PROPAGANDA; Amunisi Perang Persepsi
“Terorisme menerjang lawan dari belakang secara culas;
propaganda mengintimidasi lawan, termasuk membohongi publiknya sendiri. Kedua
cara ini dikutuk baik oleh agama ataupun nurani kemanusiaan. Hanya orang-orang
yang kerdil dan tak berperikemanusiaan sajalah yang sanggup menjalankan dua
strategi ini. Kini bukan lagi perang ideologi, tetapi perang persepsi. Suatu
aksi biasa bisa diversi teror oleh propaganda, yang bukan propaganda bisa
dibikin propaganda oleh teror. Peran media massa dalam hal ini amat dominan”
Anggitan Propaganda
Propaganda sebetulnya sering kita bicarakan, kerjakan, ataupun kita
alami karena propaganda memang tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Ia menjadi
bagian dari alat atau teknik berkomunikasi dan dijadikan sebagai salah satu
metode dalam komunikasi.
Seiring dengan tingkat perkembangan teknologi komunikasi yang kian
pesat, maka metode propaganda (komunikasi) pun mengalami perkembangan yang
pesat pula. Namun semua itu, mempunyai aksentuasi sama yakni komunikator
menyampaikan pesan, ide, dan gagasan, kepada pihak lain (komunikan). Hanya
model yang diterapkan berbilang. Bila dirinci secara lebih konkret, metode propaganda
dalam dunia kontemporer saat ini yang merupakan pengembangan dari komunikasi
verbal dan nonverbal meliputi banyak bidang, antara lain jurnalistik, orasi, hubungan
masyarakat, periklanan, pameran/ eksposisi, propaganda, dan publikasi.
Tentunya, karena propaganda menjadi bagian dari kegiatan komunikasi,
maka metode, media, karakteristik unsur komunikasi (komunikator, pesan, media,
komunikan) dan pola yang digunakan, sama dengan model-model komunikasi lain.
Oleh karena itu, unsur komunikasi secara umum juga berlaku bagi propaganda.
Propaganda
juga berarti sebuah proses penyebaran doktrin atau informasi yang merefleksikan
pandangan atau kepentingan dari mereka yang menyebarkannya.
Menurut kamus Oxford, propaganda adalah sebuah “rencana sistematis atau
gerakan bersama untuk penyebarluasan suatu keyakinan atau doktrin. Definisi ini
bukan merupakan titik pijak yang buruk. Propaganda berurusan dengan penjelasan
gagasan-gagasan secara terinci dan lebih sistematis.
Istilah
propaganda sendiri mulai dikenal dari hasil karya Congregatio de Propaganda Fide', sebuah organisasi yang didirikan
oleh sejumlah Kardinal Katolik Roma di tahun 1622 untuk menjalankan penyebaran
misi ajaran mereka di negara-negara non kristen. Jadi bagi beberapa kalangan,
propaganda ini terkait dengan misi keagamaan.
Seorang marxis perintis di Rusia, Plekhanov,
mengatakan. “Seorang propagandis menyajikan banyak gagasan ke satu atau sedikit
orang”. Propaganda, dalam keadaan yang menguntungkan, bisa meraih ribuan atau
puluhan ribu orang. Lenin, dalam What is to be done, mengembangkan gagasan ini: Seorang propagandis
yang, katakanlah, berurusan dengan persoalan pengangguran, mesti menjelaskan
watak kapitalistis dari krisis, sebab dari tak terhindarkannya krisis dalam
masyarakat modern, kebutuhan untuk mentransformasikan masyarakat ini menjadi
sebuah masyarakat sosialis, dsb. Secara singkat, ia mesti menyajikan “banyak
gagasan”, betul-betul sangat banyak, sehingga gagasan itu akan dipahami sebagai
suatu keseluruhan yang integral oleh (secara komparatif) sedikit orang. Seorang
propagandis, tentu saja, harus menyelidiki secara lebih mendalam, mesti
meneliti konsep keadilan, perkembangan dan transformasinya melalui berbagai
masyarakat berkelas yang berbeda, serta isi kelasnya yang tak terhindarkan.
Macam Propaganda
Dalam propaganda dikenal dua macam propaganda yaitu propaganda abstrak dan jenis propaganda yang
diharapkan dapat mengarah ke suatu aktivitas, yaitu propaganda yang konkrit atau realistik.
Propaganda abstrak memunculkan gagasan yang secara formal benar, tetapi
tidak terkait dengan perjuangan atau dengan tingkat kesadaran yang ada di
antara mereka yang menjadi sasaran dari penyebaran gagasan itu. Sebagai contoh,
menyatakan bahwa di bawah sosialisme sistem upah akan dihapuskan adalah mutlak
benar, menempatkan usulan yang seperti itu kepada para buruh sekarang ini
adalah meupakan propaganda dalam bentuk yang paling abstrak.
Di sisi lain, propaganda realistis berpijak dari asumsi bahwa
kelompok-kelompok yang kecil tidak dapat secara meyakinkan mempengaruhi
kelompok-kelompok yang besar di hampir setiap keadaan. Tetapi hal itu juga mengasumsikan
bahwa terdapat argumen tentang isu-isu spesifik, yang dapat dicoba untuk
dibangun oleh para anggota kelompok. Jadi seorang propagandis realistis di
sebuah pabrik tidak akan mengusulkan satu gagasan belaka. Ia (laki-laki atau
perempuan) akan mengusulkan serangkaian tuntutan yang diharapkan dapat
mengarahkan perjuangan ke kemenangan, dan sudah tentu melebihi kemenangan kecil
(tokens)
yang diberikan oleh bikorasi. Jadi mereka akan mengusulkan, misalnya,
peningkatan taraf kemamuan, pemogokan mati-matian dengan tuntutan penuh (the full
claim, all out...strike) dan bukan pemogokan yang
selektif, dsb.
Tujuan Propaganda
Dewasa ini propaganda mengalami peyoratif (pemburukan) makna yang
cukup signifikan, adalah disebabkan hal-hal sebagai berikut.
Pertama, propaganda mengalami sisi negatif jika telah digunakan dalam
bidang-bidang sekuler.
Kedua, propaganda akan mengalami makna negatif sangat tergantung pada
peran pemimpin yang menggunakan propaganda tersebut.
Ketiga, propaganda berkait erat dengan situasi dan kondisi
masyarakatnya.
Keempat, propaganda dalam perkembangannya hanya digunakan oleh
pihak-pihak tertentu yang tak bertanggung jawab dalam mengejar ambisinya.
Ada beberapa teknik yang bisa digunakan dalam melancarkan propaganda.
Efektif tidaknya dan pilihan mana yang digunakan, sangat bergantung pada
kondisi komunikan, kemampuan komunikator (propagandis), lingkungan sosial
politik dan budaya masyarakatnya.
Di bab 6 dari bukunya "Mein Kampf", Hitler menuliskan perlunya
propaganda untuk mempersuasi pihak lain, untuk menggerakan massa. Dimasa
pemerintahannya Hitler menunjuk seorang menteri khusus untuk urusan propaganda
ini. Namanya Joseph Goebbels. Jabatannya: Menteri Urusan Propaganda dan
Pencerahan Nasional. (kata pencerahan ini menarik karena mengingatkan saya pada
salah satu departemen yang dulu ada di Indonesia yang tugasnya juga melakukan
pencerahan alias penerangan.) Tugas utamanya Goebbels dan Departemennya ada
dua: Pertama, memastikan tak ada orang di Jerman yang punya akses kepada hal-hal
yang bisa merusak kepentingan atau misi Nazi. Kedua, memastikan bahwa misi dan
pola pandang Nazi berhasil disebarkan dengan cara yang se persuasif mungkin.
Menurut teori perang Sun Tzu, memenangkan sebuah perang tanpa
mengerahkan armada militer adalah kemenangan yang terbaik. Kemenangan ini dapat
diraih apabila musuh dapat ditundukkan pemikirannya. Tunduknya pemikiran akan
menyebabkan tunduknya seorang manusia kepada manusia lain yang mampu mengubah
pemikirannya. Di sini propaganda memainkan peranan yang sangat penting. Menurut
Karl Marx,"kejahatan yang terus menerus dipropagandakan sebagai kebaikan
lambat laun akan diterima masyarakat sebagai kebaikan itu sendiri." Sekali
lagi yang dituntut di sini adalah kepandaian dan kontinuitas propaganda sehingga
terjadi pergeseran nilai dalam masyarakat. Pada era 1930-1950, Barat masih
mengusung nilai-nilai religius Kristiani dengan cukup kental. Namun hanya dalam
tempo sepuluh tahun saja, sekitar periode 1960-an, Barat mengalami revolusi
budaya dan seks yang luar biasa sebagai imbas dari propaganda kebebasan. Kalau
pada era 30-50 berjemur di pantai bertelanjang dada adalah terlarang, maka kini
perempuan-perempuan Barat bebas memanggang tubuhnya di pantai-pantai dengan
dada terbuka, bahkan tanpa busana. Propaganda yang mengenai sasaran, akan
mengubah pola pikir masyarakat yang pada akhirnya mampu merubah seluruh tatanan
nilai yang ada.
Propaganda dapat juga berupa pembentukan opini dan stigmatisasi (memberikan cap/julukan tertentu pada suatu kelompok/individu tertentu).
Secara gambling dapat dikatakan, seorang jahat yang pandai mempropagandakan dirinya sebagai manusia baik, akan mendapatkan penilaian baik dari masyarakat apabila propagandanya dilakukan secara kontinu dan mengena sasaran. Dalam hal stigmatisasi, bisa dijelaskan sebagai berikut; si A adalah orang baik dan si B adalah si jahat yang amat pandai berpropaganda dan menguasai jalur informasi. Karena benci pada si A, si B terus menerus mencekoki masyarakat dengan propaganda bahwa si A adalah penjahat. Karena dilakukan secara terus-menerus dan sistematis, lambat laun A yang baik akan menjadi jahat di mata masyarakat. Di sini, informasi disebarkan untuk menciptakan opini yang diyakini sebagai fakta, dan bukan menyebarkan fakta sebagai informasi. Begitu hebatnya akibat propaganda sehingga bukan saja mampu mengubah pola pikir dan system social, tapi juga mendefinisikan the good one and the bad one. Pada masa sekarang, media massa (suratkabar, tabloid, majalah, televisi, radio, internet) adalah corong propaganda yang paling ampuh. Seiring makin mengglobalnya komunikasi dan makin dekatnya jarak antar manusia, maka propaganda pun kian meningkat. Sehingga tercipta idiom yang menguasai jalur informasi, akan menguasai dunia. Di era Soeharto atau yang lebih dikenal masa Orde Baru, propaganda politik yang pernah dilakukan antara lain; (1) propaganda menampilkan citra baik kepribadian pemimpin, (2) propaganda pembangunan ekonomi, (3) propaganda dengan organisasi berbasis militer, (4) propaganda sakralisasi Pancasila dan UUD 1945, (5) propaganda penertiban politik dan asas tunggal, dan (6) propaganda dengan politisasi agama. Pada era BJ Habibie propaganda yang sering diserukannya adalah tentang demokratisasi. Selain itu juga propaganda moral altruisme bangsa dan propaganda pseudo demokrasi. Untuk era Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang selama memimpin bangsa ini sangat dipenuhi pro-kontra di masyarakat, dinamika propaganda Gus Dur yang khas dan layak disimak dalam buku ini adalah propaganda menggunakan language politic, mempropagandakan fiqh politik, propaganda "kesejahteraan dan demokrasi sama-sama penting", propaganda Ketetapan (Tap) MPRS No XXV/MPRS/1966, propaganda negara tanpa "tentara", propaganda politik memaafkan, dan terakhir propaganda demokrasi dengan teologi inklusivisme.
Propaganda dapat juga berupa pembentukan opini dan stigmatisasi (memberikan cap/julukan tertentu pada suatu kelompok/individu tertentu).
Secara gambling dapat dikatakan, seorang jahat yang pandai mempropagandakan dirinya sebagai manusia baik, akan mendapatkan penilaian baik dari masyarakat apabila propagandanya dilakukan secara kontinu dan mengena sasaran. Dalam hal stigmatisasi, bisa dijelaskan sebagai berikut; si A adalah orang baik dan si B adalah si jahat yang amat pandai berpropaganda dan menguasai jalur informasi. Karena benci pada si A, si B terus menerus mencekoki masyarakat dengan propaganda bahwa si A adalah penjahat. Karena dilakukan secara terus-menerus dan sistematis, lambat laun A yang baik akan menjadi jahat di mata masyarakat. Di sini, informasi disebarkan untuk menciptakan opini yang diyakini sebagai fakta, dan bukan menyebarkan fakta sebagai informasi. Begitu hebatnya akibat propaganda sehingga bukan saja mampu mengubah pola pikir dan system social, tapi juga mendefinisikan the good one and the bad one. Pada masa sekarang, media massa (suratkabar, tabloid, majalah, televisi, radio, internet) adalah corong propaganda yang paling ampuh. Seiring makin mengglobalnya komunikasi dan makin dekatnya jarak antar manusia, maka propaganda pun kian meningkat. Sehingga tercipta idiom yang menguasai jalur informasi, akan menguasai dunia. Di era Soeharto atau yang lebih dikenal masa Orde Baru, propaganda politik yang pernah dilakukan antara lain; (1) propaganda menampilkan citra baik kepribadian pemimpin, (2) propaganda pembangunan ekonomi, (3) propaganda dengan organisasi berbasis militer, (4) propaganda sakralisasi Pancasila dan UUD 1945, (5) propaganda penertiban politik dan asas tunggal, dan (6) propaganda dengan politisasi agama. Pada era BJ Habibie propaganda yang sering diserukannya adalah tentang demokratisasi. Selain itu juga propaganda moral altruisme bangsa dan propaganda pseudo demokrasi. Untuk era Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang selama memimpin bangsa ini sangat dipenuhi pro-kontra di masyarakat, dinamika propaganda Gus Dur yang khas dan layak disimak dalam buku ini adalah propaganda menggunakan language politic, mempropagandakan fiqh politik, propaganda "kesejahteraan dan demokrasi sama-sama penting", propaganda Ketetapan (Tap) MPRS No XXV/MPRS/1966, propaganda negara tanpa "tentara", propaganda politik memaafkan, dan terakhir propaganda demokrasi dengan teologi inklusivisme.
Bentuk-bentuk media propaganda tsb al:
Dalam buku Komunikasi Propaganda Nurudin disebutkan, beberapa
media yang dapat digunakan dalam kegiatan propaganda, disebutkan: media massa,
buku, film, selebaran, permainan (game) dll.
Post a Comment