan perpecahan internal kerajaan atau ketegangan antar-kerajaan merupakan strategi yang biasa dipakai, di samping menghancurkan kapal-kapal pedagang Islam dari Arab atau India.

Ekspansi Portugis sempat terganggu dengan hadirnya Spanyol tahun 1521 di Maluku.  Dua kapal ekspedisi spanyol yang datang dari Filipina dan Kalimantan Utara melaju menuju Tidore, Bacan, dan Jailolo. Terjadilah persaingan antara Portugis dan spanyol. Karena kalah kekuatan militernya, Spanyol hanya dapat bertahan hingga tahun 1534.

Setelah merdeka dari Spanyol (1581), Belanda mulai masuk dalam struktur ekonomi dan politik nasional. Tepatnya tanggal 23 Juni 1595, empat buah kapal pimpinan cornelis de Houtman tiba di Banten. Tahun 1598 Belanda untuk kedua kalinya mengirimkan 22 kapal ke Banten, dan setahun kemudian berhasil berdagang di Tuban dan daerah Maluku (Banda, Ambon, dan Ternate).   Pertarungan pun mulai terjadi.  Setahun berikutnya (1600) Portugis membangun basis ekonomi di Jepara dan Timor. Dua tahun kemudian VOC didirikan, sebagai instrument untuk monopoli perdagangan rempah-rempah. Pertarungan mulai mengeras, tahun 1619 Belanda membakar kota Jepara dan pusat dagang Inggris di jepara. Pada tahun 1641 VOC berhasil merebut Malaka dari Portugis.  VOC memperluas ekspansi, membakar dan mendirikan pos di Palembang tahun 1659.  Belanda secara perlahan mulai menjadi penguasa ekonomi nasional menggeser Portugis.  Tanam paksa dan liberalisasi ekonomi yang mendorong penghisapan  bukan hanya oleh Belanda tapi juga swasta Belanda, menjadi icon penjajahan ekonomi ini.

Sejarah Politik
Dominasi dan hegemoni ekonomi Belanda, sebagaimana Portugis, mendapatkan perlawanan  dari rakyat. Namun karena berbagai sebab banyak perlawanan patah di tengah jalan. Maka, secara perlahan kemudian struktur politik pun dikuasai. Kerajaan-kerajaan yang melakukan perlawanan mulai ditaklukkan. Jayakarta direbut oleh VOC dalam perang tahun 1618-1619 dari Pangeran Wiyakrama.  Maluku Jatuh (1675).  Banten Jatuh (1682). Kalimantan (gowa dan Banjar) jatuh (1667). Perlawanan Kaum Sultan Ageng Tirtayasa, Padri, Diponegoro juga dapat dipatahkan, begitu juga dengan perlawanan di Sulawesi Selatan (1907), Kalimantan Selatan (1905), Bali (1909), Aceh, Kerajaan Mataram berhasil dipecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta, serta masing-masing terdapat "Negara dalam Negara" yakni Mangkunegaran dan Pakualaman. Jadilah Hindia-Belanda yang kini disebut dengan Indonesia. 

Sejarah Pengetahuan
Sebelum struktur politik digenggam Belanda secara total, struktur pengetahuan juga mulai dihegemoni. Politik etis menandai, dalam kacamata postcolonial, penaklukan medan simbolik dan basis epistemiologis bangsa Indonesia. Lembaga-lembaga pendidikan pribumi seperti pesantren secara perlahan dipinggirkan dan dihancurkan. Rakyat kecil dan miskin dijadikan kelas ketiga sehingga tidak mungkin menikmati sekolah yang menyebabkan mereka terhenti dalam mobilitas social.

Sejarah Budaya
Menyertai proses panjang tersebut, nalar, rasio, dan struktur kesadaran masyarakat dibentuk oleh apa yang disebut dengan feodalisme Jawa. Feodalisme ini dimotori oleh kerajaan-kerajaan yang melahirkan hierarki social dan kultur feudal. Suatu kultur yang membangun logika masyarakat atas dasar tuan-hamba, priyayi-kawulo alit/wong cilik, pemerintah-rakyat, yang secara sistematik menghasilkan budaya antikritik di kalangan penguasa dan hancurnya nalar kritis di masyarakat.

Pembongkaran premature
Seringkali satu-satunya perbedaan antara menang dan kalah adalah momentum, John Maxwell, 2002: 311

Kemerdekaan Indonesia mampu membongkar struktur politik kolonial, namun belum tiga struktur lainnya, yakni ekonomi, pengetahuan, dan budaya. Baru decade 50-an, setelah ada pengakuan luas internasional terhadap kemerdekaan Indonesia tahun 49,  struktur ekonomi dapat diambil alih melalui kebijakan nasionalisasi Soekarno. Hanya saja, yang dapat direbut tersebut sebatas  struktur ekonomi yang dikuasai colonial. Kelas-kelas social yang ada, yang terbentuk secara histories dan diperkuat dengan kebijakan Belanda, tetap tidak berubah. Mayoritas masyarakat tetap hidup dalam kerangka structural yang sama, pergeserannya hanya terjadi tingkatan Negara.

Formasi tersebut tidak berjalan lama sebab terpatahkan kembali dengan naiknya Orba. Naiknya Orba pada dasarnya mengembalikan kembali struktur colonial secara tuntas dengan kebijakan liberalisasi ekonomi. Dimulailah fase neoimperialisme. Praktis watak structural Indonesia dibangun atas dominasi kelas borjuasi asing dan elite nasional terhadap struktur politik, ekonomi, dan pengetahuan. Orba dengan depolitisasi, deideologisasi, dan developmentalisme, menghancurkan kembali untuk kesekian kalinya Indonesia. Krisis ekonomi tahun 1997 menuntaskan dan menyempurnakan penguasaan tersebut  melalui pelembagaan neoliberalisme di Indonesia. 

Hasilnya? KKN merajalela,  hukum dipermainkan, lingkungan rusak, pendidikan kian mahal, dan kemiskinan pun semakin meluas. Menurut Kwik Kian Gie, jumlah masyarakat Indonesia yang hidup dengan uang Rp 1250 perhari berjumlah sekitar 30 juta (Jawapos, 18 Agustus 2004). Jika menggunakan standar Bank Dunia, yakni mereka yang hidup dengan kurang dari 2 dolar perhari, jumlahnya mencapai sekitar 110 juta atau 55%  dari seluruh jumlah penduduk!


Refleksi Kritis ke-pmii-an: komunitas PMII memandang dirinya
Pemimpin sejati melihat segalanya, namun focus hanya pada hal-hal penting, JC Maxwell, 2002:336

Isu
Problem
Daya Dorong PMII
·         gagap dalam memahami dan merespons berbagai perkembangan global dan nasional.
·         gagal menjadikan dirinya sebagai aktor strategis dalam mendorong perubahan transformatif di Indonesia
·         terjebak dengan rutinitas seremonial seperti rapat kerja, pelantikan, atau peringatan berbagai momen sejarah yang sudah membatu (petrified)
·         gagal merebut berbagai peluang internasional baik yang dibuka oleh aktor-aktor yang dekat secara kultural, maupun yang tercipta sebagai dampak dinamika relasi kekuatan-kekuatan Negara maju.
·         gagal menjadi konsolidator kekuatan pro-perubahan bahkan untuk lingkaran internalnya.
·         tidak cukup serius memfasilitasi pengembangan diri kader basis
Ideologi

Ideologi adalah seperangkat nilai dasar abstrak yang menjadi perangkat kritik moral, bukan kritik sosial.
·         Ideologi PMII belum menjadi  basis kesadaran gerak, belum menjadi kerangka aksi, namun sebatas retorika dalam pelatihan.
·         Pemahaman ideologi tidak sama, tidak merata, berbeda, antara level kepemimpinan dan level basis.
·         Ideologi belum menjadi kerangka operasional organisasi.
·         Ideologi belum dirumuskan dengan jelas yang memiliki relevansi sosial dan intelektual baik dalam dataran ekonomi, politik, maupun sosial kebudayaan.
Kepe-mimpinan
·         Tidak visioner: gagal memberi arahan yang jelas berkaitan dengan berbagai perubahan dalam konteks global dan nasional.
·         Tidak memiliki inisiasi kreatif dalam menerobos kebuntuan-kebuntuan gerakan.
·         Tidak menggunakan pendekatan strategis, analisis obyektif, sistematik,  dalam menyelesaikan masalah, namun dengan metode yang singkat, reaksioner.
·         Kepemimpinan lebih menjadi penghambat kemajuan organisasi ketimbang menampilkan kinerja yang handal dan transformasional.
·         Sudah ada mekanisme koordinasi dan konsolidasi, namun belum sepenuhnya transparan dan periodik (taat pada aturan yg dibuat bersama).
Struktur organisasi
·         Struktur yang ada tidak merefleksikan kebutuhan obyektif dan kapasitas internal.
·         Struktur yang ada lebih merupakan akomodasi politik ketimbang akomodasi wilayah profesional.
Sumber Daya Kader
·         Secara umum kualitas dan kapasitas kader lemah
·         Sebagian besar berbasis Islamic studies
·         Belum mampu melampaui basis massa tradisionalnya
·         Belum memiliki konsep need assesment dan rencana pengembangan yang jelas.
·         PMII cenderung tidak memberikan prioritas penting dalam pemberdayaan kader.
Basis Finansial
·         Belum memiliki divisi fundraiser yang profesional
·         Telah memiliki sistem penganggaran yang jelas sebagai organisasi sosial.
·         Belum memiliki mekanisme kontrol dan pengawasan keuangan internal yang jelas.
·         Belum memiliki sumber dana yang jelas dan sustainable
Jaringan
·         Sebagian besar, hanya memiliki jaringan politik di PKB
·         Kurang memiliki jaringan media, baik internasional, nasional, maupun lokal
·         Kurang memiliki jaringan LSM
·         Kurang memiliki jaringan  perguruan tinggi dalam dan luar negeri, jaringan beasiswa, dan intelektual.
·         Kurang  memiliki jaringan organisasi sosial baik dalam maupun luar negeri
·         Kurang memiliki jaringan dana yang independen
Unit Pendukung Teknis
·         Belum memiliki basis information technology yang memadai
·         Belum memiliki sistem pengarsipan yang rapi
·         Belum memiliki data base problem-problem sosial kongkret yang memadai sebagai dasar pengambilan kebijakan PMII
·         Belum pernah melakukan “tracer studies” kader pasca PMII
Image

·         Kurang meyakinkan
·         Tradisionalis (dalam pengertian pejorative)
·         Tidak profesional
·         Hanya dimiliki oleh orang NU
·         Hanya menjadi kendaraan politik pengurus
·         Kontribusinya tidak jelas baik bagi masyarakat maupun kader.

Desain Gerakan
Paradigma Kritis Transformatif

Demikianlah. Kita dikepung oleh sekian problem. Kita dihadapkan realitas tantangan internasional dan keterbatasan nasional. Kita dihadapkan lemahnya kelembagaan PMII dan minimnya kader yang militant, memiliki teknikalitas organisasi  memadahi, dan professional. Di sinilah paradigma kritis transformative memiliki relevansi social dan intelektual sebagai metode penafsiran sejarah dan sebagai pijakan kerangka gerak pergerakan. Salah satu tugas pokok pergerakan adalah membangun penjelasan sistematik atas arah gerak sejarah.

PKT percaya bahwa terdapat realitas real di luar manusia. Hanya saja, realitas yang teramati manusia ini  merupakan realitas semu,   yang terbentuk melalui proses sejarah panjang yang melibatkan kekuatan ekonomi, politik, dan sosial budaya. Arus gerak dan gerak sejarah yang mengkonstruk realitas tersebut dikendalikan oleh kekuatan hegemonic dan dominatif yang memiliki kekuatan militer, teknologi produksi, struktur pengetahuan, basis financial, yang kuat. Karenanya, menurut PKT, tugas menyusun penjelasan sejarah merupakan interaksi dialektis antara kader pergerakan dan medan sejarah pergerakan. Mengadvokasi buruh meniscayakan pengalaman empiris menjadi buruh. Mengadvokasi petani meniscayakan pengalaman empiris bergulat mencangkul  hamparan sawah. Mendorong tuntasnya transformasi demokratik meniscayakan keberanian untuk berdarah darah memperjuangkan hak rakyat yang kian terampas dan terhempas.

Realitas dunia saat ini, yang tampil dalam media, buku, film, dan lainnya, adalah realitas yang semu dan kompleks. Realitas yang murokab, berlapis-lapis. Karenanya, PKT  menggunakan analisis sejarah yang komprehensif, kontekstual, multi level analysis, yang dilakukan dengan menempatkan PMII dan kadernya sebagai aktivis dalam proses transfrormasi sosial.

PKT  tetap menempatkan akhlak, nilai, etika, dan moral sebagai bagian tak terpisahkan dari proses pergerakan dan perjuangan. PKT memandang kader PMII sebagai intelektual transformative,aktifis, dan pembela kebenaran dan masyarakat.  Karenanya tujuan pokok menyusun penjelasan sejarah bukanlah untuk penjelasan itu sendiri. Akan tetapi, sebagai perangkat metodis untuk melakukan  kritik sosial, emansipasi social, penguatan social, dan transformasi social.

Dengan perspektif PKT di atas, kita melihat bahwa terdapat tiga ranah yang harus menjadi pijakan pergerakan. Ranah global, ranah, nasional, dan ranah PMII.  Dalam ranah global, kaum pergerakan harus memahami bahwa terdapat  global design yang dipaksakan oleh kekuatan dominant terhadap tata dunia internasional. Pemahaman akan desain global  ini mencakup format desain global yang hendak dibangun, konfigurasi actor yang terlibat, mekanisme operasional, basis legal-material, dominant ideology  yang ada, dan dampak-dampak sosialnya. Pemahaman akan konfigurasi actor global seperti pendekatan system dunia tidaklah cukup sebagai pijakan material pergerakan, sekaligus terlalu menyederhanakan kompkleksitas  persoalan. Pemahaman konfigurasi global, yang juga seringkali berubah-ubah, meniscayakan pemahaman akan operator lapangan kekuatan hegemonic tersebut seperti WTO, IMF, WB, TNC's, PBB, dan berbagai lembaga social lainnya seperti universitas, lembaga penelitian, lembaga donor, dan lainnya.

Dalam konteks nasional, kita menghadapi situasi politik yang dibentuk oleh belum adanya cetak biru format tata Negara Indonesia yang pas dan demokratik, masyarakat sipil yang tetap lemah, kebangkrutan partai-partai politik yang gagal bahkan untuk menyelesaikan permasalahan internalnya, menguatnya kekuatan borjuasi, lemahnya penegakan hukum, dan lainnya.  Pada perkembangan terakhir, format politik nasional kita dibongkar kembali dengan adanya UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Nalar undang-undang ini adalah mentransformasikan pertanggungjawaban pemerintahan dari rakyat kepada Negara, menghancurkan otonomi desa, melemahkan demokrasi local, dan meresentralisasi kekuasaan yang berujung pada penguatan kembali Negara. Pertanyaannya adalah, siapa Negara sekarang? Tidak lain kumpulan kekuatan borjuasi (fenomena Bakri, Kalla, Soegiharto, kemenangan pengusaha dalam berbagai pertarungan partai, dan target  memenangkan 60% Golkar dalam pilkada, dan lainnya.

Sementara itu secara internal PMII kita dihadapkan oleh realitas gerak organisasi yang lamban, kian tidak konsolidatif, desain gerakan yang tidak  jelas, karakter gerakan yang kabur, kader yang tidak diberdayakan, lemahnya penguatan organisasi, dan lainnya. Tidak ada kesatuan hati, kesatuan tafsir sejarah, dan kesatuan gerakan. Semuanya diperparah dengan lemahnya  solidaritas, kolektifitas, senasib seperjuangan.  Perpecahan masyarakat  yang menegara secara umum dan masyarakat nahdliyyin secara khusus terefleksikan dalam konteks PMII. Kepemimpinan nasional gagal memberikan arahan, perspektif, dan orientasi gerakan. Sehingga seringkali kader-kader di bawah mengalami kegagapan dalam melihat realitas politik dan ekonomi. Pada level lain, pada level relanis manusiawi, belum terjalin solidaritas yang kuat, social trust yang lemah, perjumpaan kader pergerakan yang banyak diwarnai prejudice,  lemahnya aura perjuangan di wajah kader.

Setelah menyusun penjelasan histories tersebut, tibalah saatnya kita membangun desain gerakan yang mampu menjawab kebutuhan subyektif dan tantangan obyektif. Basis akademik desain ini adalah karena realitas adalah berlapis-lapis, maka, dibutuhkan analisis sejarah yang multilevel, yang berimplikasi pada multilevel-strategy. Desain geraknya, jika dilihat dalam kisaran waktu, dibagi dua, jangka panjang dan pendek, jika dilihat dalam dataran ruang, dibagi dalam konteks global, nasional, dan local.

Desain jangka panjang adalah bagaimana mengukuhkan diri sebagai organisasi kader yang mampu mengisi berbagai ruang-ruang social dengan kapasitas rivalitas global. Secara kelembagaan, PMII menjadi organisasi yang responsive, yang mampu menjawab berbagai tantangan global dan nasional,  mendorong transformasi structural, mengawal agenda-agenda kerakyatan.

Dengan demikian, desain gerakan PMII bertumpu pada dua hal. Pertama, sebagai organisasi kader yang mencetak kader pergerakan. Kedua, sebagai kekuatan sosial yang mendorong transformasi sosial. pada yang pertama tugas pokok dan utamanya adalah merebut generasi muda kampus dan mendidiknya minimal menjadi kader basis. Pijakan desain ini adalah sosiologi pengetahuan yang mewartakan siapa yang menguasai generasi muda kampus saat ini dalam waktu 20 tahun yang akan datang akan menguasai kelas menengah di Indonesia, yang menjadi kekuatan signifikan sebagai penghubung antara peluang politik non-karier dengan basis masyarakat. Sebagai organisasi yang tidak berdiri sendiri, namun juga memiliki jejaring dengan organisasi sevisi, medan gerak utama PMII adalah lapisan generasi muda. Bagaimana membuat orang NU merasa kehilangan jika tidak masuk PMII, dan membuat basis massa lain merasa rugi jika tidak masuk PMII menjadi kunci kekuatan PMII. Kemampuan PMII menfasilitasi kader, membangun kekuatan akademik, membekali dengan keterampilan yang relevan, mempersenjatai dengan kapasitas kepemimpinan, dan membangun ikatan emosional dan ideologis, menjadi fungsi-fungsi pengabdiannya terhadap basis massanya.

Kegagalan PMII bergerak menengah menjadi arus utama dalam generasi muda akan berdampak signifikan dalam jangka panjang. Sejarah telah memberi pelajaran ikatan berbasis kode simbolik cultural keagamaan tidak selamanya efektif menjadi basis ikatan rajutan politik.  Jumlah masyarakat nahdhiyyin yang 40 persen hanya dapat dikonsolidir dengan pendekatan cultural sekitar 25%, sedangkan yang 75% lebih merapat pada ikatan ekonomi dan politik. Desain gerakan ini menjadi kata kunci apa yang disebut dengan distribusi kader. Dengan massifnya kader, distribusi akan terbuka dengan sendirinya. Sekaligus memperluas ruang sosial yang bukan hanya politik namun wilayah-wilayah lainnya.

Desain ini sinergis dengan gerakan sosial PMII sebagai organisasi sosial. Dengan melihat basis massa yang kebanyakan miskin, yang diiringi komersialisasi pendidikan, proses mobilitas sosial vertical melalui jalur pendidikan, menjadi terancam. Masyarakat kita terancam menjadi pekerja kasar yang akan dipaksa bertarung dengan pergerakan orang akibat globalisasi dari sesame Negara-negara miskin. Pengorganisiran kampus harus dikombinasikan dengan gerakan legal advokasi kebijakan pendidikan menuju pendidikan gratis bagi seluruh masyarakat.

Sebagai organisasi sosial kemahasiswaan, desain gerakan PMII bertumpu pada tiga pilar. Pertama, mendorong perubahan struktural pada aras global, nasional, dan lokal. Focus gerakan ini adalah mengkritisi dan membangun resistensi kebijakan yang berasal dari institusi-institusi ketiga aras tersebut yang mengancam kepentingan dharuriyyah (hak hidup, ushul-alkhoms), hajiyyah (kesejahteraan secara utuh), tahsinnyah (dimensi seni dan kebudayaan yang membuat "hidup jadi lebih hidup"). Berbagai kebijakan organ-organ supra Negara seperti WTO, IMF, WB, TNC's, kebijakan superpower, kebijakan Negara di tingkat nasional, kebijakan pemda di tingkat lokal, merupakan focus medan gerakan ini. Penolakan terhadap UU SDA merupakan keharusan bagi pergerakan. Namun anehnya, mencoba sedikit peduli, dengan mau mengkajinya pun, tidak muncul di tubuh PMII, bahkan di tingkat PB.  Jika diteorikan tugas PMII adalah "mengolah kontradiksi sosial" menjadi energi perubahan.

Secara kelembagaan PMII  harus melakukan kajian empiris sesuai dengan kebutuhan objektif, sehingga untuk suatu daerah lebih cocok diberdayakan format gerakan apa, apakah gerakan keagaman transformatif, gerakan advokasi, gerakan kebudayaan, gerakan intelektual dan pers, gerakan gender, gerakan politik, atau kombinasi dari berbagai format tersebut. Konteks daerah yang berbeda meniscayakan karakter gerakan dan format yang berbeda.

Basis pengetahuan yang harus dimiliki adalah anatomi desain global dan "sejarah lokal." Penjelasan ringkasnya seperti ini.  Pada proses liberalisasi politik menuju demokrasi liberal yang didorong kekuatan global menggunakan mekanisme tertentu, dengan agenda tertentu, pada dataran nasional desain global tersebut menciptakan sejarah lokal yang disebut dengan otonomi daerah. Memahami salah satu sisinya, misalnya sekedar memahami peta Negara core, tanpa mampu memahami dinamika politik lokal yang, akan melahirkan gerakan yang kekurangan basis material. Sebaliknya, bergerak di ranah lokal, memahami logika sejarah lokal, tanpa memilikim perspektif global, akan kehilangan momentum memanfaatkan peluang dari dinamika Negara-negara superpower.

Atau misalnya, salah satu kecenderungan bisnis global ada di bidang kesehatan dan pariwisata dunia. Menurut Paul Zan Pilzer, dalam bukunya The Next Trilliun, pada dasawarsa 70, bisnis digerakkan oleh microwave, tahun 80 oleh penemuan video, tahun 90 oleh computer dan internet, dan decade 2010 bisnis akan digerakkan oleh industri perawatan kesehatan. Pada decade itu akan lahir generasi (baby boomers) yang rela membayar berapa saja untuk dapat hidup sehat, berpenampilan metroseksual (prima), memperlambat penuaan, dan bebas dari penyakit. Di Amerika  arus gerak financial dalam bisnis tersebut tahun 2010 memncapai 1000 milyar dollar, atau separo lebih arus financial bidang industri mobil. Jika dihitung bisnis itu memiliki arus pertahun 1000 milyar dollars, perhari 2,7 millar dollars, per jam 114 juta dollar, dan permenit 1,9 juta  dollars.

Dalam perspektif peluang, bisnis ini akan menghasilkan empat struktur pekerjaan: manufaktur (produsen); praktisi (ahli); retailer; dan distributor. Dilihat dalam perspektif global, desain ini akan diikuti dengan penerapan TRIPs (hak atas kekayaan intelektual) di bidang industri farmasi, privatisasi dan swastanisasi industri farmasi dan kesehatan. Arus gerak global ini akan menciptakan dinamika lokal pertarungan antara yang setuju dengan yang tidak swastansiasi RSUD Jakarta, misalnya. Atau, penelitian terhadap keragaman hayati berkedok ilmiah oleh peneliti asing atau domestic yang dibeayai, yang berakhir pada pematenan tanaman tradisional yang secara cultural milik kolektif masyarakat.

Dalam bisnis torisme, misalnya, dikembangkan wisata lingkungan yang eksotik yang menjadi trend pariwisata dunia. Gerak ini menghasilkan kebijakan lokal yang dibungkus dengan kebijakan heroic "melestarikan warisan budaya asli"  dengan mengembalikan ke bentuk aslinya. Hal itu dilakukan oleh pemda yang diikuti proses pengambil-alihan pengelolaan dari masyarakat ke pemerintah, kemudian ke swasta. Ujung dari semua itu adalah komodifikasi warisan cultural dan keagamaan yang di luar kendali pewaris sahnya: masyarakat. Pengusiran PKL dari berbagai obyek wisata seperti Borobudur atau lainnya merupakan implikasi logis dari semua prose tersebut.  Nah, gerak sosial harus mampu mengkombinasikan konstelasi global dan anatomi politik dan kekuatan lokal.

Pada saat yang sama mengolah kelembagaan PMII untuk merebut momentum, memanfaatkan berbagai peluang dari proses  globalisasi dan nasional. Tugas gerakan ini adalah membangun jaringan secara internasional dan nasional secara kelembagaan dengan terutama universitas, lembaga internasional, intelektual, NGO, dan lainnya. Jaringan di Timur Tengah, Amerika Latin, Asia Pasifik, masih amat lemah. Bahkan di Negara-negara besar seperti AS, Inggris, UE, yang pada keping yang lain seringkali harus dihadapi vis a vis, masih amat lemah. Desain ini merupakan antitesis pola pengembangan jaringan yang aneh dan menghancurkan karakter gerak PMII seperti nge-sub ke kepentingan politik. Jika dihitung-hitung, menjadi TS, atau dekat dengan pejabat, namun dengan pola pendekatan yang salah, amat tidak seberapa. Paling-paling mendapat bantaun gedung gratis. Namun ongkos sosialnya amat tinggi, gerak sosialnya menjadi terbelenggu.

Desain kedua, bagaimana PMII menjadi konsolidator kekuatan pro-perubahan. Di sini perannya berada pada dua level. Level eksternal dan internal. Pada level eksternal PMII harus dapat menjadi perekat, membangun front bersama, untuk menyatukan kekuatan masyarakat berhadapan dengan kekuatan besar kerakusan modal dan politik kekuasaan.

Yang mendesak dan urgen adalah bagaimana PMII menjadi konsolidator kekuatan properubahan di tubuh masyarakat nahdhiyyin. PMII sudah seharusnya menghancurkan proses mistifikasi perpecahan bertubi-tubi di masyarakat nahdhiyyin dengan menyebut ini memang desain dari Gus Dur, atau siapapu. Hal ini bukan saja membodohkan, namun menghancurkan kesadaran kritis masyarakat. Perpecahan selama ini,dan yang ada dalam sejarah, harus dipahami secara material-dialektik, yakni tidak adanya manajer gerakan yang mampu menyatukan potensi kekuatan cultural dan politik masyarakat nahdliyyin. Strategi distribusi kader dengan menempatkan ke berbagai lini akan sia-sia jika pada akhirnya "tidak nyambung" dalam mendorong kepentingan bersama. Sebaran kader dlam pilkada, misalnya salah besar jika dimaknai sebagai strategi taktis untuk menempatkan kader di berbagai kemungkinan politik. Epistemology yang muncul sesungguhnya lebih merupakan kebutuhan kekuatan lain untuk membelah basis massa NU, yang "ketemu" dengan syahwat politik  yang tidak dapat disalurkan melalui mekanisme internal. Strategi ini tetap dapat dimainkan, sekalipun dengan resiko terbelah untuk sementara, namun harus berangkat dari epistemology by design.

Bukankah selama ini antar alumni PMII yang berada di sekian wilayah professional dan politik tidak pernah bisa membangun "persatuan pergerakan dengan minimum program'? Sebaliknya, justru saling sikut dan telikung?  Hanya sedikit yang mampu mempertahankan tahap minimalis, persekawanan cultural.

Energi kita sudah lelah, jenuh, dan habis untuk mengurusi persoalan yang kita ciptakan sendiri. Nelangsanya, konstruksi pertarungan elite di atas juga sebangun dengan pertarungan internal di tubuh PMII. Di mana-mana, di PB, di rayon, di komunitas cultural, selalu terdapat faksi dan pertarungan yang berdialektika negative sehingga tidak melahirkan energi perubahan sebagaimana dibayangkan teori kritis. Hasilnya adalah dekonsolidasi dan deakumulasi gerak dan organisasi.  Kebangkrutan dan hilang dari sejarah akan segera menghampiri kita apabila PMII gagal melakukan intevensi sosial ini.

Dialektika gagasan, benturan ide, adalah justru keharusan sejarah. Tanpa dialektik pergerakan akan mati.  Namun bukan dialektika yang saling menegasikan, yang saling menghancurkan, yang saling menafikan, yang dibutuhkan  pergerakan. Tetapi, dialektika yang semakin kuat, semakin solid, matang, dan padu sintesanya. Di sinilah dibutuhkan membangun Persatuan Pergerakan dengan Minimum Program. Jebakan konflik, jeratan faksionalisasi, prasangka, dan segala macamnya memang tidak mungkin hilang, dan memang sudah menjadi takdir sejarah. Hanya saja, dalam konteks sekarang, di saat tantangan internasional begitu imperialistic, keterbatasan nasional semakin meluas, dekonsolidasi masyarakat sipil dan disorientasi gerakan, dibutuhkan kedewasaan politik, dibutuhkan usaha bersama kita untuk mendorong "minimum program" pergerakan yang mampu melampaui segala bentuk oposisi biner. 


Untuk memerankan ini, PMII harus membangun "kewibawaan" organ dulu. PMII harus mampu membangun citra sejarah tidak dapat dibeli, bukan kendaraan politik personal, tidak berpihak pada faksi politik, namun berpihak pada nilai, bergerak dengan pijakan kepentingan organisasi. Secara strategis, harus dilakukan dengan  memotong lewat kaderisasi dengan mengintrodusir nilai-nilai kolektifitas, kebersamaan, dan solidaritas. Setelah terbangun sehingga  "ngangkat" maka tinggal merancang strategi dan taktis untuk merangkai berbagai potensi yang berserakan dan pecah.

Desain gerakan ketiga, bagaimana PMII menerapkan teori "desa mengepung kota." Rasionalisasinya seperti ini. Di berbagai kota besar, PMII harus diakui bergerak di pinggiran dalam basis massa kampus. Berbagai lembaga kampus di kota besar tidak dipegang oleh PMII. Pada sisi lain terdapat gerak otonomi daerah yang secara niscaya akan mengalami proses perkembangan sosial seperti kota besar. Secara empiri, dari pengalaman lapangan, daerah otonomi yang merupakan kota pinggiran atau kecil, belum banyak perguruan tingginya dan belum diimperalisasi oleh organ lain. Dengan melihat konteks seperti itu pemberdayaan cabang-cabang kecil menjadi amat penting untuk kepentingan strategis ke depan. Medan pertarungan yang belum luas, basis massa yang masih dipegang, konsolidasi organ lain yang belum massif, membuka peluang PMII mendorong perubahan dari daerah pinggiran, yang sebenarnya memiliki konteks geostrategis, geopolitik, dan geoekonomi penting seperti wilayah  pantura. Jika tidak diberdayakan, cepat atau lambat ekspansi organ lain akan terjadi dan massif.


Struktur Desain Gerak PKT

Gerakan di atas membutuhkan kekuatan. Terutama untuk gerakan PMII sebagai organisasi gerakan social. Kekuatan gerakan ini baru akan massif jika terhimpun dari sinregisitas antarkekuatan. Paling tidak PMII harus memiliki tiga lapis kekuatan kader.

Pertama, kekuatan basis. Kekuatan yang cukup menentukan dinamka gerak PMII. Mereka adalah semua kader PMII. Kekuatan basis ini baru akan memiliki daya dorong dalam konteks kelembagaan ketika berhasil menyelesaikan kontradiksi-kontradiksi internalnya, secara ideologis cukup kuat, dibekali perangka metodologi analisis social, dan memiliki kapasitas manajerial memadahi.

Kedua, kekuatan pelopor. Mereka adalah minoritas kreatif yan menjadi vanguardist, dalam gerakan, militant, berani, dan ideologis. Mereka adalah kader pergerakan yang menjadi motor penggerak berbagai formasi gerakan PMII.

Ketiga, kekuatan inti. Semacam think thank yang memiliki kualifikasi seperti kader pelopor namun memliki kekuatan urai social tajam.

Dalam bahasa Gramncian struktur organisasi PMII harus mampu merefleksikan tiga lapis kekuatannya, yakni level kepemimpinan yang memahami alur sejarah, politik, dan ekonomi sehingga mampu memberikan penjelasan histories, arahan-arahan, dan perspektif yang visioner. Level tengah yang berfungsi memerankan kerja-kerja manjerial sekaligus mengakomunikasikan kegelisahan kader basis dan gerak sejarah local serta menerjemahkan bangunan visi dalam bahasa yang dipahami kader basis.

Gerakan di atas akan akan mencapai tansfomasi, yakni kristalisasi dan sublimasi keseluruhan gerakan setelah melalui tahapan berikut ini: pertama, pemahaman PMII akan kondisi objektif dan basis nilai ideologis sama-sama kuatnya. Kedua, PMII mampu melakukan kontekstualisasi paradigma dan ideology dalam level praksis empiris. Mampu merumuskan berbagai isu-isu strategis, tahapan-tahapan, taktik, yang tidak utopis. Ketiga, PMII mampu  mengidentifikasi akar persoalan dan actor pada dataran structural dan cultural sehingga mampu melakukan blocking area dan memahami medan perjuangan. Keempat, mampu menjadi konsolidator gerakan baik konteks nahdhiyin maupun elemen-elemen lain. Kelima, mampu menyusun strategic planning, scenario building, dan action planning. Keenam, mampu membangun kesadaran kritis masyarakat sehingga mampu mentransformasikan isu pegerakan menjadi isu masyarakat sehingga masyarakat menjadi actor utama perubahan.



Impian kita tentang  PMII

Isu
Kondisi Ideal
Arah Kebijakan
Strategi
Visi-Misi
Visi terumuskan dengan jelas, memiliki relevansi social dan intelektual kuat baik dalam konteks sosial, ekonomi, politik, budaya, pendidikan, baik dalam dataran internasional, nasional, maupun lokal. Visi ini terefleksikan dalam output program kerja.

Misi jelas, dipahami oleh semua komponen organisasi, dari kader inti sampai kader basis, outsider pun mampu memahami misi organisasi dengan baik. Kerja-kerja organisasi juga sudah konsisten dengan misi PMII.
Mengkaji secara kritis dan periodic relevansi sosial dan intelektual seiring dengan pergeseran social yang ada.

Mensosialisasikan visi misi kepada semua elemen organisasi
Melakukan kajian kritis terhadap berbagai perkembangan social mutakhir  secara berkelanjutan.

Reformasi formula kaderisasi sehingga menemukan bentuk yang pas.
Organisasi
Struktur organisasi yang ada merefleksikan kebutuhan kelembagaan, mencerminkan agenda gerakan yang hendak didorong, bukan semata akomodasi  politik.  Telah ada pembagian kerja yang jelas berdasar wewenang dan tanggung jawab.
Melakukan kajian komprehensif mengenai strategic issues baik dalam konteks eksternal maupun internal, dalam konteks sekarang maupun berbagai kecenderungan ke depan.
Analisis kebutuhan eksternal dan internal, restrukturisasi organisasi, membatasi wilayah akomodasi politik, dan memperluas wilayah akomodasi professional.
Manajemen organisasi
Pengembangan rencana strategis dan tahunan sudah pararel dengan visi misi PMII
Terciptanya mekanisme kerja yang kompak antar-pengurus
Program tahunan dan rencana strategis didorong dengan terpadu, terinci, namun fleksibel
Program tahunan menjadi acuan pengurus dalam menggerakkan roda organisasi
Adanya desain gerakan yang koheren yang memiliki daya dorong antara PB, PKC, PC,Komisariat, dan Rayon.
Adanya mekanisme Kritik Oto Kritik yang dilaksanakan secara periodic, transparan, dan partisipatif.
Adanya kode etik perilaku pengurus dan kader PMII
Pengambilan keputusan melibatkan komponen yang ada dan sesuai dengan mekanisme kesepakatan yang obyektif.
Merumuskan konsep manajemen sesuai dengan basis kultur PMII namun mampu mengakomodir berbagai tuntutan manajemen pergerakan modern.

Merumuskan berbagai kebijakan manjerial  termasuk kode etik.

Menciptakan mekanisme kritik oto kritik secara berkelanjutan

Mengembangan sendem ala PMII

Menerapkan manajemen berbasis teknologi informasi
Sumber Daya Kader
Menguasasi sumber daya generasi muda Indonesia
Terbangunnya tradisi the right man on the right place.
Memiliki desain pengembangan kapasitas sumber daya kader
Terbangunnya mekanisme punishment dan reward
Menitikberatkan kerja organisasi pada kaderisasi dan pengembangan sumber daya kader yang berbasis pengetahuan dan social skill memadahi.
Menyusun konsep kaderisasi yang dialektik antara kultur modernitas, kebutuhan kelembagaan PMII, minat dan bakat kader.

Menyusun strategi menguasai generasi muda
Manajemen Keuangan
Anggaran telah menjadi perangkat manajemen, menjadi bagian terpadu dari program.

Memiliki sumber dana mandiri

Menyusun anggaran yang realistic dan fleksibel

Membangun badan usahaprofesional

Memanfaatkan dana-dana hibbah dari dalam dan  luar negeri yang  kredibel.

Memobilisasi iuran anggota dan  alumni


Memnfungsikan bendahara sebagai manajer keuangan, bukan sebagai pembawa uang.

Membentuk fund-rising dengan tugas dan wewenang yang jelas, dengan target dan  batasan waktu yang jelas.

Mendata jaringan funding dan mengkaji kesesuaian antara agenda pergerakan dengan funding.

Memetakan basis potensi ekonomi anggota dan alumni.

Iuran rutin wajib.
Jaringan
Dikenal luas, jaringan kerja luas, dan mampu memanfaatkannya baik  di kalangan LSM, universitas, intelektual, funding, ormas, pers, maupun lembaga-lembaga riset.
Menyusun profile pergerakan PMII

Mendokumentasikan berbagai kegiatan PMII

Mensoslialisasikan dan mempublikasikan berbagai hal berkenaan dengan kegiatan dan organisasi PMII
Membangun kontak dengan pers

Menerbitkan profile PMII



Visi

  • Menjadi organ pergerakan sesungguhnya yang dapat diandalkan sebagai instrument perubahan social dan pemberdayaan kader yang militant, professional, memiliki ketajaman analisis, memahami alur sejarah, dan berakhlakul karimah.

Misi
  • Mendorong perubahan structural di tingkatan global, nasional, dan local yang berpihak pada masyarakat.
  • Merebut dan memberdayakan generasi muda dan lembaga-lembaga kampus
  • Penguatan Jaringan secara luas
  • Penguatan kapasitas kelembagaan PMII di daerah-daerah
  • Membangun manajemen pergerakan berbasis teknologi informasi


Program Konkret Unggulan

Politik
Ø  Menyusun penjelasan sejarah secara kritis dan  merumuskannya sebagai arahan kelembagaan kader sampai lini paling bawah seputar  persoalan politik kontemporer secara periodic. Membaca, menulis, dan menyebarkan bacaan situasi internasional, situasi nasional, situasi lokal, secara berkelanjutan.

Ø  Mendorong transformasi structural di tingkatan global, nasional, dan local, baik dengan melakukan aliansi gerakan maupun mendorong momentum yang ada, dan dengan membangun kesadaran kritis kader dan masyarakat.
Ø  Secara khusus mendorong  pendidikan gratis dan mendesakkan agenda-agenda wacana pendidikan trasnformatif.

Ø  Menjadi konsolidator berbagai actor strategis kekuatan properubahan baik dari kalangan PMII maupun non-PMII. Memanfaatkan strategi "tidak kemana-mana tapi di mana-mana" yang telah dirintis sejak NU kembali ke khittah.

Ø  Menciptakan relasi kerja PB, PKC, PC, dan Komisariat yang lebih transformative ketimbang seremonial.


Ekonomi

Ø  Membangun jaringan funding nasional dan internasional
Ø  Membangun kerja sama dengan Negara-negara lain
Ø  Menyusun anggaran sebagai perangkat manajemen
Ø  Membangun prinsip-prinsip pengelolaan keuangan yang transparan, akuntabel, dan bersih.


Keorganisasian

Ø  Menyusun struktur organisasi yang berbasis kebutuhan eksternal dan internal
Ø  Menciptakan mekanisme kerja kerja yang kompak
Ø  Menciptakan mekanisme kritik oto kritik
Ø  Menciptakan sinergisitas pergerakan antara PB sampai rayon sehingga memiliki daya dorong yang transformasional.


Pengembangan Organisasi

Ø  Pemberdayaan secara serius cabang-cabang  daerah.
Ø  Perluasan organisasi ke daerah-daerah yang belum terorganisir


Kaderisasi

Ø  Menciptakan phsycological affinity yang menciptakan perasaan kehilangan para orang tua NU yang anaknya tidak masuk PMII, apalagi masuk organ lain ( untuk merebut basis massa tradisional), dan menciptakan kerugian bagi mahasiswa mengambang atau non-NU jika tidak  masuk PMII (potential members)

Ø  Merebut kampus-kampus penting di Indonesia

Ø  Memformulasikan format kaderisasi yang sesuai dengan perkembangan zaman, yang mampu mencetak kader inti dan pelopor, sekaligus kader basis secara sinergis, dan mengakomodir kebutuhan mengorganisir generasi-generasi yang disebut dengan baby-boomers.
Ø  Mengembangkan kaderisasi berbasis kebutuhan local

Jaringan

Ø  Mengembangkan jaringan politik ke semua lini
Ø  Mengembangkan jaringan universitas
Ø  Mengembangkan jaringan ormas baik dalam maupun luar negeri.
Ø  Mengembangkan jaringan intelektual, pers, LSM, jaringan funding, dan Negara-negara yang memiliki potensial grant



Agar Tidak Lenyap dalam Sejarah
Sahabat terbaik pemimpin adalah momentum
Kemenangan didahului oleh terobosan
JC Maxwell, 2002: 231;309


Pengelolaan pergerakan harus bertumpu pada empat elemen pokok. Keempatnya saling terkait satu lainya, tidak dapat dipisah-pisahkan.

Pertama, berbasis pada solidaritas, kolektifitas, semangat berkorban, ketulusan, keikhlasan, teknikalitas kader yang handal, basis ideologis dan visi yang matang, militant, dan dipersenjatai oleh kemampuan analisis yang kuat. Modal social dan cultural ini harus dapat diterjemahkan dalam konteks manajemen informasi berikut ini.

Kedua, berbasis teknologi informasi. Salah satu kekuatan penting di dunia ini adalah perkembangan teknologi informasi. Dengan perkembangan teknologi ini dunia menjadi desa buana, sekat-sekat antarbangsa luruh, dunia tanpa batas. Dalam konteks seperti itu sirkulasi informasi menjadi amat cepat dan kompleks. Apa yang sekarang terjadi, pada saat yang sama dapat diakses oleh mereka yang di ujung dunia sana. Pola komunikasi pun menjadi berubah secara radikal, bukan lagi mengandalkan kehadiran fisik atau bahasa lisan. Dengan teknologi informasi ini, berbagai informasi atau kejadian apapun dapat dengan cepat disirkulasikan dengan efektif dan massif.

Ketiga, transformasi teknologi informasi. Dampak tak terhindarkan kecepatan informasi melalui teknologi adalah lemahnya kemampuan atau menyaring dan memahami informasi secara benar. Karenanya kecepatan sirkulasi informasi ini harus bertumpu pada mekanisme transformatif dalam memahaminya. Artinya, kemampuan memahami secara benar dan kritis semua informasi menjadi penting. Sebab hasil pemahaman akan menajdi dasar pijakan organisasi dalam mengambil keputusan. Kesalahan dalam memahami informasi menyebabkan kekeliruan dalam membangun penjelasan sejarah, yang menyebabkan kesesatan dalam menyusun agenda gerakan. Kesalahan ini dalam sejarah seringkali melahirkan hal yang menggelikan. Misalnya, solidaritas terhadap Irak diwujudkan dalam bentuk memakai kaos Usama, atau diam karena dibayangi ketakutan kehilangan akses tertentu. Hal yang sama mudah ditemukan dalam moment politik nasional atau local. Respons  tersebut menunjukkan kedangkalan dalam memahami dinamika gerak sejarah. Padahal jika memahaminya dengan benar, maka berbagai respons tersebut dapat dihadirkan dalam  bentuk yang cerdas, elegan, dan strategis.

Keempat, berbasis pada dinamika pengaruh Negara superpower dunia. Gerak global saat ini masih ditenyian oleh kebijakan superpower yang memiliki perangkat nyaris sempurna. Kebijakan sentrum ekonomi dan politik dunia tersebut memiliki pengaruh signifikan terhadap dunia global.  Kecepatan dan ketepatan dalam memahami informasi di atas kemudian dipersenjatai dengan "kemampuan cerdas" menangkap semua peluang strategis  yang ada sebagai dampak perubahan global. Misalnya, seharusnya PMII memiliki kesempatan luar biasa untuk mendorong wacana aswaja sebagai alternative global wacana keislaman di tengah penghancuran Islam ala al qoidah di Barat dan Jamaah Islamaiah di Asia. Namun sejarah mencatat, PMII memahami logika ini pun belum sampai.

Perkembangan global menjadikan PMII harus membanun basis manajemen gerakannya sesuai dengan tuntutan globalisasi. Tanpa mengikuti berbagai perkembangan ini PMII  akan terancam hilang dalam sejarah. Bagaimana menjelaskannya?  Dengan empat pilar di atas, perkembangan apapun di tingkat global dapat dengan cepat ditransformasikan pada tingka nasional  dan disebarluaskan kepada seluruh kader PMII melalui mekanisme kelembagaan yang ada, sehingga memiliki basis material dalam mengambil sikap politik.

Manajemen tersebut dapat disejajarkan dengan sebuah jam. Sebuah jam selalu memiliki tiga jarum. Jarum  detik menunjukkan pergeseran atau pergerakan di tingkatan global. Secara dinamik pergeseran global di atas juga diikuti oleh jarum jam yang menunjukkan menit.  Sedangkan jarum yang terakhir menunjukkan jam, yang merefleksikan di sinilah posisi PMII. Pergerakan dinamik PMII seharusnya mengikuti berbagai perkembangan global dan nasional.

Di sinilah, jika PMII tidak mengikuti dinamika tersebut, maka PMII pun akan hilang dalam lintasan sejarah. Tergagap. Disorientasi. Kesulitan untuk sekedar mengenali posisi dirinya.  Sehingga tidak memilii panduan gerak yang benar. Ibarat sebuah jam, jarum jam dapat terus berputar, namun ada kemungkinan posisinya yang pas, akan tetapi bukan hari ini, melainkan kemarin, minggu kemarin, bulan kemarin, tahun kemarin, bahkan hingga sampai hitungan dasawarsa. Kondisi ini jelas mengerikan dan memprihatinkan.

Preseden sejarah pernah direkam dalam Al Qur'an yang menimpa ashabul kafi. Setelah tertidur selama sekitar 300 tahun, mereka bangun. Salah satu di antaranya pergi ke kampong terdekat dan membeli makanan di suatu warung. Hanya saja, konstruk kesadaran historisnya masih 300 tahun yang lalu, sehingga dengan santai menyodorkan uang logam pada masa lalu. Diapun nyaris di tangkap karena dianggap akan melakuka penipuan. Apa jadinya jika hal itu menimpa PMII yang tengah mendorong isu-isu besar?


Infrastruktur manajemen
Untuk muwujudkan impian tentang PMII dibutuhkan infrastruktur manajemen:

Pertama, sumber daya kader yang berdedikasi, komitmen, dan full time (untuk PH) dalam mengelola PMII. Mengelola PMII tidak mungkin dilakukan dengan setengah-setengah, apalagi disambi dengan "mbroker" ke sana kemari. Ini artinya dibutuhkan reorientasi pengurus harian PMII untuk memaknai pengabdiannya di PMII  bukan sebagai aktifitas sambilan, atau batu loncatan. Sebagai konsekuansinya, secara kelembagaan PMII dituntut untuk memenuhi basic need mereka yang telah secara total mengalokasikan energi dan pikirannya untuk PMII. Kebutuhan sumber daya seperti itu sudah tak terelekakan jika ingin akumulatif. Implikasinya dibutuhkan rekonstruksi teologis dalam berjuang. Secara minimalis, kebutuhan tersebut dipenuhi dengan menyediakan staf professional.

Kedua, sumber dana organisasi untuk operasional dan pengembangan organisasi. Dana merupakan system pendukung yang penting. Diidealisasikan PMII memiliki fundraising yang kuat sehingga menjadi organ independent dalam mendanai organisasinya.  Kemampuan ini menjadi strategis ke depan untuk menghasilkan performance organisasi yang berwibawa di tengah konstelasi nasional dan global.

Ketiga, tersedianya fasilitas teknologi informasi seperti website nasional, maling list khusus PMII, komputerisasi, dan lainnya.

Dalam menjalankan programnya, PMII juga harus bertumpu pada manajemen program yang terdiri dari tiga pilar. Yang dimaksud dengan manajemen program di sini adalah system pengelolaan kegiatan organisasi dalam program tahunan yang telah dirumuskan dan menjadi desain besar kepengurusan. Pertama, terarah. Program tahunan PMII dalam setiap levelnya harus memiliki arah yang jelas. Kedua, terukur, memiliki parameter yang  jelas, obyektif, empiris, sehingga dapat dinilai dengan jelas. Keterukuran ini untuk menentukan atau menjadi dasar sejauh mana tingkat keberhasilan sebuah kepemimpinan atau kepengurusan. Ketiga, memiliki mekanisme kontrol yang jelas sehingga tidak mudah dibelokkan untuk kepentingan tertentu baik pihak eksternal maupun internal.


Bagaimana memulainya?

Bagaimana memulai kerja besar ini? Idealnya PMII secara kelembagaan memiliki strategic planning yan akurat, yang diturunkan menjadi program, dan diterjemahkan dalam action plan tahunan. Dari perpektif ini  terdapat tiga tingkatan yang masing-masing memiliki formulasi manajerial yang berbeda-beda. Tingkatan paling ideal adalah tahapan ketika sistem sudah terbangun dengan kuat, yang disebut dengan management by system. Yang menjadi penentu dinamika organsiasi sistem dan kultur yang terbangun sehingga dengan kekuatannya PMII tidak lagi membutuhkan sumber daya kader yang dibutuhkan, namun sistem itu sendiri yang akan membentuknya dan menciptakan dirinya sebagai wahana pembelajaran yang efektif. Pada tahapan ini PMII tidak diributkan lagi pada pencarian siapa yang akan menempati pos atau pekerjaan tertentu.  Untuk mencapai tahapan ini dibutuhkan kesatuan pemahaman semua kader PMII menenai visi, misi, progam, sampai pada penafsiran dan kontekstualisasi visi misi.

Tahapan di bawahnya adalah management by structure. Pada tahapan ini  yang dilakukan PMII adalah mencari kader yang sesuai atau dianggap mampu mengerjakan atau menjadi motor penggerak PMII.

Tahapan yang terakhir adalah management by behavior, yakni  mencari kader yang mau untuk mendorong berbagai agenda gerakan, tidak lagi meletakkan kapasitas kader.

PMII dapat memulainya dari tahapan kedua, yakni management by structure. PMII harus memulainya dari PB sebagai pilot project, kemudian di PKC, PC, dan organ paling bawah.  Pada tahapan proses selanjutkan PMII akan mencapai puncak manajemen yang khas, berkelanjutan,  yang ditandai kemandirian dan profesionalisme PMII. Kemandirian bukan dalam pengertian sempit seperti keuangan (yang bahkan masih jauh di PMII), namun dalam pengertian pergerakan, yang mencakup seluruh elemen organisasi pergerakan. Puncaknya ditandai oleh terwujudnya kondisi real di mana organisasi benar-benar bergerak dengan tumpuan ideology dan visi yang solid, kuat, serta proses-proses organisasi yang jelas, programatik, terukur, sesuai dengan kultur dan keagamaan PMII. PMII digerakkan oleh kader yang sudah focus dan konsentrasi pada upaya pencapaian visi dan misi, tidak lagi diserimpeti oleh persoalan manjerial organisasional, keuangan, atau soal ma’isyah.

Penutup
Praksis implementatif dari semua agenda di atas terdiri dari empat tahapan. Pertama, konsolidasi kepengurusan. Pencarian akan kader-kader  terbaik  menjadi kuncinya. Kedua, konsolidasi gagasan. Bagaimana desain besar kepengurusan ini menjadi kesadaran gerak semua kepengurusan. Ketiga, konsolidasi organisasi. Bagaimana menjadikan organisasi sebagai mekanisme efektif untuk mendorong agenda gerakan, mencptakan supporting system yang memadahi, mulai membangun social trust. Kelima, konsolidasi  gerakan. Bagaimana mengimplementasikan teori dan nilai gerak serta mengawal agenda gerakan.  Selamat berjuang. Wallohu a'lam…

Lahir di  kampung Mlangi. Sebuah kampung yang dikenal sebagai aceh mini di Jogjakarta. Dikenal demikian karena dalam satu kampung terdapat lebih dari 15 pesantren. Seperti pesantren lainnya, Mlangi dikenal sebagai pusat gerak, perjuangan, pusat pengetahuan, yang memiliki tradisi cukup panjang. Pangeran Diponegoro pernah menjadikan Mlangi sebagai salah satu mata rantau perang gerilyanya, dan basis pengkaderannya. Dalam geneologi intelektual pesantren hampir semua kyai besar di jateng, diy, dan sebagian jatim berasal dari anak cucu pendiri Mlangi, MBah Kyai Nur Iman.

Hidup dalam atmosfer kampung pesantren membentuk pola pikir, karakter, ideology. Sembari mengaji, juga "nyambi" meneruskan pendidikan formal. Berturut-turut, TK Masyithah, SDN Tuguran, SMPN 15, SMA Islam I, dan Fakultas Filsafat UGM Jurusan Filsafat Barat dijalani. Sempat empat semester memperdalam tatbiqut-tarjamah bahasa Arab di IAIN Sunan Kalijaga.

Pengalaman organisasi dijalani sejak masa SMA. Dimulai menjadi ketua Ikatan Santri Mlangi Nahdlatul Ulama (sebuah organisasi yang menghimpun santri-santri pribumi Mlangi), ketua dept Pers Osis (yang sempat menerbitkan beberapa edisi majalah sekolah). Menginjak kuliah, proses dan pergulatan berorganisasi terus berlanjut. Dimulai menjadi anggota PMII, kemudian menjadi ketua PMII UGM (98-99), ketua PMII Sleman (2000-2001). Di lingkungan NU, pernah aktif di Ikatan Pelajar NU mulai dari anak cabang, propinsi, sampai Pusat dan membidangi  bidang pengkaderan. Terakhir ikut membidani dan mengawal Jurnal pergerakan TRADEM.

Di organ ekstra pernah menjadi sekjend senat mahasiswa fakultas filsafat UGM, jurnalis majalah mahasiswa UGM Balairung, dan Ketua Dept Suksesi BEM UGM, ikut menggagas kepemerintahan mahasiswa dan menyelenggarakan pemilu raya untuk pertama kalinya di universitas pasca NKK/BKK.

Selama menjadi aktifis diundang untuk berbagai pelatihan dan kaderisasi gerakan mahasiswa di Jogjakarta, Jatim, Jateng, Sumatera. Menjadi pemateri di jenjang-jenjang kaderisasi PMII di nyaris semua daerah Jatim, Jateng, DIJ, dan beberapa luar jawa seperti Lampung, Riau, Batam, dan lainnya. Juga menjadi pembicara seminar baik local maupun nasional di berbagai universitas, LSM, organisasi pemuda dan masyarakat, di berbagai daerah. Seperti di UGM, Unair, Unesa, ITS, UNS, Undip, Unes, Unsoed, UI, dan berbagai stain dan iain.


Menulis di berbagai Koran local, majalah, jurnal, local, maupun nasional, menjadi kontributor beberapa buku seperti "Soslialisme Religius, Jalan Keempat?" dan ikut menyusun buku kaderisasi PB PMII  dan PP IPNU.  Menulis pengantar dan menerjemahkan buku Silent Take Over, Global Capitalism and the Death of Democracy (Perampok Negara, Kuasa Modal Global dan Matinya Demokrasi, Alenia, Jogja, April 2005).




Stay the same…
By Joey Mcintyre

Don’t u ever  wish…. U were someone else
U were meant to be…the way U are exactly
Don’t u ever say…. U don’t like the way U are
When u learn to Love yourself… U are bette off by far
And I hope U are always stay the same…
"coz…there is nothing 'bout U I would change


I think that U Could be… Whatever U wanted  to be
If U colud  Realize…all the dreams U have inside
Don’t be Afraid…If U ve'got soething to say
Just open your heart and let me show U the way

Believing in Yourself…please stand inside
The love U by who 'll set u free
Believing in yourself…U were come alive
Having the faith U do…U make it through..



Labels: | edit post
0 Responses

Post a Comment