KONSEP DASAR, SEJARAH DAN PERKEMBANGAN
HAK‑HAK AZASI MANUSIA DAN HAK‑HAK WARGA NEGARA
Oleh : Krisdyatmiko

A.    Pengantar
Dalam sejarah peradaban manusia telah tercatat banyak peristiwa di mana seseorang atau sekelompok manusia mengadakan perlawanan terhadap penguasa atau kelompok manusia. yang lain untuk memperjuangkan apa yang dianggap menjadi haknya. Bahkan sejarah pemah mengisahkan bahwa seringkali pegangan itu penuh dengan ceceran darah dan pengorbanan jiwa.
Perjuangan menuntut hak bukan hanya monopoli masyarakat di negara‑negara berkembang, melainkan juga memberi wama dalam sejarah politik negara‑negara di Eropa dan Amerika Utara. Episode politik yang dirangkai dari Magna Charta, Bill of Right, Declaration des droit de Phomme et A citoyen dalam babakan sejarah Eropa, penuh dengan kisah upaya manusia untuk merumuskan serta memperjuangkan beberapa hak yang dianggap azasi dan harus dijamin. Keinginan itu timbul setiap kali terjadi praktik‑praktik kekuasan yang dianggap menyinggung harkat dan martabat kemanusiaan. Dalam proses ini telah lahir beberapa naskah yang secara berangsur‑angsur menetapkan bahwa ada beberapa hak yang mendasari kehidupan manusia dan karena itu bersifat universal dan azasi.
Hak‑hak yang dirumuskan di Eropa pada abad ke‑17 dan ke‑18 sangat dipengaruhi oleh gagasan yang berkembang waktu itu yakni mengenai hukum alam (Natural Law) seperti yang dirumuskan oleh John Locke (1632‑1714) dan  Jean Jaques Rousseau (1712‑1778) sehingga hanya terbatas pada hak‑hak yang bersifat politis saja seperti kesamaan hak, hak atas kebebasan, hak untuk memilih dan seterusnya.
Akan tetapi, pada abad ke‑20 dan setelah dunia mengalami dua kali peperangan yang dahsyat, hak‑hak politik ini dianggap kurang sempurna, dan mulailah dicetuskan beberapa hak lain yang lebih luas ruang lingkupnya. Rumusan hak yang sangat terkenal adalah empat hak oleh Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt pada permulaan Perang Dunia II. Empat hak tersebut antara lain: kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat, kebebasan beragama, kebebasan dari ketakutan dan terakhir kebebasan dari kemelaratan. Selanjutnya, timbul keinginan masyarakat dunia untuk merumuskan hak‑hak dasar manusia itu dalam suatu naskah internasional. Usaha ini pada tahun 1948 berhasil dengan diterimanya Universal Dedaration of Human Right. Pernyataan universal tentang hak‑hak azasi tersebut kemudian diikuti dengan disetujuinya secara aklamasi beberapa perjanjian yang lebih mengikat seperti International Covenant on Civil and Political Rights (Perjanjian Internasional tentang Hak‑hak Sipil dan Politik) dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Perjanjian Internasional tentang Hak‑hak Ekonomi, Sosial, dan Kebudayaan).

B.     Hak-hak Dasar : Antara Ham dan Hak Warganegara
Hak azasi manusia secara umum dirumuskan sebagai hak‑hak yang dimiliki oleh setiap manusia secara kodrati yang erat kaitannya dengan hakikat dan martabat manusia dalam kehidupannya. Maurice Cranston, salah seorang pakar hak azasi manusia, menjelaskan bahwa hak azasi manusia ini bersifat universal dan melekat pada setiap manusia sejak dia dilahirkan sebagai manusia.
Pandangan Cranston ini kemudian mempengaruhi banyak negara untuk mengadopsi hak azasi manusia ini ke dalam konstitusi negara masing‑masing. Sudah barang tentu jika hak azasi manusia yang semula bersifat universal itu, karena adanya batas‑batas teritorial suatu negara, maka munculah hak azasi warga negara, di samping kewajiban azasinya sebagai warga negara. Meskipun hak azasi manusia telah disadur sebagai hak warga negara, terdapat hak‑hak tertentu yang tidak saja menjadi hak warga negara tetapi menjadi hak penduduk bahkan hak setiap orang. Karena itu, dapat dikatakan bahwa Hak Azasi Manusia (HAM) dan Hak Azasi (dasar) Warganegara kemudian hanya bisa dibedakan berdasarkan ruang lingkup perlindungan yang lebih jauh ditegaskan dalam konstitusi. Perumusan Hak Azasi manusia dalam konstitusi umumnya menyangkut hak‑hak dasar warganegara dan orang asing, sehingga tidak mengenal asas diskriminasi berdasarkan kewarganegaraan. Sedangkan hak warganegara atau disebut juga hak‑hak sipil merupakan hak‑hak bagi warganegara an sich.
Pada awalnya hak dasar hanya dilihat sebatas hak‑hak sipil dan hak‑hak politik, namun dalam perkembangannya mencakup pula hak‑hak ekonomi, sosial dan budaya. Perluasan hak‑hak dasar ini mencerminkan perubahan pemikiran yang menganggap bahwa hak‑hak politik tidak cukup untuk menciptakan kebahagiaan bagi manusia. Hak­-hak politik tidak akan bermakna jika kebutuhan manusia yang paling pokok, yaitu kebutuhan akan pangan, sandang dan papan tidak terpenuhi. Di samping itu, proses perluasan dan institusionalisasi hak‑hak dasar di bidang politik dan sosial ekonomi, baik pada tingkat individu maupun masyarakat yang membuka akses kepada hak‑hak dasar termasuk akses kepada kekuasaan, dimaksudkan sebagai proses demokratisasi, baik dalam arti politik maupun ekonomi.

C.    Klasifikasi Hak-hak Dasar
Secara garis besar hak‑hak dasar bisa dibagi ke dalam tiga kategori yakni: hak-­hak klasik seperti hak‑hak sipil dan politik, hak ekonomi dan hak sosial‑budaya. Tetapi, dari tiga kategori ini masih bisa dibagi lagi menjadi dua kategori, hak sipil‑politik dan hak ekonomi‑sosial‑budaya. Hak klasik adalah yang berkaitan dengan hak azasi manusia sebagai individu, sedangkan hak sosial‑budaya adalah hak azasi manusia yang berkaitan dengan interaksi antara individu dalam suatu masyarakat.
Pada awalnya, untuk membedakan antara hak sipil‑politik dengan hak ekonomi ­sosial‑budaya maka dibuat dua kategori hak positif dan hak negative. Hal ini dilakukan oleh Vierdag yang mengkategorikan hak sipil dan politik sebagai hak‑hak negatif (negative rights) dan hak ekonomi‑sosial‑budaya sebagai hak‑hak positif (positive rights). Dikatakan positif karena untuk merealisasikannya dibutuhkan keterlibatan negara yang besar sehingga negara harus berperan aktif Sebaliknya, dikatakan negatif karena negara harus abstain atau tidak bertindak (pasif) dalam perealisasiannya. Oleh karena. itulah hak positif dirumuskan dalam bahasa rights to (hak atas) sedangkan hak negatif dirumuskan sebagai Fredom from (bebas dari).
Hak positif tidak dapat dituntut di muka pengadilan (non‑justiciable), sebaliknya hak negatif dapat dituntut di pengadilan. Sebagai contoh, orang yang hilang pekerjaannya tidak dapat menuntut negara ke pengadilan, sementara orang yang disiksa oleh aparat keamanan negara dapat menuntut negara ke pengadilan.
Philips Alston dan Gerald Quinn membedakan hak positif dengan negatif dalam perspektif ideologis. Hak‑hak ekonomi‑sosial‑budaya bermuatan ideologis sementara hak sosial dan politik adalah non‑ideologis. Hak ekonomi‑sosial‑budaya bermuatan ideologis karena hak itu hanya dapat diterapkan pada suatu sistem ekonomi tertentu, sedangkan hak sipil dan politik dapat diterapkan untuk semua sistem ekonomi dan/atau sistem pemerintahan apapun.

Pembedaan hak Sipil Politik dengan Hak Ekonomi Sosial Budaya

Hak Sipil-Politik
(Negative Rights)
Hak Ekonomi-Sosial-Budaya
(Positive Rights)
Dicapai dengan segera.
Dicapai secara bertahap.
Negara bersifat pasif
Negara bersifat aktif
Dirumuskan dalam bahasa freedom from
(bebas dari)
Dirumuskan dalam bahasa rights to (hak
atas)
Dapat diajukan ke pengadilan.
Tidak dapat diajukan ke pengadilan.
Non-ideologis
Ideologis

Pandangan lama yang membuat dikotomi hak dasar sebagai hak positif dan negatif tidak selalu benar. Hak ekonomi‑sosial‑budaya tidak sepenuhnya merupakan hak positif sebab banyak hak yang tercakup di dalamnya juga menuntut negara agar pasif guna perlindungan hak itu. Hal ini tercermin dalam kewajiban negara dalam menjamin terpenuhnya hak tersebut, misalnya berkaitan dengan kebutuhan pangan dimana negara harus mengambil kebijakan (aktif) yang tepat agar kebutuhan pangan tercukupi, sementara di sisi lain negara tidak diperbolehkan (pasif) mengambil tindakan yang menyebabkan seseorang kehilangan pekerjaan. Dengan demikian hak ekonomi‑sosial‑budaya bukan semata berjenis rights to melainkan juga freedom from.
Guna mempermudah pemahaman akan hak dasar sebagai hak warga negara, maka dapat diklasifikasikan sebagai berikut
1.    Hak‑hak sipil dan politik, yang meliputi :
a.    Hak untuk hidup.
b.    Hak bebas dari penindasan (untuk kemerdekaan dan keamanan).
c.    Hak bebas dari perbudakan.
d.   Hak bebas dari perlakuan tidak sama sebagai subyek hukum dan diperlakukan sama di depan hukum.
e.    Hak bebas dari penangkapan atau penahanan secara semena‑mena.
f.     Hak bebas dari penganiayaan atau diperlakukan secara kejam.
g.    Hak bebas dari larangan melakukan mobilitas (hak untuk bergerak dan mendiami suatu tempat).
h.    Hak bebas dari perlakuan fidak sama sebagai warga negara (hak untuk mendapat suatu kewarganegaraan).
i.      Hak untuk mempunyai pendapat tanpa mengalami gangguan.
j.      Hak atas kebebasan berpikir, mempunyai keyakinan, dan beragama, d1l.

2.    Hak sosial‑budaya, antara lain meliputi :
a.    Hak untuk membentuk serikat sekerja.
b.    Hak atas pensiun.
c.    Hak untuk mendapatkan pendidikan.
d.   Hak atas jaminan sosial.
e.    Hak atas pelayanan kesehatan.
f.     Hak turut serta dalam kehidupan kebudayaan, memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan penerapannya.
g.    Hak untuk berserikat, dll.

3.    Hak ekonomi, antara lain meliputi
a.    Hak untuk bekerja atau mendapatkan pekerjaan.
b.    Hak untuk mendapatkan upah yang sederajat, termasuk makanan, pakaian, dan perumahan yang layak.
c.    Hak untuk membentuk serikat dagang dan bergabung dengan serikat dagang yang dipilihnya.
d.   Hak atas tingkat kehidupan yang layak bagi dirinya serta keluarganya, dIl.
Di luar hak‑hak yang telah disebut di atas terdapat pula hak komunitas atau hak masyarakat adat setempat, yakni hak individu sebagal satu kesatuan masyarakat. Sebagai contoh, di Indonesia dikenal adanya hak ulayat.

D.    Perdebatan Hak Warga Negara di Indonesia
Dalam sejarah politik di Indonesia muncul perdebatan di kalangan the founding fathers mengenai peranan hak‑hak dasar di dalam negara demokratis yang setidaknya terwakili oleh dua kutub pemikiran yakni para pendukung Negara Integralistik seperti Soekarno dan Soepomo berhadapan dengan Hatta. Perbincangan pada waktu itu banyak dipengaruhi oleh penyataan hak‑hak manusia dan warganegara, suatu naskah yang dicetuskan pada permulaan. Revolusi Perancis, yang dianggap sebagai sumber individualisme dan liberalisme. Oleh karenanya, hak azasi dianggap oleh kalangan penganut negara integralistik bertentangan dengan azas kekeluargaan dan gotong royong.
Ada tiga pandangan tentang hak‑hak azasi manusia dalam perspektif model negara integralistik. Pertama, konsep hak azasi manusia dianggap berlebihan. Kedua, hak azasi manusia dibayangkan berdampak negatif. Dan yang ketiga, sebagai hak‑hak perorangan, hak azasi manusia selalu berada di bawah kepentingan bersama.
Mengenai hal yang terakhir, Soekarno pada waktu itu menyatakan bahwa filsafat individualistis melahirkan persaingan bebas yang pada gilirannya melahirkan kapitalisme.Unggulnya kepentingan kolektif di atas hak‑hak perorangan juga ditekankan oleh Soekarno ketika ia menyatakan bahwa yang menjadi aspirasi bangsa Indonesia ialah keadilan sosial. Lebih jauh ia menyatakan : "Jikalau kita betul‑betul hendak mendasarkan negara kita pada paham kekeluargaan, faham tolong‑menolong, faham gotong royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap‑tiap pikiran, tiap paham individualisme dan liberalisme daripadanya".
Sebaliknya, Hatta mengatakan bahwa walaupun yang dibentuk negara kekeluargaan, tetapi masih perlu ditetapkan beberapa hak dari warganegara, jangan sampai timbul negara kekuasaan. Dengan menunjuk kepada kenyataan bahwa sejumlah besar konstitusi baik kuno maupun yang modem, sudah memuat hak‑hak azasi, Hatta menegaskan bahwa hak azasi tidak ada sangkut pautnya dengan liberalisme. Hak‑hak dasar ini mutlak untuk melindungi kebebasan.
Perbedaan pendapat tentang hak azasi dan hak warganegara juga terjadi dalam sidang‑sidang konstituante. Sejak awal, Panitia Persiapan Konstitusi melaporkan adanya perdebatan mengenai perlu atau tidaknya dibedakan antara warganegara dan orang asing. Sebagai contoh dari pandangan yang berbeda itu, Adnan Buyung mengutip dua definisi mengenai Hak Azasi Manusia dalam sidang Konstituante. Yang pertama, melihat hak azasi atau hak‑hak dasar atau hak‑hak manusia sebagai hak‑hak dan warga negara dan orang asing yang tertulis dalam konstitusi dan memberikan kemerdekaan‑kemerdekaan. Oleh karena itu semua alat‑alat kekuasaan Negara dari yang rendah sampai yang tertinggi berkewajiban untuk tidak mengganggu hak‑hak tersebut. Sedangkan pandangan kedua mengusulkan pelaksanaan hak azasi manusia disesuaikan dengan kepentingan nasional. Mereka lebih menyukai memilih judul hak‑hak azasi warga negara.
Walaupun terjadi perbedaan pendapat, ternyata dalam sidang‑sidang Konstituante terlihat bahwa Hak Azasi Manusia tidak sekedar dipahami oleh Konstituante dalam istilah‑istilah legalistik hukum positif, akan tetapi hak azasi dilihat sebagai prinsip‑prinsip umum yang berakar pada kehendak manusia untuk dilindungi dari penindasan dan penghinaan. Disamping itu, banyak diantara pembicara dalam sidang Konstituante memiliki paham yang dinamis mengenai hak azasi manusia, mereka memandang hak azasi manusia bukan sekadar prinsip‑prinsip yang harus dirumuskan dalam konstitusi dan dilindungi oleh Negara, tetapi juga sebagai nilai‑nilai yang terus menerus harus diperjuangkan dan sebagai tolak ukur yang senantiasa dipahami untuk menilai perilaku pemegang kekuasaan.
Seperti yang dicatat oleh Adnan Buyung Nasution (1995) Konstituante telah berhasil menyepakati 88 rumusan yang terdiri dari 24 hak‑hak azasi, 18 hak warganegara dan 13 hak tambahan yang belum diputuskan apakah dimasukkan sebagai hak azasi manusia atau hak warganegara. Adapun 18 hak azasi warga negara yang disebut dalam laporan panitia perumus Konstituante adalah sebagai berikut :
1.    Hak kebebasan bergerak dan berdiam dalam wilayah negara.
2.    Hak meninggalkan negeri dan kembali ke negeri.
3.    Hak kebebasan berkumpul dan berserikat.
4.    Hak atas jaminan sosial dan melakukan hak‑hak ekonomi, sosial dan kebudayaan.
5.    a.  Hak atas pekerjaan dan memilih pekerjaan.
b. Hak mendapatkan imbalan yang adil dan baik serta jaminan bagi para pengangguran.
6.    Hak atas upah yang sama, untuk pekerjaan yang sama tanpa diskriminasi apa pun.
7.    Hak untuk membentak dan bergabung dengan serikat perdagangan untuk melindungi kepentingan sendiri.
8.    Hak mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang berguna.
9.    Hak perlindungan kepentingan moral dan material yang didapat dari suatu produksi ilmu pengetahuan, kesusastraan atau kesenian yang diciptkan sendiri.
10.    Hak kebebasan untuk melakukan peke~aan sosial dan amal, mendirikan organisasi untuk itu.
11.    Hak setiap warganegara wanita mempunyai hak yang sama seperti warganegara, laki‑laki dalam lapangan penghidupan politik, ekonomi, kebudayaan dan kekeluargaan.
12.    Hak untuk ikut serta dalam pemerintahan.
13.    Hak diangkat dalam tiap jabatan pemerintahan.
14.    Larangan terhadap penguasa untuk mengikat suatu keuntungan atau kerugian kepada kedudukan segolongan warganegara.
15.    Membela tanah air adalah tugas yang suci bagi setiap warganegara.
16.    Tiap warganegara berhak mempunyai perumahan yang layak sebagai manusia.
17.    Hak setiap warganegara wanita atas perhatian sepenuhnya dari penguasa atas jaminan sosial dalam pekerjaan yang layak baginya.
18.    Setiap warganegara yang melakukan pekerjaan, berhak untuk mendapatkan jaminan kebutuhan hidup di hari tua dan bila menjadi invalid karena kecelakaan pada waktu menunaikan tugas.

Perbedaan pandangan antara Sukamo‑Soepomo dan Hatta, dan perdebatan di dalam Konstituante mencenninkan empat perspektif yang berbeda dalam melihat hak‑hak azasi manusia yakni antara universalisme dengan partikularisthe di satu pihak dan individualisme dengan kolektivisme di pihak lain.
Labels: 0 comments | | edit post