indah mentari menyinari dinginya hati di penghujung waktu,
memberkan warna pada jiwa yang mulai merana,
adakah jawaban pada setiap cita yang ada,
menginginkan sebuah kehendak yang nyata, bukan pada hidup yang tersandra
lelah bila tak mengerti, hanya dengan jiwa aku bercerita, tentang naluri seorang pengembara, kapankah aku bisa rasakan sisa dalam dentang jiwa.

Kurang setengah,
Unknown
Mungkin kau ingat waktu itu,
saat kau mencoba membuka mata dan melihat banyaknya jeritan disekitarmu, kau pejamkan mata untuk yang kedua kalinya,
selepasnya itu, kau terbangun dengan guyuran air hujan yang jatuh dari tangisan mendung, kau bilang "aku tak sanggup, aku belum bisa menapaki jalan ini" ku tampar kau dengan tanganku, dan ku berikan apa yang ku bawa, kitab suci itu, masih kah kau merasa sendiri? atau masih bimbang untuk berjalan,? banyak jalan menantimu dan setiap langkah kita adalah sebanyak resiko yang akan kita terima, cukuplah dengan nasihat tuhanmu engkau berjalan dan mengarungi dunia, banyak cara yuhan memberikan jalanya, lewat seluruh mahluk ciptaanya, Rasul, ulama', sahabat, dan apapun yang kau lihat setiap cahaya tuhan akan ada disana.

Sampai detik aku melihat, mata ini tak akan terbuka untuk kesekian kalinya melihat indahnya dunia

Bab II
PEMBAHASAN
A.    Tarikh Tasri’ Pada Masa Sahabat Kecil Dan Para Tabi’in
            Pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H. priode ini merupakan awal  pembentukan fiqih Islam. Sejak zaman Usman bin Affan (576-656), khalifah ketiga, para sahabat sudah banyak yang bertebaran di berbagai daerah yang di taklukkan Islam. Masing masing Sahabat mengajarkan Al-quran dan Hadis Rasulullah SAW kepada penduduk setempat. Di Irak  dikenal sebagai pengembang hukum Islam adalah Abdullah bin Mas’ud (Ibnu Mas’ud), Zaid bin Sabit (11 SH/611 M 45 H/665 M) dan Abdullah bin Umar (Ibnu Umar)  di Madinah dan Ibnu Abbas di Makkah. Masa ini dimulai pada pemerintahan mu’awiyah, hingga akhir pertama Hirah.[1]
            Para Sahabat ini kemudian berhasil membina kader masing-masing yang dikenal dengan para tabi’in. Para Tabi’in yang terkenal itu adalah Sa’id bin Musayyab (15-114H) di Madinah, Atha bin Abi Rabah (27-11H) di Makkah, Ibrahiman-Nakha’i (w. 76H) di Kufah, al-Hasan al-Basri (21 H/642 M-110 H/728 M) di Basra, Makhul di Syam (Syuriah) dan Tawus di Yaman. Mereka ini kemudian menjadi guru-guru terkenal di daerah masing-masing dan menjadi panutan untuk masyrakat setempat. Persoalan yang mereka hadapi di daerah masing-masing berbeda sehingga muncullah hasil ijtihad sahabat yang ada di daerah mereka, sehingga muncullah sikap fanatisme terhadap para sahabat tersebut.
            Dari perbedaan metode yang di kembangkan para sahabat ini kemudian muncullah dalam fiqih Islam Madrasah al-hadits, dan madrasah ar-ra’yu. Madrasah al-hadits kemudian dikenal juga dengan sebutan Madrasah al-Hijaz dan Madrasah al-Madinah; sedangkan Madrasah ar-ra’yu dikenal dengan sebutan madrasah al-Iraq dan Madrasah al-Kufah. Kedua aliran ini menagnut prinsip yang berbeda dalam metode Ijtihad. Madrasah al-Hijaz dikenal sangat kuat berpegang pada Hadits karena mereka banyak mengetahui hadits-Hadits rasulullah SAW, di samping kasus kasus yang mereka hadapi bersifat sederhana dan pemecahanya tidak banyak memerlukan logika dalam berijtihad. Sedangkan Madrasah al-Iraq dalam menjawab permasalahan hukum lebih banyak menggunakan logika dalam berijtihad.
Pada priode ini, pengertian fiqih sudah beranjak dan tidak sama lagi dengan pengertian ilmu, sebagaimana yang dipahami pada priode pertama dan kedua, karena fiqih sudah menjelma sebagai salah satu cabang ilmu keislaman yang mengandung pengertian mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat amali (praktis) dari dalil-dalinya yang terperinci. Di samping fiqih, pada priode ketiga ini pun ushul fiqh telah matang menjadi salah satu cabang ilmu keislaman. Berbagai metode ijtihad, seperti qiyas, istihsan, dan istislah, telah dikembangkan oleh ulama fiqh. Dalam perkembanganya, fiqih tidak saja membahas persoalan aktual, tetapi juga menjawab persoalan yang akan terjadi, sehingga bermunculanlah fiqh berdasarkan pengandaian tentang persoalan yang akan terjadi di masa datang. Pada priode tiga ini pengaruh ra’yu (al-ra’yu; pemikiran tanpa berpedoman pada al-quran dan sunnah secara langsung) dalam fiqih semakin berkembang karena Ulama Madrasah al-hadis juga mempergunakan al-ra’yu dalam fiqih mereka. Di samping itu, di Irak muncul pula fiqih syiah yang dalam hal beberapa dari fiqh Ahlusunnah wal Jama’ah(Imam yang empat).[2]
B.     Sumber sumber perundang undangan pada priode ini.
            Sahabat Rasulullah merupakan orang yang pertama kali memikul beban setelah Rasulullah tiada untuk menjelaskan tentang syari’at Islam dan mengaplikasikanya terhadap segala permasalahan yang muncul. Di antara permasalahan yang muncul ada yang sudah disebutkan Nash-Nya dan ada yang belum disebutkan hukumnya. Oleh sebab itu, para sahabat dituntut untuk mengeluarkan hukum (istinbat) dengan metode yang jelas sesuai dengan petunjuk Nabi SAW sehingga produk hukum yang ditetapkan tidak kontradiktif.[3]
            Hal ini dapat dilihat dalam kitab karya Imam Al-Baghawi, Mashabih As-Sunnah. Dari Maimun bin Mihram, ia berkata, “Jika ada orang yang berselisih datang kepada Abu Bakar, ia akan melihat kitab Allah. Jika ia temukan di dalamnya apa yang bisa memutuskan perkara mereka, maka ia akan memutuskan denganya. Sementara jika tidak ada dalam kitab Allah dan ia tahu ada sunnah dari Rasulullah SAW tentang hal itu, maka ia akan memutuskan denganya. Kemudian jika tidak ada, Abu Bakar akan keluar menemui menemui kaum muslimin dan berkata, “ Ada yang datang begini begitu, apakah kalian ada yang tahu Rasulullah pernah memutuskan hal itu, atau ada sekelompok sahabat yang berkumpul lalu baginda Rasulullah menceritakan hal itu kepada mereka? “ jika ia tidak menemukannya juga dalam sunnah Rasulullah, maka ia akan mengumpulkan para pemimpin (tokoh) dan orang-orang yang pilihan dan bermusyawarah (urun rembuk) dengan mereka. Jika dalam musyawarah tersebut Abu Bakar sudah menyatukan pendapat mereka tentang sesuatu, maka itulah yang akan menjadi keputusanya.
            Demikian juga halnya dengan Umar, ia melakukan apa yang pernah dilakukan Abu Bakar, jika ia tidak menemukan jawabanya dalam al-quran dan sunnah, ia akan melihat, apakah Abu Bakar pernah memutuskan hal itu? Jika ia menemukan keputusan Abu Bakar maka ia akan mengundang para pimpinan kaum jika mereka sudah sepakat terhadap sesuatu maka ia akan melaksanakan keputusan itu.
            Dari jenis jelaslah bagi kita bahwa sumber pensyariatan (perundang undangan) pada masa sahabat adalah:
1.      Al-quran,
2.      As-Sunnah,
3.      Ijma’, dan
4.      Logika (ra’yu).
Dalam aplikasinya, sumber sumber perundang-undangan ini dapat diurutkan dalam langkah-langkah praktis sebagai berikut.
Pertama, meneliti dalam kitab Allah untuk mengetahui hukumnya.
Kedua, meneliti dalam sunnah Rasulullah SAW jika tidak ada nash dalam kitab Allah. Jika mereka menemukan nash dalam kitab Allah atau sunnah yang menunjukkan hukumnya, mereka pun berhenti di sini dan mencari hukumnya, berusaha memahami kandunganya. Terkadang mereka sepakat dan terkadang berbeda pendapat disebabkan oleh pemakian bahasa yang berbeda atau karena kondisi periwayatan.
Ketiga, ijma’ (konsensus bersama), yaitu jika tidak ada nash dalam kitab Allah atau sunnah Rasulullah SAW atau ditemukan namun bersifat global, atau nash-nya banyak dan setiap nash memberi hukum yang berbeda, atau berupa khabar  ahad. Dan di antara manhaj mereka pada waktu itu adalah khalifah mengundang para sahabat untuk melakukan konsensus (ijma’). Jika mereka sepakat, masalah kemudian dibahas dan saling tukar pendapat, dan jika rapat menyetujui satu pendapat maka itulah yang akan mereka putuskan dan akan menjadi sebuah hukum yang pasti dan mengikat, inilah yang dinamakan ijma’.
Keempat, ra’yi (pendapat pribadi), maksudnya, setiap hukum yang ditetapkan bukan berdasarkan petunjuk nash termasuk qiyas, istihsan, mashalih mursalah, bara’ah adz-dzimmah, dan sadd adz-dzari’ah.
C.     Metode Hukum di Masa Priode ini
            Metode hukum yang dipakai tokoh-tokoh pada saat itu, jika kita tinjau dari segi sumber hukumnya adalah jika pemerintahan pada saat itu sudah mendapatkan nash hukum yang terjadi pada suatu kasus pada al-Quran atau sunnah Rasulullah SAW, maka mereka berpegang kepada nash dari antara kedua sumber tersebut serta berusaha memahaminya dengan positif mencocokkan peristiwanya dengan tujuan nash dan ada hubunganya, apakah kasus yang terjadi sudah cocok dengan dalil yang ada. Begitulah sistim yang dipakai pada masa itu. Mereka berpegang teguh pada salah satu atau kedua sumber tersebut. Apabila mereka tidak mendapati nash dari al-Quran dan sunnah Rasulullah yang menunjukkan hukum kasus yang terjadi, barulah mereka melakukan ijtihad untuk mengambil kesimpulan hukumnya. Sedangkan ijtihad mereka didasari pada kebiasaan yang didapati dari Rasulullah SAW. Maka cara legislasi mereka, kadang-kadang dengan cara memperbandingkan hukum yang tidak ada nashnya dengan hukum yang sudah ada nashnya, kadang kala dengan memperhatikan kemaslahatan umat, kadang pula dengan cara untuk membuang hal-hal yang membuat kerusakan umat tanpa ada ikatan dari kemaslahatan yang harus dijaganya.
Bila terjadi satu kejadian, maka mereka melakukan ijtihad. Mereka berpegang dalam urusan tersebut, kepada;
1.      Al-quran. Merupakan sendi Islam, yang mereka telah dapat memahami dengan sempurna, karena diturunkan dengan bahasa mereka, dan dapat mempersaksikan sebab-sebab turunya.
2.      Sunnah Rasul. Mereka telah bermufakat mengikuti sunnah yang mereka percaya kepada perawinya.
D.    Sebab sebab Timbulnya Perbedaan Pendapat pada Priode ini.
Pada priode sahabat dan juga priode-priode selanjutnya setelah munculnya para pemuka perundang undangan di kalangan mereka, maka saat itulah timbulnya beberapa beberapa perbedaan pendapat, sehingga dalam menetapkan hukum pada suatu perkara terdapat beberapa fatwa yang beraneka ragam pendapat. Perbedaan pendapat tentu harus terjadi diantara mereka, sebab didalam memahami nash-nash berbeda beda akibat perbedaan tingkat kecerdasan akal pikiran dan juga segi segi tinjauanya.[4]
Fakta fakta inilah yang menimbulkan perselisihan fatwa-fatwa, walaupun pada hakikatnya mereka sependapat dalam menetapkan sumber sumber perundang undangan dan prinsip prinsip hukum yang umum. Dengan kata lain mereka hanya berbeda pendapat dalam masalah furu’ (cabang hukum) saja, tidak sampai dalam ushul (pokok pokok perundang undangan) dan jenis jenisnya.
Namun demikian setelah kekuasaan perundang undangan pada abad ke-2 H. berpindah ketangan angkatan para Imam Mujtahid, maka pada saat inilah karena perbedaan pendapat semakin luas dikalangan mereka. Di mana sebab sebab perbedaan di antara mereka tidak hanya terbatas pada tiga masalah yang menjadi pokok perbedaan, bahkan sudah melewati sampai pada sebab sebab yang berhubungan dengan sumber hukum islam, bertentangan dengan hukum dan prinsip prinsip bahasa yang diterapkan dengan memahami nash-nash.
Dasar dasar perbedaan pendapat tentang garis perundang undangan di kalangan para imam mujtahid itu berpokok pangkal pada perbedaan mereka mengenai tiga persoalan, yaitu;
1.      Perbedaan pendapat  di dalam menetapkan sebagian dari pada sumber sumber perundang undangan.
2.      Perbedaan pendapat tentang pertentangan pengambilan hukum dari pada sumber sumber perundang undangan.
3.      Petbedaan pendapat tentang sebagian prinsip prinsip bahasa yang diterapkan di dalam memahami nash nash.
E.     Defenisi Tabi’in
            Tabi’in adalah setiap muslim melihat Nabi SAW namun ia sempat melihat dan bertemu dengan sahabat, baik ia meriwayatkan atau tidak darinya.[5]
            Dari penjelasan ini jelas bahwa tabi’in tidak harus melihat baginda Rasulullah SAW sebab jika ia melihatnya, itu artinya ia termasuk sahabat Rasulullah SAW. Slain itu juga tidak disyaratkan harus bertemu dengan sahabat seperti yang dilakukan oleh ulama hadis, tidak disyaratkan harus meriwayatkan hadis dari seorang sahabat, namun cukup hanya melihat dan bertemu ketika ia sudah berusia tamyiz (baligh).
Tentang tabi’in dalam al-quran juga disebutkan:
šcqà)Î6»¡¡9$#ur tbqä9¨rF{$# z`ÏB tûï̍Éf»ygßJø9$# Í$|ÁRF{$#ur tûïÏ%©!$#ur Nèdqãèt7¨?$# 9`»|¡ômÎ*Î/ šÅ̧ ª!$# öNåk÷]tã (#qàÊuur çm÷Ztã £tãr&ur öNçlm; ;M»¨Zy_ ̍ôfs? $ygtFøtrB ㍻yg÷RF{$# tûïÏ$Î#»yz !$pkŽÏù #Yt/r& 4 y7Ï9ºsŒ ãöqxÿø9$# ãLìÏàyèø9$# ÇÊÉÉÈ  
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.
                        Firman Allah SWT “ Dan orang-orang yang mengikuti mereka ” merupakan isyarat yang jelas akan keberadaan tabi’in. merujuk penamaan ini, tabi’in adalah semua orang yang pernah bertemu dengan sahabat, baik murid, kawan dari berbagai penjuru dunia yang datang ingin mendengan fatwa, menghimpun ucapan, perbuatan, dan mengetahui segala keputusan mereka dalam berbagai permasalahan yang diperdebatkan, mereka menjadi lembaran hidup bagi setiap ucapan dan perbuatan sahabat.
Al-quran telah mengabdikan kedudukan dan keagungan para tabi’in dalam ayat diatas dimana Allah menyediakan pahala yang besar bagi mereka yang mengikuti para sahabat dengan ihsan dan inilah salah satu bentuk sanjungan dan penghormatan Allah bagi sahabat dan para tabi’in.
                        Terkait maslah ini, baginda Rasulullah SAW, pernah bersabda, Bahagialah bagi yang pernah melihat dan beriman kepadaku, dan bahagialah bagi yang pernah melihat siapa yang melihatku dan juga orang yang melihat siapa yang pernah melihatku, bahagialah mereka dan baiklah tempat kembalinya.





  


[1] Muh. Zuri, Hukum Isalam Dalam Lintasan Sejarah, (jakarta, 1996), hal 35
[2] Hanafi, Ahmad, Pengantar Sejarah Hukum Islam, PT Bulan Bintang, Jakrta,1989.
[3] Hasan Khalil, Rosyad. Tarikh Tasri’. Amzah. Jakarta. 2009.hal, 62
[4] Dr. Raibin, M.Hi, Penetapan Hukum Islam, UIN MALANG PRESS. 2010.Hal:59
[5] Hasan Khalil, Rosyad. Tarikh Tasri’. Amzah. Jakarta. 2009. Hal:78