BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ayat dan Hadist tentang Nusyuz
Ayat al-Qur’an:
ãA%y`Ìh9$# cqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ @Òsù ª!$# óOßgÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$srB Æèdyqà±èS ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ÒyJø9$# £`èdqç/ÎôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& xsù (#qäóö7s? £`Íkön=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# c%x. $wÎ=tã #ZÎ62 ÇÌÍÈ
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,
oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat
kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah
telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.(QS.
An-Nisa’:34)
ÈbÎ)ur îor&zöD$# ôMsù%s{ .`ÏB $ygÎ=÷èt/ #·qà±çR ÷rr& $ZÊ#{ôãÎ) xsù yy$oYã_ !$yJÍkön=tæ br& $ysÎ=óÁã $yJæhuZ÷t/ $[sù=ß¹ 4 ßxù=Á9$#ur ×öyz 3 ÏNuÅØômé&ur Ú[àÿRF{$# £x±9$# 4 bÎ)ur (#qãZÅ¡ósè? (#qà)Gs?ur cÎ*sù ©!$# c%x. $yJÎ/ cqè=yJ÷ès? #ZÎ6yz ÇÊËÑÈ
Artinya :“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau
sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)
walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan
isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh),
Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS.
An-Nisa’:128)
Hadits:
عن معاوية القشيري, قال:قلت:يارسول
الله,ماحق زوجة أحدنا عليه, قال: (أن تطعمها إذاطعمت, وتكسوها إذااكتسيت, ولاتضرب
الوجه, ولاتقبح, ولاتهجر إلافي البيت) رواهأبوداودوابن ماجه وأحمد والنسائي
"Dari Muawiyah
al-Qusyairiy berkata: aku pernah bertanya kepada Rasulullah, "wahai
Rasulullah, apakah hak istri kami?" Beliau menjawab, "memberinya
makan jika kamu makan, memberinya pakaian jika kamu berpakaian, tidak memukul
wajahnya, tidak mencaci maki, dan tidak mendiamkannya kecuali di dalam rumah".( H.R. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan Nasa'i)
B.
Analisis Lafadz
Melalui ayat
ini Allah Swt. mengingatkan kita bahwa terdapat sebab kelebihan seorang laki-laki atas seorang
wanita, setelah pada ayat sebelumnya Allah
menjelaskan bagian dari masing-masing (pria maupun wanita) dalam waris dan melarang keduanya untuk mengangan-angankan
kelebihan yang telah Allah tetapkan bagi sebagian mereka (kaum pria)
atas sebagian yang lain (kaum wanita).
Jika kita membuka tafsir-tafsir
klasik kalangan ulama terkemuka pada masa lalu,
mereka pada umumnya sepakat manakala membedah pengertian “الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ ”, bahwa laki-laki baik dalam konteks keluarga maupun bermasyarakat, memang ditakdirkan sebagai pemimpin
bagi kaum wanita. Ini disebabkan
karena terdapat perbedaan-perbedaan yang bersifat natural antara
keduanya, dan bukan semata-mata bersifat kasbi atau karena proses sosial,seperti
dipahami oleh penganut teori culture.
Pada kalimat الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء
bermakna bahwa kaum pria adalah pemimpin
kaum wanita, yang lebih dituakan atasnya, yang menjadi pemutus atas segala perkaranya, dan yang berkewajiban mendidiknya
jika melenceng atau melakukan kesalahan. Seorang pria berkewajiban untuk
melakukan perlindungan dan pemeliharaan atas wanita. Oleh karena itu, jihad
menjadi kewajiban atas pria,dan tidak
berlaku bagi wanita. Pria juga mendapatkan bagian waris yang lebih besar
daripada wanita karena prialah yang mendapatkan beban untuk menanggung nafkah
atas wanita[1].
Imam Ash-Shabuni menyatakan bahwa
kaum pria memiliki wewenang untuk mengeluarkan
perintah maupun larangan yang wajib ditaati oleh para wanita (istri-istrinya) serta memiliki kewajiban untuk
memberikan belanja (nafkah) dan pengarahan sebagaimana kewajiban seorang
wali (penguasa) atas rakyatnya[2].
Pada frasaبِمَا فَضَّلَ
اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ,
huruf ba’ nyaadalah ba sababiyah yang
berkaitan erat dengan kata . قَوَّامُونَDengan begitu dapat dipahami,
bahwa kepemimpinan kaum pria atas wanita adalah karena kelebihan yang
telah Allah berikan kepada mereka (kaum pria) atas kaum wanita[3].
Dalam tafsirnya
yang terkenal, Ibn Katsir menyatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin, penguasa, kepala, dan guru
pendidik bagi kaum wanita. Ini disebabkan karena berbagai kelebihan laki-laki itu sendiri atas wanita,
sesuai dengan firman Allah:
4É£×py_uy`Íkön=tãA$y_Ìh=Ï9ur
Artinya: “Bagi laki-laki ada kelebihan satu tingkat dari wanita”..(QS
al-Baqarah: 228). Selain itu, karena laki-lakiberkewajiban menafkahi
istri dan anak anaknya.
Dalam kurun yang amat panjang, dari
mulai Ibn ‘Abbas, at-Thabari, bahkan hingga Imam ‘Ali ash-Shabuni, tafsir tersebut
tidak banyak digugat, kecuali belakangan
manakala pemikiran-pemikiran Islam mulai bersinggungan denganwacana pemikiran Barat dan juga fakta yang memang
menunjukkan tidak sejalannya lagi penafsiran tersebut dengan realitas
kontemporer.
Ibn ‘Abbas,
misalnya, mengartikan kataقَوَّامُونَ
sebagai pihak
yang memiliki kekuasaan atau wewenang untuk mendidik wanita. Hal yang kurang lebih
sama juga dikemukakan oleh Imam Nawawi al-Bantani (1981: 149) dalamkitab tafsirnya Marah Labid.
Dengan nada
yang sama, at-Thabari menegaskan, bahwa kata قَوَّامُونَ bermakna
penanggung jawab, dalam arti, pria bertanggung jawab dalam mendidik dan
membimbing wanita dalam konteks ketaatannya kepada Allah.
Al-Baghawi,
ketika menafsirkan kalimat الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ ,menyatakan bahwa maknanya adalah pria (suami) berkuasa untuk
mendidik wanita (istrinya). Artinya, prialah yang menjalankan berbagai
kemaslahatan,pengaturan, dan pendidikan atas wanita karena kelebihan yang Allah
berikan kepadanya atas wanita. Pria memiliki kelebihan atas wanita dari
segi akal, agama, dan kewalian. Pria,
misalnya, memiliki kelebihan dalam hal kesaksian, jihad,ibadah (seperti salat Jumat dan salat berjamaah);
kebolehan menikahi sampai empat istri; hak talak; dalam warisan mendapat dua
bagian; dst. Semua itu tidak dimiliki wanita[4].
Sementara itu,
menurut Imam al-Qurthubi, pria adalah pemimpin wanitakarena kelebihan mereka
dalam hal memberikan mahar dan nafkah; karena priadiberi kelebihan akal dan pengaturan sehingga mereka berhak menjadi
pemimpinatas wanita; juga karena pria
memiliki kelebihan dalam hal kekuatan jiwa dan watak. Surat an-Nisa’ ayat 34 ini juga menunjukkan kewajiban pria
untuk mendidik wanita[5].
Sedangkan Imam asy-Syaukani, ketika menafsirkan
ayat di atas, menyatakanbahwa pria adalah
pemimpin wanita yang harus ditaati dalam hal-hal yangmemang
diperintahkan Allah. Ketaatan seorang istri kepada suaminya dibuktikan, misalnya,
dengan berperilaku baik terhadap keluarga suaminya serta menjaga dan memelihara harta suaminya. Ini karena Allah telah
memberikan kelebihan atas suami dari sisi keharusannya memberi nafkah
dan berusaha[6]
Tentang
kelebihan laki-laki atas wanita, Imam ‘Ali ash-Shabuni dalamtafsirnya juga mengatakan bahwa kalimat الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءAdalah jumlah ismiyyah yang berfungsi
sebagai dawam dan istimrar (tetap dan kontinu).
C.
Asbabun Nuzul
Ayat ini
diturunkan berkenaan dengan kasus yang dialami oleh Sa‘id binRabi‘ yang telah menampar istrinya, Habibah binti Zaid bin Abi
Hurairah, karena telah melakukan nusyuz (pembangkangan). Habibah sendiri kemudian dating kepada Rasulullah Saw.
dan mengadukan peristiwa tersebut kepada Rasul. Rasul kemudian memutuskan untuk
menjatuhkan qishas kepada
Sa‘id. Maka turunlah surat an-Nisa‘ ayat 34 ini. Rasulullah saw. pun lalu bersabda (yang artinya), “Aku menghendaki
satu perkara, sementara Allah
menghendaki perkara yang lain. Yang dikehendaki Allah adalah lebih baik.” Setelah itu, dicabutlah qishas tersebut[7].
Dalam riwayat yang lain, sebagaimana
secara berturut-turut dituturkan oleh al-Farabi, ‘Abd bin Hamid, Ibn Jarir, Ibn
Mundzir, Ibn Abi Hatim, Ibn Murdawiyah, dan
Jarir bin Jazim dari Hasan. Disebutkan bahwa seorang lelaki Anshar telah
menampar istrinya. Istrinya kemudian datang kepada Rasulullah Saw dan mengadukan
permasalahannya. Rasulullah memutuskan qishash
di antara keduanya. Maka turunlah
ayat berikut:
3
wur ö@yf÷ès? Èb#uäöà)ø9$$Î/ `ÏB È@ö6s% br& #Ó|Óø)ã øs9Î) ¼çmãômur (
@è%ur Éb>§ ÎT÷Î $VJù=Ïã ÇÊÊÍÈ
Artinya: “Maka Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan
janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al qur'an sebelum disempurnakan
mewahyukannya kepadamu, dan Katakanlah:
"Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan." (QS. Thaha
: 114).
Ayat di atas
tersebut sebagai teguran kepadanya dan surat an-Nisa’ ayat 34 sebagai ketentuan
hak suami di dalam mendidik istrinya[8].
D.
Munasabah dengan Ayat
Ayat Sebelumnya:
9e@à6Ï9ur $oYù=yèy_ uÍ<ºuqtB $£JÏB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# cqç/tø%F{$#ur 4 tûïÏ%©!$#ur ôNys)tã öNà6ãZ»yJ÷r& öNèdqè?$t«sù öNåkz:ÅÁtR 4 ¨bÎ) ©!$# tb%2 4n?tã Èe@à2 &äóÓx« #´Îgx© ÇÌÌÈ
Artinya : “Bagi
tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib
kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. dan (jika ada) orang-orang yang kamu
telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya.
Sungguh Allah menyaksikan segala sesuatu.” (QS. An-Nisa’:33)
Munasabah surat An-Nisa’
ayat 33 di atas dengan penggalan kata yang kami pilih, Ahli waris terdiri dari
kaum kerabat si mayit, baik laki-laki maupun perempuan. Bagian waris laki-laki
lebih besar daripada bagian waris perempuan, karena pada hakikatnya laki-laki
adalah pelindung perempuan dan karena laki-laki mempunyai kewajiban memberi nafkah.
Selain itu, laki-laki lebih mempunyai kemampuan intelektual dan manajerial.
Ayat sesudahnya :
÷bÎ)ur óOçFøÿÅz s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) !#yÌã $[s»n=ô¹Î) È,Ïjùuqã ª!$# !$yJåks]øt/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JÎ=tã #ZÎ7yz ÇÌÎÈ
Artinya :“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara
keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam
dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(QS. An-Nisa’ :35)
Munasabah surat An-Nisa’ ayat 35 diatas dengan penggalan kata yang
kami pilih. Laki-laki mempunyai kewajiban mengurus istrinya karena laki-laki
lebih punya kemampuan intelektual. Dalam hal ini sebab laki-laki mendapat hak
waris lebih besar daripada perempuan (istri). Waris ini juga merupakan sarana
laki-laki (suami) dalam mendidik perempuan (istri). Seorang istri wajib menaati
suami karena suami secara sungguh-sungguh menjaga dan mengurusi istri. Maka
dari itu, apabila istri mulai membangkang, suami juga tetap mendidik istri
dengan cara-cara tersebut. Namun, apabila cara tersebut gagal maka
masing-masing keluarga mengirim juru damai supaya persengketaan tersebut
selesai.
E.
Hukum yang Terkandung
Menurut Muhammad ‘Ali al-Sabuni, apabila terjadi nusyuz yang
dilakukan oleh isteri maka Islam memberikan cara yang jelas dalam mengatasinya:
- Memberikan nasihat dan bimbingan dengan bijaksana dan tutur
kata yang baik.
- Memisahi ranjang dan tidak mencampurinya (mengaulinya).
- Pukulan yang sekiranya tidak menyakitkan, misalnya dengan
siwak dan sebagainya, dengan tujuan sebagai pembelajaran baginya.
- Kalau ketiga cara diatas sudah tidak berguna (masih belum bisa
mengatasi isteri yang nusyuz), maka dicari jalan dengan bertahkim
(mengangkat hakim) untuk menyelesaikannya[9].
Mengenai tiga tindakan yang harus dilakukan
suami terhadap isteri yang nusyuz berdasarkan pada surat an-Nisa’ Ayat
34 di atas tersebut, ulama fiqh berbeda pendapat dalam pelaksanaanya, apakah
harus berurutan atau tidak. Menurut jumhur, termasuk mazhab Hambali, tindakan
tersebut harus berurutan dan disesuaikan dengan tingkat dan kadar nusyuznya.
Sedangkan mazhab Syafi’i, termasuk Imam Nawawi, berpendapat bahwa dalam
melakukan tindakan tersebut tidak harus berjenjang, boleh memilih tindakan yang
diinginkan seperti tindakan pemukulan boleh dilakukan pada awal isteri nusyuz[10].
Hal itu dengan catatan jika dirasa dapat mendatangkan manfaat atau faedah jika
tidak maka tidak perlu, malah yang lebih baik adalah memaafkannya[11].
Sebagai akibat hukum yang lain dari perbuatan nusyuz
menurut jumhur ulama, mereka sepakat bahwa isteri yang tidak taat kepada
suaminya (tidak ada tamkin sempurna dari isteri) tanpa adanya suatu
alasan yang dapat dibenarkan secara syar’i atau secara ‘aqli maka isteri
dianggap nusyuz dan tidak berhak mendapatkan nafkah. Dalam hal suami
beristeri lebih dari satu (poligami) maka terhadap isteri yang nusyuz
selain tidak wajib memberikan nafkah, suami juga tidak wajib memberikan
giliranya. Tetapi ia masih wajib memberikan tempat tinggal[12].
Menurut madzhab Hanafi, apabila seorang isteri
mengikatkan (tertahan) dirinya dirumah suaminya dan dia tidak keluar tanpa
seizin suaminya, maka isteri seperti ini dianggap taat. Sedangan bila ia keluar
rumah atau menolak berhubungan badan dengan alasan yang tidak dapat dibenarkan
secara syar’i maka ia disebut nusyuz dan tidak mendapatkan nafkah sedikitpun,
karena sebab wajibnya nafkah menurut ulama Hanafiyah adalah tertahannya seorang
isteri di rumah suami[13].
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan
bahwa kewajiban-kewajiban suami yang berupa kewajiban memberi nafkah,
menyediakan tempat kediaman bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya perawatan
dan pengobatan bagi isteri berlaku semenjak adanya tamkin sempurna dari
isterinya.Dan kewajiban-kewajiban tersebut menjadi gugur apabila isteri nusyuz[14].
Dalam Pasal selanjutnya dijelaskan bahwa selama
isteri dalam keadaan nusyuz kewajiban suami terhadap isterinya seperti
yang telah disebutkan di atas gugur kecuali yang berkaitan dengan hal-hal untuk
kepentingan anaknya. Dan untuk kewajiban suami terhadap isteri nusyuz
yang gugur tersebut belaku kembali jika isteri sudah tidak nusyuz lagi[15].
Begitu pula akibat hukum yang berupa
perceraian, hal ini dimungkinkan jika kedua belah pihak sudah tidak mungkin
untuk berdamai lagi, hal ini juga sesuai dengan ketentuan yang ada dalam undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang hukum perkawinan pada Pasal 39 Ayat (2) jo. Inpres
Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 116.
Dalam hal akibat hukum bagi nusyuznya
suami maka tidak ada ketentuan yang secara jelas mengatur tentang kewenangan
atau hak isteri dalam menindak suaminya tersebut, walaupun seorang isteri
memiliki kewenangan untuk ikut menanggulangi kekeliruan dan penyelewengan yang
dilakukan suami, hal itu sebatas tanggung jawabnya sebagai seorang isteri.
Seorang isteri tidak dibenarkan menjalankan atau menerapkan metode pengacuhan
atau pemukulan seperti yang dilakukan suami kepadanya saat ia nusyuz,
hal ini disebabkan oleh karena adanya perbedaan qodrat antara laki-laki dan
wanita, serta lemahnya isteri untuk dapat menanggulangi suami[16].
Seorang isteri dalam menyikapi nusyuznya
suami hendaknya berusaha sekuat tenaga untuk menasihati suaminya akan tanggung
jawabnya atas isteri dan anak-anaknya. Hal ini tentu saja ia lakukan dengan
cara musyawarah secara damai dengan tutur kata lembut dan halus. Tidak lupa ia
juga harus mengintropeksi diri atas segala kemungkinan dirinya sebagai pemicu
suaminya dalam melakukan penyimpangan tersebut[17].
Apabila dengan jalan musyawarah tidak tercapai
perdamaian juga, maka menurut imam Malik sebagaimana dikutip oleh Nurjannah
Ismail isteri boleh mengadukan suaminya kepada hakim (pengadilan). Hakamlah
yang akan memberikan nasihat kepada sang suami. Apabila tidak dapat dinasihati,
hakam dapat melarang sang isteri untuk taat kepada sang suami, tetapi suami tetap
wajib memberi nafkah. Hakam juga membolehkan sang isteri untuk pisah ranjang,
bahkan tidak kembali ke rumah suaminya. Jika dengan cara demikian pun, sang suami
belum sadar juga, maka hakam dapat menjatuhkan hukuman pukulan kepada sang
suami. Setelah pelaksanaan hukuman tersebut, sang suami belum juga memperbaiki
diri, maka hakam boleh memutuskan perceraian dintara keduanya jika isteri
menginginkannya. Pendapat imam Malik ini seimbang dengan sikap yang harus
diambil atau ditempuh oleh suami saat menghadapi isteri nusyuz,
sebagaimana dijelaskan dalam surat an-nisa’ (4): 34, bedanya dalam kasus nusyuznya
suami ini yang bertindak adalah hakam[18].
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ayat di atas (surat an Nisa’ ayat 34) memberikan suatu jalan yang amat bijaksana dalam
mengatasi kedurhakaan istri, yaitu sebagai berikut:
a.
Memberi nasihat dan bimbingan dengan bijaksana dan tutur kata yang
baik, sebagai yang difirmankan Allah,”Maka nasihatilah mereka itu.”
b.
Pisah ranjang dan tidak dicampuri,”Dan tinggalkanlah mereka di
tempat-tempat tidur.”
c.
Pukullah yang sekiranya tidak
menyakitkan, misalnya dengan siwak dsb.,yang bertujuan untuk menyadarkannya.
”Dan pukullah mereka.”
Kalau ketiga jalan di atas sudah tidak berguna,
maka dicari jalan dengan bertakhkim, yaitu,”Mengurus seorang hakam dari
keluarga suami, dan seorang hakam lagi dari keluarga istri.”
DAFTAR PUSTAKA
Abdur Rahman ibn al-Kamal Jalaluddin as-Suyuthi.Dar al-Mansyur
fi at-Tafsir al-Ma’tsur .juz
III. Beirut: Darul Fikr.
Abdur Rahman ibn al-Kamal Jalaluddin as-Suyuthi.Terj. Dar
al-Mansyur fi at-Tafsir al-Ma’tsur .juz
III.. Beirut: Darul Fikr.
Abu Ja’far, Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn
Khalid ath-Thabari.Terj. Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil
al-Qur’an, V/48. Beirut:
Dar al-Fikr, 1405 H.
Zuhaili, Wahbah.Terj. Tafsir
al-Munir .juz V
Shaleh, Qomaruddin, dkk. Asbabun Nuzul. Bandung: CV.
Diponegoro. 1995.
Hamidy, Mu’ammal. Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam as-
Shabuni. Surabaya: PT. Bina Ilmu. 2003.
[1]Dr. Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munîr ,
juz V, 54.
[2]‘Ali ash-Ash-Shabuni, Shafwah at-Tafâsîr , 273.
[3] Mahmud al-Andalusi al-Baghdadi, Ruh
al-Ma‘anii , 23.
[4]Dr. Wahbah Zuhaili, op.cit., 54.
[5]Abdur Rahman ibn al-Kamal Jalaluddin
as-Suyuthi, Dar al-Mansyur fi at-Tafsir al-Ma’tsur , Beirut: Darul
Fikr ,juz III, 512-513.
[6]Abu Ja’far, Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn
Khalid ath-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘anTa’wil al-Qur’an, V/48. Beirut: Dar
al-Fikr.
[7]Dr. Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir ,
juz V, 53-54.
[8]Kh.
Qamaruddin Saleh, dkk. Asbabun Nuzul,
(Bandung: CV. Diponegoro) , 1995, 131.
[9]Muhammad ‘Ali as-Sabuni, Rawaiu
al-Bayan., 370-371.
[10]Ensiklopedi Hukum Islam, 1355
[11]Muhammad Nawawi, Uqud al-Lujjayn.,
7.
[12]Ahmad Azhar Basyir, Hukum
Perkawinan Islam., 81
[13]Muhammad Jawad Mugniyyah, Al-Ahwal
asy-Syakhsiyyah, (Bairut: Dar al-Ilm Li al-Malayin, 1964), 102.
[16]Saleh Ganim, Nusyuz, 60.
[17]Ibid.,
61
[18]Nurjannah, Perempuan Dalam Pasungan; Bias
Laki-laki Dalam Penafsiran,cet. I, (Yogyakarta: LkiS, 2003), 279.
Post a Comment