BAB I
PENDAHULUAN
Kaidah yang khusus di bidang Muamalah menjadi
sangat penting karena perhatian sumber
hukum islam yaitu al-Qur’an dan Hadis terkait ibadah mahdhoh dan hukum keluarga
islam lebih dominan dibanding dengan fikih-fikih yang lain. Akibatnya, di
bidang fikih-fikih selain ibadah mahdhoh dan hukum keluarga islam, ruang lingkup ijtihad menjadi sangat luas dan
materi-materi fikih sebagai hasil ijtihad menjadi sangat banyak.
Al-Qur’an dan Hadis untuk bidang selain ibadah
mahdhoh dan hukum keluarga islam hanya menentukan garis-garis besarnya saja
yang tercermin dalam dalil-dalil yang bersifat umum. Hal ini tampaknya erat
kaitannya dengan fungsi manusia yang selain sebagai hamba Allah juga sebagai khalifah fi al-ardh.
Oleh karena itu, dalam makalah ini pemakalah
membatasi masalah-masalah atau kaidah-kaidah yang berkaitan dengan fikih
muamalah saja. Adapun kaidah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah kaidah ‘amm yaitu Idzā
bathala as syai’u bathala mā fiy dhamnihi.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Teks Kaidah
إذَا بَطَلَ
شَيْءٌ بَطَلَ مَا فِي ضِمْنِهِ
(Idzā bathala as syai’u bathala mā fiy dhamnihi)
2.
Arti Kaidah
“Apabila sesuatu akad batal, maka
batal pula yang ada dalam tanggungannya”
3.
Maksud Kaidah
Kaidah ini
lebih relevan apabila diaplikasikan dalam bab buyu’, lebih jelasnya dapat diperhatikan dari contoh ini: penjual
dan pembeli telah melaksanakan akad jual beli. Si pembeli telah menerima barang
dan si penjual telah menerima uang. Kemudian kedua belah pihak membatalkan jual
beli tadi. Maka, hak pembeli terhadap barang menjadi batal dan hak penjual
terhadap harga barang menjadi batal. Artinya, si pembeli harus mengembalikan
barangnya dan si penjual harus mengembalikan harga barangnya. Karena pada dasarnya
hukum asal atau dasar pada syarat-syarat dalam bermu’amalah itu halal dan
mubah, sebagaimana termaktub dalam legal maxim:[1]
الأصل في
الشروط في المعاملات الحل والإباحة إلا بدليل
Dan ada juga legal maxim yang menegaskan tentang bukti mu’amalah dapat
dilihat dari perbuatan dan perkataan âqidain:[2]
تنعقد المعاملة
بما يدل عليها من قول أو فعل
Secara bahwa dalam
setiap akad, shighat akad harus
selalu diekspresikan karena merupakan indikator kerelaan dari âqidain. Pertanyaan yang kemudian
muncul, “bagaimanakah kedudukan hukum jual-beli saat ini yang tidak melibatkan
shighat akad dari kedua belah pihak? Pihak pembeli hanya membayar harga dan
penjual memberikan barang tanpa mengucapkan lafal
atau ungkapan apa-apa. Pada umumnya para ulama memperbolehkan jual-beli atau
akad semacam ini dan mereka menyebutnya ‘aqd
bit ta'athi karena tradisi dan kebiasaan hidup manusia ('urf) menginginkan hal-hal yang praktis
dan tidak bertele-tele dalam bisnis. Di samping itu kebiasaan yang sudah
menjadi fenomena biasa ini juga menjadi standar dan ukuran bahwa praktik
demikian telah diterima oleh semua pihak dan tak seorangpun dari mereka yang
merasa keberatan. Bahkan sebagian fuqahâ’ (madzhab Hanafi) membolehkan tidak
saja dalam jual-beli yang remeh seperti telur, roti dan lain-lain tetapi juga
membolehkannya pada semua transaksi besar seperti rumah dan mobil. Sebagaimana termaktub dalam kaidah fiqh:[3]
“anna al ‘urfa
khâshun bi al aqwâl wa al ‘âdatu khâshatun bi al af’âl”
Sementara itu
madzhab Maliki tidak mensyaratkan 'urf
sebagai patokan indikator kerelaan pihak yang melakukan akad. Baginya akad
adalah sah apabila terselenggara secara suka rela. Tentu pendapat ini lebih
luas dan lebih mudah dari pendapat Hanafi. Kasus sebaliknya, hampir semua fuqaha tidak berikhtilaf tentang mu’amalah
yang tidak sah apabila di dalamnya terdapat unsur gharar dan jahâlah.[4]
كل معاملة فيها غرر أو جهالة فيما يقصد فهي
باطلة
4.
Aplikasi Kaidah إذَا بَطَلَ شَيْءٌ بَطَلَ مَا فِي ضِمْنِهِ
a.
Apikasi
Kaidah dalam Fikih Muamalah
Adapun
aplikasi kaidah tersebut lebih relevan diaplikasikan pada bab buyu’ (jual
beli). Adapun jual beli secara
etimologi adalah mengambil dan memberikan sesuatu. Adapun secara istilah
syari’at yaitu :“menukar harta walaupun dalam tanggungan atau dengan
manfaat yang mubah bukan ketika dibutuhkan dengan yang semisal, untuk dimiliki
selama-lamanya bukan riba bukan pula hutang piutang”.
Penjelasan
Definisi
(Menukar harta)
yang dimaksud dengan harta disini adalah setiap benda yang mubah dimanfaatkan
bukan dalam keadaan hajat seperti emas, perak, gandum, kurma, garam, kendaraan,
bejana, harta diam dan lain-lain.
(Walaupun dalam tanggungan)
maknanya bahwa ‘aqad terkadang terjadi dengan sesuatu yang tertentu dan
terkadang dengan sesuatu yang dalam tanggungan. Contoh bila engkau berkata :”
Aku beli bukumu dengan bukuku ini “. Ini dengan sesuatu tertentu. Tapi bila
engkau berkata :” Aku beli bukumu dengan harga sepuluh ribu “. Maka ini dengan
sesuatu dalam tanggungan. Masuk pula dalam definisi ini menjual sesuatu dalam
tanggungan dengan sesuatu dalam tanggungan seperti engkau berkata :” Aku beli
gula satu kilo dengan harga sepuluh ribu “. Lalu si pedagang pergi untuk
menakar gula, dan engkau mengambil uang dari saku dan membayarnya.
(Atau dengan manfaat yang mubah) maknanya atau
menukar harta dengan manfaat yang mubah, seperti membeli manfaat jalan setapak
milik orang lain untuk lalu lalang. Keluar dari definisi ini manfaat yang haram
seperti alat alat musik dan sebagainya.
(Bukan ketika dibutuhkan) keluar darinya barang
yang boleh dimanfaatkan ketika dibutuhkan, seperti boleh makan bangkai ketika
kelaparan, maka bangkai haram diperjual belikan karena manfaatnya mubah ketika
dibutuhkan saja.
(Dengan yang semisal) maknanya menukar uang
walaupun dalam tanggungan atau dengan manfaat yang seharga dengannya.
(Untuk dimiliki selama-lamanya) keluar darinya
kontrakan, dan rental.
(Bukan riba bukan pula hutang piutang) karena
keduanya tidak disebut jual beli walaupun terdapat padanya menukar harta.
Adapun contoh aplikasi kaidah “Idzā bathala as syai’u bathala mā fiy dhamnihi”
yang sudah menjadi kebiasaan dalam fikih muamalah
yang sering dilakukan antara lain :
1.
Pernyataan di kuitansi bahwa
“Barang yang sudah dibeli tidak boleh dikembalikan”
2.
Pembeli minta harga dikurangi atau
ditambah jumlah/spesifikasi barang ketika penyerahan barang setelah ijab kabul
(kesepakatan) sudah dilakukan kedua belah pihak sebelumnya.
3.
Penjual minta tambahan uang lebih
ketika penyerahan barang dengan alasan biaya administrasi, ongkos kirim dan
lain-lain
Pernyataan di
kuitansi jual beli bahwa “Barang yang sudah dibeli tidak boleh dikembalikan”
Dengan pernyataan seperti ini, maka pihak penjual menolak atau
tidak menerima adanya khiyar. Hal ini banyak dilakukan oleh para penjual
di toko-toko. Dengan melakukan hal ini maka penjual menutup pintu (mengharamkan)
khiyar bagi pembeli. Hal ini tidak sesuai dengan konsep fikih muamalah.
Padahal khiyar itu disyariatkan atau dibolehkan dalam Islam karena
bisa jadi ada syarat yang tidak terpenuhi atau cacat barang yang tidak
diketahui oleh pembeli sehingga ada pihak yang tidak ridha atau merasa
dirugikan.
Rasulullah Saw bersabda, “Penjual dan pembeli memiliki hak pilih
selama belum berpisah. Apabila mereka jujur dan mau menerangkan (keadaan
barang), mereka akan mendapat berkah dalam jual beli mereka. Dan jika mereka
bohong dan menutupi (cacat barang), akan dihapuskan keberkahan jual beli mereka”.
(Shahih Muslim No. 2825)
Imam Ahmad RA menjelaskan dalam kitabnya Al-Mughni bahwa
kalau barangnya rusak pada masa khiyar maka ada 2 kemungkinan, bisa
terjadi sebelum serah terima barang atau sesudahnya :
1.
Jika barang rusak sebelum serah
terima maka akad menjadi faskh (batal), maka barang yang menjadi
tanggungannya pun harus di kembalikan dan uangnya diambil kembali atau uangnya
tidak diambil tapi barangnya ditukar dengan yang baik. Itu sesuai dengan konsep
fikih muamalah yang tertuang dalam kaidah “Idzā bathala as syai’u bathala mā
fiy dhamnihi.
Disinilah pentingnya penjual mengetahui cacat atau rusaknya barang
karena ketika menjual, hukumnya wajib untuk memberitahunya kepada pembeli
sehingga pembeli tidak merasa dibohongi. Kalau tidak ada dusta diantara penjual
dan pembeli maka Allah Swt menurunkan keberkahan dalam akad jual beli tersebut.
2.
Jika barang
rusak oleh pembeli maka hak khiyar-nya batal maka tidak oleh meminta
uang kembali dan barang yang menjadi tanggungannya tidak bisa dikembalikan
kepada penjualnya.
Pembeli minta
harga dikurangi atau ditambah jumlah/spesifikasi barang ketika penyerahan
barang setelah ijab kabul (kesepakatan) sudah dilakukan kedua belah
pihak sebelumnya
Hal ini banyak dilakukan oleh pembeli terutama di pasar-pasar
monopoli yaitu setelah selesai akad (ijab kabul) antara penjual dan
pembeli dengan harga dan jumlah/spesifikasi barang yang telah disepakati kedua
belah pihak kemudian keduanya berpisah dengan perjanjian bahwa barangnya akan
dikirim tanggal sekian.
Ketika sudah masuk tanggal pengiriman barang, pembeli dengan dengan
seenaknya minta potongan harga atau jumlah barangnya ditambah, padahal
barangnya tidak ada masalah, apalagi ditambah ancaman kalau tidak dikabulkan
permintaannya, dia akan melakukan khiyar (pembatalan). Inilah khiyar
yang melanggar syar’i. kalaupun ada pembatalan yang dilakukan oleh
pembeli maka barang yang menjadi tanggungannya harus dikembalikan ke penjual
sesuai dengan kaidah “Idzā bathala as syai’u bathala mā
fiy dhamnihi.
Kalaupun penjual mengabulkan keinginan si pembeli tersebut maka bisa
dalam keadaan terpaksa dan hal ini bisa menimbulkan ketidakridhaan atau
keterpaksaan dari pihak penjual. Ketika salah satu pihak tidak ridha maka Allah
Swt mencabut keberkahan dari akad tersebut.
Penjual minta
tambahan uang lebih ketika penyerahan barang dengan alasan biaya administrasi,
ongkos kirim dan lain-lain.
Hal ini biasanya terjadi di proyek-proyek atau perkantoran yaitu
ketika akad jual beli sudah disepakati, kemudian pekerjaan sudah berjalan dan
dikerjakan dengan baik, ketika akan dilakukan pembayaran, pihak pembeli
(kantor) memotong jumlah uang yang akan dibayar dengan alasan biaya
administrasi dan lain-lain.
Kalau keinginannya tidak dikabulkan, maka ada ancaman bahwa
pembayaran akan dipersulit, akan terjadi pembatalan (khiyar), tidak akan
diberi pekerjaan lagi dan lain-lain.
Kalau menyesuaikan dengan kaidah “Idzā bathala as syai’u bathala mā
fiy dhamnihi” maka pihak kantor yang telah membatalkan aqad harus mengembalikan apa
yang menjadi tanggungannya atas pekerja tersebut selama ia bekerja atau memberi
upah yang seharusnya dimiliki oleh pekerja tersebut.
b. Aplikasi Kaidah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi
Syari’ah
Pasal 93
(1) Dalam jual-beli yang fasad,
masing-masing pihak mempunyai hak untuk membatalkan akad jual beli.
(2) Jika pembeli telah mengubah
barang yang telah diterimanya maka ia tidak punya hak untuk membatalkan akad
jual beli.
Pasal 94
Dalam hal pembatalan
jual-beli fasad, jika harga telah dibayar dan diterima
oleh penjual, maka pembeli mempunyai hak untuk menahan
barang yang dijual sampai penjual mengembalikan
uangnya.
Pasal 108
(1) Setelah akad jual-beli pesanan
mengikat, tidak satu pihak pun boleh tawar-menawar
kembali terhadap isi akad yang sudah disepakati.
(2) Jika objek dari barang pesanan
tidak sesuai dengan spesifikasinya, maka pemesan dapat menggunakan hak pilihan (khiyar)
untuk melanjutkan atau membatalkan pesanan.
Pasal 264
(1) Uang muka ijarah yang sudah
dibayar tidak dapat dikembalikan kecuali ditentukan lain dalam akad.
(2) Uang muka ijarah harus
dikembalikan oleh pihak yang menyewakan jika pembatalan ijarah dilakukan oleh
pihak yang menyewakan.
(3) Uang muka ijarah tidak harus
dikembalikan oleh pihak yang menyewakan jika pembatalan ijarah dilakukan oleh
pihak yang akan menyewa.
BAB III
PENUTUP
إذَا بَطَلَ شَيْءٌ بَطَلَ مَا فِي ضِمْنِهِ
“Apabila
sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam tanggungannya”.
Dari pembahasan di atas, bisa disimpulkan bahwasanya kaidah “Idzā
bathala as syai’u bathala mā fiy dhamnihi” mempunyai dempak besar
dalam ijtihad-ijtihad fikih, khususnya fikih muamalah. Kaidah ini juga banyak
diaplikasikan dalm fikih muamalah dan kebiasaan sehari-hari. Seperti jual beli,
khiyar dan lain sebagainya. Dalam kehidupan sehari-hari kita sebenarnya masih
banyak hal-hal yang masih menyimpang dari islam sendiri. Oleh karena itu, kita
sebagai umat islam haruslah memperhatikan aspek-aspek keislaman kita. Makalah
ini hanya sebagian kecil dari kaidah-kaidah fikih yang harus diaplikasikan
dalam kehidupan kita sehari-hari.
Semoga makalah ini bisa membuat dampak besar bagi umat islam khususnya
agar lebih memperhatikan nilai-nilai keislaman dengan benar. Dan bisa
memberikan manfaat yang besar bagi pembacanya. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Kamil, Umar Abdullah. Tt. al-Qowa’idul Fiqhiyyah al-Kubro wa Atsaruha
fil Mu’amalat al-Maaliyah, “Disertasi”. Mesir: Jami’ah al-Azhar as-Syarif.
Al-Suyuthi, Jalaluddin. 1415 H/1994 M. al-Asybah
wa al-Naza’ir. Beirut: Muassasah al-Kutub al-Saqofiyah.
Asmuni. Teori Ganti Rugi (Dhaman) Perspektif Hukum Islam. Journal Lā Ribā.
As-Sa’idan, Walid Ibnu Rasyid. Tt. Qowa’idul Buyu’ wa Faraidul Furu’.“Paper”.
Atasi. 1352 H. Syarah Majallatu al-Ahkam
al-‘Adliyah. Suriah: Hims.
Djazuli, A. 2006. Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Masalah-Masalah
yang Praktis. Jakarta: Kencana.
Karim,
Adiwarman A. 2003. Bank Islam : Analisis
Fiqh dan Keuangan. Jakarta, IIIT Indonesia.
Mudjib, Abdul. 2001.
Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh (al-Qowa’idul Fiqhiyyah). Jakarta: Kalam Mulia.
Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah
[1] Walid Ibnu Rasyid as-Sa’idan, Qowa’idul
Buyu’,,, hal. 25.
[2] Ibid., hal. 15.
[3] Umar Abdullah al-Kamil, al-Qowa’idul
Fiqhiyyah al-Kubro wa Atsaruha fil Mu’amalat al-Maaliyah, “Disertasi”
(Mesir: Jami’ah al-Azhar as-Syarif, tt), hal. 155.
[4] Walid Ibnu Rasyid as-Sa’idan, Qowa’idul
Buyu’,,, hal. 39.
Post a Comment