It is time to Change, my
friends….
Kembali ke Organ Pergerakan Sejati
Persatuan Pergerakan
dengan Minimum Program
Man sanna sunnatan hasanatan, falahu ajruha, wa ajruman amila biha
ila yaumil qiyamah, al-hadits.
Kader pergerakan yang mampu
secara kreatif menerobos kebuntuan-kebuntuan pergerakan, memandu, dan membangun
orientasi perjuangan, maka baginya pahala kebaikan kepeloporan tersebut, dan
pahala dari kader pergerakan yang terinpsirasi dan memakai kepeloporan dan
panduannya, sampai hari kiamat.
Awalan
Pergerakan mahasiswa Islam Indonesia. Mendengar istilah ini
imajinasi kita serta merta dibawa dalam panggung pergulatan sosial panjang nan
berkelok dan berdarah-darah. Wajah sosiologis dan mediatiknya plural. Begitu
juga tafsir sejarah atasnya. Baik yang datang dari outsider maupun insider.
Tulisan komunitas lain tentang PMII, atau buku seputar peran kesejarahan
terbitan PB PMII, atau buku "PMII di Persimpangan Jalan," hanya
sebagian kecil contoh sesat piker tentang organ pergerakan kita. Pujian, kritik,
distorsi, sinisme silih berganti menghampiri dan menyorotinya. Tiarap tanpa
denyut nafas sosial, ledakan gerak transformasional, lontaran gagasan alternatif
dan radikal, seringkali mewarnai kanvas kesejarahannya.
Tidak heran jika arsitektur sejarah Indonesia pun penuh dengan guratan
jejak langkahnya, yang, subhanalloh, mematrikan gagasan dan perubahan
yang terus berdialektika hingga kini. Meskipun pada saat lain, kita melihat,
dari rahim organ ini lahir berbagai corak gerakan kontroversial seperti terobosan
kawin kontrak di lokalisasi, yang menggelisahkan, dan memuakkan.
Apapun, jelas, sejarah sosial negeri ini tidak dapat dilepaskan
dari keberadaan pergerakan ini. Seorang antropolog Jepang dengan berani
mengatakan, membaca sejarah Indonesia
sama artinya menyimak lembaran panjang perlawanan berabad-abad kaum santri,
perlawanan terhadap kelaliman kolonialisme dan imperialisme. Yang dimaksud
dengan kaum santri tiada lain adalah leluhur kita, yang tidak ternoda oleh
pengkhianatan terhadap penjajah, yang dengan heroisme luar biasa berjuang demi
tegaknya kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan karakter kebudayaan yang
khas. Mereka, para leluhur kita, yang melahirkan kita, yang sekarang
melanjutkan paralelisme peran sejarah lewat organ yang disebut dengan PMII.
Contoh sesat pikir di atas, jika dilihat dari perspektif
kesejaraharan. Setiap kaderisasi, hampir semua buku tentang sejarah PMII yang
ditulis sendiri pun, memaknai kelahirannya tahun 1964. Pemahaman ini ahistoris dan mitologis. Dampak dari pemahaman
ini sebagian kader PMII tidak memiliki kebanggaan sejarah, gagal menjadikan
sejarah sebagai pijakan idoelogis dan orientasi perjuangan. Sebab hanya
memahami PMII sebagai sintesa pertarungan internal di tubuh organ lain.
Simplistic dan distortif. PMII sesungguhnya telah lahir bahkan sebelum kata Indonesia
ditemukan. PMII harus dimaknai lahir
akhir abad 14. Tepatnya ketika
putra Raden Fattah, Adipati Unus, me-launching perlawanan pertama
terhadap kolonialisme Portugis tahun 1512. Pergerakan dan perlawanan berikutnya
selalu lahir dari masyarakat yang merupakan leluhur kita. Pemahaman tahun 1964
harus dimaknai sebagai proses pelembagaann nilai dasar perjuangan yang sudah
mendarah daging dalam konteks organisasi modern.
Perjalanan sejarahnya melintasi ruang dan waktu. Berproses secara
dialektik dalam sekian rezim dan formasi sosial yang terus berganti. Dinamika
internal, arus perubahan sosial eksternal, konteks sosial dan kulturalnya yang indigenous,
berpadu, dan berdialektika, memahat wajahnya. Dalam dialektika nan panjang
tersebut, kita menyaksikan munculnya generasi-generasi yang kreatif, kritis, transformatif,
yang mampu mendobrak kebekuan pergerakan dan menjawab tantangan obyektif
kondisi eksternal. Generasi ini ada yang "min quraisyin," ada berasal
dari anak petani dan buruh, ada juga yang berasal dari masyarakat biasa-biasa
saja. Kadang individual, kadang kolektif.
Kadang ada yang bergerak dalam struktur kelembagaan, sekali waktu datang
dari komunitas kulturalnya. Ada yang berasal
dari mereka yang sudah memahami anatomi struktural
medan penuh pencak siasat (Jakarta),
namun tidak kurang banyaknya yang berasal dari daerah pelosok yang mampu
menertawakan Jakarta
sebagai pusat siasat tersebut.
Demikianlah. Zaman berputar, menguji, dan merekam dinamika
tersebut. Ada yang menguap begitu saja dari
sejarah, ada yang terus berdialektika, bahkan tidak jarang yang dampak
sosialnya melampaui batas-batas kelembagaan dan basis massa tradisional PMII. Darah dan air mata,
onak dan duri, cerita tentang indahnya kolektifitas dan solidaritas, heroisme
dan ketulusan serta keikhlasan, berpadu menjadi satu meramu tampilan
sejarahnya. Harus diakui juga, oportunisme, intrik mengintrik, childish
leftism, bahkan pengkhiatan, juga ikut mewarnainya.
Dengan bismillah, ala hadzihin niyyah, wakulli niyyathin
sholihah, dengan segala pengakuan atas keterbatasan dan sumbangsih semua
sahabat yang amat signifikan, risalah ini ditulis untuk tujuan membangunkan
PMII dari "tidur dogmatisnya" yang panjang. Risalah ini merupakan
ikhtiar sederhana meracik paradigma perjuangan sosial PMII ke depan, agar lebih
sistematik, programatik, dan transformasional. Sejarah panjang perjuangan di
atas harus direbut, dimaknai ulang, dan dijadikan pijakan dalam mengayuh perahu
PMII di era globalisasi. Belum terlambat mengembalikan kembali PMII ke
orbitnya, ke garis perjuangannya, khitthah-nya, sebagai kekuatan sejarah
yang berpijak pada prinsip dan nilai dasar tertentu serta setia pada proses.
Risalah ini lahir oleh dorongan eksternal dan internal. Secara
internal, risalah ini mencoba memotret berbagai kegelisahan pergerakan yang
merata di kesadaran kader, tentang berbagai kebuntuan gerakan PMII, dan meresponnya
secara kreatif, programatik, sistematik, dan profesional. Sebagai organ gerakan
dengan basis dan jaringan terbesar di Indonesia, bahkan di jagad raya, daya
dorong dan performance-nya nampak masih jauh di bawah kapasitas
kelembagaan semestinyanya. Bahkan, yang memprihatinkan, nampak muncul semacam
"keretakan espitemologis" (disorientasi gerak) dalam menghadapi perubahan
yang cepat dan kompleks. Berbagai momentum internasional, nasional, dan lokal, yang
bukan hanya gagal direbut, namun bahkan gagal dipahami, menunjukkan
"kebangkrutan" historis aras gerak PMII.
Secara ekstrenal, pergeseran sosial di level global dan nasional
secara niscaya membutuhkan jawaban baru. Membutuhkan perspektif baru yang
responsif, dan formasi kelembagaan baru yang fleksibel dan mobile. Tanpa
reparadigmatisasi ini PMII terancam menjadi zombie, mayat hidup, yang justru
menakutkan murid taman kanak-kanak. Gejala kea rah itu sudah sangat terlihat.
Energi gerak PMII lebih banyak terkuras untuk mengurus hal-hal administratif, pertarungan internal yang
tidak jelas epistemologinya, sehingga melalaikan tanggung jawab sejarah yang
sesungguhnya. Beraktifisme di PMII bukan berbasis imajinasi kolektif bahu
membahu mendorong perubahan, namun
justru bayangan untuk masuk ke partai politik, birokrasi, maupun basis
financial. Bergerak berdarah-darah sudah lama menghilang dari kesadaran kolektif
warga pergerakan. Banyak kader menjadi pengasong, pengecer sio may, yang menawarkan bargain dirinya,
untuk dirinya, bukan menghimpun potensi kekuatan pergerakan, menyatukan,
mengkonsolidir, dan mengarahkannya. Hubungan organisatoris secara hierarkhis, antar-lembaga
di PMII pun berjalan tanpa komunikasi, tanpa koordinasi, tanpa kesatuan gerak (ittihadul-harakah). Persekawanan cultural pun bahkan lumpuh
oleh sesuatu yang tidak jelas epistemologinya.
Demikianlah, risalah ini mencoba menjadi salah satu bagian yang
merefleksikan kegelisahan, ikhtiar, sekaligus impian-impian kita tentang masa
depan PMII. Berpijak di bumi, berdikari, risalah ini mencoba menguak angkasa
dan sang kala, mengibarkan bendera PMII, dan menariknya untuk kembali pada
garis perjuangan yang sebenarnya. Mitologi yang berkembang bahwa ketulusan,
keikhlasan, keujujuran, kolektifitas, berbaur dan berproses bersama masyarakat,
adalah nilai-nilai kuno yang tidak applicable di belantara kekuasaan,
harus dihancurkan. Kurang apa kerasnya kekuasaan politik dan uang zaman rasul
saw, junjungan kita, dengan hati dan keteguhan prinsip, peradaban agung pun
berdiri tegak di muka bumi. Sayyidina Husain rela membangun oposisi kritis
hingga meregang nyawa terpenggal daripada tunduk menjilat pada kekuasaan korup.
Satu per satu, kini, mereka telah pergi, meninggalkan kita. Namun semangat,
roh, zeitgeist, teladan perjuangan mereka masih terngiang di depan mata.
Siapa lagi penerus perjuangan mereka, jika bukan kita? Adipati Unus telah
memulainya.
Untuk sampai ke sana,
risalah ini akan melayari berbagai simpul-simpul sejarah penting. Simpul
pertama adalah apa yang disebut dengan era globalisasi. Formasi globalisasi
neoliberal akan menghadirkan tantangan-tantangan pergerakan yang sesungguhnya.
Banyak orang bicara tentang globalisasi, mulai dari penjual warteg, akademisi,
aktifis sosial, hingga guru ngaji.
Optik yang dipakai melahirkan konsekuensi logis tentang pemahaman globalisasi
yang beraneka. Artinya, globalisasi bukanlah berwajah tunggal.
Multidimensional. Memahami semua aspek dan pendapat para ahli menjadi penting, agar tidak
terjebak kacamata kuda. Yang dibaca adalah ide, kekuatan-kekuatan sosial,
politik, gagasan, dan ekonomi, yang menjadi motor penggerak globalisasi,
mekanisme kelembagaan, modus operasional, dan dampak-dampaknya baik dalam level
politik, ekonomi, sosial, pendidikan, maupun keagamaan.
Simpul di atas disintesakan dengan realitas kesejarahan internal
PMII. Realitas ini merupakan sintesa padu antara sejarah sebagai realitas
obyektif dalam dirinya, dan subyekifitas kesadaran yang menjadikannya sebagai medan makna pergerakan.
Upaya ini dilakukan untuk membangun kembali basis sejarah perjuangan yang mulai
hilang, yang berimplikasi pada pijakan ideologis yang kabur, sekaligus
melakukan kritik sejarah.
Setelah menelusuri dua simpul di atas yang menghadirkan
arisitektur problem sosial kontemporer dan trend ke depan serta
pemahaman terhadap sejarah panjang bangsa ini, sembari menelisik lebih lanjut
karakter gerakan yang khas PMII agar warga
pergerakan "arofa nafsahu…," kini mulai terlihat cahaya di ujung
garis depan paradigma gerakan PMII yang pas dan cocok, yang mampu menjawab
problematic internal dan berbagai tantangan social eksternal. Pergerakan tanpa basis pemahaman yang memadahi
tentang sejarah, tentang tantangan-tantangan sosial, hanya akan melahirkan
gerakan tanpa karakter, reaksioner, tanpa arah, dan akhirnya malah menjadi bagian dari mata rantai
persoalan masyarakat.
Setelah menjumpai sejarah, menghampiri tantangan global, nasional
dan lokal, merumuskan paradigma gerakan, yang tidak kalah pentingnya adalah
bicara soal instrumen, yakni organisasi. Paradigma sekuat apapun tanpa dukungan
supporting system akan kandas di tengah jalan. Struktur organisasi, sistem
kaderisasi, kepemimpinan, manajemen, fund-rising, jaringan, merupakan
bagian dari supporting system yang harus dimiliki oleh PMII. Tantangan
di sini hanya satu, bagaimana memadukan kekuatan organisasi yang pengelolaannya
berbasis kultural yang selama ini ada di PMII, dengan pola berorganisasi
berpola manajemen sistemik, yang rapi, terukur, dan terarah. Bagaimana
mentransformasikan modal sosial dan kultural tradisi dalam konteks kelembagaan
organisasi sistemik menjadi amat penting.
Memahami Logika Global Design, Local Histories
Orang besar Bangsa ini adalah orang yang berpegang teguh pada
pinsip dan setia pada proses. Tan Malaka, Madilog: 86.
Pada akhir abad ke-19, Eropa dan Amerika Serikat (AS) memperluas tanggung
jawab mereka bukan hanya menjaga ketertiban internal dan eksternal, namun juga
melakukan intervensi sosial untuk mendekonstruksi "ketidakadilan sosial".
Intervensi negara ini kian menguat seiring merosotnya perekonomian dunia
sebagai dampak perang dunia I, yang menghancurkan saham wall street, dan
meledaknya angka pengangguran.
Menjawab tantangan tersebut, sekaligus untuk membendung komunisme
yang menawarkan berbagai subsidi sosial, Eropa dan AS menyusun sistem dan
jaminan kesejahteraan sosial. Program redistribusi kekayaan, penyediaan
fasilitas minimum, subsidi pendidikan, kesehatan, perumahan, dan perawatan
pribadi diluncurkan. Inilah periode ketika negara memainkan peran penting dalam
mewujudkan kesejahteraan pasca-perang dan aktor akumulasi modal dalam
perekonomian. Hal ini ditandai dengan kesepakatan Bretton Woods tahun 1944 yang
menerapkan regulasi ketat terhadap pasar, kebijakan Keynesian yang menggusur
liberalisme klasik. Keynes meyakini pemerintah harus melakukan intervensi
terhadap perekonomian untuk menciptakan kondisi full employment, sesuatu
yang secara alamiah tidak dimiliki oleh pasar. Strategi ekonomi campuran ini
(negara-swasta) ini pada kondisi saat itu cukup efektif. Model pembangunan yang
disebut dengan government-led-development ini dieskpor ke berbagai
negara berkembang. (Dalam konteks Indonesia, hal tersebut membuka
perselingkuhan antara rezim-konglomerasi-intelektual, yang menghasilkan
developmentalisme dan negara otoritarian birokratik).
Pada dekade 70 an formasi di atas mengalami pergeseran.
Kontradiksi internal kapitalisme, rivalitas yang kian sengit, dan konteks
global yang melambungkan harga minyak seiring pembentukan OPEC oleh
negara-negara Arab, melahirkan resesi, pengangguran, inflasi mencapai lebih
dari 20%, dan meluasnya dunia ketiga
yang gagal melunasi hutangnya. Gagasan intervensi pemerintah terhadap pasar
ditentang. Menurut Hayek dan Friedman, pasar memang bisa gagal dan terbukti
telah gagal, namun mereka meyakini bahwa pasar bebas mampu mengalokasikan
barang-barang dan jasa lebih efektif dibandingkan dengan negara, dan usaha
negara memerangi distorsi pasar lebih banyak madharat daripada
manfaatnya.
Di sinilah kemudian terjadi reposisi peran negara. Negara mulai
disingkirkan dalam proses-proses ekonomi. Harapan terhadap peran negara untuk
mewujudkan kesejahteraan terlalu berlebihan, sebab tujuan negara hanyalah
menyediakan kerangka yang memungkinkan rakyat mengejar tujuan-tujuan mereka. Menjamin
kesejahteraan memang tanggungjawab negara, namun bukan dengan membebaninya
sebagai salah satu aktor dalam kompetisi pasar guna menyediakan kesejahteraan
bagi publik. Inilah pokok pemikiran aliran kanan baru, yang sering disebut
ekonomi Thatcherisme atau reaganisme.
Neoliberalisme dipraktekkan pertama kalinya oleh PM Margareth
Thatcher di Inggris, dengan menghapus
kewajiban negara memikul tanggung jawab terhadap rakyat yang tidak produktif,
meminggirkan komitmen pemerintah mewujudkan full employment, memangkas
secara radikal subsidi-subsidi sosial, dan sebagai gantinya pemerintahan ini
lebih mementingkan pelayanan terhadap swasta, melakukan pemotongan pajak,
menjalankan program privatisasi/swastanisasi dan liberalisasi, menghilangkan
pengawasan terhadap penyiaran, telekomunkasi, transportasi dan perikanan,
membabat habis seluruh serikat buruh seraya menyalahkannya sebagai penyebab
rendahnya kinerja industri Inggris.
Amerika di bawah Ronald Reagan juga melakukan hal yang sama.
Argumen yang dibangun adalah jika si
kaya mendapat insentif seperti pajak rendah, mereka akan lebih giat
berwiraswasta dan pada gilirannya akan menciptakan pertumbuhan dan pekerjaan,
jika industri diserahkan ke swasta maka akan lebih efisien dan akan menciptakan banyak lapangan
pekerjaan sehingga akan menekan pengeluaran pemerintahan untuk pembayaran
tunjangan pemerintah. Dengan bekal teori
seperti itu, maka Reagan melakukan deregulasi ekonomi yang sudah dirintis
carter tahun 1970-an. Kontrol atas harga minyak dicabut, aturan transportasi
kereta api, industri minyak dan gas, penyiaran, diperlonggar. Sebagaimana
thatcher, Reagan membelenggu kekuatan serikat buruh.
Setelah dikonsolidasikan di dua rezim tersebut, neoliberalisme
segera di(meny)sebar ke hampir seluruh dunia, meliputi Amerika Latin, Asia
Timur, India, hingga hampir semua negara Afrika. Negara-negara yang memulainya adalah
negara-negara dominion Inggris seperti Australia pada era Paul Keating.
kemudian diikuti Kanada, New zealand, Cile, Argentina, Brasil, Jerman, Italia, Perancis, hingga Zambia dan
Tanzania.
Kekuatan neoliberalisme yang maha syahwat ini hingga berhasil
mentransformasikan platform parta-partai politik yang cenderung kiri menjadi
kanan seperti pemerintahan Tony Blair dari Inggris, Schroder dari Jerman,
Lionel Jospin dari Perancis, yang semuanya berasal dari Partai Buruh.
Dampak dari penerapan neoliberalisme terdapat segelintir negara
mengalami kemajuan ekonomi yang fantastis. Di Inggris, penduduk yang memiliki
tempat tinggal sendiri melonjak dari sekitar separo pada tahun 1980 menjadi
sekitar dua pertiga pada akhir kepemimpinan Thatcher, penjualan TV, CD, AC, dan
mobil melonjak drastis, setiap empat dari lima rumah memiliki video recorder,
43% rumah tangga Inggris memiliki
komputer. Selandia Baru mengalami tingkat pertumbuhan rata-rata empat persen pertahun sejak 1992
dan mampu mencapai angka pengangguran hanya 6%. Australia menikmati satu tingkat
lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan negara-negara maju. Cile mengalami pertumbuhan
rata-rata 7% pertahun selama satu dekade
mulai dari 1988-1998 (Noreena Hertz, 2005) .
Namun, seperti adagium masyarakat bisnis, there is no free
lunch. Lantas apa yang harus dibayar untuk semua itu? Mari kita lihat dalam
konteks keindonesiaan. Fenomena apa yang
harus dibayar di atas terasa sangat mudah diraba dalam konteks Indonesia. Inilah
yang menjadi arus gerak dan gerak structural sejarah local. Sejak reformasi
yang membuka kran kebebasan politik konsolidasi neoliberalisme begitu massif
dan cepat di Indonesia.
Percepatannya melebihi konsolidasi koalisi sipil demokratik di Indonesia sehingga pelembagaan
politik yang terjadi pasca-dekonstruksi Orba bukan bercorak transformasi
demokratik, namun neoliberalisasi ekonomi politik. Jejak-jejak neoliberal
tersebut dapat dilacak dalam semua dataran: politik, ekonomi, hukum,
pendidikan, hingga kebudayaan.
Dalam wilayah politik penguatan demokrasi liberal-demokrasi
prosedural- di dukung oleh berbagai lembaga funding yang berperan dalam proses
pemilihan umum. Pengawasan pemilihan umum tidak bertujuan memastikan
keterwakilan masyarakat, namun agar tidak terjadi pelanggaran teknis yang dapat
menyebabkan krisis legimitasi formal, yang dapat menciptakan instabilitas
sosial politik (yang dihindari dunia bisnis).
Peran negara ditelanjangi dan digantikan dengan lembaga-lembaga
supranegara. Matilah Negara sebagai actor yang bertanggung jawab atas
terwujudnya keadilan social di negeri ini. Bahkan, telah menjadi kaki tangan kekuatan
neoimperialis.
Dalam dunia ekonomi ditandai oleh proses privatisasi massif.
Begitu privatisasi dibuka dengan sekejap terjadi perampokan besar-besaran
terhadap aset negara. Untuk menyebut contoh aset negara yang sekarang sudah
dikuasasi pemodal asing adalah BRI, BNI, PT Adhi Karya, PT Pembangunan Perumahan, PT Perusahaan Gas
Negara, PT Asuransi Kredit Indonesia, PT Kawasan Berikat Nusantara, PT Pulo
Gadung Kumpus Negara, Telkomsel, Bank Mandiri, PT Danareksa, PT Angkasa Pura,
PT Kimia Farma, PT Indosement, PT Jakarta Internasional, PT Semen Gresik, PT
Wisma Nusantara, PT Intirub, PT Atmindo,
PT Iglas, PT Kertas Padalarang, PT
Kertas Basuki rahmat, PT Angkasa Pura II. Privatisasi aset-aset public
service tinggal menunggu eksekusi, seperti privatisasi rumah sakit,
privatisasi Perguruan Tinggi (pendidikan), dan yang sungguh mengerikan adalah
rencana privatisasi barang-barang publik
hajat hidup orang banyak, seperti privatisasi air lewat UU SDA.
Selain privatisasi atau swastanisasi, juga secara agresif
mendorong deregulasi dan liberalisasi perdagangan. Menurut Bonnie Setiawan
(2003: 85-104), melalui organisasi perdagangan multilateral (WTO),
kapitalisme global hendak menjangkau bidang perdagangan dagang; jasa; dan HAKI.
Dampaknya, menurutnya, aling tidak empat hal. Pertama, dampak kebijakan,
Indonesia
tidak memiliki pilihan kebijakan apapun selain liberalisasi ekonomi pasar bebas
sesuai aturan WTO. Kedua, bidang kekayaan intelektual (TRIPs). Kebijakan
di bidang ini diakomodir dalam UU No. 15/2000 tentang Paten, UU No. 29/2000
tentang varietas Tanaman, UU No. 31/2002 tentang desin industri. Ketiga,
liberalisasi sektor jasa yang luas mengancam sektor jasa dalam negeri
(pendidikan; kesehatan; sektor jasa publik seperti air; listrik; transportasi;
perbankan; pariwisata; dan lainnya). Keempat, persoalan tarif industri
yang akan mengurangi bahkan membebaskan PMA dari kewajiban membayar pajak. Hal
ini akan memukul industri nasional yang berarti terjadi proses deindustrialisasi
nasional, mematikan usaha lokal, dan hilangnya pekerjaan ribuan buruh.
Dalam konteks hukum, system
hukum yang dikembangkan, yang direformasi sebagai bagian dari letupan reformasi
lebih banyak memberikan basis legal material bagi operasi kapitalisme global
ketimbang menjadi basis rekayasa social yang berpihak pada masyarakat.
Produk-pruduk hukum yang ada lebih
merefleksikan anatomi structural kepentingan modal dan kekuasaan yang sedang
mencengkeram Indonesia
saat ini.
Dalam bidang pendidikan, medan
pergerakan dan perjuangan kita, kapitalisme pendidikan semakin tidak
terbendung. Bukan saja filsafat pendidikan yang telah dicuri oleh modal, dari
pendidikan sebagai kekuatan liberasi dan trasnformasi menjadi instrument
pembentukan nalar liberal, namun bahkan telah menjadi arena baru proses
akumulasi modal. Komersialisasi telah menjadikan komodifikasi pendidikan. Di
tengah-tengah meluasnya pemiskinan, ketidaksiapan infrastruktur dalam negeri, proses
ini memiliki dampak hancurnya nalar kritis masyarakat, neoimperialisasi melalui
gagasan, hingga terciptanya masyarakat Indonesia ke depan sebagai
masyarakat tanpa-pendidikan. Masyarakat ini, di tengah rivalitas global
berbasis pengetahuan, hanya akan terpuruk ke sector sektor informal seperti menjadi TKW atau TKI.
Demikianlah. Realitas yang sedang bekerja digerakkan oleh global
design untuk kepentingan-kepentingan neolimperialis. Kita hidup dalam sebuah
desain global yang tidak terjadi dengan sendirinya, alamiah, namun dilakukan
secara sadar melalui mekanisme dan actor-aktor yang dirancang secara sistemik. Desain
global tersebut menciptakan konstruk sejarah local yang memiliki dinamikanya
sendiri yang juga harus dipahami dengan baik.
Momotret Akar Keterpurukan Indonesia: Pendekatan historis struktural
Hanya Tuhan Narator yang
dapat bertahan, bukan tuhan hasil sublimasi ketakutan, Tan Malaka, Madilog
Membaca sejarah Indonesia
sama halnya mengeja sejarah kompleksitas. Di sana terdapat imperialisme, kolonialisme, heroisme
perjuangan, telikung-menelikung, hingga pengkhianatan. Ada sejarah lisan, ada sejarah tertulis. Ada sejarah jatuh
bangunnya kerajaan, ada sejarah pergantian kolonialisme. Ada sejarah tokoh-tokoh besar, ada sejarah
kolektif-masyarakat. Ada
yang terkait dengan localitas, ada yang terkait dengan arus gerak
internasional. Mistik dan rasionalitas sejarah juga berpadu dalam kesejarahan Indonesia.
Itulah selintas kesan begitu kita mendengar istilah sejarah Indonesia. Di
sini kita hanya akan membaca sejarah dengan unit analisis sejarah ekonomi,
sejarah politik, pengetahuan, dan budaya. Inipun secara selintas. Bacaan
sejarah ini menjadi dasar untuk merangkai kembali, atau memaknai ulang, apa
yang disebut paradigma perjuangan PMII.
Kata Indonesia
baru muncul di kalangan pergerakan tahun 1920-an. Bahkan kata ini temuan orang
asing, bukan bangsa kita. Sebelum itu Indonesia lebih tepat disebut nusantara
yang terdiri dari puluhan kerajaan yang masing-masing memiliki kedaulatan
politik. Malangnya Nusantara ini tidak identik dengan Indonesia
sekarang. Di sinilah Indonesia
mengalami keretakan sejarah. Apa yang disebut dengan Indonesia sebenarnya tidak memiliki
basis kesejarahan real kecuali semata-mata warisan jajahan Hindia-Belanda. Bukan warisan kerajaan yang pernah hidup di
bumi pertiwi ini. Hal ini disebabkan oleh dua sebab, yakni eksternal (masuknya
imperialisme dan kolonialisme) dan internal (perpecahan internal berbagai
kerajaan nusantara).
Sejarah Ekonomi
Sejarah ekonomi Indonesia
adalah sejarah penaklukan. Sejarah eksploitasi dan gerak kolonialistik. Hingga
sekarang struktur ekonomi politik kita tidak lain dari warisan struktur ekonomi
colonial. Meskipun sejarah Nusantara pernah mengalami kejayaan luar biasa. Ada dua kerajaan besar
yang dapat dijadikan acuan. Pertama, kerajaan Sriwijaya yang pernah
menguasai Malaka dan Jawa. Sriwijaya menjadi kekuatan dan cermin dari budaya
maritime yang sangat besar. Kedua, kerajaan Majapahit yang kemudian pada
tahun 1377 mampu menundukkan Sriwijaya. Kedua kerajaan besar ini pernah
menguasai beberapa wilayah, Malaysia,
Singapura, Brunai, dan beberapa daratan Asia Tenggara lainnya. Sebelum kolonialisme datang terjadi peristiwa
sejarah yang mentransformasikan Indonesia
dari Negara berbasis maritime ke Negara berbasis pedalaman atau daratan.
Munculnya kerajaan Mataram Islam, yang menghancurkan pusat-pusat kota di pesisir pantai
utara membawa pusat pemerintahan ke Jawa
Tengah bagian selatan.
Kekuatan di atas dihancurkan seiring dengan masuknya kolonialisme
dan imperialisme di Indonesia.
Tahun 1511 Portugis masuk ke Nusantara dengan mengirim ekspedisi militer
setelah dua tahun sebelumnya utusan mereka ditolak oleh Sultan Mahmud Syah di
Malaka. Malaka pun jatuh. Mereka,
tentara portugis, merupakan veteran, dan dengan demikian disemangati oleh,
perang salib.
Pada awalnya Portugis hanya melakukan kontak dagang, tidak membuka front terbuka secara politik atau
militer, sebagai strategi penetrasi, namun secara perlahan mampu menciptakan
ketergantungan ekonomi, yang kemudian dipungkasi dengan penguasaan struktur
ekonomi. Setelah menguasai Malaka, Portugis meluaskan wilayahnya ke Maluku,
Jabar, Jatim (hanya mampu menembus Pasuruan dan Blambangan), Timor,
hingga Nusatenggara. Pada fase ini secara politik "Negara-negara
nusantara" masih memiliki kadulatan politik, hanya saja struktur
ekonominya mulai diambilalih oleh kolonial. Memanfaatkan perpecahan internal
kerajaan atau ketegangan antar-kerajaan merupakan strategi yang biasa dipakai,
di samping menghancurkan kapal-kapal pedagang Islam dari Arab atau India.
Ekspansi Portugis sempat terganggu dengan hadirnya Spanyol tahun
1521 di Maluku. Dua kapal ekspedisi
spanyol yang datang dari Filipina dan Kalimantan Utara melaju menuju Tidore,
Bacan, dan Jailolo. Terjadilah persaingan antara Portugis dan spanyol. Karena
kalah kekuatan militernya, Spanyol hanya dapat bertahan hingga tahun 1534.
Setelah merdeka dari Spanyol (1581), Belanda mulai masuk dalam
struktur ekonomi dan politik nasional. Tepatnya tanggal 23 Juni 1595, empat
buah kapal pimpinan cornelis de Houtman tiba di Banten. Tahun 1598 Belanda
untuk kedua kalinya mengirimkan 22 kapal ke Banten, dan setahun kemudian
berhasil berdagang di Tuban dan daerah Maluku (Banda, Ambon, dan Ternate). Pertarungan pun mulai terjadi. Setahun berikutnya (1600) Portugis membangun
basis ekonomi di Jepara dan Timor. Dua tahun
kemudian VOC didirikan, sebagai instrument untuk monopoli perdagangan
rempah-rempah. Pertarungan mulai mengeras, tahun 1619 Belanda membakar kota Jepara dan pusat
dagang Inggris di jepara. Pada tahun 1641 VOC berhasil merebut Malaka dari
Portugis. VOC memperluas ekspansi,
membakar dan mendirikan pos di Palembang
tahun 1659. Belanda secara perlahan
mulai menjadi penguasa ekonomi nasional menggeser Portugis. Tanam paksa dan liberalisasi ekonomi yang
mendorong penghisapan bukan hanya oleh
Belanda tapi juga swasta Belanda, menjadi icon penjajahan ekonomi ini.
Sejarah Politik
Dominasi dan hegemoni ekonomi Belanda, sebagaimana Portugis,
mendapatkan perlawanan dari rakyat.
Namun karena berbagai sebab banyak perlawanan patah di tengah jalan. Maka,
secara perlahan kemudian struktur politik pun dikuasai. Kerajaan-kerajaan yang
melakukan perlawanan mulai ditaklukkan. Jayakarta direbut oleh VOC dalam perang
tahun 1618-1619 dari Pangeran Wiyakrama.
Maluku Jatuh (1675). Banten Jatuh
(1682). Kalimantan (gowa dan Banjar) jatuh
(1667). Perlawanan Kaum Sultan Ageng Tirtayasa, Padri, Diponegoro juga dapat
dipatahkan, begitu juga dengan perlawanan di Sulawesi Selatan (1907),
Kalimantan Selatan (1905), Bali (1909), Aceh, Kerajaan Mataram berhasil dipecah
menjadi Surakarta dan Yogyakarta, serta masing-masing terdapat "Negara
dalam Negara" yakni Mangkunegaran dan Pakualaman. Jadilah Hindia-Belanda
yang kini disebut dengan Indonesia.
Sejarah Pengetahuan
Sebelum struktur politik digenggam Belanda secara total, struktur
pengetahuan juga mulai dihegemoni. Politik etis menandai, dalam kacamata
postcolonial, penaklukan medan simbolik dan
basis epistemiologis bangsa Indonesia.
Lembaga-lembaga pendidikan pribumi seperti pesantren secara perlahan dipinggirkan
dan dihancurkan. Rakyat kecil dan miskin dijadikan kelas ketiga sehingga tidak
mungkin menikmati sekolah yang menyebabkan mereka terhenti dalam mobilitas
social.
Sejarah Budaya
Menyertai proses panjang tersebut, nalar, rasio, dan struktur
kesadaran masyarakat dibentuk oleh apa yang disebut dengan feodalisme Jawa.
Feodalisme ini dimotori oleh kerajaan-kerajaan yang melahirkan hierarki social
dan kultur feudal. Suatu kultur yang membangun logika masyarakat atas dasar
tuan-hamba, priyayi-kawulo alit/wong cilik, pemerintah-rakyat, yang secara
sistematik menghasilkan budaya antikritik di kalangan penguasa dan hancurnya
nalar kritis di masyarakat.
Pembongkaran premature
Seringkali satu-satunya perbedaan antara menang dan kalah adalah
momentum, John Maxwell, 2002: 311
Kemerdekaan Indonesia
mampu membongkar struktur politik kolonial, namun belum tiga struktur lainnya,
yakni ekonomi, pengetahuan, dan budaya. Baru decade 50-an, setelah ada
pengakuan luas internasional terhadap kemerdekaan Indonesia tahun 49, struktur ekonomi dapat diambil alih melalui
kebijakan nasionalisasi Soekarno. Hanya saja, yang dapat direbut tersebut
sebatas struktur ekonomi yang dikuasai
colonial. Kelas-kelas social yang ada, yang terbentuk secara histories dan
diperkuat dengan kebijakan Belanda, tetap tidak berubah. Mayoritas masyarakat
tetap hidup dalam kerangka structural yang sama, pergeserannya hanya terjadi
tingkatan Negara.
Formasi tersebut tidak berjalan lama sebab terpatahkan kembali
dengan naiknya Orba. Naiknya Orba pada dasarnya mengembalikan kembali struktur
colonial secara tuntas dengan kebijakan liberalisasi ekonomi. Dimulailah fase
neoimperialisme. Praktis watak structural Indonesia dibangun atas dominasi
kelas borjuasi asing dan elite nasional terhadap struktur politik, ekonomi, dan
pengetahuan. Orba dengan depolitisasi, deideologisasi, dan developmentalisme,
menghancurkan kembali untuk kesekian kalinya Indonesia. Krisis ekonomi tahun
1997 menuntaskan dan menyempurnakan penguasaan tersebut melalui pelembagaan neoliberalisme di Indonesia.
Hasilnya? KKN merajalela, hukum
dipermainkan, lingkungan rusak, pendidikan kian mahal, dan kemiskinan pun
semakin meluas. Menurut Kwik Kian Gie, jumlah masyarakat Indonesia yang hidup
dengan uang Rp 1250 perhari berjumlah sekitar 30 juta (Jawapos, 18 Agustus
2004). Jika menggunakan standar Bank Dunia, yakni mereka yang hidup dengan
kurang dari 2 dolar perhari, jumlahnya mencapai sekitar 110 juta atau 55% dari seluruh jumlah penduduk!
Refleksi Kritis ke-pmii-an:
komunitas PMII memandang dirinya
Pemimpin sejati melihat segalanya, namun focus hanya pada hal-hal
penting, JC Maxwell, 2002:336
Isu
|
Problem
|
Daya Dorong PMII
|
·
gagap dalam memahami dan merespons
berbagai perkembangan global dan nasional.
·
gagal menjadikan dirinya sebagai aktor
strategis dalam mendorong perubahan transformatif di Indonesia
·
terjebak dengan rutinitas seremonial
seperti rapat kerja, pelantikan, atau peringatan berbagai momen sejarah yang
sudah membatu (petrified)
·
gagal merebut berbagai peluang
internasional baik yang dibuka oleh aktor-aktor yang dekat secara kultural,
maupun yang tercipta sebagai dampak dinamika relasi kekuatan-kekuatan Negara
maju.
·
gagal menjadi konsolidator kekuatan
pro-perubahan bahkan untuk lingkaran internalnya.
·
tidak cukup serius memfasilitasi
pengembangan diri kader basis
|
Ideologi
|
Ideologi adalah seperangkat nilai dasar abstrak yang menjadi
perangkat kritik moral, bukan kritik sosial.
·
Ideologi PMII belum menjadi basis kesadaran gerak, belum menjadi
kerangka aksi, namun sebatas retorika dalam pelatihan.
·
Pemahaman ideologi tidak sama, tidak
merata, berbeda, antara level kepemimpinan dan level basis.
·
Ideologi belum menjadi kerangka
operasional organisasi.
·
Ideologi belum dirumuskan dengan
jelas yang memiliki relevansi sosial dan intelektual baik dalam dataran
ekonomi, politik, maupun sosial kebudayaan.
|
Kepe-mimpinan
|
·
Tidak visioner: gagal memberi arahan
yang jelas berkaitan dengan berbagai perubahan dalam konteks global dan
nasional.
·
Tidak memiliki inisiasi kreatif
dalam menerobos kebuntuan-kebuntuan gerakan.
·
Tidak menggunakan pendekatan
strategis, analisis obyektif, sistematik,
dalam menyelesaikan masalah, namun dengan metode yang singkat,
reaksioner.
·
Kepemimpinan lebih menjadi
penghambat kemajuan organisasi ketimbang menampilkan kinerja yang handal dan
transformasional.
·
Sudah ada mekanisme koordinasi dan
konsolidasi, namun belum sepenuhnya transparan dan periodik (taat pada aturan
yg dibuat bersama).
|
Struktur organisasi
|
·
Struktur yang ada tidak
merefleksikan kebutuhan obyektif dan kapasitas internal.
·
Struktur yang ada lebih merupakan
akomodasi politik ketimbang akomodasi wilayah profesional.
|
Sumber Daya Kader
|
·
Secara umum kualitas dan kapasitas
kader lemah
·
Sebagian besar berbasis Islamic studies
·
Belum mampu melampaui basis massa tradisionalnya
·
Belum memiliki konsep need assesment dan rencana
pengembangan yang jelas.
·
PMII cenderung tidak memberikan
prioritas penting dalam pemberdayaan kader.
|
Basis Finansial
|
·
Belum memiliki divisi fundraiser yang profesional
·
Telah memiliki sistem penganggaran
yang jelas sebagai organisasi sosial.
·
Belum memiliki mekanisme kontrol dan
pengawasan keuangan internal yang jelas.
·
Belum memiliki sumber dana yang
jelas dan sustainable
|
Jaringan
|
·
Sebagian besar, hanya memiliki
jaringan politik di PKB
·
Kurang memiliki jaringan media, baik
internasional, nasional, maupun lokal
·
Kurang memiliki jaringan LSM
·
Kurang memiliki jaringan perguruan tinggi dalam dan luar negeri,
jaringan beasiswa, dan intelektual.
·
Kurang memiliki jaringan organisasi sosial baik
dalam maupun luar negeri
·
Kurang memiliki jaringan dana yang
independen
|
Unit Pendukung Teknis
|
·
Belum memiliki basis information technology yang memadai
·
Belum memiliki sistem pengarsipan
yang rapi
·
Belum memiliki data base problem-problem sosial kongkret yang memadai sebagai
dasar pengambilan kebijakan PMII
·
Belum pernah melakukan “tracer studies” kader pasca PMII
|
Image
|
·
Kurang meyakinkan
·
Tradisionalis (dalam pengertian pejorative)
·
Tidak profesional
·
Hanya dimiliki oleh orang NU
·
Hanya menjadi kendaraan politik
pengurus
·
Kontribusinya tidak jelas baik bagi
masyarakat maupun kader.
|
Desain Gerakan
Paradigma Kritis Transformatif
Demikianlah. Kita dikepung oleh sekian problem. Kita dihadapkan
realitas tantangan internasional dan keterbatasan nasional. Kita dihadapkan
lemahnya kelembagaan PMII dan minimnya kader yang militant, memiliki
teknikalitas organisasi memadahi, dan
professional. Di sinilah paradigma kritis transformative memiliki relevansi
social dan intelektual sebagai metode penafsiran sejarah dan sebagai pijakan
kerangka gerak pergerakan. Salah satu tugas pokok pergerakan adalah membangun
penjelasan sistematik atas arah gerak sejarah.
PKT percaya bahwa terdapat realitas real di luar manusia. Hanya
saja, realitas yang teramati manusia ini
merupakan realitas semu, yang
terbentuk melalui proses sejarah panjang yang melibatkan kekuatan ekonomi,
politik, dan sosial budaya. Arus gerak dan gerak sejarah yang mengkonstruk
realitas tersebut dikendalikan oleh kekuatan hegemonic dan dominatif yang
memiliki kekuatan militer, teknologi produksi, struktur pengetahuan, basis
financial, yang kuat. Karenanya, menurut PKT, tugas menyusun penjelasan sejarah
merupakan interaksi dialektis antara kader pergerakan dan medan sejarah pergerakan. Mengadvokasi buruh
meniscayakan pengalaman empiris menjadi buruh. Mengadvokasi petani meniscayakan
pengalaman empiris bergulat mencangkul
hamparan sawah. Mendorong tuntasnya transformasi demokratik meniscayakan
keberanian untuk berdarah darah memperjuangkan hak rakyat yang kian terampas
dan terhempas.
Realitas dunia saat ini, yang tampil dalam media, buku, film, dan
lainnya, adalah realitas yang semu dan kompleks. Realitas yang murokab, berlapis-lapis.
Karenanya, PKT menggunakan analisis sejarah
yang komprehensif, kontekstual, multi level analysis, yang dilakukan dengan
menempatkan PMII dan kadernya sebagai aktivis dalam proses transfrormasi
sosial.
PKT tetap menempatkan
akhlak, nilai, etika, dan moral sebagai bagian tak terpisahkan dari proses pergerakan
dan perjuangan. PKT memandang kader PMII sebagai intelektual
transformative,aktifis, dan pembela kebenaran dan masyarakat. Karenanya tujuan pokok menyusun penjelasan
sejarah bukanlah untuk penjelasan itu sendiri. Akan tetapi, sebagai perangkat
metodis untuk melakukan kritik sosial, emansipasi
social, penguatan social, dan transformasi social.
Dengan perspektif PKT di atas, kita melihat bahwa terdapat tiga
ranah yang harus menjadi pijakan pergerakan. Ranah global, ranah, nasional, dan
ranah PMII. Dalam ranah global, kaum
pergerakan harus memahami bahwa terdapat
global design yang dipaksakan oleh kekuatan dominant terhadap tata dunia
internasional. Pemahaman akan desain global
ini mencakup format desain global yang hendak dibangun, konfigurasi
actor yang terlibat, mekanisme operasional, basis legal-material, dominant
ideology yang ada, dan dampak-dampak
sosialnya. Pemahaman akan konfigurasi actor global seperti pendekatan system
dunia tidaklah cukup sebagai pijakan material pergerakan, sekaligus terlalu
menyederhanakan kompkleksitas persoalan.
Pemahaman konfigurasi global, yang juga seringkali berubah-ubah, meniscayakan
pemahaman akan operator lapangan kekuatan hegemonic tersebut seperti WTO, IMF,
WB, TNC's, PBB, dan berbagai lembaga social lainnya seperti universitas,
lembaga penelitian, lembaga donor, dan lainnya.
Dalam konteks nasional, kita menghadapi situasi politik yang
dibentuk oleh belum adanya cetak biru format tata Negara Indonesia yang pas dan
demokratik, masyarakat sipil yang tetap lemah, kebangkrutan partai-partai
politik yang gagal bahkan untuk menyelesaikan permasalahan internalnya,
menguatnya kekuatan borjuasi, lemahnya penegakan hukum, dan lainnya. Pada perkembangan terakhir, format politik
nasional kita dibongkar kembali dengan adanya UU No. 32 Tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah. Nalar undang-undang ini adalah mentransformasikan
pertanggungjawaban pemerintahan dari rakyat kepada Negara, menghancurkan
otonomi desa, melemahkan demokrasi local, dan meresentralisasi kekuasaan yang
berujung pada penguatan kembali Negara. Pertanyaannya adalah, siapa Negara
sekarang? Tidak lain kumpulan kekuatan borjuasi (fenomena Bakri, Kalla,
Soegiharto, kemenangan pengusaha dalam berbagai pertarungan partai, dan
target memenangkan 60% Golkar dalam
pilkada, dan lainnya.
Sementara itu secara internal PMII kita dihadapkan oleh realitas
gerak organisasi yang lamban, kian tidak konsolidatif, desain gerakan yang
tidak jelas, karakter gerakan yang
kabur, kader yang tidak diberdayakan, lemahnya penguatan organisasi, dan
lainnya. Tidak ada kesatuan hati, kesatuan tafsir sejarah, dan kesatuan
gerakan. Semuanya diperparah dengan lemahnya
solidaritas, kolektifitas, senasib seperjuangan. Perpecahan masyarakat yang menegara secara umum dan masyarakat
nahdliyyin secara khusus terefleksikan dalam konteks PMII. Kepemimpinan
nasional gagal memberikan arahan, perspektif, dan orientasi gerakan. Sehingga
seringkali kader-kader di bawah mengalami kegagapan dalam melihat realitas
politik dan ekonomi. Pada level lain, pada level relanis manusiawi, belum
terjalin solidaritas yang kuat, social trust yang lemah, perjumpaan
kader pergerakan yang banyak diwarnai prejudice, lemahnya aura perjuangan di wajah kader.
Setelah menyusun penjelasan histories tersebut, tibalah saatnya
kita membangun desain gerakan yang mampu menjawab kebutuhan subyektif dan
tantangan obyektif. Basis akademik desain ini adalah karena realitas adalah
berlapis-lapis, maka, dibutuhkan analisis sejarah yang multilevel, yang
berimplikasi pada multilevel-strategy. Desain geraknya, jika dilihat dalam
kisaran waktu, dibagi dua, jangka panjang dan pendek, jika dilihat dalam
dataran ruang, dibagi dalam konteks global, nasional, dan local.
Desain jangka panjang adalah bagaimana mengukuhkan diri sebagai
organisasi kader yang mampu mengisi berbagai ruang-ruang social dengan
kapasitas rivalitas global. Secara kelembagaan, PMII menjadi organisasi yang
responsive, yang mampu menjawab berbagai tantangan global dan nasional, mendorong transformasi structural, mengawal
agenda-agenda kerakyatan.
Dengan demikian, desain gerakan PMII bertumpu pada dua hal. Pertama,
sebagai organisasi kader yang mencetak kader pergerakan. Kedua, sebagai
kekuatan sosial yang mendorong transformasi sosial. pada yang pertama tugas
pokok dan utamanya adalah merebut generasi muda kampus dan mendidiknya minimal
menjadi kader basis. Pijakan desain ini adalah sosiologi pengetahuan yang
mewartakan siapa yang menguasai generasi muda kampus saat ini dalam waktu 20
tahun yang akan datang akan menguasai kelas menengah di Indonesia, yang menjadi
kekuatan signifikan sebagai penghubung antara peluang politik non-karier dengan
basis masyarakat. Sebagai organisasi yang tidak berdiri sendiri, namun juga
memiliki jejaring dengan organisasi sevisi, medan gerak utama PMII adalah lapisan
generasi muda. Bagaimana membuat orang NU merasa kehilangan jika tidak masuk
PMII, dan membuat basis massa
lain merasa rugi jika tidak masuk PMII menjadi kunci kekuatan PMII. Kemampuan
PMII menfasilitasi kader, membangun kekuatan akademik, membekali dengan
keterampilan yang relevan, mempersenjatai dengan kapasitas kepemimpinan, dan
membangun ikatan emosional dan ideologis, menjadi fungsi-fungsi pengabdiannya
terhadap basis massanya.
Kegagalan PMII bergerak menengah menjadi arus utama dalam generasi
muda akan berdampak signifikan dalam jangka panjang. Sejarah telah memberi
pelajaran ikatan berbasis kode simbolik cultural keagamaan tidak selamanya
efektif menjadi basis ikatan rajutan politik.
Jumlah masyarakat nahdhiyyin yang 40 persen hanya dapat dikonsolidir
dengan pendekatan cultural sekitar 25%, sedangkan yang 75% lebih merapat pada
ikatan ekonomi dan politik. Desain gerakan ini menjadi kata kunci apa yang
disebut dengan distribusi kader. Dengan massifnya kader, distribusi akan
terbuka dengan sendirinya. Sekaligus memperluas ruang sosial yang bukan hanya
politik namun wilayah-wilayah lainnya.
Desain ini sinergis dengan gerakan sosial PMII sebagai organisasi
sosial. Dengan melihat basis massa
yang kebanyakan miskin, yang diiringi komersialisasi pendidikan, proses
mobilitas sosial vertical melalui jalur pendidikan, menjadi terancam.
Masyarakat kita terancam menjadi pekerja kasar yang akan dipaksa bertarung
dengan pergerakan orang akibat globalisasi dari sesame Negara-negara miskin.
Pengorganisiran kampus harus dikombinasikan dengan gerakan legal advokasi
kebijakan pendidikan menuju pendidikan gratis bagi seluruh masyarakat.
Sebagai organisasi sosial kemahasiswaan, desain gerakan PMII
bertumpu pada tiga pilar. Pertama, mendorong perubahan struktural pada aras
global, nasional, dan lokal. Focus gerakan ini adalah mengkritisi dan membangun
resistensi kebijakan yang berasal dari institusi-institusi ketiga aras tersebut
yang mengancam kepentingan dharuriyyah (hak hidup, ushul-alkhoms), hajiyyah
(kesejahteraan secara utuh), tahsinnyah (dimensi seni dan kebudayaan yang
membuat "hidup jadi lebih hidup"). Berbagai kebijakan organ-organ
supra Negara seperti WTO, IMF, WB, TNC's, kebijakan superpower, kebijakan
Negara di tingkat nasional, kebijakan pemda di tingkat lokal, merupakan focus
medan gerakan ini. Penolakan terhadap UU SDA merupakan keharusan bagi
pergerakan. Namun anehnya, mencoba sedikit peduli, dengan mau mengkajinya pun,
tidak muncul di tubuh PMII, bahkan di tingkat PB. Jika diteorikan tugas PMII adalah
"mengolah kontradiksi sosial" menjadi energi perubahan.
Secara kelembagaan PMII
harus melakukan kajian empiris sesuai dengan kebutuhan objektif,
sehingga untuk suatu daerah lebih cocok diberdayakan format gerakan apa, apakah
gerakan keagaman transformatif, gerakan advokasi, gerakan kebudayaan, gerakan
intelektual dan pers, gerakan gender, gerakan politik, atau kombinasi dari
berbagai format tersebut. Konteks daerah yang berbeda meniscayakan karakter
gerakan dan format yang berbeda.
Basis pengetahuan yang harus dimiliki adalah anatomi desain global
dan "sejarah lokal." Penjelasan ringkasnya seperti ini. Pada proses liberalisasi politik menuju
demokrasi liberal yang didorong kekuatan global menggunakan mekanisme tertentu,
dengan agenda tertentu, pada dataran nasional desain global tersebut
menciptakan sejarah lokal yang disebut dengan otonomi daerah. Memahami salah
satu sisinya, misalnya sekedar memahami peta Negara core, tanpa mampu memahami
dinamika politik lokal yang, akan melahirkan gerakan yang kekurangan basis
material. Sebaliknya, bergerak di ranah lokal, memahami logika sejarah lokal,
tanpa memilikim perspektif global, akan kehilangan momentum memanfaatkan
peluang dari dinamika Negara-negara superpower.
Atau misalnya, salah satu kecenderungan bisnis global ada di
bidang kesehatan dan pariwisata dunia. Menurut Paul Zan Pilzer, dalam bukunya The
Next Trilliun, pada dasawarsa 70, bisnis digerakkan oleh microwave, tahun
80 oleh penemuan video, tahun 90 oleh computer dan internet, dan decade 2010
bisnis akan digerakkan oleh industri perawatan kesehatan. Pada decade itu akan
lahir generasi (baby boomers) yang rela membayar berapa saja untuk dapat
hidup sehat, berpenampilan metroseksual (prima), memperlambat penuaan, dan
bebas dari penyakit. Di Amerika arus
gerak financial dalam bisnis tersebut tahun 2010 memncapai 1000 milyar dollar,
atau separo lebih arus financial bidang industri mobil. Jika dihitung bisnis
itu memiliki arus pertahun 1000 milyar dollars, perhari 2,7 millar dollars, per
jam 114 juta dollar, dan permenit 1,9 juta
dollars.
Dalam perspektif peluang, bisnis ini akan menghasilkan empat
struktur pekerjaan: manufaktur (produsen); praktisi (ahli); retailer; dan
distributor. Dilihat dalam perspektif global, desain ini akan diikuti dengan
penerapan TRIPs (hak atas kekayaan intelektual) di bidang industri farmasi,
privatisasi dan swastanisasi industri farmasi dan kesehatan. Arus gerak global
ini akan menciptakan dinamika lokal pertarungan antara yang setuju dengan yang
tidak swastansiasi RSUD Jakarta, misalnya. Atau, penelitian terhadap keragaman
hayati berkedok ilmiah oleh peneliti asing atau domestic yang dibeayai, yang
berakhir pada pematenan tanaman tradisional yang secara cultural milik kolektif
masyarakat.
Dalam bisnis torisme, misalnya, dikembangkan wisata lingkungan yang
eksotik yang menjadi trend pariwisata dunia. Gerak ini menghasilkan kebijakan
lokal yang dibungkus dengan kebijakan heroic "melestarikan warisan budaya
asli" dengan mengembalikan ke
bentuk aslinya. Hal itu dilakukan oleh pemda yang diikuti proses pengambil-alihan
pengelolaan dari masyarakat ke pemerintah, kemudian ke swasta. Ujung dari semua
itu adalah komodifikasi warisan cultural dan keagamaan yang di luar kendali
pewaris sahnya: masyarakat. Pengusiran PKL dari berbagai obyek wisata seperti Borobudur atau lainnya merupakan implikasi logis dari
semua prose tersebut. Nah, gerak sosial
harus mampu mengkombinasikan konstelasi global dan anatomi politik dan kekuatan
lokal.
Pada saat yang sama mengolah kelembagaan PMII untuk merebut
momentum, memanfaatkan berbagai peluang dari proses globalisasi dan nasional. Tugas gerakan ini
adalah membangun jaringan secara internasional dan nasional secara kelembagaan
dengan terutama universitas, lembaga internasional, intelektual, NGO, dan
lainnya. Jaringan di Timur Tengah, Amerika Latin, Asia Pasifik, masih amat
lemah. Bahkan di Negara-negara besar seperti AS, Inggris, UE, yang pada keping
yang lain seringkali harus dihadapi vis a vis, masih amat lemah. Desain ini
merupakan antitesis pola pengembangan jaringan yang aneh dan menghancurkan
karakter gerak PMII seperti nge-sub ke kepentingan politik. Jika
dihitung-hitung, menjadi TS, atau dekat dengan pejabat, namun dengan pola
pendekatan yang salah, amat tidak seberapa. Paling-paling mendapat bantaun
gedung gratis. Namun ongkos sosialnya amat tinggi, gerak sosialnya menjadi
terbelenggu.
Desain kedua, bagaimana PMII menjadi konsolidator kekuatan
pro-perubahan. Di sini perannya berada pada dua level. Level eksternal dan
internal. Pada level eksternal PMII harus dapat menjadi perekat, membangun
front bersama, untuk menyatukan kekuatan masyarakat berhadapan dengan kekuatan
besar kerakusan modal dan politik kekuasaan.
Yang mendesak dan urgen adalah bagaimana PMII menjadi konsolidator
kekuatan properubahan di tubuh masyarakat nahdhiyyin. PMII sudah seharusnya
menghancurkan proses mistifikasi perpecahan bertubi-tubi di masyarakat
nahdhiyyin dengan menyebut ini memang desain dari Gus Dur, atau siapapu. Hal
ini bukan saja membodohkan, namun menghancurkan kesadaran kritis masyarakat.
Perpecahan selama ini,dan yang ada dalam sejarah, harus dipahami secara
material-dialektik, yakni tidak adanya manajer gerakan yang mampu menyatukan
potensi kekuatan cultural dan politik masyarakat nahdliyyin. Strategi
distribusi kader dengan menempatkan ke berbagai lini akan sia-sia jika pada
akhirnya "tidak nyambung" dalam mendorong kepentingan bersama. Sebaran
kader dlam pilkada, misalnya salah besar jika dimaknai sebagai strategi taktis
untuk menempatkan kader di berbagai kemungkinan politik. Epistemology yang
muncul sesungguhnya lebih merupakan kebutuhan kekuatan lain untuk membelah
basis massa NU,
yang "ketemu" dengan syahwat politik yang tidak dapat disalurkan melalui mekanisme
internal. Strategi ini tetap dapat dimainkan, sekalipun dengan resiko terbelah
untuk sementara, namun harus berangkat dari epistemology by design.
Bukankah selama ini antar alumni PMII yang berada di sekian
wilayah professional dan politik tidak pernah bisa membangun "persatuan
pergerakan dengan minimum program'? Sebaliknya, justru saling sikut dan
telikung? Hanya sedikit yang mampu
mempertahankan tahap minimalis, persekawanan cultural.
Energi kita sudah lelah, jenuh, dan habis untuk mengurusi
persoalan yang kita ciptakan sendiri. Nelangsanya, konstruksi pertarungan elite
di atas juga sebangun dengan pertarungan internal di tubuh PMII. Di mana-mana,
di PB, di rayon, di komunitas cultural, selalu terdapat faksi dan pertarungan
yang berdialektika negative sehingga tidak melahirkan energi perubahan
sebagaimana dibayangkan teori kritis. Hasilnya adalah dekonsolidasi dan
deakumulasi gerak dan organisasi. Kebangkrutan
dan hilang dari sejarah akan segera menghampiri kita apabila PMII gagal
melakukan intevensi sosial ini.
Dialektika gagasan, benturan ide, adalah justru keharusan sejarah.
Tanpa dialektik pergerakan akan mati.
Namun bukan dialektika yang saling menegasikan, yang saling
menghancurkan, yang saling menafikan, yang dibutuhkan pergerakan. Tetapi, dialektika yang semakin
kuat, semakin solid, matang, dan padu sintesanya. Di sinilah dibutuhkan
membangun Persatuan Pergerakan dengan Minimum Program. Jebakan konflik, jeratan
faksionalisasi, prasangka, dan segala macamnya memang tidak mungkin hilang, dan
memang sudah menjadi takdir sejarah. Hanya saja, dalam konteks sekarang, di
saat tantangan internasional begitu imperialistic, keterbatasan nasional
semakin meluas, dekonsolidasi masyarakat sipil dan disorientasi gerakan,
dibutuhkan kedewasaan politik, dibutuhkan usaha bersama kita untuk mendorong
"minimum program" pergerakan yang mampu melampaui segala bentuk
oposisi biner.
Untuk memerankan ini, PMII harus membangun "kewibawaan"
organ dulu. PMII harus mampu membangun citra sejarah tidak dapat dibeli, bukan
kendaraan politik personal, tidak berpihak pada faksi politik, namun berpihak
pada nilai, bergerak dengan pijakan kepentingan organisasi. Secara strategis,
harus dilakukan dengan memotong lewat
kaderisasi dengan mengintrodusir nilai-nilai kolektifitas, kebersamaan, dan
solidaritas. Setelah terbangun sehingga
"ngangkat" maka tinggal merancang strategi dan taktis untuk
merangkai berbagai potensi yang berserakan dan pecah.
Desain gerakan ketiga, bagaimana
PMII menerapkan teori "desa mengepung kota." Rasionalisasinya seperti ini. Di
berbagai kota besar, PMII harus diakui bergerak
di pinggiran dalam basis massa
kampus. Berbagai lembaga kampus di kota
besar tidak dipegang oleh PMII. Pada sisi lain terdapat gerak otonomi daerah
yang secara niscaya akan mengalami proses perkembangan sosial seperti kota besar. Secara
empiri, dari pengalaman lapangan, daerah otonomi yang merupakan kota pinggiran atau
kecil, belum banyak perguruan tingginya dan belum diimperalisasi oleh organ
lain. Dengan melihat konteks seperti itu pemberdayaan cabang-cabang kecil
menjadi amat penting untuk kepentingan strategis ke depan. Medan
pertarungan yang belum luas, basis massa
yang masih dipegang, konsolidasi organ lain yang belum massif, membuka peluang
PMII mendorong perubahan dari daerah pinggiran, yang sebenarnya memiliki
konteks geostrategis, geopolitik, dan geoekonomi penting seperti wilayah pantura. Jika tidak diberdayakan, cepat atau
lambat ekspansi organ lain akan terjadi dan massif.
Struktur Desain Gerak PKT
Gerakan di atas membutuhkan kekuatan. Terutama untuk gerakan PMII
sebagai organisasi gerakan social. Kekuatan gerakan ini baru akan massif jika
terhimpun dari sinregisitas antarkekuatan. Paling tidak PMII harus memiliki
tiga lapis kekuatan kader.
Pertama, kekuatan basis. Kekuatan yang cukup menentukan dinamka gerak
PMII. Mereka adalah semua kader PMII. Kekuatan basis ini baru akan memiliki
daya dorong dalam konteks kelembagaan ketika berhasil menyelesaikan
kontradiksi-kontradiksi internalnya, secara ideologis cukup kuat, dibekali
perangka metodologi analisis social, dan memiliki kapasitas manajerial
memadahi.
Kedua, kekuatan pelopor. Mereka adalah minoritas kreatif yan menjadi
vanguardist, dalam gerakan, militant, berani, dan ideologis. Mereka adalah
kader pergerakan yang menjadi motor penggerak berbagai formasi gerakan PMII.
Ketiga, kekuatan inti. Semacam think thank yang memiliki kualifikasi
seperti kader pelopor namun memliki kekuatan urai social tajam.
Dalam bahasa Gramncian struktur organisasi PMII harus mampu
merefleksikan tiga lapis kekuatannya, yakni level kepemimpinan yang memahami
alur sejarah, politik, dan ekonomi sehingga mampu memberikan penjelasan
histories, arahan-arahan, dan perspektif yang visioner. Level tengah yang
berfungsi memerankan kerja-kerja manjerial sekaligus mengakomunikasikan
kegelisahan kader basis dan gerak sejarah local serta menerjemahkan bangunan
visi dalam bahasa yang dipahami kader basis.
Gerakan di atas akan akan mencapai tansfomasi, yakni kristalisasi
dan sublimasi keseluruhan gerakan setelah melalui tahapan berikut ini: pertama, pemahaman PMII akan kondisi
objektif dan basis nilai ideologis sama-sama kuatnya. Kedua, PMII mampu melakukan kontekstualisasi paradigma dan ideology
dalam level praksis empiris. Mampu merumuskan berbagai isu-isu strategis,
tahapan-tahapan, taktik, yang tidak utopis. Ketiga,
PMII mampu mengidentifikasi akar
persoalan dan actor pada dataran structural dan cultural sehingga mampu
melakukan blocking area dan memahami medan perjuangan. Keempat, mampu menjadi konsolidator
gerakan baik konteks nahdhiyin maupun elemen-elemen lain. Kelima, mampu menyusun strategic planning, scenario building, dan action planning. Keenam, mampu membangun
kesadaran kritis masyarakat sehingga mampu mentransformasikan isu pegerakan
menjadi isu masyarakat sehingga masyarakat menjadi actor utama perubahan.
Impian
kita tentang PMII
Isu
|
Kondisi Ideal
|
Arah Kebijakan
|
Strategi
|
Visi-Misi
|
Visi terumuskan dengan
jelas, memiliki relevansi social dan intelektual kuat baik dalam konteks
sosial, ekonomi, politik, budaya, pendidikan, baik dalam dataran
internasional, nasional, maupun lokal. Visi ini terefleksikan dalam output
program kerja.
Misi jelas, dipahami
oleh semua komponen organisasi, dari kader inti sampai kader basis, outsider pun mampu memahami misi
organisasi dengan baik. Kerja-kerja organisasi juga sudah konsisten dengan
misi PMII.
|
Mengkaji secara kritis
dan periodic relevansi sosial dan intelektual seiring dengan pergeseran
social yang ada.
Mensosialisasikan visi
misi kepada semua elemen organisasi
|
Melakukan kajian kritis
terhadap berbagai perkembangan social mutakhir secara berkelanjutan.
Reformasi formula
kaderisasi sehingga menemukan bentuk yang pas.
|
Organisasi
|
Struktur organisasi yang
ada merefleksikan kebutuhan kelembagaan, mencerminkan agenda gerakan yang
hendak didorong, bukan semata akomodasi
politik. Telah ada pembagian
kerja yang jelas berdasar wewenang dan tanggung jawab.
|
Melakukan kajian
komprehensif mengenai strategic issues baik dalam konteks eksternal maupun
internal, dalam konteks sekarang maupun berbagai kecenderungan ke depan.
|
Analisis kebutuhan
eksternal dan internal, restrukturisasi organisasi, membatasi wilayah
akomodasi politik, dan memperluas wilayah akomodasi professional.
|
Manajemen organisasi
|
Pengembangan rencana
strategis dan tahunan sudah pararel dengan visi misi PMII
Terciptanya mekanisme
kerja yang kompak antar-pengurus
Program tahunan dan
rencana strategis didorong dengan terpadu, terinci, namun fleksibel
Program tahunan menjadi
acuan pengurus dalam menggerakkan roda organisasi
Adanya desain gerakan
yang koheren yang memiliki daya dorong antara PB, PKC, PC,Komisariat, dan
Rayon.
Adanya mekanisme Kritik Oto Kritik yang dilaksanakan secara
periodic, transparan, dan partisipatif.
Adanya kode etik perilaku pengurus dan kader PMII
Pengambilan keputusan melibatkan komponen yang ada dan sesuai
dengan mekanisme kesepakatan yang obyektif.
|
Merumuskan konsep
manajemen sesuai dengan basis kultur PMII namun mampu mengakomodir berbagai
tuntutan manajemen pergerakan modern.
Merumuskan berbagai
kebijakan manjerial termasuk kode
etik.
|
Menciptakan mekanisme
kritik oto kritik secara berkelanjutan
Mengembangan sendem ala
PMII
Menerapkan manajemen
berbasis teknologi informasi
|
Sumber Daya Kader
|
Menguasasi sumber daya
generasi muda Indonesia
Terbangunnya tradisi the
right man on the right place.
Memiliki desain
pengembangan kapasitas sumber daya kader
Terbangunnya mekanisme
punishment dan reward
|
Menitikberatkan kerja
organisasi pada kaderisasi dan pengembangan sumber daya kader yang berbasis
pengetahuan dan social skill memadahi.
|
Menyusun konsep
kaderisasi yang dialektik antara kultur modernitas, kebutuhan kelembagaan
PMII, minat dan bakat kader.
Menyusun strategi
menguasai generasi muda
|
Manajemen Keuangan
|
Anggaran telah menjadi
perangkat manajemen, menjadi bagian terpadu dari program.
Memiliki sumber dana
mandiri
|
Menyusun anggaran yang
realistic dan fleksibel
Membangun badan
usahaprofesional
Memanfaatkan dana-dana
hibbah dari dalam dan luar negeri
yang kredibel.
Memobilisasi iuran
anggota dan alumni
|
Memnfungsikan bendahara
sebagai manajer keuangan, bukan sebagai pembawa uang.
Membentuk fund-rising
dengan tugas dan wewenang yang jelas, dengan target dan batasan waktu yang jelas.
Mendata jaringan funding
dan mengkaji kesesuaian antara agenda pergerakan dengan funding.
Memetakan basis potensi
ekonomi anggota dan alumni.
Iuran rutin wajib.
|
Jaringan
|
Dikenal luas, jaringan
kerja luas, dan mampu memanfaatkannya baik
di kalangan LSM, universitas, intelektual, funding, ormas, pers,
maupun lembaga-lembaga riset.
|
Menyusun profile pergerakan
PMII
Mendokumentasikan
berbagai kegiatan PMII
Mensoslialisasikan dan
mempublikasikan berbagai hal berkenaan dengan kegiatan dan organisasi PMII
|
Membangun kontak dengan
pers
Menerbitkan profile PMII
|
Visi
- Menjadi organ pergerakan sesungguhnya yang dapat diandalkan sebagai instrument perubahan social dan pemberdayaan kader yang militant, professional, memiliki ketajaman analisis, memahami alur sejarah, dan berakhlakul karimah.
Misi
- Mendorong perubahan structural di tingkatan global, nasional, dan local yang berpihak pada masyarakat.
- Merebut dan memberdayakan generasi muda dan lembaga-lembaga kampus
- Penguatan Jaringan secara luas
- Penguatan kapasitas kelembagaan PMII di daerah-daerah
- Membangun manajemen pergerakan berbasis teknologi informasi
Program Konkret Unggulan
Politik
Ø
Menyusun penjelasan
sejarah secara kritis dan merumuskannya
sebagai arahan kelembagaan kader sampai lini paling bawah seputar persoalan politik kontemporer secara
periodic. Membaca, menulis, dan menyebarkan bacaan situasi internasional,
situasi nasional, situasi lokal, secara berkelanjutan.
Ø
Mendorong transformasi
structural di tingkatan global, nasional, dan local, baik dengan melakukan
aliansi gerakan maupun mendorong momentum yang ada, dan dengan membangun
kesadaran kritis kader dan masyarakat.
Ø
Secara khusus
mendorong pendidikan gratis dan
mendesakkan agenda-agenda wacana pendidikan trasnformatif.
Ø
Menjadi konsolidator
berbagai actor strategis kekuatan properubahan baik dari kalangan PMII maupun
non-PMII. Memanfaatkan strategi "tidak kemana-mana tapi di mana-mana"
yang telah dirintis sejak NU kembali ke khittah.
Ø
Menciptakan relasi kerja
PB, PKC, PC, dan Komisariat yang lebih transformative ketimbang seremonial.
Ekonomi
Ø
Membangun jaringan funding
nasional dan internasional
Ø
Membangun kerja sama
dengan Negara-negara lain
Ø
Menyusun anggaran sebagai
perangkat manajemen
Ø
Membangun prinsip-prinsip
pengelolaan keuangan yang transparan, akuntabel, dan bersih.
Keorganisasian
Ø Menyusun struktur organisasi yang berbasis kebutuhan eksternal dan
internal
Ø Menciptakan mekanisme kerja kerja yang kompak
Ø Menciptakan mekanisme kritik oto kritik
Ø Menciptakan sinergisitas pergerakan antara PB sampai rayon
sehingga memiliki daya dorong yang transformasional.
Pengembangan Organisasi
Ø Pemberdayaan secara serius cabang-cabang daerah.
Ø Perluasan organisasi ke daerah-daerah yang belum terorganisir
Kaderisasi
Ø
Menciptakan phsycological
affinity yang menciptakan perasaan kehilangan para orang tua NU yang
anaknya tidak masuk PMII, apalagi masuk organ lain ( untuk merebut basis massa tradisional), dan
menciptakan kerugian bagi mahasiswa mengambang atau non-NU jika tidak masuk PMII (potential members)
Ø Merebut kampus-kampus penting di Indonesia
Ø Memformulasikan format kaderisasi yang sesuai dengan perkembangan
zaman, yang mampu mencetak kader inti dan pelopor, sekaligus kader basis secara
sinergis, dan mengakomodir kebutuhan mengorganisir generasi-generasi yang
disebut dengan baby-boomers.
Ø Mengembangkan kaderisasi berbasis kebutuhan local
Jaringan
Ø Mengembangkan jaringan politik ke semua lini
Ø Mengembangkan jaringan universitas
Ø Mengembangkan jaringan ormas baik dalam maupun luar negeri.
Ø Mengembangkan jaringan intelektual, pers, LSM, jaringan funding,
dan Negara-negara yang memiliki potensial grant
Agar Tidak Lenyap dalam Sejarah
Sahabat terbaik pemimpin adalah momentum
Kemenangan didahului oleh terobosan
JC Maxwell, 2002: 231;309
Pengelolaan pergerakan harus bertumpu pada empat elemen pokok.
Keempatnya saling terkait satu lainya, tidak dapat dipisah-pisahkan.
Pertama, berbasis pada
solidaritas, kolektifitas, semangat berkorban, ketulusan, keikhlasan,
teknikalitas kader yang handal, basis ideologis dan visi yang matang, militant,
dan dipersenjatai oleh kemampuan analisis yang kuat. Modal social dan cultural
ini harus dapat diterjemahkan dalam konteks manajemen informasi berikut ini.
Kedua, berbasis teknologi
informasi. Salah satu kekuatan penting di dunia ini adalah perkembangan
teknologi informasi. Dengan perkembangan teknologi ini dunia menjadi desa
buana, sekat-sekat antarbangsa luruh, dunia tanpa batas. Dalam konteks seperti
itu sirkulasi informasi menjadi amat cepat dan kompleks. Apa yang sekarang
terjadi, pada saat yang sama dapat diakses oleh mereka yang di ujung dunia sana. Pola komunikasi pun
menjadi berubah secara radikal, bukan lagi mengandalkan kehadiran fisik atau
bahasa lisan. Dengan teknologi informasi ini, berbagai informasi atau kejadian
apapun dapat dengan cepat disirkulasikan dengan efektif dan massif.
Ketiga, transformasi teknologi
informasi. Dampak tak terhindarkan kecepatan informasi melalui teknologi adalah
lemahnya kemampuan atau menyaring dan memahami informasi secara benar.
Karenanya kecepatan sirkulasi informasi ini harus bertumpu pada mekanisme transformatif
dalam memahaminya. Artinya, kemampuan memahami secara benar dan kritis semua
informasi menjadi penting. Sebab hasil pemahaman akan menajdi dasar pijakan
organisasi dalam mengambil keputusan. Kesalahan dalam memahami informasi
menyebabkan kekeliruan dalam membangun penjelasan sejarah, yang menyebabkan
kesesatan dalam menyusun agenda gerakan. Kesalahan ini dalam sejarah seringkali
melahirkan hal yang menggelikan. Misalnya, solidaritas terhadap Irak diwujudkan
dalam bentuk memakai kaos Usama, atau diam karena dibayangi ketakutan
kehilangan akses tertentu. Hal yang sama mudah ditemukan dalam moment politik
nasional atau local. Respons tersebut
menunjukkan kedangkalan dalam memahami dinamika gerak sejarah. Padahal jika
memahaminya dengan benar, maka berbagai respons tersebut dapat dihadirkan
dalam bentuk yang cerdas, elegan, dan
strategis.
Keempat, berbasis pada dinamika
pengaruh Negara superpower dunia. Gerak global saat ini masih ditenyian oleh
kebijakan superpower yang memiliki perangkat nyaris sempurna. Kebijakan sentrum
ekonomi dan politik dunia tersebut memiliki pengaruh signifikan terhadap dunia
global. Kecepatan dan ketepatan dalam
memahami informasi di atas kemudian dipersenjatai dengan "kemampuan
cerdas" menangkap semua peluang strategis
yang ada sebagai dampak perubahan global. Misalnya, seharusnya PMII
memiliki kesempatan luar biasa untuk mendorong wacana aswaja sebagai
alternative global wacana keislaman di tengah penghancuran Islam ala al qoidah
di Barat dan Jamaah Islamaiah di Asia. Namun sejarah mencatat, PMII memahami
logika ini pun belum sampai.
Perkembangan global menjadikan PMII harus membanun basis manajemen
gerakannya sesuai dengan tuntutan globalisasi. Tanpa mengikuti berbagai
perkembangan ini PMII akan terancam
hilang dalam sejarah. Bagaimana menjelaskannya?
Dengan empat pilar di atas, perkembangan apapun di tingkat global dapat
dengan cepat ditransformasikan pada tingka nasional dan disebarluaskan kepada seluruh kader PMII
melalui mekanisme kelembagaan yang ada, sehingga memiliki basis material dalam
mengambil sikap politik.
Manajemen tersebut dapat disejajarkan dengan sebuah jam. Sebuah
jam selalu memiliki tiga jarum. Jarum
detik menunjukkan pergeseran atau pergerakan di tingkatan global. Secara
dinamik pergeseran global di atas juga diikuti oleh jarum jam yang menunjukkan
menit. Sedangkan jarum yang terakhir
menunjukkan jam, yang merefleksikan di sinilah posisi PMII. Pergerakan dinamik
PMII seharusnya mengikuti berbagai perkembangan global dan nasional.
Di sinilah, jika PMII tidak mengikuti dinamika tersebut, maka PMII
pun akan hilang dalam lintasan sejarah. Tergagap. Disorientasi. Kesulitan untuk
sekedar mengenali posisi dirinya.
Sehingga tidak memilii panduan gerak yang benar. Ibarat sebuah jam,
jarum jam dapat terus berputar, namun ada kemungkinan posisinya yang pas, akan
tetapi bukan hari ini, melainkan kemarin, minggu kemarin, bulan kemarin, tahun
kemarin, bahkan hingga sampai hitungan dasawarsa. Kondisi ini jelas mengerikan
dan memprihatinkan.
Preseden sejarah pernah direkam dalam Al Qur'an yang menimpa
ashabul kafi. Setelah tertidur selama sekitar 300 tahun, mereka bangun. Salah
satu di antaranya pergi ke kampong terdekat dan membeli makanan di suatu
warung. Hanya saja, konstruk kesadaran historisnya masih 300 tahun yang lalu,
sehingga dengan santai menyodorkan uang logam pada masa lalu. Diapun nyaris di
tangkap karena dianggap akan melakuka penipuan. Apa jadinya jika hal itu
menimpa PMII yang tengah mendorong isu-isu besar?
Infrastruktur manajemen
Untuk muwujudkan impian tentang PMII dibutuhkan infrastruktur
manajemen:
Pertama, sumber daya kader yang
berdedikasi, komitmen, dan full time (untuk PH) dalam mengelola PMII. Mengelola
PMII tidak mungkin dilakukan dengan setengah-setengah, apalagi disambi dengan
"mbroker" ke sana
kemari. Ini artinya dibutuhkan reorientasi pengurus harian PMII untuk memaknai
pengabdiannya di PMII bukan sebagai
aktifitas sambilan, atau batu loncatan. Sebagai konsekuansinya, secara
kelembagaan PMII dituntut untuk memenuhi basic need mereka yang telah secara
total mengalokasikan energi dan pikirannya untuk PMII. Kebutuhan sumber daya
seperti itu sudah tak terelekakan jika ingin akumulatif. Implikasinya
dibutuhkan rekonstruksi teologis dalam berjuang. Secara minimalis, kebutuhan
tersebut dipenuhi dengan menyediakan staf professional.
Kedua, sumber dana organisasi
untuk operasional dan pengembangan organisasi. Dana merupakan system pendukung
yang penting. Diidealisasikan PMII memiliki fundraising yang kuat sehingga
menjadi organ independent dalam mendanai organisasinya. Kemampuan ini menjadi strategis ke depan untuk
menghasilkan performance organisasi yang berwibawa di tengah konstelasi
nasional dan global.
Ketiga, tersedianya fasilitas
teknologi informasi seperti website nasional, maling list khusus PMII,
komputerisasi, dan lainnya.
Dalam menjalankan programnya, PMII juga harus bertumpu pada
manajemen program yang terdiri dari tiga pilar. Yang dimaksud dengan manajemen
program di sini adalah system pengelolaan kegiatan organisasi dalam program
tahunan yang telah dirumuskan dan menjadi desain besar kepengurusan. Pertama,
terarah. Program tahunan PMII dalam setiap levelnya harus memiliki arah yang
jelas. Kedua, terukur, memiliki parameter yang jelas, obyektif, empiris, sehingga dapat
dinilai dengan jelas. Keterukuran ini untuk menentukan atau menjadi dasar
sejauh mana tingkat keberhasilan sebuah kepemimpinan atau kepengurusan. Ketiga,
memiliki mekanisme kontrol yang jelas sehingga tidak mudah dibelokkan untuk
kepentingan tertentu baik pihak eksternal maupun internal.
Bagaimana memulainya?
Bagaimana memulai kerja besar ini? Idealnya PMII secara
kelembagaan memiliki strategic planning yan akurat, yang diturunkan menjadi
program, dan diterjemahkan dalam action plan tahunan. Dari perpektif ini terdapat tiga tingkatan yang masing-masing
memiliki formulasi manajerial yang berbeda-beda. Tingkatan paling ideal adalah
tahapan ketika sistem sudah terbangun dengan kuat, yang disebut dengan management by system. Yang menjadi
penentu dinamika organsiasi sistem dan kultur yang terbangun sehingga dengan
kekuatannya PMII tidak lagi membutuhkan sumber daya kader yang dibutuhkan,
namun sistem itu sendiri yang akan membentuknya dan menciptakan dirinya sebagai
wahana pembelajaran yang efektif. Pada tahapan ini PMII tidak diributkan lagi
pada pencarian siapa yang akan menempati pos atau pekerjaan tertentu. Untuk mencapai tahapan ini dibutuhkan kesatuan
pemahaman semua kader PMII menenai visi, misi, progam, sampai pada penafsiran
dan kontekstualisasi visi misi.
Tahapan di bawahnya adalah management
by structure. Pada tahapan ini yang
dilakukan PMII adalah mencari kader yang sesuai atau dianggap mampu mengerjakan
atau menjadi motor penggerak PMII.
Tahapan yang terakhir adalah management
by behavior, yakni mencari kader yang
mau untuk mendorong berbagai agenda
gerakan, tidak lagi meletakkan kapasitas kader.
PMII dapat memulainya dari tahapan kedua, yakni management by structure. PMII harus
memulainya dari PB sebagai pilot project,
kemudian di PKC, PC, dan organ paling bawah.
Pada tahapan proses selanjutkan PMII akan mencapai puncak manajemen yang
khas, berkelanjutan, yang ditandai
kemandirian dan profesionalisme PMII. Kemandirian bukan dalam pengertian sempit
seperti keuangan (yang bahkan masih jauh di PMII), namun dalam pengertian
pergerakan, yang mencakup seluruh elemen organisasi pergerakan. Puncaknya
ditandai oleh terwujudnya kondisi real di mana organisasi benar-benar bergerak
dengan tumpuan ideology dan visi yang solid, kuat, serta proses-proses
organisasi yang jelas, programatik, terukur, sesuai dengan kultur dan keagamaan
PMII. PMII digerakkan oleh kader yang sudah focus dan konsentrasi pada upaya
pencapaian visi dan misi, tidak lagi diserimpeti
oleh persoalan manjerial organisasional, keuangan, atau soal ma’isyah.
Penutup
Praksis implementatif dari semua agenda di atas terdiri dari empat
tahapan. Pertama, konsolidasi kepengurusan. Pencarian akan kader-kader terbaik
menjadi kuncinya. Kedua, konsolidasi gagasan. Bagaimana desain besar
kepengurusan ini menjadi kesadaran gerak semua kepengurusan. Ketiga,
konsolidasi organisasi. Bagaimana menjadikan organisasi sebagai mekanisme
efektif untuk mendorong agenda gerakan, mencptakan supporting system yang memadahi, mulai membangun social trust.
Kelima, konsolidasi gerakan. Bagaimana
mengimplementasikan teori dan nilai gerak serta mengawal agenda gerakan. Selamat berjuang. Wallohu a'lam…
Lahir di kampung
Mlangi. Sebuah kampung yang dikenal sebagai aceh mini di Jogjakarta. Dikenal
demikian karena dalam satu kampung terdapat lebih dari 15 pesantren. Seperti
pesantren lainnya, Mlangi dikenal sebagai pusat gerak, perjuangan, pusat
pengetahuan, yang memiliki tradisi cukup panjang. Pangeran Diponegoro pernah
menjadikan Mlangi sebagai salah satu mata rantau perang gerilyanya, dan basis
pengkaderannya. Dalam geneologi intelektual pesantren hampir semua kyai besar
di jateng, diy, dan sebagian jatim berasal dari anak cucu pendiri Mlangi, MBah
Kyai Nur Iman.
Hidup dalam atmosfer kampung pesantren membentuk pola
pikir, karakter, ideology. Sembari mengaji, juga "nyambi" meneruskan
pendidikan formal. Berturut-turut, TK Masyithah, SDN Tuguran, SMPN 15, SMA
Islam I, dan Fakultas Filsafat UGM Jurusan Filsafat Barat dijalani. Sempat
empat semester memperdalam tatbiqut-tarjamah bahasa Arab di IAIN Sunan
Kalijaga.
Pengalaman organisasi dijalani sejak masa SMA. Dimulai
menjadi ketua Ikatan Santri Mlangi Nahdlatul Ulama (sebuah organisasi yang
menghimpun santri-santri pribumi Mlangi), ketua dept Pers Osis (yang sempat
menerbitkan beberapa edisi majalah sekolah). Menginjak kuliah, proses dan
pergulatan berorganisasi terus berlanjut. Dimulai menjadi anggota PMII,
kemudian menjadi ketua PMII UGM (98-99), ketua PMII Sleman (2000-2001). Di
lingkungan NU, pernah aktif di Ikatan Pelajar NU mulai dari anak cabang,
propinsi, sampai Pusat dan membidangi
bidang pengkaderan. Terakhir ikut membidani dan mengawal Jurnal
pergerakan TRADEM.
Di organ ekstra pernah menjadi sekjend senat mahasiswa
fakultas filsafat UGM, jurnalis majalah mahasiswa UGM Balairung, dan Ketua Dept
Suksesi BEM UGM, ikut menggagas kepemerintahan mahasiswa dan menyelenggarakan
pemilu raya untuk pertama kalinya di universitas pasca NKK/BKK.
Selama menjadi aktifis diundang untuk berbagai pelatihan
dan kaderisasi gerakan mahasiswa di Jogjakarta,
Jatim, Jateng, Sumatera. Menjadi pemateri di jenjang-jenjang kaderisasi PMII di
nyaris semua daerah Jatim, Jateng, DIJ, dan beberapa luar jawa seperti Lampung,
Riau, Batam, dan lainnya. Juga menjadi pembicara seminar baik local maupun
nasional di berbagai universitas, LSM, organisasi pemuda dan masyarakat, di
berbagai daerah. Seperti di UGM, Unair, Unesa, ITS, UNS, Undip, Unes, Unsoed,
UI, dan berbagai stain dan iain.
Menulis di berbagai Koran local, majalah, jurnal, local,
maupun nasional, menjadi kontributor beberapa buku seperti "Soslialisme
Religius, Jalan Keempat?" dan ikut menyusun buku kaderisasi PB PMII dan PP IPNU.
Menulis pengantar dan menerjemahkan buku Silent Take Over, Global
Capitalism and the Death of Democracy (Perampok Negara, Kuasa Modal Global dan
Matinya Demokrasi, Alenia, Jogja, April 2005).
Stay the same…
By Joey Mcintyre
Don’t u ever wish…. U were someone else
U were meant to be…the way
U are exactly
Don’t u ever say…. U don’t
like the way U are
When u learn to Love yourself…
U are bette off by far
And I hope U are always
stay the same…
"coz…there is nothing
'bout U I would change
I think that U Could be…
Whatever U wanted to be
If U colud Realize…all the dreams U have inside
Don’t be Afraid…If U
ve'got soething to say
Just open your heart and
let me show U the way
Believing in
Yourself…please stand inside
The love U by who 'll set
u free
Believing in yourself…U
were come alive
Having the faith U do…U
make it through..
Post a Comment