Teologi Pembebasan & Pembebasan Teologi[1]
Oleh : M. Hasanuddin
Wahid[2]
Sangat mustahil ! gerakan
(organ) mahasiswa zonder driving force spiritual
yang melatari semua sikap dan perilaku gerakannya. Terlebih sekelas PMII, maka
keberadaan teologi gerakan yang memandu organisasi melakukan elan pembebasan
dan pemberdayaan adalah conditio sine qua
non, keniscayaan yang tidak boleh terbantahkan. Soal krusial bagi PMII
bukanlah ketiadaan teologi gerakan, melainkan belum tuntasnya proses perumusan
ulang terhadap teologi gerakannya sekaligus bentuk implementasinya.
Tulisan ini bersengaja
merongrong status quo disapora wacana teologi di PMII yang kerap menisbikan
kesatuan gerak dan langkah kader dalam bernalar, bersikap maupun berperilaku,
baik dalam kerangka tuga organisasional, kebangsaan, keagamaan maupun
individual. PMII selama ini kaya teologi, tetapi hanya diwacanakan tidak
dilaksanakan, didiskusikan tetapi tidak dipribumisasikan, diperdebatkan tetapi
tidak pernah mempengaruhi praktek aktifitasnya, ditulis diberbagai paper,
artikel dan dibukukan tetapi tidak pernah disublimasikan kedalam gerak
organisasi, dipamer-pamerkan ke organisasi lain tetapi tidak pernah
diinternalisasi dalam sumbu gerak organisasi. Kalaupun ada, prosentasenya kecil
sekali, karena selama ini bukan teologi yang menggerakkan PMII tetapi
kepentingan aktualisasi diri atau bahkan pragmatisme pengurusnya saja yang
menjadikan titik pijak hidup-matinya PMII.
Apakah sudah separah itukah letak dan fungsi teologi
di PMII? Semoga penilaian ini salah, sebab hampir setiap kader PMII sangat
faham apa itu teologi, baik mulai yang konservatif hingga yang liberal-radikal
sekalipun. Kader PMII begitu “ngelontok” mendedah teologi dari mulai yang
paling fundamentalis ekstrim hingga paling rasional sekalipun. Jika sudah
begitu, lantas apalagi yang harus diperdebatkan di PMII terkait dengan teologi
gerakan? Rasanya tidak ada satupun Kongres PMII berlangsung tanpa ada pameran
tulisan tentang teologi, paradigma maupun strategi-taktik gerakan. Ratusan kali
nama-nama seperti Arkoun, Hasan Hanafie, Asghar Ali, Abid Al-Jabiri, Abdullah
Ahmed An-Na’im, hingga tokoh nasional sekelas Gus Dur, Cak Nur, Masdar, Ulil,
Baso maupun tokoh pemikir maupun aktifis Islam lainnya diperbincangkan. Pun
Kongres PMII juga tidak kurang-kurangnya mencomot pemikiran Marxisme, Gramsci,
Thomas Kuhn, Foucoult, Derrida, Giddens, wallerstein, Mao, Tan Malaka, dan lain sebagainya untuk
menjustifikasi gerak social organisasi. Ahli-ahli ilmo sosial kritis itu
dibedah dan ditransformasikan pemikiran mereka dalam konsep paradigma maupun
stratek gerakan PMII. Namun masalahnya adalah, proyek mercusuar disapora wacana
(free public sphere and free market ideas)
tersebut masih merupakan proyek “setengah jadi” belum tertuntaskan sampai ke
akar-akarnya. Alih-alih hal ini menjadikan kader menemukan kontekstualisasi
diri mereka, justru yang terjadi sampai sekarang adalah “banjir bandang” ilmu
sosial kritis yang tidak menemukan sandaran aplikatifnya.
Karena itu, tidak perlu
PMII berkecil hati, kita masih cukup belia memang dalam masalah merumuskan
teologi maupun tauhid gerakan, namun tidak ada salahnya kita harus mulai
mencambuki diri untuk melakukan upaya tidak kenal lelah menemukan rumusan ideal
teologi gerakannya, hingga sistem serta strategi apalikasinya agar idealitas
kader PMII yang berlandaskan dzikir, fikir dan amal soleh segera menemukan
momentum aktualisasinya. Sekarang yang diperlukan kader PMII dalam kerangka
kaderisasi adalah bagaimana kader terstimulus untuk menemukan dirinya, siapakah
dirinya dalam konjungtur gerak ke-PMII-an dengan mulai menyatakan bahwa dirinya
adalah kader “mujtahid” yang setiap nafas pikir dan geraknya sungguh-sungguh
dilambari oleh dasar teologis yang clear
and distinct mampu menggerakkan mereka dalam pribumisasi Islam rahmatan lil ’alamin, nilai-nilai
universal kemanusiaan (humanis), pembebas kaum mustadl’afin dan khalifatullah
fil’ardl.
Lacak Sejarah Paradigma Islam
(Teologi) Pembebasan
Sejarah bukanlah tumpukan
mitos, bukan pula suatu proyek arbitrer yang sama sekali tidak memiliki
kausalitas sosial. Berbekal inilah, Asghar
Ali Engineer, memasukkan pendekatan historis --selain pendekatan teologis
dan pendekatan sosiologis-- sebagai salah satu komponen penting memahami Islam
sebagai agama pembebasan. Islam tidak semata-mata mengandalkan dirinya pada
pendekatan teologis sebagaimana kisah-kisah nabi-nabi Israel yang dipaparkan
dengan penggambaran yang jelas dalam Al-Qur’an. Lebih dari itu, Islam juga
tidak mengabaikan kausalitas sosial sebagai interdependence
variable. Karena itu, teologi Islam sama sekali tidak melupakan
determinisme sejarah. Al-Qur’an sangat memperhatikan peristiwa sejarah beserta
segala pengaruhnya yang menentukan. Islam juga menanamkan kesadaran sejarah
pada umatnya (Asghar Ali, 1993;2).
Pemahaman Islam sebagai liberating force, sangat tidak bisa
dilepaskan dari kausalitas sosial Islam terkait dengan pembentukan sejarah
dengan segenap implikasinya. Artinya, asal usul Islam tidak bisa dilepaskan
dari konteks sosial dengan Mekkah yang pada saat itu merupakan pusat
perdagangan internasional sebagai setting-nya.
Kosmopolitanisme Mekkah salah satunya dapat diukur dengan banyaknya
pedagang-saudagar elit yang bergerak pada international
financial operations dan commercial
transactions (Mansur Faqih, 1994;228), dimana mereka melakukan konglomerasi
antar suku dan memonopoli perdagangan di kawasan kerajaan Byzantium. Kamus
hidup mereka hanya dipenuhi dengan pengembangan kepemilikan pribadi,
pelipatgandaan keuntungan, pemusatan kekayaan sekaligus mengakibatkan disparitas
ekonomi. Kontras dengan penduduk asli Mekkah yang lain, suku Badui, yang
memiliki cara pandang dan etika kesukuan tertentu berwatak egaliter. Suku-suku
ini hidup nomadik, karena itu tidak begitu mengembangkan tradisi kepemilikan
pribadi kecuali sebatas hewan peliharaan dan persenjataan ringan. Akumulasi dan
pemusatan kekayaan juga tidak ditemukan disebabkan ketiadaan ekonomi uang (cash economy) dan kesederhanaan hidup. (Asghar
Ali, 1993;4).
Etika masyarakat pedagang
elit dan masyarakat kesukuan ini pada akhirnya saling bertabrakan yang
mengakibatkan konflik dan mengakibatkan kekacauan (Malaise) di Mekkah (Faqih, 1994;228). Konflik-konflik itulah yang
mengakibatkan dan menjadi akar kebangkrutan sosial di Mekkah. (Asghar,1993;4).
Dalam suasana chaotic dan jahiliyah
inilah Muhammad SAW diutus oleh Allah untuk menyelamatkan Mekkah dan dengan
tegas Nabi SAW menentang praktek monopoli perdagangan dan kekayaan.(QS.104;2-9
dan QS. 102).
Dalam latar historis
seperti di atas, tampak jelas bahwa Islam lahir sebagai pembebas.Islam tidak
saja merupakan gerakan keagamaan belaka, melainkan juga melakukan transformasi
sosial --ketika Mekkah mengalami krisis sosial dan krisis moral—dengan
implikasi sosial ekonomi yang sangat mendalam. Islam lahir sebagai penantang
serius bagi kaum monopolis Mekkah. Jika kemudian para elit Mekkah menentang
Muhammad SAW dengan risalah Islamnya, maka sama sekali itu bukan didasarkan
pada keengganan mereka menyembah agama Tauhid, melainkan dikarenakan implikasi
sosial-ekonomi dari doktrin Islam yang melawan segala bentuk dominasi ekonomi
dan monopoli kekayaan. Dalam konteks ini, misi Muhammad adalah membebaskan
manusia dari segala bentuk penindasan dan ketidakadilan (Faqih, 1994;231)
Realitas lain yang
menggambarkan bahwa Islam bukan sekedar sebuah agama formal, melainkan juga
risalah agung bagi transformasi sosial dan tantangan bagi
kepentingan-kepentingan pribadi dibuktikan dengan ajarannya tentang shalat dan
zakat yang berdimensi sosial. Bahkan, hampir sebagian besar ajaran Islam
memberikan penekanan yang lebih terhadap muamalah
(ibadah sosial) daripada urusan mahdhah
(ibadah ritual)(Jalaluddin Rahmat, 1986;45-54). Sebagai agama yang lahir
dalam konteks kenagkrutan sosial Mekkah, Islam membebaskan manusia dengan
menghindarkan kemungkinan penumpukan kekayaan sebagai milik pribadi dan
sekaligus mengharamkan terjadinya kebahagiaan dan kesejahteraan hanya bisa
dinikmati oleh kelompok tertentu dari pada suatu
masyarakat.(Siddiqi,1985;30-31).
Dus, tak dapat disangkal
lagi bahwa Islam lahir sebagai agama yang membebaskan manusia dari segala
bentuk penindasan, eksploitasi serta ketidakadilan dan kesewenang-wenangan.
Karena itu, memahami Islam dengan tanpa melihat determinisme sejarahnya, hanya
akan mengakibatkan kita terjebak pada pemahaman yang parsial, menjebak dan
prematur. Tak dapat ditolak bahwa keseluruhan sistem dalam (ajaran) Islam
berorientasi pada terbentuknya sebuah masyarakat adil yang egaliter.
Teologi Gerakan PMII
Dalam konteks ini, maka penulis tawarkan bagaimana
Teologi (Tauhid) Gerakan PMII dimaknai
sebagai tidak saja menekankan pendekatan intelektual terhadap iman, ditekankan
pula pada iman yang penuh dengan kepasrahan, melainkan yang lebih penting
adalah bagaimana menekankan iman pada tindakan, dalam dunia dan sejarahnya yang
memberi motivasi terhadap kader PMII dan sejarah dunia ini. Seiring dengan itu
pemahaman mengenai Tuhan harus dimulai dari fakta historis. Tauhid hendaknya
diletakkan sebagai tindakan. Kalau tidak, dikhawatirkan seperti apa yang
terjadi sekarang ini, agama hanya terletak pada simbol dan institusi belaka.
Teologi PMII harus mampu
mengarahkan kita untuk mengupayakan lahirnya sebuah konstruksi masyarakat
ideal, masyarakat yang tidak dijamin oleh kekerasan, melainkan kehidupan
bersama yang dijamin oleh nilai-nilai universal keilahian, tanpa kekerasan.
Sebenarnya, Islam Ahlussunnah wal jama’ah
(Aswaja) sebagai manhajulfikr,
menuntut pentingnya perumusan ulang terhadap posisi manusia, baik di hadapan
Tuhan maupun di sisi manusia serta makhluk lainnya. Karenanya, rumusan Teologi
PMII tidak saja membicarakan Tuhan beserta sifat-sifatnya ataupun terlalu sibuk
membela Tuhan, baik yang terkait dengan keesaan, keadilan, maupun sifat-fat
ketuhanan lainnya. Tetapi, yang lebih penting adalah bagaimana teologi juga
memberi cakrawala yang lebih luas dari aplikasi sifat-sifat Tuahn tersebut.
Dus, rumusan Teologi PMII tidak saja membela Tuhan ‘di sana’ melainkan juga
membela manusia dan alam yang ‘di sini’, sebab bukankah membela manusia dan
alam seisinya merupakan bagian utama dari membela Tuhan?
Mengenal Tuhan bukanlah
hal yang jauh dari diri manusia (Ana
aqrabu min hablilwarid?), sebab Tuhan ada pada diri kemanusiaan itu
sendiri, sifat-sifat Tuhan ada dalam diri manusia sebagai wakil dari Allah
(khalifatullah). Hanya yang diperlukan oleh kita adalah bagaimana semua
kelengkapan keilahian ini mampu diimplementasikan untuk mewujudkan nilai-nilai
uniersal Islam di seluruh muka bumi ini dan sekaligus menegakkan HAM, demokrasi
dan keadilan sosial. Dengan begitu, setiap kader PMII itu selalu ‘saleh ritual’
sekaligus ‘saleh sosial’. Secara individual, kader PMII melalui perjuangan
melahirkan kreatifitas, mencipta, menebarkan kesejahteraan maupun menciptakan
masyarakat yang otonom, dan tidak mudah digiring oleh kekuatan hegemonik, baik
antar sesama manusia ataupun dalam bentuk kebendaan.
Rumusan sederhana di atas
di konsepsikan di PMII sebagai Teologi antroposentrisme-transendental sebuah
teologi yang meletakkan manusia sebagai subyek utama yang mewakili tugas-tugas
ketuhanan di bumi yang berjalan dan berproses hidup dalam sumbu poros
keilahian. Ingat, bahwa manusia memiliki kemerdekaan dan kekuatan untuk
menentukan nasib dirinya berdasarkan amanah Tuhan. Tugas kekhalifahan ini dalam
rekayasa sosial bukanlah reduksi melalui kemajuan tatanan material-temporal,
melainkan suatu tata cara yang dinamis dan spiritual. Tugas ini harus berlangsung secara ‘ajeg’
tidak boleh dimutlakkan atau di-mandek-kan. Ia merupakan gerak yang tidak
pernah terhenti, berlangsung terus (istiqomah) menuju kepenuhan (insan kamil).
Memang proses pencerahan terjadi dalam relung sejarah, namun hal ini tidak
boleh terhenti di sana, dan terus-menerus harus dikritik agar kekhalifahan kita
tidak menjadi penuhanan atas manusia dan kebendaan.
Pemahaman Islam sebagai
agama tauhid tidak bisa dilepaskan dari konteks sosio-historis, sosio-kultural
dan motivasinya sebagai “agama pembebas”. Islam datang untuk menegakkan kalimat
Laa ilaaha illaahu. Suatu kepercayaan
(aqidah) yang meletakkan kepercayaan kepada Allah SWT. secara transendental,
dengan menisbikan tuntutan ketaatan kepada manusia dengan berbagai jenis
kelamin, ras, etnis, warna kulit maupun status sosialnya. Ia merupakan teologi
yang tidaklah teocentris (ana abdullah) yang menjadikan manusia
hanya semata obyek ketuhanan, maupun antropocentris
(ana insan), yang memposisikan
sebagai penentu segalanya, termasuk menentukan ‘jenis keyakinan’ seperti apa
yang harus dipeluk. Teologi ini juga tidak menempatkan manusia pada posisi
kontradiktif antara manusia sebagai khalifatullah
yang bertugas memakmurkan bumi maupun manusia sebagai abdullah yang berkewajiban mengabdi dan menyembah Allah sepenuhnya.
Justru yang hendak di raih adalah totalitas khalifatullah
sekaligus dalam proses abdullah,
seperti yang pernah ditauladankan dengan baik oleh Muhammad SAW.
Karena itu, tauhid gerakan
PMII harus dimulai dengan meredefinisi (dekonstruksi jika perlu) konsep tentang
teologi, berteologi, serta kaitannya dengan realitas umat, negara, sosial,
ekonomi, budaya dan lain sebagainya. Teologi dan tauhid gerakan yang harus
dilahirkan nantinya adalah teologi yang mampu menerjemahkan misi liberasi dan
transformasi agama dalam konteks pemuliaan terhadap harkat kemanusiaan,
penghilangan dikhotomi gerakan politico-struktural dan socio-kultural dalam khidmat
berbangsa dan bernegara Indonesia. Pembebasan teologi di PMII dimaksudkan agar
pemikiran dan gerakan tauhid (teologi) yang sedang terjadi di Indonesia kembali
menemukan elan revolusionernya seperti yang pernah ditunjukkan Muhammad
Rasulullah, untuk mewujudkan misi liberasi dan transformasi agama sehingga
melahirkan motivasi dan etos kerja yang nantinya akan memberikan tawaran sistem
tauhid dan teologi yang mampu menyadarkan dan memotivasi manusia untuk
berpartisipasi membebaskan diri mereka dari belenggu kebodohan, kemiskinan dan
keterbelakangan baik secara spiritual maupun material.
Teologi (tauhid) PMII
seyogyanya terlahir dari khazanah darn tradisi pergulatan pemikiran dalam
sejarah panjang umat Islam, yakni ; mampu mewarisi revolusionernya teologi Khawarij, toleran dan tasamuh-nya Murji’ah, loyalitasnya Syi’ah,
rasionalismenya Mu’tazilah, dan tawasuth dan tawazun-nya Asy’ariyyah.
Teologi yang bersifat eklektik ini bukanlah untuk men-talfiq-kan teologi, melainkan mengambil spirit positif dari masing-masing
teologi yang pernah tumbuh-kembang di perjalanan historis umat Islam. Ia lebih
merupakan mengambil prinsip dasar dari bangunan teologi yang pernah dibawakan
oleh Rasulullah itu sendiri serta para nabi sebelumnya. Karena itu, kita
hanyalah memberikan sentuhan seperlunya dengan melihat konteks kekiniaan dan
kedisinian agar teologi PMI itu tidak saja membebaskan, melainkan juga
melahirkan motivasi untuk selalu mencambuki diri menuju khalifatullah sejati,
melahirkan etos kerja dan aktualisasi fitrah kemanusiaan menuju insan kamil.
Setimbang dengan proposisi
di atas, maka teologi antropocentrisme trancendental PMII dapat dimaknai
sebagai;
- Sebagai
teologi gerakan, ia tidak hanya berisi tauhid, namun juga berisi
prinsip-prinsip dasar syari’ah dan sekaligus akhlaq, sebab teologi dalam
hal ini dimaknai sebagai world of
view umat Islam.
- Sebagai
teologi yang menempatkan manusia pada kedudukan kemakhlukan tertinggi yang
diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang memiliki kesempurnaan keadaan (ahsan al-taqwim).
- Sebagai
teologi gerakan yang meng-ejawantah-kan nilai dasar kehidupan manusia yang
sesuai dengan martabatnya: pelestarian hak asasi secara individual maupun kolektif, pelestarian
hak mengembangkan pemikiran sendiri, takut terhadap ancaman pengekangan,
Hak mengemukakan pendapat secara terbuka, dan pengokohan kepribadian tanpa
campur tangan dari orang lain.
- Sebagai
teologi yang menempatkan manusia dengan memberi hak sebagai pengganti
Allah (khalifah Allah) dimuka
bumi, sebagai fungsi kemasyarakatan yang mengharuskan manusia untuk
memperjuangkan dan melestarikan cita hidup kemasyarakatan yang mampu
menyejahterakan manusia secara
menyeluruh dan tuntas (rahmatan li
al-alamin).
- Sebagai
teologi yang mengharuskan manusia menjadi subyek perdamaian, kasih sayang,
saling kasih, asih asah asuh dengan sesamanya tanpa mempertimbangkan
perbedaan apapun secara lintas agama, kultur dan lintas etnis.
- Sebagai
teologi yang menjadikan manusia memiliki tugas untuk menentang pola
kehidupan bermasyarakat yang eksploitatif, tidak manusiawi dan tidak
berasaskan keadilan dalam arti yang mutlak.
- Sebagai
teologi yang mendapatkan manusia sebagai makhluq yang mempunyai
kemampuan fitri, akali dan persepsi
kejiwaan untuk tidak hanya mementingkan masalah-masalah dasar kemanusiaan
belaka.
- Sebagai
teologi yang berusaha mewujudkan
liberasi dan transformasi
agama, being religious, not
having religion
- Sebagai
teologi yang menata sistem keyakinan yang dianut masyarakat tertindas,
sehingga melahirkan motivasi dan etos kerja.
- Sebagai
teologi yang menawarkan sistem teologi yang mampu menyadarakan dan
memotivasi rakyat untuk berpartisipasi dalam usaha membebaskan diri mereka
sendiri dari kemiskinan, kebodohan, penindasan, keterbelakangan dan
ketidakadilan untuk memperoleh kehidupan yang layak dan mulia sebagai
manusia.
Artinya, teologi gerakan ini adalah pandangan
dunia tauhid kader yang tidak saja men-Esa-kan Tuhan melainkan juga melahirkan
motivasi dan etos kerja yang tinggi. Teologi yang menggerakkan kader tidak saja
tunduk dan berserah diri kepada ajaran Ilahi melainkan juga menggerakkan mereka
untuk ‘melek sosial’ dan menjadi aktor sejarah, tokoh penting perubahan atau
bahkan menjadi sang perubah itu sendiri. Perubahan ini semua diarahkan hanya
untuk menegakkan kalimatun sawa’ dalam
konteks keislaman dan keindonesiaan.
Syarat untuk melakukan itu tentunya kader PMII
harus terus melakukan pembacaan dan kritik sejarah, akumulasi pengetahuan,
memperluas networking dan melakukan diaspora. Semua ini harus dilakukan secara
konsisten, dalam gerak ritmis disiplin diri dan organisasi dengan kesadaran
kritis.
Lantas pertanyaannya adalah bagaimanakah rumusan
ini menjadi mudah dipahami (di-internalisasi) oleh kader, konstektual, dan
aplikatif-operable? Tentulah
membutuhkan campur tangan banyak pihak di PMII untuk mencarikan rumusan
operasionalnya dari teologi di atas yang sekali lagi tidak hanya dalam bentuk
kertas kerja, konsep paper atau buku-buku kaderisasi dan ideologi maupun
paradigma di PMII melainkan dalam bentuk sistem menyeluruh yang tertuang di atas
kertas, terendapkan dalam nalar dan batin kader serta ternyatakan dalam setiap
tindakan kader dan organisasi. Last but
not least, Bersediakah sahabat-sahabat semua bersama-sama memikirkan dan
menerapkan itu semua dalam bentuk nyata? Bersediakah sahabat-sehabat semua
untuk tidak saja melakukan pendekatan intelektual dan spiritual terhadap iman
melainkan juga menekankan iman pada
tindakan, iman yang melahirkan motivasi dan etos kerja yang mampu
memaksa diri pribadi kader maupun organisasi menjadi lebih baik lagi ? wallahu’alam bisshowab...
Post a Comment