Bagian II

Kritik-Otokritik Gerakan PMII

 


Kritik atas Ideologi dan Paradigma Gerakan PMII

Tak satupun di antara kader PMII yang menghendaki PMII menua, memfosil dan kehilangan peran kesejarahannya. Tudingan negatif di atas sebaiknya menjadi cambuk bagi PMII untuk kembali melakukan kritik dan otokritik terhadap eksistensi dan kiprahnya selama ini. Dalam tradisi keilmuan dan gerakan, kritisisme adalah conditio sine qua none yang mampu menjadikan organisasi tersebut dinamis, peka sosial dan menjadi anak zamannya. Kritisime dalam berpikir, bersikap dan berprilaku inilah yang akan mampu menghantarkan PMII beserta kader-kadernya ‘melek sosial’ dan peradaban dimana ia tidak hanya menjadikan kader PMII kembali kritis dan pejuang perubahan. Lebih dari itu, kritisisme itu akan menjadi  salah satu takaran penting mengejawantahkan berbagai nilai-nilai ideologis-paradigmatis PMII dalam menjawab persoalan kekinian maupun akan datang.
Kritik-Otokritik gerakan PMII meliputi dua hal utama, antara lain, Pertama, berkaitan dengan tatanan internal keorganisasian, yang bertumpu pada lima (5) fakta organisasi ; 1). Ideologi dan paradigma gerakan ; 2).Sistem organisasi ; 3). Sistem pengkaderan ; 4). Strategi organisasi dan ; 5). Logistik organisasi. Kedua, platform dan pola relasi PMII dengan institusi, kekuatan dan realitas sekelilingnya, yang meliputi ; 1). Relasi PMII - negara ; 2). Relasi PMII - rakyat serta kekuatan sipil lainnya ; 3), Relasi PMII - kampus, gerakan mahasiswa dan pro demokrasi ; 4). Relasi PMII - kekuatan kapitalisme global.
Tak satupun organisasi bergerak tanpa payung idologi yang jelas. Ideologi berfungsi ibarat obor penerang jalan kiprah sebuah organisasi. Ideologi yang kerap dimaknai sebagai “a set of closely related belief, or ideas, or even attitudes, characteristics of a group or community” (Plamenatz; 1970), akan menjadi titik pembeda antara PMII dengan organisasi kemahasiswaan lainnya.
Dalam wilayah ideal, PMII diandaikan (mesti) mampu memerankan dirinya pada kerja-kerja besar ideologi, mulai dari; pertama, PMII mampu menjadi penggagas ideologi bagi diri dan masyarakatnya, dengan ini characteristic building PMII mewujud kukuh dalam setiap gerakannya. Ini berarti PMII harus mampu menyusun dan mengembangkan ideologinya, mulai dari postulasi pemikiran yang terkait dengan seluruh aspek kehidupan masyarakat, hingga tafsir dan detail pengembangan dan penggunaannya. Kalau hal ini tak tercapai, maka kedua, PMI berfungsi menjadi pendukung dan mufassir ideologi tertentu sebagai pembenar dalam setiap sikap dan tindakannya. Dan ketiga, menggiring PMII sebagai pengemban ideologi, dimana PMII menggerakkan diri dan masyarakatnya untuk mencapai arah akhir dari ideologi anutannya. (bandingkan dengan Hanief & Zaini; 2000).
Dalam intensitas dan spektrum yang berbeda, PMII pernah mengoperasikan ketiga bentuk  peran tersebut, selama 4 (empat) dasa warsa lebih. Tatkala negara terkotak-kotak dalam politik aliran era Orde Lama Soekarno, yang menempatkan politik sebagai panglima, PMII memainkan peran pendukung sekaligus ideologi politik Islam tradisionalis. Peran ini menjebak PMII tercebur dalam kerja-kerja politik praktis yang menghilangkan watak radikal dan independensinya sebagai sebuah organisasi kemahasiswaan.
Begitu pula pada awal Orde Baru ditegakkan, PMII masih berkutat dengan pergulatan Islam sebagai ideologi politik dan tawaran developmentalisme yang memaksakan depolitisasi aliran dan dealiranisasi politik. Titik balik terjadi, ketika PMII kemudian mentahbiskan dirinya independen tidak terkait dengan organisasi politik manapun melalu Deklarasi Murnajati 1972 di Malang. Independensi PMII ini bermakna hilangnya keterikatan organisasi dari sikap dan tindakan siapapun dan hanya setia dengan perjuangan PMII sendiri serta cita-cita perjuangan nasional berlandaskan Pancasila.
Puncaknya, independensi PMII itu menjadi entry point upaya pencarian (merumuskan) jati diri organisasi yang sesungguhnya. Artinya, PMII mulai harus mengurus dirinya sendiri tanpa menggantungkan dirinya dengan orang (kekuatan) lain, sambil terus berpegang pada landasan yang berasal dari dalam tradisinya sendiri serta kekuatan yang dibangunnya sendiri.  Sikap ini telah mampu mencairkan berbagai trauma-trauma politik dan gerakan PMII di masa sebelumnya, hingga PMII memiliki keleluasaan gerak lebih lugas memilih peran-peran intelekual, kemasyarakatan dan kritisisme terhadap agama maupun negara tanpa terbebani oleh kejumudan tradisi (ortodoksi pemahaman keagamaan) ataupun terbatasi oleh keterikatan politik dengan kekuatan manapun.
Perumusan ideologi PMII sangat dipengaruhi oleh 3 (tiga) momentum penting ; 1).  Kembalinya NU kepada khittah 1926 ; 2). Diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya azaz tunggal dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara ; 3). Serta dirumuskannya NDP PMII dalam Konggres ke-8 tahun 1985. Bersamaan dengan itu kader PMII telah mulai menyebar di berbagai kampus umum dan aktif bergerak di berbagai LSM untuk melakukan gerakan pemberdayaan masyarakat serta terlibat intens dalam aksi-aksi jalanan melawan hegemoni negara.
Akhirnya pada paruh pertama dasa warsa ‘90-an, berbagai rumusan ideologi dan paradigma gerakan PMII terbentuk. Ideologi gerakan PMII bukanlah bangunan ideologi sekuler, melainkan ideologi berbasis agama. Sebab, ideologi yang dibangun oleh PMII menggambarkan susunan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang dicita-citakan, dalam keterkaitan di antara hubungan kekuasaan sesama manusia didalam masyarakatnya dengan pengabdian manusia kepada Tuhan sebagai penguasa tertinggi berasal tradisi pemahaman ke-Islaman bersumber dari nilai-nilai Aswaja (yang dipandang sebagai manhaj al-fikr).
Sedangkan paradigma gerakan PMII di bangun atas postulasi-postulasi  dan nilai-nilai universal Islam serta hasil dialog kreatif tradisi pemahaman Islam tradisional dengan background sosial dan historis (tradisonal dan rural-agraris) aktifis PMII dan realitas sosial-politik khas Indonesia. Paradigma gerakan ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran Thomas S. Kuhn yang memandang pradigma sebagai serangkaian konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan serta prosedur yang dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah, dan realitas sosial untuk memberikan konsepsi dalam menafsirkan realitas sosial (Kuhn, 1962).
Dengan ideologi yang bersumber dari agama, watak paradigma PMII pun tak lepas dari landasan teologis yang dianutnya. Corak pemahaman teologis yang mempengaruhi cara pandang dan etos gerakan PMII inilah yang nantinya menjadi pembeda dengan berbagai paradigma gerakan mahasiswa atau kekuatan sipil lainnya. Akhirnya, PMII memilih paradigma kritis transformatif sebagai paradigma gerakannya, bahkan rumusan ini termaktub dengan jelas dalam Bab V pasal 6 Anggaran Dasar PMII hasil Kongres PMII Medan tahun 2000 lalu. 
Namun, harus disadari bahwa masih banyak kelemahan dan kesimpangsiuran konsep maupun aplikasi praktis dari bangunan ideologi dan paradigma gerakan PMII. Kritik atas ideologi dan paradigma PMII menjadi sangat penting diungkapkan di sini, sebab ada beberapa hal yang mesti dituntaskan berkaitan dengan persoalan tersebut. Pertama, rumusan teologis paradigma PMII selama ini didasarkan pada rumusan Aswaja dan NDP yang masih normatif. Padahal proyek dekonstruksi Aswaja sampai hari ini masih terus berlangsung dan belum menemukan konsepsi otoritatifnya. Bagaimana PMII kemudian berani mendasarkan landasan teologisnya pada sebuah diskursus dekonstruksi dan rekonstruksi Aswaja yang belum usai, menyimpan kontradiksi di sana-sini, belum ada bangunan epistimologisnya, dan dipenuhi perdebatan teologis dari pemikir Islam tradisional ?. Jangan-jangan ini hanya menjadi semacam “kegenitan” intelektual” para aktifis PMII yang kemudian menjadikan rumusan teologis PMII sebagai media “uji coba” dalam mencari konsepsi teologis Islam tradisional yang paling sesui dengan gerak dinamika sosial dan sejarah?.
Sekitar tahun 1996-1997 an, PMII mengangkat tema teologi antroposentrisme-transendental sebagai landasan paradigma gerakannya. Konstatasi ini menempatkan manusia sebagai subyek utama yang melakukan  tugas dan fungsi Tuhan di muka bumi (khalifatullah fil ardl), dimana manusia tidak diletakkan pada dua kutub yang diametral dan kontradiktif, yakni di satu sisi sebagai khalifatullah yang memiliki tugas memakmurkan bumi dan menyelesaikan persoalan kemanusiaan dengan keadilan, dan di sisi lain sebagai abdullah yang mempunyai tugas mengabdi dan menyembah Allah dengan penuh kepasrahan. Namun, sebagai totalitas kesatuan kekhalifahan dan abdullah sekaligus, yakni menempatkan manusia sebagai makhluk yang paling tinggi, sebagai khalifah Allah di muka bumi dan sebagai makhluk yang mempunyai kemampuan fitri dan akali (PB PMII, 1997).
Postulasi pandangan teologis seperti ini memang lebih maju sebagai upaya penafsiran atas normatifitas NDP PMII, namun sebenarnya belum memberikan jawaban apapun atas berbagai persoalan dekonstruksi teologi Aswaja yang sudah hampir satu dasa warsa ini diperdebatkan. Apalagi kalau kemudian konsepsi ini digugat dengan realitas di lapangan, bahwa tidak ada korelasi positif antara pandangan teologis PMII ini dengan seluruh etos dan pola gerakan PMII hari ini. Sementara itu PMII telah memilih transformasi sebagai pilihan paradigmanya, padahal pandangan teologis antroposentrisme-transendental PMII masih belum mampu menjawab apa bangunan epistimologisnya, realitas wujudnya dan corak serta watak teologi apa yang sebenarnya dihasilkan, apakah revolusioner? Transformatif ? Normatif ? Atau bahkan malah fundamentalis-formalistik ? Sungguh masih sangat banyak pertanyaan dan problema yang muncul dari berbagai rumusan teologis yang telah PMII klaim sebagai basis ideologi dan paradigmanya.
Kedua, rumusan sebuah paradima gerakan itu sangat terikat dengan ruang dan waktu (space and time) serta harus bersifat terbuka atas perubahan (open ended). Artinya, paradigma PMII ini akan mengalami deviasi atau shifting paradigm yang akan melahirkan sebuah community consensus baru, hal ini akan berlangung terus menerus. Karena itu, watak paradigma PMII adalah temporal/ tidak permanen, dan akan terus mengalami perubahan sebagai bentuk tuntutan penyesuaian atas watak dinamis gerak sejarah kemanusiaan yang terus berkembang dan berubah-ubah.
Persoalan menjadi muncul, tatkala PMII membakukan konsepsi paradigma kritis transformatif tersebut dalam Anggaran Dasarnya. Sebab, dengan memasukkan paradigma tersebut dalam AD PMII, seakan-akan menyiratkan bahwa rumuan paradigma itu digiring untuk dipermanenkan di PMII. Ini adalah kontradiktif dengan watak sebuah paradigma itu sendiri yang sangat terikat oleh relatifitas space and time, dan itu artinya tidak permanen dan sangat mungkin dirubah, sesuai dengan konteks dimana serta kapan paradigma itu diterapkan.
Sangat wajar, jika kemudian 2 tahun terakhir ini mulai dipertanyakan kembali rumusan teologis dan paradigma gerakan PMII itu oleh beberapa aktifis PMII sendiri? Sebab kenyataannya, tidak ada relasi timbal-balik antara rumusan teologis dan paradigma itu dengan seluruh aktifitas yang dilakukan oleh PMII di seluruh tingkatan? Sulit menyimpulkan apakah kalau PMII itu melakukan aksi jalanan ataupun pemikiran itu dijiwai / disemangati oleh landasan teologis dan paradigma PMII sendiri.

Kritik-Otokritik Sistem Keorganisasian PMII

PMII selama ini dinilai oleh banyak kalangan sebagai organisasi yang paling dinamis dalam berwacana, namun sangat lemah dalam hal penegakan sistem (aturan main) organisasinya. Tak sedikit dari mereka yang menyatakan bahwa kader-kader PMII itu “jagoan ngomong”, tetapi tidak memiliki disiplin organisasi yang baik. Belum tentu “cibiran” itu sepenuhnya benar, namun kita bisa menilainya dengan melakukan retrospeksi atas perjalanan keorganisasian PMII selama ini.
Secara legal-formal PMII memiliki berbagai produk hukum yang diputuskan di berbagai forum-forum permusyawaratan. Seperti Kongres sebagai forum tertinggi di PMII yang memiliki hak paling otoritatif  menetapkan/merubah AD dan ART, kemudian dilanjutkan dengan Muspim hingga RTAR. Tetapi, praksis dari sistem keorganisasian itu bukannya tanpa kelemahan, masih terdapat beberapa hal yang belum di atur secara jelas dan rinci di PMII mengenai beberapa hal berikut ini ; Pertama, mekanisme kontrol. AD-ART PMII sebenarnya memberikan kewenangan yang sangat luas kepada pemegang amanat (mandataris) kongres, dimana mandataris kongres ini hanya bisa dilengserkan kalau ia benar-benar telah melanggar AD-ART, itupun harus melalui mekanisme Kongres Luar Biasa (KLB) berdasarkan usulan 50 + 1 dari seluruh jumlah cabang yang ada. Belum lagi, AD-ART belum menjelaskan juga apa saja jenis pelanggaran terhadap AD/ART itu, seperti jika kemudian Ketua Umum PB PMII dituding menerima sejumlah uang untuk sebuah kegiatan dengan konsesi politik tertentu, maka kemudian PMII tidak memiliki payung hukum yang jelas, seperti apakah cabang melakukan pembuktian itu dan bagaimana hak PB untuk (membela diri) mengklarifikasinya.
Bukan hanya itu, banyak pasal yang ada di AD-ART yang masih terlalu umum, perlu penjabaran yang lebih rinci, teknis dan operasionalnya, baik dalam bentuk PO (peraturan organisasi) ataupun lainnya. Namun, hingga saat ini upaya ke dalam itu masih belum optimal, kalaupun sudah ada, maka sosialisasi dari berbagai ketetapan itu tidak juga terlaksana secara optimal dan menjadi kesadaran bersama dari seluruh pengurus serta kader PMII di semua tingkatan.
Kedua, masih banyaknya pengurus yang melakukan perangkapan jabatan. AD/ART secara jelas dalam Bab III bagian V pasal 8 dimana anggota biasa dan atau pengurus tidak boleh merangkap jabatan di semua partai politik. Konsistensi kader/pengurus PMII akan hal ini patut dipertanyakan, sebab di beberapa Koorcab dan Cabang PMII realitas perangkapan jabatan ini cukup tinggi, namun pengurus PMII (baik itu PB ataupun PKC/Cabangnya) tidak begitu mempersoalkan hal tersebut (bahkan mentolerirnya). Mestinya hal ini dibutuhkan tindakan tegas dari PB PMII sebagai institusi tertinggi yang memiliki kewenangan dan kewajiban menegakkan aturan main organisasi PMII.
Kedua masalah di atas, sebenarnya adalah sekelumit beberapa kelemahan perundang-undangan dan peraturan di PMII, masih banyak kelemahan-kelemahan lain yang mesti mendapatkan perhatian sungguh-sungguh dari seluruh pengurus dan kader PMII. Bukan rahasia lagi, kalau PMII tidak begitu mempedulikan aturan hukum yang ada dalam menyikapi berbagai persoalan yang menimpa organisasi. Kalau toh ada proses penyelesaiannya, biasanya pengurus lebih menyukai memutuskan hal itu dengan cara kekeluargaan, meski itu berarti menafikan aturan main organisasinya.
Model penyelesaian seperti ini memang sangat dipengaruhi oleh background sosial kader PMII yang mayoritas berasal dari massa tradisional agraris dengan ciri komunalisme yang tinggi, dimana proses penyelesaian persoalan bagi salah satu warganya yang melanggar peraturan dengan konvensi yang tidak rigid dan cenderung menggunakan cara-cara kultural (alergi atas pendekatan formal). Namun, bukan berarti itu kemudian juga diberlakukan dalam konteks PMII, sebab penegakan aturan organisasi sesuai dengan kaidah serta mekanisme yang ada di PMII akan menjadi salah satu paramater utama, jalan tidaknya sistem di PMII, serta sebagai ukuran tingkat disiplin kader dan konsistensi PMII menjalankan aturan main yang dibuatnya sendiri.

Kritik-Otokritik Sistem Pengkaderan PMII

Indikator termudah dan seringkali dijadikan ukuran keberhasilan dari sebuah organisasi adalah seberapa banyak (kuantitas)dan seberapa hebat (kualitas) integritas dan kapabilitas out put (alumni) yang dihasilkannya. Miskinnya sebuah oragnisasi dalam  me-reproduksi intelektual, tokoh/pemimpin yang memiliki kecakapan di bidangnya (profesional), kritis, visioner dan berkarakter akan menunjukkan macetnya sebuah organisasi berarti pula kegagalan kaderisasi di tubuh organisasi tersebut. Pemahaman publik yang seperti ini sedikit banyak juga berpengaruh pada sistem dan pola pengkaderan PMII.
PMII menjadikan dirinya sebagai organisasi massa sekaligus organisasi kader dengan basis massa terbesar di Indonesia. Beban berat tersandang dipundak PMII, sebab besarnya massa yang dimiliki, menuntut PMII harus mampu mengantarkan warganya memahami realitas dirinya sendiri dan dunia sekitarnya melalui proses pembebasan (liberasi) dan pemanusiaan (humanisasi). Oleh karena itu, sistem pengkaderan di PMII, bukan untuk mengarahkan kadernya sebagai individu-individu yang terasing (alienasi) dan tercerabut dari realitas dirinya sendiri dan dunia sekitarnya, yang menghantarkan para kader PMII hanya mampu menjadi penonton gerak sejarah dan perubahan, bukan pencipta sejarah serta perubah itu sendiri. Namun, sistem pengkaderan di PMII diarahkan pada terciptanya individu-individu yang merdeka, otonom, independen, baik dalam bepikir, bersikap maupun berperilaku  serta memiliki kapasitas dan kepedulian berpartisipasi secara kritis dalam setiap aksi perubahan menuju tatanan masyarakat, negara dan dunia yang PMII cita-citakan.
Kader merupakan roh organisasi, karena itu pengkaderan di PMII diformulasikan secara sistemik dan terencana dengan baik, sehingga  menjadi ujung tombak keberlangsungan dan kesinambungan dinamika organisasi. Tersistem artinya, pola pengkaderan di PMII mengandung esensi dalam rangka memformulasikan tahapan jenjang kader yang dibangun di atas kerangka pijakan yang jelas, dalam bingkai ideologi dan paradigma gerakan, serta menyangkut muatan yang harus dipunyai oleh kader.
Terencana, artinya pengkaderan di PMII diproyeksikan bagi terlaksananya pola kaderisasi yang disusun secara reguler, berjenjang dan sesuai dengan visi serta misi organisasi. Oleh karena itu, gerak pengkaderan di PMII diarahkan bagi tersedinya human resources penopang utama bagi keberlangsungan organisasi yang disandarkan pada klasifikasi dan kualifikasi kader sesuai dengan tingkatannya demi mengemban amanat, nilai-nilai, serta ide-ide besar PMII.
Namun, problem mendasar PMII hari ini adalah sulitnya mencari “kader ideologis”, yang sesuai dengan idealisasi paradigma pengkaderan di atas. Harus diakui, pragmatisme yang dibangun (baik sengaja atau tidak, disadari atau tidak) oleh beberapa kader atau alumni PMII yang mencoba membangun loyalitas kader dengan setumpuk tawaran pragmatisme, telah mengakibatkan kader-kader PMII mengalami deviasi (erosi idealisme dan moral) dari tujuan semula sebagai organisasi kader. Kentalnya pragmatisme, membawa runtuhnya nilai-nilai ideologis kader akan sistem nilai, keyakinan dan sikap yang selalu menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan kejujuran, apapun taruhannya. Hal ini berimplikasi pada menurunnya kadar kritisisme pemikiran dan gerakan yang membuat PMII mengalami degradasi cukup tajam di sana–sini.
Indikator termudah adalah sulitnya kita mencari korelasi nyata antara sepak-terjang kader dengan basis ideologi, dan paradigma yang dimiliki PMII miliki. Dari beberapa penglihatan sederhana yang pernah saya lakukan dengan beberapa sahabat lainnya, ada kecenderungan besar dari para pengurus atau kader PMII mulai dari PB hingga rayon bahwa apa yang mereka lakukan selama ini, lebih banyak merupakan “reaksi spontan” atas realitas yang terjadi, bukan berdasarkan implementasi proses (hasil) pengkaderan sistemik dari PMII. Artinya, PMII hanya mampu memberikan wadah saja untuk berkiprah, tetapi gagal memberikan “atmosfir” kondusif yang mampu mendorong terciptanya proses dan hasil kaderisasi yang terbaik sesuai dengan mekanisme / pola pengkaderan yang ada di PMII.
Kalau toh kemudian ada beberapa kader PMII yang kritis, piawai dalam gerakan aksi jalanan dan pemberdayaan, serta “melek wacana” (intelek), itu lebih dikarenakan kuatnya kemauan dan kerja keras individu kader itu sendiri, bukan imbas nyata dari proses pengkaderan terencana dan sistemik dari PMII. Bahkan, di beberapa daerah justru ada kecenderungan besar, bahwa kalau mereka ingin mengasah dan menambah kemampuan intelektual serta menemukan habitat yang kondusif bagi pergulatan dengan segala discursus keilmuan, keislaman, social-hmaniora ataupun filsafat, harus mencarinya di tempat lain di luar PMII. Mereka lebih banyak bergabung dengan kelompok kajian-kelompok kajian yang didirikan oleh para mantan alumni PMII, komunitas NU lainnya ataupun oleh kelompok di luar tradisi PMII atau NU sendiri. Begitu pula dengan sahabat-sahabat kita yang sangat getol dengan “gerakan jalanan”, lebih merasa punya eksistensi dan terakomodasi di berbagai organisasi semi legal, bukan di PMII.
Fenomena di atas, sungguh meresahkan, sebab PMII tidak lagi diyakini mampu mewadahi segebok idealisme mahasiswa, baik dalam ranah pemikiran ataupun gerakan, justru kelompok kajian dan organisasi semi legal yang tidak memiliki kaitan struktural apapun dengan PMII yang mampu memberikan apa yang mereka butuhkan. Memang hal ini tidak bisa digeneralisir sedemikian rupa, tetapi sekecil apapun kadar kecenderungan di atas, tetap harus menjadi concern bersama dari seluruh pengurus dan aktifis PMII dimanapun saja, agar fenomena ini tidak semakin menggelinding membentuk bola salju yang kian membesar, dan pada satu saat nanti benar-benar mencerabut tradisi kritisisme yang selama ini telah dengan susah payah, apalagi sampai membahayakan eksistensi PMII sendiri.
Dasar teologis, filosofis maupun paradigmatik sistem dan pola pengkaderan di PMII sebenarnya sudah cukup baik, bahkan oleh beberapa kalangan di luar PMII diakui cukup komplit, terpadu, berbobot, dan dalam sisi metodologi cukup sistematis daripada yang ada di organisasi kemahasiswaan lainnya. Namun, harus diakui bahwa persoalannya kemudian adalah bagaimana mendialogkan sistem dan panduan pengkaderan tersebut dengan “beban tradisi” dari resources PMII yang kebanyakan berasal dari latar sosial rural-agraris, tradisional, komunal dan cenderung agak kolot ditambah mainstream dinamika perkembangan masyarakat yang begitu cepat dan sulit dikontrol.  
Sejumlah persoalan di atas merupakan realitas obyektif sebagai implikasi dari persentuhan PMII dengan berbagai kondisi obyektif internal organisasi, kampus, dan lingkungan sekitarnya. Tidak adil tentunya, membandingkan pola pengkaderan antara cabang yang satu dengan lainnya. Sebab, hal itu akan sangat dipengaruhi oleh basis material (resources) serta kondisi sosio-kultural daerahnya masing-masing. Apalagi kemudian membuat penilaian cabang mana yang paling berhasil melaksanakan pengkaderan di PMII. Apakah Jogyakarta bisa dinilai sebagai cabang yang paling sukses melakukan pengkaderan dalam hal “pendigdayaan” intelektual kadernya, cabang Malang yang dianggap konsisten dalam melakukan pengkaderan reguler dan tertata organisasinya, ataukah cabang Salatiga yang dianggap paling mampu menciptakan kader yang ahli dalam advokasi, cabang-cabang di Sulawesi Selatan sebagai penghasil kader-kader tingkat nasional, Jakarta sebagai penghasil tokoh-tokoh gerakan yang kritis dan berani dan lain sebagainya.  Semua itu belum bisa menjadi ukuran, perlu pembuktian lebih lanjut dan mesti dibarengi pengakuan dari seluruh cabang yang PMII miliki.
Meski begitu, kita semua harus mengakui bahwa jumlah kader PMII yang mampu meneruskan studinya hingga S-2 dan S-3 semakin banyak, tidak hanya didominasi oleh para mahasiswa dari fakultas/jurusan agama saja, tetapi tak sedikit yang berasal dar fakultas/jurusan ilmu-ilmu social-humaniora bahkan eksakta. Sekarang ini tidak sulit mencari kader PMII yang menempuh magister atau doktoral di UI, IPB, ITB, UGM ataukah perguruan tinggi bergensi lainnya. Tidak hanya itu, sudah puluhan jumlahnya kader-kader PMII yang mendapatkan bea siswa bersekolah di luar negeri.
Kemudian sejak paruh terakhir dasa warsa ‘90 an hingga sekarang, para alumni PMII mulai tersebar di berbagai sektor kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan Indonesia. Tidak seperti dahulu, dimana mayoritas alumni PMII itu kebanyakan berprofesi kyai, dosen agama, politisi, dan aktifis LSM saja. Realitas ini tentunya cukup menggembirakan, namun, hal itu masih belum bisa dipakai sebagai satu-satunya parameter bahwa pengkaderan di PMII telah berhasil dan sesuai dengan sistem pengkaderan yang ada?.

 

Kritik-Otokritik Strategi Gerakan PMII
PMII mendasarkan dirinya sebagai komunitas intelektual, dimana pemahaman konsepsiaonal atas sesuatunya sangat ditekankan sebelum mentransformasikan konstatasi intelektual itu dalam gerakan sosial, kebudayaan dan politiknya. Bagi PMII, gerakan pemberdayaan, jalanan dan praktis lainnya  merupakan derivasi dari kerja-kerja intelektual. Artinya, seluruh gagasan dan konsep yang diproduksi PMII harus berdaya guna dan menguatkan proses social engineering dalam bentuk kongkrit melalui kerja-kerja sosial, politik strategis dan peretasan kebudayaan baru.  Pemikiran ini  diilhami (diperkuat) oleh proposisi Ben Agger (1992), yang menghendaki transformasi kehidupan intelektual (individu ataupun kelompok) sebagai investasi sosial, politik dan kebudayaan, (transforming intelectual life for a social, political, and cultural investment).   
Oleh karena itu, strategi gerakan PMII merambah dan ditransformasikan ke dalam 4 (empat) wilayah gerakan. Pertama, strategi gerakan intelektual. PMII pernah mengalami booming pemikiran di era paruh kedua ’80-an dan selama dasawarsa ‘90-an. Pada saat itu muncul diskursus dekonstruksi atas Aswaja, open society, civil society,  FMI (free market of  ideas), pribumisasi Islam, teologi pembangunan, masyarakat komunikasi, dan beberapa diskursus lainnya. Para aktifis PMII (atau alumninya) mampu mengangkat berbagai wacana tadi ke publik luas dan mampu mempengaruhi mainstream wacana publik yang lebih didominasi oleh formalisme dan politisasi Islam kelompok Islam modernis, developmentalisme dan nasionalisme semu rezim Orde Baru.
Liberalisasi pemikiran di tubuh PMII itu sebagai imbas pilihan strategi gerakan intelektualnya yang menurut sahabat Mun’im DZ. (2000) bertumpu pada 3 (tiga) hal, yakni; (1) membebaskan diri dari kungkungan tradisi; dalam konteks ini tradisi bukanlah sesuatu yang harus ditolak mentah-mentah, bukan juga mesti dipegang teguh tanpa reserve, melainkan mesti ditolak secara proposional dan kreatif, serta dikembangkan dengan pendekatan liberal-transformatif. Akibatnya, konservatisme kyai, kejumudan tradisi, dan sakralisasi terhadap berbagai produk pemikiran lama di gugat habis. Sebagai gantinya, para aktifis PMII lebih mengedapankan budaya pemikiran yang bertumpu pada semangat liberasi dan independensi serta menghilangkan tabu intelektual (intelectual taboo), baik di internal PMII maupun komunitas Islam tradisional dan masyarakat luas pada umumnya.
(2) melepaskan diri dari beban sejarah. Selama ini perjalanan dunia Islam selalu diramaikan dengan pertarungan antara normatifitas wahyu dan historisitas pemikiran. Namun, pertarungan ini dimenangkan kelompok fundamentalis-skripturalis, sehingga menimbulkan alergi umat Islam terhadap filsafat dan disiplin ilmu pengetahuan umum lainnya.  Hal ini kemudian melahirkan pola pikir dan prilaku yang menghendaki Islam diberlakukan seperti di zaman Nabi, terpisah dari kehidupan umat/kelompok masyarakat lain dan cenderung menghindari pluralisme. Dalam konteks ini, Islam di pahami oleh para aktifis PMII sebagai sesuatu yang berdimensi historis, dimana produk pemahaman masyarakat Islam terhadap ajarannya selalu berdialektika dengan dimensi space and time. Sehingga, berbagai produk pemikiran klasik, tidak lagi sebagai beban berat dan mesti dilaksanakan secara taken for granted oleh umat Islam era abad informasi ini. Aktifis PMII yang secara sosiologis rmarginal (ditepikan?) dan dikelompokkan dalam masyarakat tradisional (sulit tersentuh modernisasi), mampu melepaskan beban sejarah dan justru menjadikan posisi marginalnya itu sebagai sumber pelecut dirinya untuk melakukan lompatan besar intelektual ke depan meninggalkan kelompok masyarakat lainnya.
(3) menghindarkan diri dari keterjebakan pada ikatan harfiyah teks. Cara berfikir dan bersikap kader PMII sekarang ini lebih bercorak substansial-transformatif, ketimbang simbolik dan formal, karenanya setiap persoalan lebih dilihat pada substansinya. Sebab dalam pengalaman selama ini pendekatan formalistik telah banyak mengabaikan substansi. Semangat untuk berfikir verbalistik dengan selalu mengutip ayat dalam setiap pernyataan tidak lagi lazim di kalangan intelektual PMII. Jadi dalam berfikir dan bertindak tidak perlu melihat persoalan Islami atau tidak, tetapi lebih pada apa yang dikerjakan itu membawa maslahat bagi kepentingan humanisme universal.
Implikasi strategis dari gerakan pemikiran di atas adalah terciptanya kader-kader pergerakan yang tidak hanya memiliki loyalitas sangat tinggi kepada visi dan misi PMII, lebih dari itu, mereka kemudian memiliki keberanian “keluar kandang” untuk mengasah intelektualitasnya dengan banyak elemen pergerakan lainnya. Oleh karena itu, geliat sebaran pasar bebas pemikiran di PMII menjadi entry point akan keharusan PMII mentransformasikan kematangan intelektualitasnya ke dalam 3 wilayah gerakan selanjutnya, yakni;
Kedua, strategi gerakan sosial. PMII memanifestasikan dirinya sebagai komunitas (kelas menengah) intelektual yang merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat, dan karenanya harus terlibat dalam problem-problem dasar yang dihadapi masyarakat (intelektual organik, Gramsci-red.). Realitas sosial dan komunitas-komunitas rakyat merupakan tempat kerja (sosial) dan belajar sekaligus, bagi sekuruh aktifis PMII. Implikasi kongkritnya adalah terbebasnya PMII dari eksklusifisme kelompok yang menyebabkannya ter-alienasi dari konteks sosio-kultural  dan politik masyarakat. Meminjam istilahnya Paulo Freire, PMII bukan saja harus ada di dalam masyarakat, tetapi lebih dari itu harus bersama dengan masyarakat. Keterlibatan PMII dalam setiap problematika masyarakat melalui gerakan sosial berdimensi liberasi dan transformasi, berarti meneguhkan eksistensi PMII bagi perjuangan humanisasi masyarakat.
Gerakan sosial PMII sepanjang tahun 1980 hingga akhir ‘90 an berlangsung secara operatif dan terasa nyata pembumiannya, sebab diuntungkan dengan basis sosial aktifisnya yang memang mayoritas berasal dari masyarakat rural-agraris dan kelompok marginal lainnya. Dus, jika PMII melakukan kerja-kerja sosial sama saja dengan membebaskan diri, keluarga dan masyarakatnya dari marginalisasi sosial, ekonomi dan politik. Dalam konteks gerakan sosial, Gus Dur di tahun 1991 pernah mengingatkan PMII, agar organisasi kemahasiswaan berbasis Islam tradisional ini bersedia terlibat langsung dan intens secara simultan dalam membangun infra-struktur masyarakat tradisional. PMII janganlah hanya terfokus mempersoalkan hal yang terlalu muluk dan melangit saja, melainkan harus mampu menangkap keinginan terdalam masyarakat, yang sebenarnya tidak neko-neko, tidak jauh dari kebutuhan mereka akan hal-hal yang kongkrit. Masyarakat Indonesia hanya butuh keadilan berekonomi, kelancaran berusaha, baru kemudian membutuhkan nalar budaya dan politik. Gus Dur mengharapkan PMII memulainya dengan melakukan hal-hal kongkrit yang mengarah pada pemberdayaan ekonomi lemah, petani kecil, pengusaha kecil, lalu ciptakan kemandirian basis masyarakat sebagai ladang potensial yang dapat memasok kesejahteraan bagi semua rakyat. Kalau hal ini masih dirasa berat oleh PMII, Gus Dur menawarkan agar PMII melakukan pembinaan / pendidikan terhadap anak-anak yang orang tuanya tak mampu membiayai sekolah, meski tidak dilakukan secara show of force, asalkan telaten dan disiplin, maka dengan sendirinya akan membuktikan implementasi gerakan sosial PMII.    
Karena itu, kemudian PMII terjangkiti demam advokasi. Program-program kerja PMII mulai dari PB hingga Komisariat, bahkan Rayon selalu mencantumkan advokasi masyarakat sebagai salah satu program wajib, begitu juga dengan pelatihan advokasi, Ansos, kursus hukum, kewarganegaraan dan sebagainya menjadi program-program “favorit” setiap kepengurusan yang baru menjabat menggantikan para pengurus lama. Meski, fenomena itu tidak merata di seluruh cabang PMII se-Indonesia, harus diakui bahwa fenomena tersebut semakin menguatkan stigma Orde Baru bahwa organisasi kemahasiswaan berbasis massa tradisional ini mesti dieliminasi dan “dijinakkan” geraknya.

Ketiga, strategi gerakan kebudayaan.  PMII mendeklarasikan dirinya sebagai (salah satu) kekuatan peretas “kebudayaan baru” masyarakat, untuk menyingkirkan budaya monolitik produk Orde Baru yang dipaksakan agar mengakar dalam pola sikap dan hidup masyarakat. Orde Baru tidak hanya melakukan pembatasan gerakan kebudayaan, bahkan penghancuran kebudayaan masyarakat, yang hingga saat ini menyisakan trauma cukup mendalam bagi para pekerja budaya. PMII berperan membuka ruang artikulasi dan kreasi diri dari masyarakat agar tercipta sentrum-sentrum kebudayaan yang plural, pembebas, dinamis dan mencerahkan. Pada saat yang sama PMII juga total dalam membongkar kesadaran naif masyarakat yang tercermin dalam pola berfikir, bersikap dan bertindak mereka yang monolitik, pasif, penuh was-was, dan anti (alergi) perubahan. Oleh karena itu, gerakan kebudayaan PMII terkonsentrasikan pada upaya pembudayaan diri dan masyarakat, sehingga individu dan kolektif masyarakat menjadi otonom, bebas, kreatif dan dapat merealisasikan diri sebagaimana mestinya.

Sasaran penciptaan kebudayaan “baru” yang membebaskan dan mampu menjawab tuntutan zaman (modernitas) adalah pada kebudayaan masyarakat (Islam) tradisional dan kelompok marginal lain. Protes PMII atas tradisi kehidupan, keberagamaan masyarakat tradisional, sekaligus sikap “nrimo” mereka atas peminggiran struktural dari rezim Orde Baru merupakan salah satu upaya PMII dalam merangsang tumbuhnya budaya baru yang lebih memanusiakan manusia.   
PMII mencoba mengangkat tema-tema “penaklukan kultural” (cultural imposition) oleh rezim penguasa otoriter dan kekuatan global atas kebebasan, hak (asasi) politik dan “living tradition” masyarakat melalui kekuatan struktur birokrasi (aparat negara) dan kekuatan modal yang mereka miliki. Hal ini kemudian meminggirkan perjuangan struktural dari elemen-elemen masyarakat. Oleh karena itu, sungguh tepat, jika kemudian PMII lebih memusatkan pilihan gerakannya kepada wilayah “gerakan kultural” dalam memperjuangkan nilai-nilai keislaman, keindonesiaan, HAM, demokrasi, keadilan ekonomi, keadilan sosial dan sebagainya. Bentuk-bentuk perlawanan kultural itu tercermin dalam upaya PMII untuk menceburkan dirinya ke setiap komunitas-komunitas kultural, baik yang berbasiskan agama, etnik maupun lainnya. Dalam konteks keberagamaan hal itu berwujud dengan membudayakan sikap hidup toleran, humanis dan pluralis. Dalam konteks etnik adalah mendorong akulturasi budaya antar etnik melalui gerakan penyadaran bahwa mereka selama ini dijadikan kambing hitam konflik sosial dan pelanggengan etatisme negara, dan lain sebagainya.  
            Keempat, strategi gerakan politik. PMII dituntut mampu mengolah gerakan kultural dan sosialnya untuk bermain pada level politik strategis dan bukan politik praktis. Politik strategis bermakna kecerdasan dan kecakapan PMII dalam mencipta serta memainkan momentum sejarah secara tepat. Dengan begitu PMII bisa menjadi creator sejarah bangsa (sembari melakukan investasi saham politik). Dalam konteks ini, PMII tidak hanya cukup bangga atas keterlibatannya dalam usaha penjatuhan sebuah rezim. Lebih dari itu, PMII mesti terlibat secara intens dalam usaha mewujudkan praktik dan budaya politik yang beradab, moralis, demokratis dengan keterlibatan tinggi dari seluruh rakyat serta menyediakan dirinya dalam upaya pendidikan politik bagi rakyat. 

Wujud dari “gerpol” PMII tampak jelas dalam berbagai gerakan jalanan PMII, baik melalui aksi massa, advokasi maupun bentuk-bentuk civil disobidience lainnya, hal ini terus-menerus  dilakukan serta meningkat radikalitas dan intensitasnya sepanjang dasa warsa terakhir kekuasaan Orde Baru. Peristiwa kerusuhan Tasikmalaya dan UMI Makasar hanyalah sedikit dari imbas radikalisasi gerakan politik kultural PMII. Pikiran dan gerakan “melawan” semakin menguat ketika krisis ekonomi di Indonesia semakin memuncak di tahun 1997 hingga 1998 yang lalu. Siapapun tidak akan menyangkal, bahwa tidak sedikit kader-kader PMII menjadi tokoh-tokoh mahasiswa yang memimpin berbagai demonstrasi penurunan Soeharto. Bahkan hingga kini, beberapa pentolan organisasi semi legal yang besar di Indonesia juga dipimpin oleh para aktifis (mantan) PMII.

Karenanya, PMII harus memiliki kemampuan menggerakkan setiap resources pergerakan se-efektif mungkin bagi upaya pengembangan (akumulasi) jaringan organisasi, baik yang bersifat intelektual, kultural, sosial maupun politik, demi penciptaan situasi produktif pada level makro maupun mikro politik organisasi. Terciptanya situasi produktif itu akan membuka ruang bagi PMII untuk merebut kepemimpinan politik di berbagai level gerakan. Tujuan yang terpenting adalah segala gerakan politik PMII mesti harus mampu mempengaruhi policy maker, agar selalu berpihak pada rakyat. Oleh karena itu, efektifitas gerakan politik PMII bukanlah di ukur dari sejauh mana keuntungan politis yang PMII dapatkan, melainkan apakah gerakan itu mampu mendorong terciptanya sebuah sistem politik dan pemerintahan demokratis yang dicirikan dengan adanya supremacy of law, dihormatinya hak-hak politik rakyat, menjunjung tinggi nilai-nilai universal demokrasi, civilian supremacy, dan konstitusionalisme.  

Paparan-paparan di atas, sebenarnya menunjukkan kepada kita, bahwa strategi gerakan PMII tidaklah mengawang dan kehilangan relevansinya dengan persoalan zaman ataupun problematika dasar dari masyarakat Indonesia. Namun, bukan berarti strategi gerakan PMII yang meliputi banyak dimensi itu kemudian menjadi sebuah strategi paling “ideal”. Masih sangat terasa kekurangannya di sana-sini, seiring percepatan perubahan masyarakat akibat globalisasi teknologi, informasi dan ekonomi.
Apalagi, dalam setiap melakukan proses social enlightment, PMII dituntut merumuskan sebuah master plan sebagai panduan dalam melakukan gerakan kulturalnya. Namun, harus diakui, bahwa hal ini hingga sekarang belum juga ditemui di PMII, kalau toh ada, itupun baru terbatas pada diskursus dan percikan konseptual saja, belum sampai pada terbentuknya sebuah formulasi strategik gerakan kebudayaan PMII yang holistik dan terpadu, jelas bangunan epistimologi dan aksiologinya serta operable. Terlebih jika rancang bangun gerakan kultural itu diarahkan untuk, meminjam istilahnya Almond, the civic culture, maka harus diakui bahwa PMII masih belum serius mempersiapkan dirinya menuju ke sana.
Artinya, PMII sejak sekarang dan ke depan sudah harus mulai kembali merajut blue print strategi gerakan PMII yang mampu menjawab tuntutan perubahan zaman. Hal ini sangat penting, apalagi belakangan ini PMII diliputi oleh kegamangan dan ketidakjelasan arah pergerakannya. Parsial, sporadis, dan reaksioner gerakan PMII kian hari kian tampak membesar saja frekuensinya. Bahkan seringkali pengurus PMII melakukan aktifitas (membuat kebijakan) yang tidak jelas pijakan (konsep) strateginya, yang paling banyak justru tidak adanya korelasi antara gerakan yang dijalankan oleh pengurus (kader) dengan strategi gerakan yang telah PMII rumuskan dalam paradigma (kritis-transformatis)gerakannya sendiri. Sikap dan tindakan PMII terhadap negara (penguasa), parpol ataupun kekuatan-kekuatan pro demokrasi (reformasi) menjadi tidak jelas ataupun terkonsep secara benar sesuai dengan ideologi dan paradigma gerakan yang telah dibangun PMII dengan susah-payah di tahun-tahun sebelumnya. Sangat wajar, jika hari ini, suara-suara ketidakpuasan atas PMII semakin menggelembung tidak hanya dari para aktifis PMII sendiri, atau alumninya. Bahkan, para kelompok pro demokrasi pun mulai mempertanyakan eksistensi dan konsistensi PMII dalam perjuangan melawan segala bentuk otoriterianisme, penegakan demokrasi, HAM dan civil society di Indonesia.
Karena itu, PMII mesti melakukan reorientasi, reaktualisi, redefinisi dan rekonstruksi strategi gerakannya agar kemudian PMII tidak semakin terasing dari komunitas pejuang demokrasi, kemanusiaan, dan para pembela kebenaran serta keadilan. Tanpa itu, maka kekhawatiran akan datangnya “era titik balik” berupa pudarnya gerakan PMII akan semakin mengemuka, menghalangi segenap kritisisme, liberasi, dan independensi PMII di semua lini organisasi dan gerakannya.

 

Kritik-Otokritik Logistik Organisasi

Salah satu hal paling sulit untuk diungkapkan ke permukaan selama ini adalah masalah logistik organisasi PMII. Padahal, semuanya juga mafhum, bahwa logistik merupakan persoalan yang cukup pokok dan krusial. Tidak ada satupun organisasi yang tidak membutuhkan biaya, begitu pula PMII. AD-ART PMII sebenarnya telah mengatur aturan main penggalangan dan mekanisme pengelolaan pendanaan tersebut, tetapi masih bersifat general, karena itu perlu diturunkan lebih detail. AD-ART hanya mengandalkan pemasukan pendanaan PMII bertumpu pada iuran anggota, yang itu dalam pelaksanaannya dari dulu hingga sekarang, sulit diterapkan. Ini penting dikemukakan, meski sebagian besar kader PMII menganggap persoalan logistik itu masalah teknis, bukan pokok, tetapi kita juga tidak bisa mengingkari bahwa kemandirian (independensi) organisasi maupun jaminan keberlangsungan aktifitas (program) PMII salah satunya sangat ditentukan oleh tersedia tidaknya dana. Jika dalam masalah pendanaan ini PMII bisa mandiri, maka itu akan menjadi salah satu garantie utama, kader-kader PMII tidak mudah “terbeli” oleh kelompok kepentingan (politik) manapun.
            Seluruh kader PMII mesti sudah tahu betul (bahkan sebagian telah merasakan sendiri), bahwa telah berapa ratus pengurus PMII di semua tingkatan yang diakhir kepengurusannya bisa ‘jatuh’ (ditolak LPJ atau bahkan diganti ditengah jalan) hanya gara-gara persoalan logistik ? Betapa kemudian forum-forum Kongres, Konkorcab, Konfercab, RTK dan RTAR berubah laksana “killing field” bagi para pengurus yang telah berjibaku mengemban amanat dalam satu periode kepengurusan, tanpa dibayar, bahkan ‘seringkali’ harus tekor untuk mengurusi PMII, dan pontang-panting meminta sumbangan alumni untuk sebuah kegiatan, bahkan seringkali dimarahi atau malah “dicaci” oleh alumni, hanya karena terlalu sering meminta bantuan mereka. Meski, kita tidak bisa menafikan, tak sedikit para pengurus menyalahgunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi, ataupun yang membawa-bawa nama organisasi “dijual” keberbagai pihak demi keuntungan pribadi. Namun, apapun persoalannya, masalah yang satu ini hingga hari ini masih belum terpecahkan juga jalan keluarnya yang paling rasional, efektif , dan mampu menjaga integritas organisasi. Disinilah kemudian, mulai beberapa tahun terakhir ini tuntutan untuk menciptakan mekanisme kontrol yang paling efektif dalam hal penggalangan dan penggunaan dana organisasi mulai santer didengungkan.   
Sebenarnya ada kemajuan menarik di PMII dalam Kongres ke-XIII di Medan tahun 2000 lalu, dimana dalam salah satu ketetapannya, diputuskannya Garis-Garis Besar Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Organisasi, dimana PB PMII direkomendasikan segera menindaklanjutinya menjadi sebuah APBO PMII. Di dalamnya termaktub jelas 2 fungsi utama dari APBO itu, yakni (1) fungsi budgeting, mengatur sirkulasi pemasukan dan pengeluaran pendanaan PMII, dan (2) fungsi controling, dimaksudkan sebagai pagar organisasi, dimana hal ini akan menjaga adanya penyelewengan personal atas logistik organisasi.
            Namun, apakah hal itu telah mampu (mau) diterapkan oleh seluruh jajaran pengurus PMII mulai PB hingga Rayon ?, andaikan hal itu sudah diterapkan, lantas paramater apa yang paling memungkinkan dijadikan sebagai ukuran bahwa pemasukan dan pengeluaran logistik organisasi (pengurus) sudah senafas dengan AD-ART?. Hal-hal seperti ini, dari mula PMII lahir hingga sekarang selalu jadi persoalan, sebab ada semacam “organization taboo”, untuk mempersoalkan hal tersebut. Alasan yang mendasari ini biasanya  adalah ontologi PMII sebagai organisasi nir-laba dan bukan perusahaan yang profit oriented, sehingga harus ada neraca keuangan dengan penghitungan debet-kredit, ataupun rugi-laba yang bisa diaudit oleh akuntan publik secara transparan. Padahal selama ini, akuntan publik PMII itu berupa forum-forum musyawarah, seperti arena-arena kongres, konferensi, dan rapat tahunan. Disanalah mekanisme kontrol organisasi dilakukan, tetapi kesempatan ini biasanya lebih bermuatan ‘politis’, jauh dari persoalan sesungguhnya, yakni demi menegakkan integritas dan independensi organisasi.
            Oleh karena itu, sungguh elok jika dalam Kongres mendatang, PMII memberi ruang dan waktu yang agak “spesial” kepada seluruh cabang untuk membicarakan masalah pendanaan ini sampai tuntas, mulai dari dasar hukum organisasinya, mekanisme dan bentuk-bentuk penggalangan dana itu sendiri, hingga merumuskan mekanisme kontrol yang transparan, kondusif, dapat dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan ideologi serta nilai-nilai ke-PMII-an. Tanpa itu, berbagai bentuk praktik pragmatisme pengurus ataupun kader akan tetap memiliki ruang gerak dan “perlindungan kultural”-nya. Apalagi, belakangan ini PMII didera dengan persoalan-persoalan mengerasnya isu “money politics” yang dilakukan oleh beberapa orang pengurus PMII di berbagai tingkatan.

 

Kritik-Otokritik Relasi PMII - Negara

            Mulai setahun menjelang pergantian abad hingga saat ini, PMII diliputi dengan ketidak jelasan model relasi yang dikembangkannya terhadap negara. Kalau di era Orde Baru sikap PMII terhadap negara (penguasa) begitu jelas, yakni non-kooperatif. Namun di era reformasi sekarang ini, pola relasi yang dibangun PMII terhadap negara menjadi tidak jelas dan kadang-kadang lebih sering pada posisi “abu-abu”. Memang ada beberapa hal yang kemudian menyebabkan “ambivalensi” dalam setiap langkah organisasi yang diambil PMII dalam menyikapi realitas negara dan segala kebijakannya. Sejumlah faktor itu diantaranya adalah : Pertama, masa Habibie hingga Pemilu 1999. Banyak pihak menilai bahwa PMII tidak begitu total men-support gerakan mahasiswa lainnya dalam pelengseran Soeharto.
PMII sebagai “anak kultural” NU dirasa oleh kelompok radikal gerakan pro demokrasi sebagai salah satu entitas yang memberi ruang besar pada Habibie dalam menggantikan Soeharto. Indikatornya adalah perubahan sikap PMII 180 derajat, yang semula menolak Habibie sebagai presiden, beberapa bulan kemudian PB PMII justru melakukan audensi dengan Habibie. Inilah yang mengakibatkan datangnya kecaman bertubi-tubi pada PMII. Terlepas audensi itu strategis atau tidak, namun image publik yang terbangun jelas sekali menyiratkan bahwa PMII masih belum mampu bersikap independen (mengekor) terhadap NU. Karena kemudian terbukti bahwa sikap penerimaan atas kepresidenan Habibie itu lebih didasari statemen PBNU yang juga menerima Habibie sebagai presiden pemerintahan transisional untuk segera menyelenggarakan Pemilu secepat mungkin.
            Indikator selanjutnya adalah keterlibatan beberapa Pengurus Besar hingga beberapa pengurus Korcab dan Cabang PMII yang ditarik menjadi pengurus Parpol (terutama di PKB dan PPP). Perangkapan jabatan itu tidak segera disikapi secara cepat oleh PMII, meski kemudian PB menegaskan bahwa para pengurus PMII yang merangkap jabatan di PKB atau partai manapun untuk segera melepas kepengurusannya di PMII. Namun, PMII kurang menyadari imbas di bawah, yakni betapa PMII kemudian kehilangan kepeloporan di bawah dalam mensikapi fenomena menjamurnya partai baru berupa pengikisan independensi PMII dari kekuatan politik manapun, dan kegamangan dalam mengambil pilihan gerakan di era Habibie, berupa tidak adanya agenda politik yang jelas dan sikap politik yang tegas. Artinya, PMII terseret arus besar perebutan kekuasaan dan tidak lagi memperjuangkan kepentingan politik rakyat.
            Terakhir, adalah keterlibatan PMII dalam program pemantauan Pemilu 1999, meski ada sisi (imbas) positif yang didapat, namun dampak negatif yang diakibatkannya kurang memperoleh perhatian serius dari PMII secara kelembagaan. Siapapun juga kesulitan menyangkal, imbas dari keterlibatan PMII tersebut berujung tersedotnya seluruh energi dan resources PMII pada program ini, dan nyaris meniadakan program-program lain yang mestinya dilakukan PMII.
            Sepanjang fase ini PMII bisa dinilai terjebak (terseret arus) euforia reformasi. PMII dianggap gagal mengubah kecenderungan saat itu, yakni kuatnya fenomena mobilisasi dan konfigurasi politik baru yang melupakan nasib rakyat. Daya kritis organisasi memudar, sehingga idealitas politik PMII terpasung oleh berbagai manuver organisasi yang berubah-ubah setiap saat. Pada saat ini, PMII kesulitan memilahkan antara ambisi personal pengurusnya dengan kehendak untuk tetap survive (diakui eksistensinya) dalam barisan pro demokrasi dan pejuang rakyat. Apa yang kemudian terjadi di Kongres Medan, berupa kentaranya permainan money politics (politik uang) merupakan implikasi langsung kegagapan PMII dalam memperjuangkan ideologi dan paradigma pergerakannya yang anti pragmatisme dan strukturalisme.
            Kedua, pasca Pemilu 1999 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih menjadi Presiden.  Figur yang selama ini sangat karib dengan PMII. Diakui atau tidak, Gus Dur merupakan salah satu sumber inspirasi kritisisme PMII. Selama masa kepemimpinan Gus Dur, PMII kemudian tidak serta merta masuk ke negara, namun juga tidak secara ketat menjaga jarak (menarik diri) dengan negara. Fase ini merupakan masa yang paling sulit bagi PMII untuk mengambil sikap posisi dan perannya terhadap negara. Beragam kegamangan itu lahir akibat PMII masih dihinggapi ketidakpercayaan (tidak memprediksi) atas realitas “menegaranya” Gus Dur beserta seluruh komponen pendukungnya (NU & PKB dimana banyak alumni PMII berkiprah di dalamnya).  
            Kecenderungan yang mengemuka saat itu adalah menyeruaknya fenomena “mobilitas vertikal”, dimana PMII kemudian menjadi kendaraan politik para elit dan alumninya untuk memasuki gerbong-gerbong kekuasaan. Realitas itu merupakan anti klimaks kritisisme PMII yang selalu digaungkan secara ajeg sejak kekuasaan Orde Baru. PMII yang selama Orde Baru diidentikkan sebagai kelas marginal beringsut menjadi quasi kelas menengah yang memiliki agenda, karakteristik dan tujuan yang berbeda dengan sebelumnya. Kemudian banyak pihak mempertanyakan ke mana elan vital gerakan kultural PMII yang selama ini menjadi “trade mark” perjuangan PMII. Aksi jalanan, advokasi, penyadaran politik kepada rakyat, dan berbagai gerakan populis PMII lainnya, seakan mampat (terhenti) di hampir seluruh lini organisasinya. Inilah saat-saat paling menggelisahkan selama PMII berdiri, yakni keterlibatan PMII sebagai kelas penguasa (the rulling class). Apalagi, menjelang kejatuhan pemerintahan Abdurrahman Wahid, PMII terbetot pada kecendrungan mempertahankan kekuasaan dan melupakan agenda pokok gerakan, yakni pejuang kritis penegakan kedaulatan rakyat dan transformis merubah masyarakat menuju terciptanya civil society. 
            Ketiga, di masa kepemimpinan Megawati Taufik Kiemas, shock yang hebat atas kejatuhan Gus Dur dari kursi kepresidenannya, tak juga menghilangkan “mobilitas vertikal” para elit PMII di pusat maupun daerah. Perbedaannya mungkin hanyalah saaat ini PMII bukan lagi menjadi bagian dari kekuasaan itu sendiri. Dus, jika pada masa Gus Dur berkuasa PMII masuk dalam “kelas penguasa” yang mengakibatkan PMII tidak mengambil jarak dengan kekuasaaan, maka di era Mega, PMII masih dibius oleh aroma mengejar “akses kekuasaan”. Peristiwa “jalan sehat” PMII dengan Wapres Hamzah Haz, dan isu keterlibatan orang-orang istana yang melingkungi pertemuan Indonesian Student Asembly (ISA) di Bali akhir Desmber 2002 yang lalu, serta tidak adanya keterlibatan aktif PMII di tingkat pusat dalam berbagai aksi penolakan atas kenaikan BBM, TDL, dan telephon serta penyeruan penurunan harga, dibaca oleh beberapa kalangan PMII di bawah dalam kerangka dukung-mendukung kekuasaan demi kepentingan beberapa elit (alumni) PMII.
            Andaikan kita ber-khusnudlon, bahwa apa yang terjadi di atas sebenarnya adalah wujud konsistensi PMII atas petuah Gus Dur yang disampaikan kepada elit PMII sebelum reformasi terjadi, bahwa “janganlah PMII terlibat dalam konflik dan masuk kedalam blok tertentu, PMII harus menjadi perekat dari konflik-konflik dan blok yang ada”. Namun, rasanya tidak pas juga, bahkan mungkin malah tidak ada hubungannya sama sekali. Sebab, fenomena yang terjadi di atas justru kontraproduktif, yakni PMII sudah ikut dalam blok-blok politik tertentu.
            Benar tidaknya penilaian di atas, memang berpulang kepada aktifis PMII di seluruh tingkatan. Namun, fakta bahwa PMII hari ini semakin tidak populis, tercerabut dari agenda basis, kader dan gerakan akar rumput harus menjadi bahan untuk melakukan kritik dan oto kritik atas organisasi. Konflik internal yang berujung didirikannya PMII tandingan (PB PMII Tandingan), juga mesti dilihat dalam kerangka disorientasi PMII atas Negara, kekuasaan dan realitas sosial.  Meski, ada juga yang menilai bahwa konflik internal itu didorong oleh pihak luar, namun faktanya lebih memperlihatkan adanya benturan kepentingan politik internal organisasi. Jadi, apa yang terjadi selama era reformasi ini lebih merupakan kegagalan sistemik, dan tidak bisa ditimpakan pada orang-perorang aktifis PMII. Artinya, kedakjelasan PMII merupakan kesalahan bersama dari seluruh bangunan kepengurusan dan aktifis bahkan alumni PMII sendiri yang kemudian gagal mengawasi tatanan ideologi dan paradigma gerakan yang selama ini telah dibangun dan bahkan termaktub dalam AD-ART PMII.
            Artinya, relasi PMII dengan negara selama reformasi ini bergerak dalam frame yang tidak jelas, mungkin secara konsepsional jelas, namun itu hanyalah di atas kertas (korpus AD-ART saja), tetapi secara faktual PMII kemudian seperti kehilangan pijakan, model relasi apa yang sesungguhnya diinginkan oleh PMII atas realitas negara hari ini. Hal inilah yang kemudian, membawa gerbong PMII berdiri dalam “situasi antara”, yakni tidak berada (bersama) di kelompok tertindas, dan tidak juga di kelompok (bergabung dengan) kelas penguasa. Untuk itu, perlu pembacaan ulang (restropeksi) yang serius untuk mengembalikan PMII kembali menjadi sosok gerakan yang populis, kritis, independen, transformis.

Kritik-Otokritik Relasi PMII - Rakyat serta Kekuatan sipil lainnya
Reformasi yang telah berlangsung lebih dari 4 (empat) tahun ternyata bukan merupakan jalan keluar dari krisis multidimensional bangsa. Transisi demokrasi tak lebih merupakan imajinasi kolektif bangsa yang dipenuhi dengan ketidakpastian. Reformasi menyeluruh yang diharapkan tak kunjung terwujud, ketertatihan meniti jalan transisi malah memberi ruang yang cukup luas kepada para kekuatan status quo untuk melakukan konsolidasi merebut kekuasaan yang hilang beberapa tahun lalu. Fenomena ini beriringan dengan fragmentasi elit sipil, maraknya politik aliran, kacaunya sistem hukum dan peradilan, menguatnya kembali formalisme agama, serta ketidaksepakatan para elit politik atas konsep recovery ekonomi apa yang mesti diambil.
            Benar tesa Hungtinton (1962) beberapa tahun sebelum Orde Baru mampu menancapkan keangkuhannya, bahwa perubahan melalui jalur reformasi jauh lebih sulit dibanding melalui revolusi. Revolusi dinilai lebih menjamin terjadinya perubahan dengan cepat dalam menyingkirkan semua elemen lama, sedangkan reformasi karena wataknya yang gradual, perubahan mesti dilalui dengan jalan negosiasi antara kekuatan lama (status quo) dan baru (reformis). Akibatnya, setumpuk persoalan bangsa sebagai social, politic and economic heritage dari Orde Baru sangat sulit dipecahkan, bahkan semakin bertambah parah saja. Disamping itu, kontestasi (kompromi) antara kekuatan (sistem) penguasa lama dengan kekuatan reformasi yang cenderung dimenangkan oleh kekuatan Orde Baru semakin menyulitkan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Amat wajar, jika hari ini muncul tuntutan dari berbagai pihak akan mendesaknya dilakukan revolusi sosial guna menghentikan seluruh proses perubahan yang berbandulkan politik “dagang sapi”.
              Sekali lagi, rakyat harus kembali menjadi korban dari perubahan besar yang terjadi. Hilangnya rezim otoriter Orde Baru ternyata tidak juga mampu membawa rakyat kepada kehidupan ekonomi, sosial dan politik yang mampu mengangkat harkat dan martabat mereka. Penetrasi terhadap rakyat tidak hanya dilakukan oleh negara (kebijakan negara hari ini sangat menyengsarakan rakyat dan menguntungkan kelas atas saja), namun juga oleh globalisasi (kapitalisme global). Penetrasi kedua kekuatan itu dalam wilayah-wilayah private, seperti agama dan keluarga sangat berperan besar bagi sirnanya kemandirian dan rasa percaya pada institusi publik. Politisasi agama dan kelompok keagamaan juga ikut menciptakan suasana ketakutan bagi sementara anggota masyarakat yang merasa tidak didalamnya. Tak pelak kecenderungan alienasi, atomisasi, dan apatisme anggota masyarakat telah memperkeruh jalannya reformasi dan usaha kearah penciptaan pemerintahan demokratik. Distorsi reformasi tidak hanya mengakibatkan luka baru ditubuh bangsa ini, namun masa depan civil society, demokrasi, dan kemandirian ekonomi bangsa semakin suram, terancam dan berubah menjadi “mitos sosial”. Lantas, apa peran PMII dalam situasi seperti ini? Dimanakah PMII berada dikala rakyat membutuhkan kehadirannya dalam memperjuangkan nasib mereka?. Tak sulit dijawab, sebab PMII sendiri juga diliputi persoalan yang sama dengan rakyat, apa yang bisa PMII perbuat hari ini dan kemanakah perubahan besar ini mesti diarahkan. 
            Mesti diakui, bahwa selama reformasi berlangsung, pertama, PMII kehilangan ruang kritisisme subtansial, sebab diskursus kritisisme, liberasi, transformasi sosial, civil society, pluralisme, demokrasi maupun advokasi masyarakat tertindas yang selama ini menjadi denyut utama gerakan rakyat, LSM, mahasiswa sudah menjadi klaim semua pihak, termasuk para “penumpang gelap” reformasi, partai politik dan penguasa baru. Kedua, PMII mengalami gagap politik dan kepincut untuk meneguk keuntungan pragmatis di tengah luapan euforia politik yang diumbar oleh semua kekuatan. Ketiga, pada tataran ideologi, visi, dan paradigma organisasi, PMII tidak mendapatkan panduan kepemimpinan dalam menyikapi perubahan, sehingga seluruh elemen PMII bergerak sendiri-sendiri, parsial, dan kehilangan karakter aslinya sebagai kekuatan di luar negara yang efektif melakukan kerja-kerja transformasi sosial, ekonomi, politik dan budaya.    
            Dalam pada itulah, tak heran jika PMII “kehilangan kontak” dengan rakyat, PMII kehilangan fungsi kontrolnya atas negara dan kekuasaan. Elitisme gerakan PMII juga turut menjauhkan PMII dengan rakyat dan kekuatan sipil lainnya. Yang paling menyedihkan, adalah kegagalan PMII secara nasional mengapresiasikan segebok idealismenya yang tertuang diberbagai dokumen organisasi untuk menjadi aktual, memperoleh ruang publik  dan membumi. Lihat saja, dikala rakyat dihimpit oleh kebijakan pemerintah seperti kenaikan BBM, listrik, telephon dan harga-harga barang serta jasa, PMII tidak begitu meresponnya, serta langsung berdiri di tengah-tengah rakyat untuk menyuarakan ketidakadilan ini. Bahkan PMII lebih disibukkan dengan program-program “mercu suar” yang sangat jauh dari rakyat “wong cilik” yang selama ini dibelanya.
            Secara konsepsional, PMII menyediakan dirinya sebagai kekuatan penggerak terciptanya demokrasi, kemandirian rakyat, dan keadilan sosial untuk menuju masyarakat terbuka dan setara (toward open and equal society). Paradigma kritis-transformatif sendiri juga mengisyaratkan bahwa PMII mesti menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat, karena itu akan menjadi modal sosial (social capital) pergerakan bagi proses-proses penyadaran dan pemberdayaan rakyat seluruhnya. Kalau hari ini, PMII tampak “jauh” dari rakyat, maka hal itu lebih dikarenakan kegagalan PMII keluar dari himpitan euforis reformasi, pragmatisme politik, inkonsistensi aktifis PMII sendiri atas cita-cita ideologis dan sosial organisasinya, serta lunturnya kepemimpinan ideologis, visioner yang “tahan lapar” di hampir banyak strata kepengurusan PMII. Dorongan dari pihak luar (parpol, militer, penguasa ataupu pemilik modal) tak lebih hanya menjadi stimulus sampingan bukan yang utama, bagi degradasi kritisisme dan kepedulian PMII akan nasib rakyat.
            Dalam konteks penegakan masyarakat sipil yang berdaulat, tidak hanya PMII yang kemudian kehilangan “ruang publik” menjalankan fungsi-fungsinya sebagai pendobrak hegemoniknya kekuasaan dan kuatnya pengaruh modal (kapitalisme global), banyak organisasi sejenis juga mengalami hal yang sama. Beberapa hal yang menjadikan fenomena ini mengeras diantaranya adalah terjadinya pemiskinan diskursus civil society tergantikan oleh menggemuruhnya perdebatan (discourse), bahkan pertentangan antar kelompok (kekuatan politik) tentang sistem politik dan pemerintahan apa yang paling kondusif diterapkan di Indonesia dalam masa transisional ini. Lebih lanjut, deraan berbagai persoalan konflik horisontal maupun vertikal yang terjadi selama kepemimpinan sipil juga turut memperparah tenggelamnya wacana serta gerakan pemberdayaan sipil yang sistemik, menyentuh akar persoalan, dan konsisten dari seluruh kekuatan penggerak civil society.
            Apalagi, PMII sekarang ini dihadapkan kepada realitas dalamnya kedukaan masyarakat Islam tradisional (NU) yang hanya sebentar menikmati “enaknya” dipimpin oleh presiden RI yang berasal dari dalam tradisinya sendiri (Gus Dur), untuk kemudian dijatuhkan secara “inkonstitusional” melalui kudeta parlementer. Beban sosial ini cukup mengganggu PMII karena fenomena tersebut berujung pada menipisnya kepercayaan masyarakat luas akan otoritas kepemimpinan ulama. Jika, tesa ini benar, lantas apalagi yang bisa men-drive rakyat (baca ; umat NU) selain dari kedalaman ilmu dan keagungan akhlak ulama?. Yang paling ditakutkan kemudian adalah munculnya materi (uang) sebagai driver politik dan sosial dari rakyat menggantikan keunggulan ilmu (agama maupun umum) dan ketinggan akhlak tersebut.
Bila ini benar-benar terjadi, maka tugas PMII menjadi semakin berat dan kompleks dalam menggerakkan kembali masyarakat Islam tradisional (NU) sebagai salah satu lokomotif civil society di Indonesia. Dus, kegagalan PMII memperoleh ruang publiknya kembali, berarti pula kegagalan proyek pemberdayaan sipil secara luas di kalangan masyarakat marginal. Jika tidak, maka sebenarnya PMII memang benar-benar telah “terpinggirkan” dalam arus besar kekuatan pro demokrasi, dan rakyat. Sudah barang tentu, kita sangat tidak menghendaki, tragedi ini berlangsung. Karena itu, diperlukan kesediaan dari para elit PMII yang ada untuk segera menggelar “karpet pergerakan” dimana seluruh komponen PMII memperoleh ruang yang sama, hak yang sama serta kesempatan yang sama dalam rangka menakar kembali posisi dan peran PMII dalam perjuangan demokrasi dan civil society di Indonesia. Dari situlah, diharapkan keluar pikiran-pikiran serta rumusan-rumusan cerdas yang berorientasi pada terapan, praksis sosial dan bukan sekedar rumusan konsepsional yang terlalu melangit, serta sukar untuk diimplementasikan.
  
Kritik-Otokritik Relasi PMII - Kampus, Gerakan Mahasiswa dan Pro demokrasi
Sejak paruh kedua dasa warsa ‘80 an hingga awal 2000 an, basis massa PMII tidak lagi tersentral di perguruan tinggi agama saja, tetapi telah mengalami pemendaran ke berbagai kampus umum. Fenomena ini cukup menggembirakan, sebab sudah sangat lama PMII memang merindukan hal ini terjadi. Bukan hanya itu, sepanjang Orde Baru berkuasa, PMII bisa dianggap sebagai bagian tak terpisahkan (pelopor) gerakan pro demokrasi di kampus ataupun negara. Dimana ada demonstarasi, advokasi maupun kerja-kerja pemberdayaan, maka di situlah PMII selalu berada di tengah-tengahnya. Perkembangan tersebut lebih dikarenakan, para aktifis PMII telah mencapai kematangan konsepsional lewat strategi gerakan pemikirannya, yang bersandarkan pada liberasi dan independensi kader. Pada fase ini PMII cukup berhasil menyandarkan dirinya pada adagium bahwa perubahan sosial yang bergerak melalui social engineering mesti dimulai dengan perubahan cara berfikir, mustahil ada perubahan ke arah yang benar, kalau kesalahan berfikir masih menjebak benak PMII.
            Tak dapat disangkal, PMII telah cukup efektif menempatkan kampus sebagai sumber raw material organisasi dimana setiap denyut perubahan mesti dimulai dari sana melalui tersedianya resources PMII yang cakap, kritis, dengan integritas moral yang tinggi. Strategi operasional yang terus dikembangkan PMII adalah seperti yang diungkapkan oleh sahabat Muhyidin Arubusman (Ketua Umum PB PMII 1981-1985), pertama, setiap kader PMII harus merebut indeks prestasi tertinggi, kedua, harus mampu merebut jabatan-jabatan strategis di lembaga-lembaga kemahasiswaan, dan ketiga, setiap kader PMII harus merebut simpati mahasiswa dengan menghiasai dirinya dengan integritas moral yang tinggi, perangai yang baik dan “melek sosial”.
            Meski penguasa memberlakukan NKK/BKK atau depolitisasi gerakan mahasiswa dengan menghapus Dewan Mahasiswa, hal itu justru memberi ruang yang cukup luas bagi PMII untuk mengembangkan sayap pergerakannya. Bertebarannya kantong-kantong massa PMII diberbagai perguruan tinggi, semakin menambah ghirah perjuangan PMII dalam menegakkan kebenaran, kejujuran dan keadilan. Pergerakan mahasiswa yang sulit dipisahkan secara kultural oleh masyarakat tradisional ini hingga kini telah mampu berdiri di 160 lebih kota/kabupaten di seluruh Indonesia. Namun, ada masalah yang menggelayut dan segera memerlukan perhatian serius dari seluruh pengurus dan insan pergerakan. Diantaranya adalah mulai menguatnya gerakan semi legal dan favoritnya gerakan kemahasiswaan yang mengedepankan formalisme Islam (semacam usrah, LDK, KAMMI, Hizbut Tahrir).
Pertumbuhan organ mahasiswa ini, belakangan sangat massif dan lebih mampu menawarkan ideologi gerakan mereka kepada mahasiswa. Hampir seluruh jabatan ketua senat (presiden mahasiswa) di kampus-kampus ternama di kota-kota besar dan selama ini menjadi parameter pergerakan telah mereka kuasai. Aliansi taktis maupun strategis antara organisasi ekstra-instituter dengan intra-instituter ini di era Megawati malah semakin sering dilakukan. Sementara itu, PMII seakan “ditinggal” oleh mereka. Terlepas ada perbedaan ideologi yang cukup besar antara PMII dengan kedua organisasi tersebut, namun harus diakui mereka lebih berhasil “menjajakan” gagasannya di kampus-kampus. Bahkan, PMII sudah mulai kehilangan “kendalinya” atas kampus, ini tercermin dengan semakin menipisnya jumlah (kuantitas) kader yang siap berjibaku, berjuang bersama PMII dalam meneriakkan ketidakadilan, lepasnya beberapa posisi strategis di kampus dari tangan PMII dan ketersumbatan komunikasi PMII dengan kelompok pro demokrasi lainnya.
            Disamping itu, hambatan komunikasi antara PMII dengan organisasi intra-instituter di beberapa daerah juga tengah mengkristal, mereka lebih suka menjaga jarak dari pengaruh (hegemoni) organisasi ekstra kampus, seperti PMII, yang dianggap selama ini masih belum terbebaskan dari selubung kepentingan-kepentingan politik praktis dari para alumninya, disamping organisasi ekstra kampus tersebut tidak mampu ditarik untuk memperjuangkan perbaikan kebijakan internal kampus mereka. Kemandirian akan logistik gerakan dari gerakan organisasi ekstra kampus, serta ketergantungan organisasi intra kampus yang masih menggantungkan pendanaan aktifitas mereka kepada pihak kampus, juga turut menyebabkan mereka mempertimbangkan dirinya berkolaborasi dengan organisasi ekstra kampus. Perkecualian terjadi, pada kampus-kampus yang para pemegang jabatan strategisnya berasal dari (anggota) organisasi ekstra kampus. 
Kalau kemudian realitas di atas kita rujukkan dengan strategi penguasaan kampus yang sahabat Muhyidin paparkan di atas, apakah itu berarti terjadinya degradasi intelektual, idealisme dan moral para aktifis PMII ? Tidak mudah menjawabnya, sebab generalisir atas fenomena tersebut justru akan menjebak kita pada sikap fallacy of dramatic instance. Hal ini bermula dari dari kecenderungan kita untuk melakukan over-generalization, yakni penggunaan satu dua kasus untuk mendukung hujjah yang bersifat umum. Akibatnya, kecenderungan yang over-generalized itu semakin sulit dipatahkan, karena satu dua kasus rujukan itu kebanyakn diambil dari penilain pribadi orang-perorang (individual’s personal experience). Apalagi jika kita terjebak pada fallacy of restropective determinism, yang menilai bahwa apa yang menimpa PMII hari ini tidak lebih sebagai sesuatu yang secara historis memang selalu ada, tak terhindarkan, dan akibat dari perjalanan sejarah yang cukup panjang.
             Tidak etis memang, menilai keadaan PMII hari ini dengan menggeneralisirnya secara nasional di seluruh tingkatan mulai dari PB hingga Cabang atau dengan menimpakan pada determinisme historis bahwa peristiwa melunturnya basis-basis gerakan PMII sebagai siklus historis (pasang surut) biasa yang lumrah terjadi sejak puluhan lampau. Namun apapun penilaiannya, patut kita kritisi bahwa PMII hari ini memang kalah bersaing dengan organisasi mahasiswa lain dalam mendapatkan simpati kampus, maupun gerakan pro demokrasi lainnya. Keterpisahan PMII dari kampus dan kelompok pro demokrasi lainnya, lebih disebabkan pada kegagalan PMII “menjual ide atau gagasannya”. PMII ibarat sebuah ‘komoditi’, gagal ditawarkan oleh para aktifisnya kepada publik, daya saing sebagai comparative advantage tidak dimiliki PMII lagi. Daya saing itu adalah kritisisme, kecemerlangan pemikiran, progresifitas gerakan dan integritas moral yang tinggi. Kesemua hal tersebut, seakan telah menjadi barang langka di PMII. Meski begitu, kita tidak bisa menggeneralisir hal ini, sebab masih banyak juga aktifis PMII yang masih memegang teguh prinsip-prinsip di atas dan mampu menjajakannya secara jitu di kampus-kampus dan kelompok pro demokrasinya, sehingga PMII tidak mengalami self-alienating.
             Dalam konteks ini, kita bisa menoleh kepada proposisi sahabat Iqbal Assegaf, yang menghendaki PMII mampu membuat terobosan-terobosan kreatif, inovatif, visioner dan aktual yang memungkinkan dunia kemahasiswaan bisa terus berkembang searah dengan kepentingan bangsa ke depan. Untuk itu, PMII mesti mampu menyadari beberapa hal, pertama, mahasiswa merupakan kelas menengah intelektual yang memiliki karakteristik berbeda dengan angkatan pendidikan lainnya. Intelek, independen, disiplin, dinamis, peka sosial, gandrung akan ilmu dan kemajuan merupakan ciri uatamnya. Kedua, dunia kemahasiswaan merupakan tahapan akhir penggodokan calon pemimpin bangsa melalui jalur pendidikan formal, dalam konteks ini sepatutnya PMII merebut ruang gerak dalam mengaktualisasi dan mematangkan diri dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Ketiga, kualitas komunikasi dan suasana dialogis serta penempatan posisi mereka sebagai orang dewasa, hendaknya menjadi acuan dasar bagi PMII dalam melakukan proses pendigdayaan mahasiswa tersebut. Keempat,  hendaklah mesti disadari bahwa hakikat jati diri mahasiswa adalah sebagai insan religius, insan akademis, insan sosial, dan insan mandiri, karena itu PMII harus mampu menghantarkan mahasiswa untuk menemukan jati diri mereka.
            Jika beberapa hal di atas tak mampu juga dilakukan PMII, maka keprihatinan Gus Dur atas degradasi PMII semakin nyata, menurutnya PMII saat ini dalam posisi yang ngambang dengan kreatifitas serta langkah-langkah yang berkembang, PMII hampir tidak peduli dengan persoalan-persoalan yang menyangkut rakyat kecil, sebab melulu berorientasi ke atas. Mestinya, PMII memerankan dirinya sebagai pengontrol efektif para pemegang kendali pemerintahan ataupun legislatif dalam menjalankan tugasnya, ataupun mempelopori gerakan oposisional non-permisive atas negara. Jika ini telah dilakukan, maka PMII tidak boleh meninggalkan tugas-tugas kemanusiaan dan kemasyarakatannya, serta meninggalkan tradisi sebagai organisasi yang hanya terkonsentrasi pada pembinaan kader-kader politik semata.

                         
Kritik-Otokritik Relasi PMII - Kekuatan Kapitalisme Global

            Abad 21 dianggap sebagai abad “perang ekonomi”. Perang ini semula mengacu pada kebijakan ekonomi yang digunakan sebagai satu barang tambahan bagi operasi militer selama masa perang. Tujuannya adalah unuk menguasai atau menaklukkan sumber daya strategis sehingga kekuatan militer dapat beroperasi dengan daya maksimum, atau untuk membuat musuh kehilangan sumber daya sehingga kemampuan tempurnya melemah. Blokade, black list, pembelian mendahului, imbalan (reward) dan hukuman (punishment) merupakan beberapa teknik yang sering dipakai dalam perang dunia II. Sedangkan dalam konteks hari ini, perang ekonomi adalah tindak lanjut dari kebijakan internasional dari NIM kepada negara dunia ketiga (seperti Indonesia) di sepanjang perang dingin (cold war) dalam rangka menjaga keamanan mereka sendiri dengan jalan memperkuat kemampuan militer negara sekutu, kepentingan politik Negara Industri Maju (NIM), pengendalian tetap atas Negara Dunia Ketiga (terutama negara-negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, seperti minyak bumi, baja, emas, dan lain sebagainya), dan kelangsungan serta kejayaan ekonomi ataupun ideologi  negara-negara maju itu sendiri.

            Imperialisme ekonomi sebagai perang tak langsung (indirect war) itu biasanya berbentuk, pertama, bantuan militer, yang digunakan untuk melakukan pengendalian tetap, dimana pengendalian itu memberikan garansi partial bahwa negara penerima akan menggunakan kekuatan militernya dengan pola dan tujuan yang sesuai dengan kepentingan negara donor. Kedua, bantuan teknis, dirancang untuk lebih menyebarkan  pengetahuan dan keahlian, bukan pangan ataupun uang. Ketiga, program hibah dan impor komoditi, yang biasanya diberikan dalam kondisi darurat, seperti  bantuan AS terhadap program pemulihan Eropa dan program Keamanan Bersama. Keempat, pinjaman pembangunan, yang diembel-embeli syarat-sayarat yang mengikat, bahkan banyak negara peminjam harus membayar jumlah bunga pinjaman masa lampau yang jauh lebih besar daripada jumlah pinjaman baru yang mereka peroleh. Dengan demikian, pinjaman akhirnya menggambarkan pengaliran bersih dana dari negara yang sedang berkembang kepada pihak kreditor (negara donor dan rezim moneter internasional). 
Rezim Orde Baru sendiri adalah pihak yang patut dipersalahkan dan bertanggungjawab penuh atas terpuruknya bangsa ini ke dalam krisis multidimensional di segala bidang akibat kolonialisme kapitalis tersebut. Apa yang selama ini dipahami dan diterapkan di Indonesia sebagai developmentalisme, pertumbuhan ekonomi berorientasi trickle down effect, stabilitas politik dan keamanan, serta pemberlakukan kebijakan floating mass ternyata tak lebih dari produk kebijakan rezim komprador kapitalis di Indonesia. Oleh karena itu, ketergantungan Indonesia yang sangat besar kepada bantuan luar negeri (menggunungnya huang luar negeri), rendahnya kemampuan daya saing bangsa Indonesia, terjerambabnya bangsa kita pada politik aliran, dan pertentangan tak berkesudahan bentuk dan dasar ideologi negara, diberlakukannya pasar bebas regional dan internasional mulai saat ini dan beberapa tahun mendatang merupakan bukti kongkrit kemenangan NIM atas negara berkembang (Indonesia).
Globalisasi ekonomi dan globalisasi demokrasi adalah dua hal yang sampai kini memiliki perbedaan mencolok. Globalisasi ekonomi hampir identik dengan modal, produksi, jasa pelayanan dan keuntungan, yang dijaman sekarang semuanya tak dapat dilepaskan dengan kapital. Sedangkan globalisasi demokrasi lebih banyak mengusung dengan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, feminisme, HAM serta perlindungan lingkungan hidup dan ekologi, yang pada saat ini lebih banyak bersentuhan dengan pemberdayaan rakyat, dimanapun ia berada, meski dibalik itu semua tetap saja menyimpan watak halus imperialisnya.
Globalisasi ekonomi paska cold war mengalami kemajuan yang luar biasa cepatnya dan mempunyai daya tekan semakin besar. Globalisasi ekonomi, tak lagi monopoli negara-negara industri, yang konotasinya sebagai sarang kapital. Tetapi pada saat ini kapital tidak lagi mengenal negara, artinya, korban dari globalisasi ekonomi paska runtuhnya tembok Berlin, jatuhnya komunisme di Eropa Timur dan pecahnya Soviet, tidak lagi masyarakat di negara-negara “dunia ketiga”, melainkan sudah merengsek pada masyarakat di negara-negara industri juga. Seperti adanya capital flight dari negara-negara industri ke negara lain yang lebih menguntungkan, yang kemudian dapat berakibat semakin banyaknya pengangguran, dan merosotnya tingkat kesejahteraan serta semakin berkurangnya rasa aman masyarakat disana. Lebih jauh, bangunan welfare state yang banyak diterapkan di negara-negara Eropa tinggal menjadi kenangan masa lalu saja.
Pergeseran aktor secara massif mulai terjadi, motor-motor globalisasi ekonomi bukan lagi negara-negara industri yang mampu mengerahkan kekuatan militer dengan persenjataan dan peralatan super canggihnya, melainkan lembaga-lembaga keuangan dan lembaga perdagangan internasional, pelaku ekonomi kelas dunia, para ahli ekonomi kelas wahid, politisi yang tersohor di dunia, media-media massa raksasa dan para pialang bursa bersama institusinya.
Negara dunia ketiga, seperti Indonesia ternyata ‘takluk’ berhadapan dengan IMF. Menolak usulan IMF berarti terhentinya kucuran dana dari mereka, dan lebih jauh, penolakan saran IMF berarti  membuka trend negatif bisnis dan investasi serta ‘membuka permusuhan’ terhadap lembaga-lembaga keuangan dan perdagangan internasional lainnya. Apabila ini terjadi, maka dipastikan pasar dalam negeri akan lesu, pengangguran menggunung dan akhirnya, dapat memicu konflik sosial dan politik atau ketidakpuasan rakyat atas pemerintahnya. Ketidakberdayaan pemerintah Indonesia di depan IMF merupakan cerminan tingginya ketergantungan bangsa ini ke sumber daya keuangan ke atas, sembari mengacuhkan (menganggap terlalu lamban dan remeh) upaya eksplorasi potensi basis dalam negeri. Apa yang terjadi hari ini pada rezim Mega-Hamzah merupakan contok kongkrit ‘penyerahan’ bangsa yang besar ini ke pangkuan kekuatan global, sementara itu para pejuang negeri tertunduk tak kuasa melawannya. Sungguh ini ironi reformasi, bangsa kita seakan selalu ditimpa kemalangan tak berkesudahan, keluar dari mulut otoritarianisme.
Sangat wajar, jika dalam menghadapi WTO dengan konvensi perdagangan bebasnya yang diberlakukan mulai  tahun 2003 ini, persiapan-persiapan ke arah sana belum sepenuhnya disiapkan oleh bangsa kita. Secara formal, mungkin pemerintah telah melakukan berbagai persiapan, atau berusaha untuk ikut mempengaruhi berbagai pertemuan WTO seperti yang telah diselenggarakan di Qatar kemarin, tetapi hal ini tak menghilangkan kekhawatiran publik  bahwa, persiapan-persiapan formal itu, seperti yang sudah terjadi selama ini hanya akan berhenti pada formalitas belaka. Dus, sejumlah aturan baru akan diadakan atau deregulasi akan dibuat, namun kurang berorientasi (berdampak) pada penguatan ekonomi yang berbasis masyarakat dalam menghadapi pelaksanaan konvensi pasar bebas WTO. Hal ini terjadi karena basis policy maker mengabaikan kepentingan publik dan seperangkat aturan baru itu dibuat dan dilaksanakan tanpa melalui sosialisasi kepada publik terlebih dahulu.Kini, tak ada lagi alasan bagi PMII untuk tidak bergerak, merumuskan konsep-strategi, mengabarkannya kepada semua rakyat, menggugah kesadaran bersama serta mengajak seluruh elemen bangsa membangun semua potensi (SDA dan SDM) yang dimiliki, menuju pada kemandirian ekonomi bangsa agar memilki daya saing dan nilai tawar yang tinggi atas seluruh kekuatan-kekuatan global itu. Sehingga, bangsa ini mampu berdiri tegak sejajar dengan bangsa-bangsa lain dan diakui sebagai warga dunia.

Padahal, hampir tidak ada satupun dari gerakan mahasiswa yang tidak mengusung wacana anti kapitalisme global sebagai kredo  dan isu perjuangannya. Kesadaran bahwa kapitalisme merupakan musuh bersama setelah etatisme negara begitu kuat tertanam di benak organisasi kemahasiswaan (baik intra ataupun ekstra instituter). Perbedaan yang mencolok di antara mereka biasanya hanya pada cara pandang dan model strategi perlawanan praksisnya saja atas hegemoni kekuatan global. Sedangkan persamaan dari semua gerakan mahasiswa, adalah menjadikan forum ilmiah, demonstrasi, penerbitan tulisan (makalah, jurnal, buletin dan buku) dan advokasi sebagai bentuk perlawanan atas hantaman kapitalisme.

            Kecenderungan 4 (empat) tahun terakhir malah menunjukkan bahwa PMII terlalu asyik “membincangkan” kapitalisme internasional, sembari membiarkan gurita capital, MNC/TNC, IMF, World Bank, GATT, WTO terus menancapkan kukunya dalam dimensi ekonomi-politik bangsa. Indikator termudahnya adalah sedikitnya peran PMII (mahasiswa secara keseluruhan) dalam proses transformasi sosial politik, sosial budaya, dan sosial ekonomi. Sungguh tak patut menyalahkan PMII, sebab hal ini sebenarnya kesalahan bersama dari para elit bangsa yang gagal membawa bangsa Indonesia menciptakan sistem politik dan pemerintahan demokratis, pengetahuan dan kesadaran rakyatnya akan ekonomi politik internasional (EPI),  dan kemandirian ekonomi. Sebab itu semua merupakan modal dasar bangsa ini untuk menghadapi globalisasi, disamping melimpahnya SDA dan SDM, serta posisi geografis, geo-strategik, dan geo-politik nusantara.

Memang tidak mudah, merumuskan pola perlawanan yang cukup efektif dan komprehensif. Beberapa tahun yang silam di PMII sendiri lahir beberapa tawaran yang bisa diperankan oleh PMII dalam menghadapi kapitalisme, seperti; pertama, tawaran partnership; yang dimaksudkan melahirkan daya bargain bangsa atas kekuatan asing, kedua, PMII berusaha merebut pusat peradaban, dan ketiga, melakukan isolasi besar-besaran seperti yang dilakukan oleh Jepang di masa lalu atau seperti yang dipraktikkan oleh negara komunis-sosialis dengan socialist revolution development (SRD).

            Model pilihan gerakan manapun yang PMII pilih dari ketiganya, rasanya terlalu gegabah kalau kemudian PMII melakukan hal itu sendirian. Tanpa adanya kesadaran bersama seluruh elemen bangsa akan ancaman global, mulai berlakukanya perdagangan bebas AFTA, APEC (1 Januari 2003), NAFTA dan perdagangan bebas dunia 2010 nanti,  serta kemandirian rakyat, dipastikan perlawanan terhadap kapitalisme global hanya akan berhenti ditingkatan “discourse” saja. Paling optimal, PMII hanya sanggup mengemukakan efek-efek negatif kapitalisme global tidak lebih dari itu. Meski begitu, betapapun beratnya tugas itu, PMII harus tetap serius menjalankan peran-peran penyadarannya ke seluruh elemen bangsa, sambil merangsang mereka untuk segera melakukan upaya-upaya antisipatif terhadap kolonialisme model baru tersebut.
            Minimal, kedepan PMII mesti mulai membedah secara serius dan intens bermacam  wacana ancaman global berkaitan dengan penuhanan “pasar”, rezimentasi (moneter dunia) kekuatan global, politik internasional, militer internasional, degradasi lingkungan sebagai isu global, dan hukum serta perjanjian internasional, dalam berbagai ladang-ladang kajian dan dalam kancah-kancah perjuangan pemberdayaan rakyat yang dilakukan PMII dimanapun ia berada. Disamping itu, PMII harus melakukan pengkajian betul dan mencari solusi alternatif terbaik akan bahaya melemahnya nation-state di abad XXI, seperti yang Peter Drucker (1993) nyatakan dalam bukunya Post-capitalist Society, bahwa apa yang diramalkan oleh Naisbitt dengan menghilangnya negara-bangsa tidak akan pernah terjadi, justru yang terjadi adalah rusaknya dasar-dasar negara-bangsa oleh apa yang disebutnya dengan transnasionalisme, regionalisme, dan tribalisme. Negara-bangsa lantas hanya menjadi unit-unit administratif, tidak lagi unit politik, nation-state akan hidup berdampingan dengan mega-state. Gejala-gejala munculnya transnasionalisme ataupun internasionalisasi dalam berbagai kehidupan sosial ini sudah mulai terasa di Indonesia, perkembangannya yang semakin menggila akibat globalisasi ekonomi, teknologi dan informasi sungguh mengancam eksistensi integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Apalagi, disintegrasi bangsa merupakan peristiwa menakutkan bagi bangsa Indonesia.  
            Bila hal di atas tidak segera dilakukan, maka PMII tidak akan pernah menjadi sang perekayasa (the social engineer), bahkan “sesat pikir” atau yang seringkali disebut dengan intellectual cul-de-sacs para aktifis PMII atas kapitalisme internasional, justru akan membawa PMII mengalami self-alienating dari sejarah kebangsaan Indonesia. Sebab, penulis yakin, bahwa dengan membebaskan diri dari intellectual cul-de-sacs bangsa Indonesia atas realitas dunia global itulah yang akan mampu menjadi modal awal bagi kita dalam melakukan social engineering guna mempersiapkan bangsa ini menghadapi globalisasi yang mampu berdiri tegak dan terhormat di mata dunia internasional.
Labels: | edit post
0 Responses

Post a Comment