BAB I
PENDAHULUAN


A.    LATAR BELAKANG

Pada awal abad ke 3 hijriyah, ditengah tengah pesatnya perhatian ulama terhadap ilmu fiqih dan berkembangnya kajian-kajian fiqih di berbagai wilayah, kebebasan berpendapat mulai mengalami penahanan. Seiring dengan hal tersebut, pemerintahan Daulat Bani Abbasiyah pun mengalami pergolakan, dikarenakan adanya pro-kontra terhadap sikap kepemerintahan yang dinilai tidak tegas sehingga menimbulkan fanatisme kesukuan dan kecenderungan pemahaman fiqih yang mendominasi daerah-daerah tertentu mulai melakukan pembelaan terhadap madzhabnya. Ditambah dengan kondisi sosial politik yang tidak menentu, maka pada pertengahan abad ke 4 H, pemerintah daulat bani abasiyah mulai terpecah-pecah menjadi negara-negara kecil yang memiliki otonomi sendiri yang saling  bersaing dan berperang hingga jatuhnya kota baghdad.
Rangkaian peristiwa tersebut memicu munculnya periode penutupan pintu ijtihad karena tidak adanya orang yang mampu lagi berijtihad. Mereka merasa tidak mampu lagi menyamai keluasan dan kecerdasan berfikir para ulama terdahulu, sehingga mereka hanya mengadakan pembelaan terhadap madzhab masing-masing. Hal seperti ini menyebabkan semakin banyaknya perbedaan dalam pemecahan masalah yang semakin kompleks.
Dengan adanya perbedaan pendapat ulama tentang pemecahan – pemecahan masalah, baik itu dalam hal ibadah, ketuhanan, syari’at dan masih banyak lagi, akhirnya muncullah imam-imam madzhab dengan membawa hasil ijtihadnya masih-masing. Ijtihad para imam tersebut untuk meminimallisir perbedaan serta untuk menemukan keputusan hukum yang benar atau mendekati kebenaran.
Berdasarkan fenomena diatas, maka kiranya sangat perlu untuk mengkaji lebih lanjut tentang keadaan tasyri’, gejala-gejala yang mendasari fenomena tasyri’ serta sumber-sumber tasyri’ yang digunakan pada masa tersebut. Agar dapat difahami betul runtutan penetapan hukum (tarikh at tasyri’) dari masa rasulullah, sampai sekarang. Selanjutnya, lebih jauhh lagi didalam makalah ini akan dibahas mengenai hal-hal tersebut, tahapan serta perkembangan tasyri’ pada masa murajjihun.

B.     TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan pada latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka dapat diketahui tujuan dari makalah ini. Yaitu :
1.      Untuk mengetahui asal kemunculan murajjihun.
2.      Untuk mengetahui gejala-gejala tasyri’ pada masa murajjihun.
3.      Untuk mengetahui keadaan tasyri’ pada masa tersebut.
4.      Untuk mengetahui sumber-sumber tasyri’ yang menjadi acuan dalam masa murajjihun.
5.      Untuk mengetahui cara penetapan hukum/ tarjih pada masa tersebut.

C.    RUMUSAN MASALAH
Adapun yang menjadi rumusan masalah pada malkalah ini adalah :
1.      Apa yang menjadi penyebab kemunculan kaum murajjihun?
2.      Apa saja yang menjadi gejala-gejala tasyri’ pada masa murajjihun?
3.      Bagaimana keadaan tasyri’ pada masa murajjihun?
4.      Apa saja sumber-sumber tasyri’ yang digunakan pada masa tersebut?
5.      Bagaimana cara kaum murajjihun menetapkan hukum (mentarjih) pada masa mereka?



BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian Tarjih dan Murajihhun
Secara bahasa, kata tarjih berasal dari kata رجح – يرجح yang berarti menguatkan[1]. Sedangkan secara terminologi, ada beberapa  pendapat yang diajukan oleh ulama fiqih mengenai pengertian tarjih, yaitu :
a.         Kelompok pertama :  Tarjih adalah hasil pemikiran para mujtahid. Tokoh dari kelompok ini antara lain :
1)      Ar Razi mendefinisikan tarjih dalam pengertiannya, sebagai berikut :
تقوية احد الطريقين على الا خر ليعلم الاقوى فيعمل به ويطرح الاخر
“menguatkan satu dalil atas dalil lainnya, agar dapat diketahui mana dalil yang lebih kuat untuk diamalkan dan menggugurkan yang lainnya “
2)      Al Baidlawi mendefinisikannya sebagai berikut :
تقوية احدى الامارتين ليعمل بها
“menguatkan salah satu tanda (dalil) untuk diamalkan.”
3)      An Nasafi mendefinisikan tarjih, dalam kitabnya “ kasyf al asrar” sebagai berikut :
اظهار الزيا د ة لاحد المثلين على الاخر وصفا لا اصلا
“menampakkan nilai lebih salah satu dari dua dalil yang sama (kekuatannya) dari segi sifat (karakternya) bukan asalnya”
b.         Kelompok kedua : berpendapat bahwa tarjih adalah karena karakteristik dalil itu sendiri. Tokoh-tokoh dari pendapat ini antara lain :
1)   Al amidi
اقتران احد الصالحين للدلا لة على المطلوب مع تعارضهما بما يوجب العمل به واهمال الاخر
“membandingkan salah satu dari dua dalil yang patut dijadikan dasar hukum yang saling bertentangan berdasarkan sesuatu yang mengharuskannya untuk diamalkan dan menggugurkan dalil lainnya.”
     Dalam pendapatnya, al amidi menjelaskan bahwasannya tarjih boleh dilakukan setelah terbukti ada pertentangan. Pertentangan tersebut tidak akan terwujud bila dua dalil tidak ada kepatutan. Artinya dua dalil tersebut harus sama-sama bisa diterima.
2)   Ibnu hajib, mendefinisikannya sebagai berikut
اقتران الامارة بما تقوى به على معا رضها
“membandingkan dalil dzanni dengan berdasarkan sesuatu yang menguatkan atas dalil yang menentangnya”
c.    Ulama hanafiyah
اظهار زيادة لأحد المتتاثلين على الأخر بما لا يستقبل
“memunculkan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang sama (sederajat), dengan tambahan yang tidak berdiri sendiri.[2]
d.   Jumhur ulama
تقوية احدى الامارتين على الاخرى ليعمل بها
“menguatkan salah satu dalil yang dzonni dari yang lainnya untuk diamalkan (diterapkan) berdasarkan dalil tersebut.[3]

                    Adapun pengertian dari murajjihun ialah orang-orang yang mampu mentarjih (menganggap kuat), suatu pendapat bagi imam madzhab terhadap pendapat lainnya. Dalam artian menguatkan pendapat imam suatu madzhab dengan membandingkan kekuatan imam madzhab tersebut terhadap muridnya atau imam lainnya[4].

B.     Awal  Kemunculan Murajihun dan gejala-gejala tasyri’ pada masa ini.
Setelah rasaulullah SAW wafat, aktifitas ijtihad menjadi semacam trend keilmuan di kalangan para ulama. Keadaan ini bertujuan untuk mecari solusi atas problematika yang timbul di tengah-tengah masyarakat. Dimana semakin berkembangnya zaman, maka masalah dan konflik menjadi semakin kompleks, sehingga ijtihad menjadi urgent, dan sangat dibutuhkan didalamnya.
Namun setelah abad pertengahan ke-4 hijriyah, ijtihad menjadi bumerang dari perpecahan umat islam. Masalah ini terjadi karena aktifitas ijtihad sudah terkontaminasi oleh politik dan kekuasaan. Ijtihad diposisikan sebagai justifikasi atas kebijakan dan sikap politis para penguasa, sehingga ijtihad berfungsi hanya sebagai kedok.
Sejalan dengan keadaan ini, akhirnya para ulama menyatakan untuk menutup pintu ijtihad, agar tidak ada orang yang menyalahgunakan ijtihad bagi kepentingan prinbadi atau golongannya. Menurut pendapat az zarqa, ada tiga faktor yang memicu penutupan pintu ijtihad, sehingga menjadi gejala awal dari tasyri’ pada masa ini, yaitu[5] :
1.      Dorongan para penguasa kepada hakim (qodli) untuk menyelesaikan perkara di pengadilan dengan merujuk kepada salah satu madzhab fiqih yang disetujui khalifah saja.
2.      Munculnya sikap at taassub al madzhabi yang menimbulkan sikap kebekuan berfikir dan taqlid[6] di kalangan murid imam madzhab.
3.      Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing madzhab yang memudahkan orang untuk memilih pendapat madzhabnya dan menjadikan buku tersebut rujukan bagi masing-masing madzhab, sehingga aktivitas ijtihad benar-benar berhenti.
Dengan tertutupnya pintu ijtihad ini, maka timbul dampak positif dan negatif pula. Dampak positifnya adalah meminimalisir konflik politik dan perpecahan umat islam dengan berpegang teguh pada hasil ijtihad madzhab sebelumnya. Namun tak sedikit pula dampak negatif yang ditimbulkan, antar lain; melemahnya semangat keilmuan, stagnasi pemikiran, pudarnya sikap independensi berfikir, dan kecenderungan untuk taqlid. Banyak cendekiawan muda berfikir bahwa usaha dan pemikiran mereka tidak akan dapat menyamai ulama-ulama sebelumnya. Dengan adanya situasi tersebut maka setiap orang lebih memilih satu madzhab tertentu, untuk mendapat kepuasan atas masalahnya, sandaran hidup atau sekedar penetapan kebijakan politik.
Dalam praktiknya ternyata tidak semua masalah dapat terselesaikan secara tuntas, karena banyak ditemui beberapa dalil bertentangan yang menunjukkan hukum atas suatu masalah  mukallaf. Sehingga para cendekiawan serta ulama  yang menguasai ilmu fiqih mulai bermunculan, dan kemudian dikenal dengan mujtahid tarjih, yaitu orang yang menguasai ilmu fiqih dengan baik (memahami pendapat para imam madzhab dan dalil-dalilnya), bisa mengaplikasikannya serta mandiri melakukan ijtihad. Disisi lain, mereka juga bukan seorang mujtahid yang terikat dengan kaidah imamnya, oleh karena itu mereka bnyak melakukan tarjih (menguatkan) terhadap imam madzhab dan tokoh-tokoh disekitarnya[7].
Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya murajihhun adalah :
1.      Adanya dua dalil yang saling bertentangan, serta dianggap sama kuatnya atas suatu masalah, sehingga membutuhkan penguatan salah satu dalil.
2.      Munculnya sikap fanatik terhadap suatu madzhab sehingga umaat islam enggan untuk mengeksplor fikiran.
3.      Tertutupnya pintu ijtihad, memicu timbulnya gerakan taqlid. Sehingga para kaum muslimin hanya mengikuti pendapat imamnya tanpa mengkaji ulang.

Periode murajihhun tersebut berlangsung sekitar 3 abad sejak kemunculannya, yaitu pada abad ke 4 H sampai abad ke 7 Hijriah. Periode ini sangat terkenal dengan melemahnya sikat ijtihad dari kalangan pada ulama. Akhirnya banyak bermunculan buku-buku komentar sebagai penjelasan terhadap buku yang ditulis sebelumnya dari masing-masing ulama.
                        Pada abad ini pula dinasty abbasiyah mulai mengalami kemunduran dalam bidang politik. Dimana dinasty abbasiyah terpecah menjadi daulat-daulat kecil yang masing-masing dipimpin oleh seorang sultan.


C.    Keadaan Tasyri’ Pada Masa Murajihhun.
Untuk mengetahui bagaimana kondisi tasyri’ pada masa murajjihun, maka sejarah dapat dikelompokkan dalam dua garis besar yaitu tentang cara kerja ulama dalam menetapkan hukum dan kodifikasi hukmnya.
a.      Kerja ulama pada periode murajjihun
Meskipun pada periode ini akal fikiran serta ide-ide para ulama terkekang, ternyata hal ini tidak mengubah keinginan mereka untuk berkreasi dalam hukum islam. Mereka menghimpun pemikiran-pemikiran fiqih, mentarjih sebagai riwayat, mencari kekuatan hukumnya, kemudian merumuskan dasar-dasar pikiran dan kaidah ushuliyah yang menjadi landasan ijtihad dan fatwa para imam. Dalam perumusan kaidah-kaidah dan penghimpunan tersebut, mereka banyak berdiskusi dan berdialog antara para pengikut madzhab. Sehingga terlihat sekali fanatisme kemadzhaban diantara mereka[8].
Dari permasalahan tersebut, para murajjihun mempunyai beberapa cara dalam penetapan hukum (tasyri’), atas masalah yang terjadi saat itu, atau untuk menjawab masalah-masalah kontemporer. Diantaranya adalah sebagai berikut[9] :
1.      Mentarjihkan beberapa pendapat imam madzhab.
Ada dua cara yang mereka gunakan untuk mentarjih berbagai pendapat dalam madzhab, yaitu : periwayatan dan pemikiran. Apabila terjadi perbedaaan periwayatan, para fuqoha mentarjih salah satu dari pendapat-pendapat tersebut untuk mendapat kesimpulan hukumnya. Misalnya para fuqoha hanafiyah, mentarjih riwayat muhammad bin hasan al syaibani dalam banyak persoalan sebagai pendapat yang paling mu’tabar. Para ulama syafi’iyah mentarjih riwayat harmlah al jarmi, sedangkan para ulama malikiyah mentarjih riwayat ibnu qosim daripada riwayat-riwayat yang lain.
2.      Membela madzhab
Pembelaan terhadap madzhab merupakan kerja para ulama yang sangat menyibukkan pada masa ini. Para pengikut madzhab dari geneasi ke generasi berusaha keras menonjolkan kelebihan madzhabnya masing-masing.
Mereka banyak menulis tentang otobiografi, menerangkan keluasan ilmunya, dan kehebatan berfikir para imam-imam mereka, agar semakin banyak orang yang mengikuti penetapan hukum dari imam mereka. Selain itu mereka juga membuat buku yang berisi perbandingan imam-imam madzhab mereka dengan imam-imam yang lainnya.
3.      Merumuskan dasar-dasar dan kaidah-kaidah ushuliyah
Para ulama pada periode ini melakukan perumusan dasar – dasar madzhab dari cara pandang imam menyimpulkan suatu hukum dan menuliskan hasil ijtihad dari para imam mereka. Ditemukan dalam suatu riwayat, madzhab imam syafi’i sudah menuliskan dasar-dasar pemikiran fiqih mereka ketika itu[10].
Kenyataan diatas perlu didasri dengan baik, agar dapat memahami karakteristik ushul fiqih para ulama yang terdahulu secara proporsional. Namun  pada kenyataanya, umat islam masih banyak yang beranggapan bahwa kaidah-kaidah tersebut sudah dirumuskan oleh imam madzhb dengan sangat sempurna, sehingga tidak melakukan pengkajian ulang[11].

b.      Kodifikasi periode murajjihun
Sepertiyang telah diamati oleh Dr. Sulaiman dalam bukunya tarikh al fiqih al islami, para ulama pada periode ini telah menghasilkan karya-karya besar meskipun dalam batasan ulama sebelumnya[12]. Wujud dari gerakan pembukuan hasil karay-karya tersebut adalah :
1.      Penulisan bidang as sunnah
Perhatian ulama terhadap kodifikasi ilmu pengetahuan pada masa ini tergolong cukup besar. Salah satu diantaranya adalah gerakan penulisan hadits. Penulisan hadits pada periode ini dikelompokkan dalam dua kecenderungan, yaitu : kajian hadits dengan masalah kevalidan periwayatan, cakupan arti dan pengaplikasian hukum, serta takhrij atau pembahasan tentang hadits-hadits dalam buku fiqih terkemuka.
           Sebagai contoh kecenderungan pertama adalah jami’ al ushul karya ibnu al atsir. Beliau menghimpun haidts-hadits dari enam buku terkemuka yaitu: muwatha’ imam malik, shahih bukhori, shahih muslim, sunan abu dawud, sunan annasa’i, dan sunan tirmidzi. Ibnu atsir tidak merinci tentang masalah periwayatan hadits, tetapi ia mengelompokkan secara sistematis agar mempermudah untuk menemukan hukum dari dalam hadits-hadits tersebut[13].
           Metode kedua adalah takhrij al hadits dalam buku-buku fiqih terkemuka. Kerja takhrij ini sangat penting karena dalam buku-buku fiqih banyak tercantuk hadits maudlu’ dan dla’if sebagai dalil.
2.      Penulisan di bdang fiqih
Salah satu contoh dari penulisan di bidang kitab fiqih adalah dikodifikasikannya kitab al hidayah karya al marghinani. Kitab ini termasuk dalam jajaran kitab yang representatif dalam madzhab hanafi, bahkan karena kefanatikannya, ada yang mengatakan ini adalah al qur’an yang di nasakh (dihapus). Kitab ini menjadi kitab rujukan bagi para pengikut ulama hanafiah.
Ulama lain ternyata juga memberi apresiasi terhadap buku tersebut, ada beberapa karya yang mengkritik. Antara lain : majmu’ al nawizil, al muntaqa, bidayah al mubtada’, kifayah al muntaha’ manasik hajj dsb[14].

D.    Sumber-sumber tasyri’
Adapun sumber-sumber tasyri’ yang dipakai pada masa murajjihun antara lain :
1.      Alqur’an
2.      As Sunnah
3.      Ijma’
4.      Kitab-kitab madzhab
5.      Hasil tarjih dari ulama-ulama masa itu

E.     Tata Cara Pentarjihan
a.      Metode pentarjihan
Menurut ulama ushul, cukup banyak metode yang digunakan untuk mentarjih dua dalil yang bertentangan apabila tidak mungkin silakukan melalui cara al jam’u baina at taufiq wa nasakh[15]. Cara pentarjihan tersebut dibagi dalam tiga kelompok besar, yaitu :
1.      Tarjih baina an nushush
ü Dari segi sanad
Menurut imam asy syaukani, pentarjihan jenis ini dapat dilakukan dalam 42 cara, namun secara garis besar dapat dikelompokkan sebagaii berikut :
-          Menguatkan salah satu nash dari segi sanadnya.
-          Pentarjihan melihat riwayat itu sendiri, misal menguatkan hadits mutawatir daripada hadits masyhur.
-          Mentarjih hadits yang diterima melalui hafalan
-          dll
ü Dari segi matan
Menurut al amidi, ada sekitar 51 cara pentarjihan dari segi matan, antara lain :
-          Teks yang mengandung larangan ( menolak kemadharatan) lebih diutamakan daripada teks yang mengambil manfaat.
-          Makna hakikat suatu lafadz lebih diutamakan dari pada majazinya.
-          Dalil khusus lebih diutamakan daripada dalil umum.
-          dll
ü Dari segi hukum atau kandungan hukum
Menurut al amidi, ada 11 cara, sedangkan menurut asy syaukani ada 9 cara, diantaranya :
-          Teks yang mengandung bahaya oleh jumhur lebih diutamakan daripada teks yang membolehkan.
-          Teks yang berisi hukuman lebih ringan didahulukan daripada teks yang berisi hukuman berat[16].
-          dll
2.      Tarjih menggunakan faktor lain di luar nash
ü Mendahulukan suatu dalil yang didukung oleh dalil lain baik dari al qur’an sunnah, ijma’ atau qiyas
ü Menguatkan dalil yang menyebutkan illat (motivasi) hukumnya dari suatu nash, serta mengandung asbabun nuzul atau asbabul wurud.
ü Mendahulukan dalil yang didalamnya berisi sikap waspada.
ü Mendahulukan dalil yang berisi perkataan atau pengalaman dari perawinya daripada yang tidak demikian[17].
ü dll
3.      Tarjih baina al qiyas
Wahab al zuhaili mengelompokkan dalam 17 cara pentarjihan dalam persoalan qiyas, yang kemudian dikemukakan oleh asy syaukani dalam 3 kelompok, yaitu :
ü Dari segi hukum asal
ü Dari segi hukum cabang
ü Dari segi illat
b.      Unsur-unsur dalam pentarjihan
Ketentuan ulama ushul menetapkan, bahwa tarjih akan terpenuhi dengan adanya unsur-unsur :
·         pertama, adanya dua dalil. Disyaratkan dengan :
-          bersamaan martabatnya
-          Bersamaan kekuatannya
-          Keduanya menetapkan hukum dalam satu waktu
·         Kedua, adanya sesuatu yang menjadikan salah satu dalil itu lebih utama dari yang lain. Mengenai sesuatu yang menjadikan salah satu dalil itu lebih utama dari yang lain, dijabarkan oleh ulama ushul secara panjang lebar dan mendetail. Yang terdiri dari aspek pentarjihan dan pentarjihan hadits-hadits.
1.      Aspek pentarjihan
Kalau dilihat dari uraian ahli ushul, dapat dikemukakan aspek tarjih untuk dalil mangul dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
a.        Dari Segi Sanad
Apabila terjadi pertentangan antara dua hadits, tetapi sanad salah satunya mutthasil sedangkan yang lain mursal, maka harus di dahulukan yang mutthasil. Pendapat ini menurut Syafi’iyyah dan Hanabilah.
Apabila salah satunya terdapat kedha’ifan dalam sebagian besar perawinya, sedang yang lain tinkat perawinya adil, maka yang didahulukan adalah perawi yang adil.
Apabila salah satunya mutawatir sedang yang lain adalah ahad, maka yang didahulukan adalah mutawatir dan dianggap dha’if yang tidak mutawatir. Karena hadits ahad tidak bisa menentang hadits mutawatir mengingat hukum yang ditetapkan berdasar hadits mutawatir menempati apa yang dikenal secara dharuri dalam agama.
b.       Dari Segi Matan atau Ijma’
Tarjih menurut analisa matan adalah:
a.         Yang mufassar didahulukan dari yang nash
b.        Yang nash didahulukan dari yang dhohir
c.         Dilalah ‘ibarat didahulukan dari dilalah ‘isyarat
d.        Dilalah ‘isyarat didahulukan dari dilalah nash
e.         Dilalah nash didahulukan dari ‘iqtidha’
Apabila di dalam nash dan didalam sanad tidak didapati yang murajjih (mengungguli), maka sebagian ulama’ berpendapat tawaquf (tidak diamalkan keduanya). Tetapi sebagian terbesar ulama’ berpendapat bahwa nash menunjukkan haram didahulukan dari nash yang menunjukkan halal, untuk berhati-hati dalam urusan agama.
c.       Dari Segi Riwayat
Apabila dua hadits yang bertentangan itu sama martabatnya dan sama kekuatan sanadnya, tetapi salah satunya diriwayatkan sahabat yang faqih, maka diunggulkan hadits yang diriwayatkan sahabat faqih (menurut Abu Hanifah). Sedangkan menurut Malik diunggulkan hadits yang diamalkan oleh penduduk Madinah. Tetapi imam lain dari mereka ini berpendapat bahwa yang diunggulkan adalah hadits yang kuat riwayatnya[18]
Pentarjihan juga dapat dilakukan dengan dalil umum daripada dalil yang bertentangan yang dikenal dengan pembahasan ta’arudh dan tarjih. Dalam prmbahaan tersebut pentarjihan dilakukan dari satu dalil yang satu dengan dalil yang lain sehingga yang digunakan hanya satu dalil yang lebih kuat. Sistematika yang digunakan adalah dengan cara mengetengahkan inti permasalahan yang dilandasi sebuah dalil yang bersumber dari Al-Qur’an atau Hadits. Kemudian dicantumkan perbedaan ulama’ dalam permasalahan tersebut, setelah itu dicantumkan pendapat ulama’ yang rajah atau kuat untuk dijadikan satu pegangan dalam menentukan dalil.

2.      Pentarjihan hadits-hadits.
Mentarjih hadits, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah SAW dapat dilakukan dengan berbagai cara (metode). Cara-cara tersebut tergantung pada kajian dan ijtihad para mujtahid. Adapun mentajih beberapa hadits sebagaimana telah disebutkan oleh para ahli ushul mempunyai tujuh dasar tarjih, yaitu sebagai berikut
a.      Tarjih Berdasarkan Keadaan Perawi
Tarjih berdasarkan keadaan rawi ini mempunyai beberapa ketentuan, diantaranya yaitu:
·       Tarjih berdasarkan jumlah rawi
1.     mayoritas ulama berpendapat bahwa hadits yang mempunyai rawi yang paling banyak dapat diunggulkan, karena hadits-hadits tersebut dipandang lebih jauh dari prasangka-prasangka, sehingga lebih dekat pada kebenaran. Kemungkinan terjadinya salah atau lupa pada orang (rawi) yang banyak lebih kecil daripada terjadinya hal-hal tersebut pada orang (rawi) yang sedikit. Hadits masing-masing rawi dari sekelompok rawi hadits adalah bersifat praduga. Bila praduga-praduga tersebut terkumpul menjadi banyak, maka akan semakin menjauhkannya dari keragu-raguan dan dekat pada keyakinan.
2.     mayoritas ulama hanafiyah berpendapat bahwa tarjih (pengunggulan) tidak boleh dilakukan berdasarkan banyaknya jumlah rawi hadits. Yang dijadikan dasar penilaian dalam masalah rawi hadits adalah keadilan (kebaikan moral) bukan banyaknya jumlah rawi. Keadilan itu sama saja, baik pada jumlah perawi yang sedikit maupun jumlah perawi yang jumlahnya banyak. Kelompok perawi yang jumlahnya sedikit serta adil itu lebih utama (baik) daripada kelompok perawi yang jumlahnya banyak tetapi berlaku durhaka (maksiat).
3.     Al-Ghazali berpendapat bahwa rawi suatu hadits yang jumlahnya banyak memang dapat menjauhkan suatu hadits dari berbagai prasangka, namun banyak dijumpai seorang rawi yang adil dan lebih tsiqah daripada dua rawi. Yang menjadi dasar dalam hal ini adalah tergantung pada penilaian para mujtahid sendiri. Apabila menurut penilaian mujtahid suatu hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi itu lebih patut untuk diunggulkan daripada hadits lainnya yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih banyak, maka ia pun dapat mengunggulkannya. Namun bila sebaliknya, maka iapun dapat berbuat sebaliknya pula. Semuanya tergantung pada penilaiannya.
·           Tarjih berdasarkan keluhuran sanad
Yang dimaksud dengan keluhuran sanad adalah sedikitnya perantara antara rawi dengan Nabi SAW. Apabila salah satu hadits lebih sedikit perantaranya daripada hadits lainnya. Maka hadits tersebut lebih sedikit mengandung kemungkinan salahnya. Hadits yang diriwayatkan oleh tabiin lebih diunggulkan daripada hadits yang diriwayatkan oleh tabiit tabiin. Ini berdasarkan pendapat mayoritas ulama’. Berbeda dengan ulama-ulama hanafiyah. Mereka berpendapat bahwa tarjih tidak boleh dilakukan berdasarkan pada sedikitnya perantara. Terkadang sedikitnya perantara banyak (sering) lupa dan lemah pemehaman terhadap maksud hadits dan perantara yang banyak mempunyai kekuatan hafalan dan kebenaran. Yang dijadikan dasar tarjih adalah pengetahuan agama dan kekuatan daya hafal seorang rawi, bukan berdasarkan sedikit atau banyaknya perantara.
·           Tarjih berdasarkan kefaqihan rawi
Hadits yang rawinya ahli fiqh lebih diunggulkan daripada hadits yang rawinya bukan ahli fiqh. Karena orang yang ahli fiqh dapat membedakan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan. Apabila ia menghadiri majelis pengajaran hadits dan mendengarkan suatu hadits yang tidak boleh dipahami secara lahiriyah, maka ia akan mengkajinya kembali dan menanyakan latar belakang dan sebab datangnya. Dia akan mengkaji sesuatu yang belum jelas. Berbeda dengan orang yang bukan ahli fiqh. Karena orang yang ahli fiqh lebih mengetahui terhadap petunjuk-petunjuk lafadz (dalil).
·           Tarjih berdasarkan pengetahuan rawi dalam bahasa arab
Hadits yang rawinya mengerti (pandai) bahasa arab lebih diunggulkan daripada hadits yang rawinya tidak mengerti (pandai) bahasa arab. Karena rawi yang mengerti bahasa arab lebih mengetahui arti lafadz-lafadz hadits sehingga dapat menghindarkannya dari berbagai kesalahan.
·           Tarjih berdasarkan kelebihan pengetahuan dalam bidang ilmu fiqh dan bahasa arab
Hadits yang rawinya lebih ahli dalam bidang fiqh dan bahasa arab lebih diunggulkan daripada hadits yang pengetahuan rawinya dalam ilmu fiqh dan bahasa arab biasa-biasa saja. Karena rawi tsiqah yang lebih ahli dalam bidang fiqh dan bahasa arab lebih sempurna.
·            Tarjih berdasarkan kesempurnaan akidah rawi
Hadits yang rawinya berafiliasi sunni serta ittiba’ terhadap sunnah lebih diunggulkan daripada hadits yang rawinya berafiliasi non sunni serta ahli bid’ah (mubtadi’).
·           Tarjih berdasarkan rawi sebagai pelaku peristiwa
Hadits yang rawinya adalah pelaku peristiwanya sendiri lebih diunggulkan daripada hadits yang rawinya bukan pelaku peristiwanya sendiri.
·           Tarjih berdasarkan senioritas rawi
Hadits yang diriwayatkan oleh sahabat-sahabat senior lebih diunggulkan daripada hadits yang diriwayatkan oleh sahabat-sahabat yunior. Karena kekuatan rasa keagamaan dan kedudukan mereka yang tinggi akan mencegahnya berbuat dusta. Lagi pula, biasanya mereka lebih dekat dengan Rasulullah SAW.
·           Tarjih berdasarkan kedhabitan rawi
Dhabit ialah kesungguhan dalam memperhatikan hadits. Apabila salah seorang rawi lebih memperhatikan suatu hadits daripada rawi lainnya, maka hadits yang diriwayatkannya lebih diunggulkan daripada hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang tidak begitu memperhatikan suatu hadits, karena ia dapat dipercaya.
·           Tarjih berdasarkan kemasyhuran sifat adil dan tsiqah rawi
Hadits yang diriwayatkan oleh rawi yan terkenal keadilan dan ketsiqahannya lebih diunggulkan daripada hadits yang rawinya tidak terkenal keadilan dan ketsiqahannya.
b.   Tarjih Berdasarkan Usia Rawi
Seorang rawi yang tidak pernah meriwayatkan suatu hadits kecuali pada masa dewasa, maka haditsnya lebih diunggulkan atau diutamakan daripada haditsnya seorang rawi, dimana ia tidak pernah meriwayatkan suatu hadits kecuali pada masa kecilnya atau hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi pada masa dewasa itu lebih diunggulkan daripada hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi pada masa kecilnya. Karena kedewasaan itu dapat menimbulkan daya hafalyang kuat. Berbeda dengan hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi pada masa dewasanya.
c.    Tarjih Berdasarkan Tata Cara Periwayatan
Tarjih berdasarkan tata cara periwayatannya ini mempunyai beberapa ketentuan sebagai berikut:
1.    apabila salah satu dari dua hadits yang saling bertentangan disepakati kemarfu’annya (sampai pada Nabi), sedangkan hadits lainnya masih diperselisihkan marfu’nya atau disepakati mauqufannya (terputus hubungannya dengan Nabi), maka yang harus lebih diunggulkan adalah hadits yang telah disepakati kemarfu’annya.
2.    apabila salah satu dari dua hadits yang saling bertentangan juga menyebutkan sebab al-wurud, sedangkan hadits lain tidak menyebutkannya, maka hadits yang menyebutkan sebab datangnya lebih diunggulkan daripada hadits yang tidak menyebutkannya.
3.    apabila salah satu dari dua hadits yang saling bertentangan menggunakan “riwayat bi al-lafdzi” sedangkan hadits lain menggunakan “riwayat bi al-makna”, maka yang harus diunggulkan adalah “riwayat bi al-makna”.
4.    apabila seorang rawi menerima suatu riwayat dari orang yang diakui periwayatannya, maka haditsnya tersebut lebih diunggulkan daripada hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang menerima hadits tersebut dari orang yang tidak diakui periwayatannya.
5.    apabila salah satu dari dua hadits yang saling bertentangan adalah hadits musnad sedangkan lainnya adalah hadits mursal, maka hadits musnad harus lebih diunggulkan daripada hadits mursal.
d.    Tarjih Berdasarkan Waktu Periwayatan
             Tarjih berdasarkan waktu periwayatan tergantung pada kandungan salah satu dari dua hadits yang saling bertentangan yang menjelaskan bahwa hadits tersebut datang lebih akhir daripada hadits lainnya. Ada beberapa ketentuan sebagai berikut:
1.    hadits yang diriwayatkan di Madinah lebih diunggulkan daripada hadits yang diriwayatkan di Mekkah.
2.    hadits yang menunjukkan keluhuran atau keagungan sikap Rasulullah SAW lebih diunggulkan daripada hadits yang tidak menunjukkannya.
3.    hadits yang mengandung ketentuan hukum yang meringankan lebih diunggulkan daripada hadits yang mengandung ketentuan hukum yang memberatkan.
4.    hadits yang tidak terkait dengan sejarah awal islam lebih diunggulkan daripada hadits yang berkaitan dengannya.
5.    hadits yang diriwayatkan pada masa akhir hidup Rasulullah lebih diunggulkan daripada hadits yang sama sekali tidak terkait dengan sejarah.
6.    apabila keislaman kedua rawi hadits dalam waktu yang bersamaan, seperti Khalid bin Walid dan Amr bin Ash, namun salah satunya diketahui bahwa ia menerima hadits setelah masuk islam dan rawi yang lainnya tidak dapat diketahui apakah ia menerima hadits sebelum atau sesudah masuk islam, maka hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang menerima hadits tersebut setelah masuk islam lebih diunggulkan karena jelas datangnya lebih akhir.
e.    Tarjih Berdasarkan Redaksi
Tarjih ini dapat dilakukan apabila memenuhi ketentuan-ketentuan berikut ini:
1.    apabila salah satu lafadz dari dua hadits yang saling bertentangan tersebut jelas dan yang lainnya tidak jelas (maksudnya), maka yang lebih diunggulkan adalah hadits yang lafadznya jelas.
2.    apabila dua hadits yang saling bertentangan bersifat ‘am (umum), salah satu hadits sudah ditakhsis dan lainnya belum ditakhsis, maka dalam hal ini para ulama’ berbeda pendapat mengenai hadits mana yang harus lebih diungulkan. Mayoritas ulama ushul lebih mengunggulkan hadits ‘am (umum) yang belum ditakhsis daripada lebih mengunggulkan hadits ‘am (umum) yang telah ditakhsis. Adapun argumentasinya adalah sebagai berikut:
1)   hadits ‘am (umum) yang telah ditakhsis itu lemah. Karena ada perselisihan pendapat diantara para ulama’ tentang kehujjahannya. Takhsis itu dapat melemahkan redaksi hadits.
2)   hadits ‘am (umum) yang telah ditakhsis itu telah hilang kesempurnaannya, sehingga nampak seperti dalil yang bersifat majazi (kiasan). Berbeda dengan hadits ‘am (umum) yang belum ditakhsis. Hadits tersebut tidak hilang kesempurnaannya. Sehingga eksistensinya masih tetap terpelihara. Hadits yang bersifat hakiki lebih diunggulkan daripada hadits yang bersifat majazi.
3.    apabila petunjuk redaksi salah satu hadits, dari dua hadits yang saling bertentangan itu bersifat hakiki (lugas) dan penunjukkan redaksi hadits yang lainnya bersifat majazi (kiasan), maka yang lebih diunggulkan adalah hadits yang penunjukkannya bersifat hakiki (lugas).
4.    hadits yang mengandung hakekat syara’ lebih diunggulkan daripada hadits yang mengandung hakekat adat istiadat atau hakekat bahasa dalam perintah syari’ (allah). Karena Nabi diutus untuk menjelaskan hukum-hukum syara’.
5.    apabila kedua petunjuk dari dua hadits yang saling bertentangan bersifat hakiki, namun salah satunya lebih baik dan lebih dikenal daripada yang lainnya, maka yang lebih baik dan dikenal itulah yang lebih diunggulkan.
f.     Tarjih Berdasarkan Kandungan Hukum
Tarjih berdasarkan kandungan hukum ini dapat dilakukan dengan berbagai ketentuan sebagai berikut:
1.    apabila terdapat dua hadits yang saling bertentangan, salah satunya menetapkan hukum berdasarkan hukum asalnya dan lainnya menggugurkannya, maka dalam hal ini para ulama berselisih pendapat mengenai hadits yang mana yang harus lebih diunggulkan. Menurut sebagian ulama’ ushul termasuk ar-Razi dan al-Baidhawi, hadits yang menetapkan hukum berdasarkan hukum asalnya itulah yang harus lebih diunggulkan daripada hadits yang mnggugurkannya. Mayoritas ulama’ berpendapat bahwa hadits yang menggugurkan hukum harus lebih diunggulkan daripada hadits yang menetapkannya.
2.    apabila ada dua hadits yang saling bertentangan, salah satunya menetapkan hukum haram dan lainnya menetapkan hukum ibadah (boleh). Maka dalam hal ini mayoritas para ulama’ Ushul berpendapat bahwa hadits yang menetapkan hukum haram lebih diunggulkan dari pada hadist yang menetapkan hukum ibadah. Sebagian ulama’ berpendapat bahwa hadist yang menetapkan hukum ibadah atau halal lebih diunggulkan dari pada hadist yang menetapkan hukum haram. Abu Hasyim, Isa bin Abban dan Al Ghazali berpendapat bahwa kedua hadist tersebut dipandang sama kuatnya, salah satunya tdak dapat lebih diunggulkan.
3.    apabila terdapat dua hadist yang saling bertentangan, salah satunya menetapkan hukum wajib dan hadist ;lainnya menetapkan hukum ibadah, maka dalam hal ini, hadist yang menetapkan hukum wajib diunggulkan.
g.    Tarjih Berdasarkan Unsur-Unsur Eksternal
Yang dimaksud dengan unsur-unsur eksternal adalah unsur-unsur yang terdapat di luar hadist itu sendiri sebagaimana dasar-dasar tarjih yang telah kami sebutkan, yaitu sanad, matan, kandungan hukum, redaksi hadist dan sebagainya. Unsur-unsur tersebut adalah:
1.    tarjih berdasarkan dalil pendukung atau penguatnya, sekalipun dalil penguat tersebut hanya satu. Mayoritas ulama berpendapat bahwa hadist yang  mendapatkan dukungan dalil lain itu lebih diunggulkan dan diamalkan dari pada hadist yang tidak mendapat dukungan dari hadist lain. Mayoritas ulama madzhab hanafiyah, bahwa tarjih tidak boleh dilakukan berdasarkan adanya dalil yang pendukung. Menurut mereka, dalil itu menjadi kuat karena karakteristik yang terdapat didalamnya sendiri, bukan karena adanya dukungan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan ahli fiqh daripada hadist yang diriwayatkan oleh rawi yang adil namun bukan ahli fiqh.
2.    hadits yang sesuai dengan perbuatan mayoritas salaf itu lebih diunggulkan daripada hadits yang bertentangan dengan perbuatan mayoritas ulama salaf. Karena ulama salaf lebih dekat dengan kebenaran. Sebagian ulama berpendapat bahwa perbuatan mayoritas ulama salaf itu tidak dapat dijadikan dasar tarjih. Karena pendapat dan perbuatan yang mayoritas itu tidak dipandang sebagai dasar hukum serta wajib diamalkan.
3.    hadits yang bersesuaian dengan perbuatan empat khilafah lebih diunggulkan daripada hadits yang bertentangan dengan perbuatan empat khalifah tersebut atau lebih mengunggulkan hadits yang sesuai dengan perbuatan ulama-ulama Madinah daripada hadits yang tidak sesuai dengannya. Karena ulama-ulama Madinah dipandang lebih mngetahui masalah-masalah hukum.
4.    hadits yang sesuai dengan penjelasan rawi baik dengan perbuatan atau perkataan itu lebih diunggulkan daripada hadits yang tidak disertai dengan penjelasan atau perkataan dari perawinya. Karena seorang perawi itu dipandang lebih mengetahui dan mengerti terhadap hadits yang diriwayatkannya[19].

F.     Situasi karya ulama pada masa murajjihun
Karya-karya ulama pada masa ini hanya menguatkan madzhab-madzhab yang diikutinya. Mereka menulis buku tentang perbandingan dan penguatan hukum dari madzhab mereka dengan perbandingannya terhadap imam madzhab lain atau murid-muridnya. Diantara beberapa ulama tersebut adalah :
1.      Ali bin abu bakar bin abdullah jalil al farghani al marghinani, mengarang kitab al hidayah. Beliau seorang imam yang ahli fiqih dan hafidz. Sebagian dari karangannya adalah al muntaqa’, nasyrul madzhab wa tajnis, manasik haji, mukhtaratul nawazil, dan kitabul faraidh. Beliau wafat pada tahun 593 H[20].
2.      Al tibrizi, adalah salah seorang ulama yang mempunyai perhatian khusus terhadap penulisan hadits. Beliau pengarang buku al masyabih merupakan buku paling lengkap yang memuat hadits-hadits yang ada dalam shohih bukhori , shahih muslim, al muawatha’ imam malik, al umm syafi’i, musnad ahmad, sunan abu dawud, sunan an nasa’i, sunan ibnu kajah, sunan daru quthni, dan sunan baihaqi[21].
3.      Al-Allamah Khalil dari madzhab Maliki
4.      Ar-Rafi’i An-Nawawi dari madzhab Syafi’i
5.      Al-Qadhi Alauddin Al-Muraddi dan Mahfudz bin Ahmad Al-Kaluzani dari madzhab Hambali[22]


BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.      Secara bahasa, kata tarjih berasal dari kata رجح – يرجح yang berarti menguatkan, sedangkan menurut istilah ulama mempunyai beberapa pendapat yang berbeda.
2.      Murajjihun ialah orang yang mampu mentarjih (menganggap kuat) suatu pendapat bagi Imam madzhab terhadap pendapat lainnya (menguatkan pendapat antara Imam madzhab dengan pendapat muridnya ataupun Imam lain).
3.       Faktor-faktor munculnya Murajjihun adalah:
a.    adanya suatu dalil yang bertentangan yang sama kuatnya antara satu dengan lainnya yang membutuhkan pentarjihan.
b.    Munculnya sikap fanatik buta terhadap suatu madzhab sehingga memunculkan sikap kebekuan dalam berfikir.
c.    Munculnya gerakan taqlid, sehingga aktifitas ijtihad terhenti karena para muslimin hanya mengikuti pendapat para imam madzhab tanpa mengkaji ulang.
4.      Sumber-sumber tasyri’ yang digunakan adalah:
a.       Al qur’an
b.      As sunah
c.       Ijma
d.      Pendapat para imam madzhab
e.       Hasil tarjih dari kitab-kitab imam madzhab.
5.      Gejala – gejala tasyri’ dalam periode ini adalah :
a.       Dorongan para penguasa kepada hakim (qodli) untuk menyelesaikan perkara di pengadilan dengan merujuk kepada salah satu madzhab fiqih yang disetujui khalifah saja.
b.      Munculnya sikap at taassub al madzhabi yang menimbulkan sikap kebekuan berfikir dan taqlid di kalangan murid imam madzhab.
c.       Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing madzhab yang memudahkan orabg untuk memilih pendapat madzhabnya dan menjadikan buku tersebut rujukan bagi masing-masing madzhab, sehingga aktivitas ijtihad benar-benar berhenti.


DAFTAR PUSTAKA



Bik , khudori, 1980. Tarikh at tasyri’ al islami. Surabaya : Darul  ikhya’.
Djafar , Muhammadiyah. 1992. Pengantar Ilmu Fiqih. Malang : Kalam Mulia
Khatimah, khusnul. 2007. Penerapan syariah islam. Yogyakarta : Pustaka pelajar.
Mubarok, jaih . 2002. Penerapan Syariah Islam. Yodyakarta : Pustaka pelajar.
Roibin, Dr. H MHi. 2010. Dimensi-dimensi sosio-antropologis penetapan hukum islam dalam lintasan sejarah. Malang : UIN Press.
Salim bazamul, bin Umar bin Muhammad. 2007. Ensiklopedi tarjih. Jakarta timur: Darus sunnah Press.
Team penyusun. 2009. Mencermati tarikh tasyri’ dan perkembangannya. Malang


[1] Team penyusun.mencermati tarikh tasyri’ dan perkembangannya. Hal 118
[2] Team penuyusn, mencermati tarikh tasyri’ dan perkembangannya. Hal 118
[3] Ibid.
[4] Muhammadiyah Djafar, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: Kalam Mulia, 1993) hal 112.
[5] Team penyusun. Mencermati tarikh tasyri’ dan perkembangannya. Hal 120
[6] Taqlid : mengikuti pendapat ulama tanpa mengetahui alasannya (qabul, qawl man la yadri min ayna yaqul).
[7] Muhammadiyah Djafar, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: Kalam Mulia, 1993) hal 112

[8] Ahmad Djazuli , ilmu fiqih, halaman 150
[9] Team penyusun, mencermati tarikh tasyri’ dan perkembangannya, hal 122
[10] Jaih mubarok, kaidah fiqih, hal. 116
[11] Alaiddin koto,  ilmu fiqih dan ushul fiqih. Hal 47
[12] Ahmad djazuli.  Ilmu fiqih. hal 155
[13] Ahmad djazuli. Ilmu fiqih, hal 156
[14] Team penyusun, mencermati tarikh tasyri’ dan perkembanganya. Hal 126
[15] Rahmad syafi’i. Ilmu ushul fiqih. hal 234
[16] Ibid, hal 247
[17] Rahmat syafi’i. Ilmu ushul fiqih, hal 247
[18] Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1955) hal 712
[19] Muhammad Wafaa, Metode Tarjih, (Bangil: Al-Izzah, 2001) hal 196-276

[20] Roibin. Dimensi sosio antropologis penetapan hukum islam dalam lintas sejarah. Hal 100
[21] Team penyusun. Mencermati tarikh tasyri’ dan perkembangannya. Hal 124-125
[22] Muhammadiyah Djafar, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: Kalam Mulia, 1993) hal 112
Labels: | edit post
0 Responses

Post a Comment