A.    Istilah dan pengertian perikatan

Dalam Buku III BW yang berjudul “van Verbintenissen”, di mana istilah ini juga merupakan istilah lain yang dikenal  dalam Code Civil Perancis, istilah mana diambil dari hukum Romawi yang terkenal dengan istilah “obligation”.    Istilah verbintenis dalam BW (KUHPerdata), ternyata diterjemahkan berbeda-beda dalam kepustakaan hukum Indonesia. Berkaitan dengan itu, Soetojo Prawirohamidjojo, di dalam salah satu bukunya menegaskan bahwa :
“Istilah verbintenis, ada yang menterjemahkan dengan “perutangan”, perjanjian maupun dengan “perikatan”. karena masing-masing para sarjana mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam menterjemahkan dan mengartikannya, walaupun pengertian yang dimaksudkan perikatan tersebut dapat tidak terlalu jauh berbeda. Istilah perikatan dimaksud pada dasarnya berasal dari bahasa Belanda yakni “verbintenis”,  diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berbeda-beda, sebagai bukti, di dalam KUHPerdata digunakan istilah “perikatan” untuk “verbintenis”. R. Subekti, mempergunakan istilah “verbintenis” untuk perkataan     “perikatan”, demikian juga R. Setiawan, memakai istilah “perikatan” untuk “verbintenis”. Selanjutnya Utrecht, memakai istilah perutangan untuk “verbintenis”. Sebaliknya Soediman Kartohadiprodjo, mempergunakan istilah “hukum pengikatan” sebagai terjemahan dan “verbintenissenrecht, sedangkan. Sementara itu   R. Wirjono Prodjodikoro,  memakai istilah “het verbintenissenrecht” diterjemahkan sebagai “hukum perjanjian” bukan hukum perikatan, demikian juga Sri Soedewi Masjchoen Sofwan,  memakai istilah “hukum perutangan” untuk “verb intenissenrecht” .(R. Soetojo , 1979; 10).
menurut Hofmann, bahwa “perikatan adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum, sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang dari padanya (debitur atau para debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak lain yang berhak atas sikap demikian itu”. Selanjutnya Pitlo mengatakan, bahwa “perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi”. Sementara itu, menurut Abdulkadir Muhammad;.”Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara debitur dan kreditur, yang terletak dalam bidang harta kekayaan. Soediman Kartohadiprodjo, juga merumuskan perikatan tersebut dengan; “suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih,  atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi”. Demikian juga halnya, menurut R.Setiawan, bahwa  “perikatan adalah suatu hubungan hukum, yang artinya hubungan yang diatur dan diakui oleh hukum. (R.Setiawan, 1994; 2).
B.     Pengaturan hokum perikatan
Hukum Perikatan yang dimaksudkan ialah keseluruhan peraturan hukum yang mengatur tentang perikatan. Pengaturan tersebut meliputi bagian umum dan bagian khusus. Bagian umum membuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi perikatan pada umumnya. Sedangkan bagian khusus memuat peraturan-peraturan mengenai perjanjian-perjanjian bernama yang banyak dipakai dalam masyarakat. Bagian umum meliputi bab babI, bab II bab III (hanya pasal 1352 dan 1353) da bab IV, yang berlaku bagi perikatan pada umumnya. Bagian khusus meliputi bab III (kecuali pasal 1352 dan pasal 1353) dan babV s/d XVIII, yang berlaku bagi perjanjian-perjanjian tertentu saja, yang sudah ditentukan namanya dalam baba-bab yang bersangkutan. Pengaturan hukum perikatan dilakukan dengan “sistem terbuka”, artinya setiap orang boleh mengadakan perikatan apa saja baik yang belum ditentukan namanya dalam undang-undang. tetapi keterbukaan ini dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan , dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
C.     Prestasi dan wanprestasi
Prestasi adalah yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan. Prestasi adalah objek perikatan. Dalam hukum perdata kewajiban memenuhi prestasi selalu disertai jaminan harta kekayaan debitur. Dalam pasal 1131 KUH Perdata dinyatakan bahwa semua harta kekayaan debitur baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan pemenuhan utangnya terhadap kreditur. Tetapi jaminan umum ini dapat dibatasi dengan jaminan khusus berupa benda tertentu yang ditetapkan dalam perjanjian antara pihak-pihak.
Wanprestasi artinya tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yaitu:
  1. Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhinya kewajiban maupun karena kelalaian.
  2. Karena keadaan memaksa (overmacht), force mejeure, jadi di luar kemampuan debitur. Debitur tidak bersalah.
Untuk menentukan apakah seorang debitur bersalah melakukan wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana debitur dikatakan sangaja atau lalai tidak memenuhi prestasi. Ada tiga keadaan, yaitu:
  1. debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali,
  2. debitur memenuhi prestasi, tetapi tetapi tidak baik atau keliru,
  3. debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat.
D.    Ganti rugi
Menurut ketentuan pasal 1243 KUH Perdata, ganti kerugian karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetapi melalaikan, atau sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.
Maksud  “kerugian” dalam pasal di atas ialah kerugian yang timbul karena debitur melakukan wanprestasi (lalai atau sengaja untuk memenuhi prestasi). Kerugian tersebut wajib diganti oleh debitur terhitung sejak ia dinyakan lalai. Ganti rugi itu terdiri dari tiga unsur, yaitu:
  1. Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan, misalnya ongkos cetak, biaya materai, biaya iklan;
  2. Kerugian sesungguhnya karena kerusakan, kehilangan benda milik kreditur akibat kelalaian debitur, misalnya busuknya buah-buahan karena kelambatan penyerahan,     ambruknya rumah karena kesalahan konstruksi, sehingga merusak perabot rumah tangga;
  3. Bunga atau keuntungan yang diharapkan, misalnya bunga yang berjalan selama piutang terlambat diserahkan (dilunasi), keuntungan yang tidak diperoleh karena kelambatan penyerahan bendanya.

E.     Jenis-jenis perikatan
a.       Perikatan bersyarat
Perikatan bersyarat (voorwaardelijk verbintenis) adalah perikatan yang digantungkan pada syarat. Syarat itu adalah suatu peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti terjadinya, baik dengan menangguhkan pelaksanaan perikatan hingga terjadinya peristiwa, maupun dengan membatalkan  perikatan karena terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut (pasal 1253 KUH Perdata)
b.      Perikatan dengan ketetapan waktu
Suatu ketetapan waktu tidak menangguhkan perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya. Maksud syarat “Ketetapan waktu” ialah pelaksanaan perikatan itu digantungkan pada” waktu yang ditetapkan”. Waktu yang       ditetapkanadalah peristiwa yang masih akan terjadi dan terjadinya itu sudah pasti, atau dapat berupa tanggal yang sudah ditetapkan
c.       Perikatan Manasuka (boleh pilih)
Dalam Perikatan Manasuka, objek prestasi ada dua macam benda. Dikatakan perikatan manasuka, karena debitur telah memenuhi prestasi dengan memilih salah satu dari dua benda yang dijadikan objek perikatan. Tetapi debitur tidak dapat memaksa kreditur untuk menerima benda yang satu dan sebagian benda yang lainnya. Jika debitur telah memenuhi salah satu dari dua benda yang didsebutkan dalam perikatan, yang dibebaskan dan perikatan berakhir. Hak memilih prestasi itu ada pada debitur, jika hak ini tidak secara tegas diberikan kepada kreditur (pasal 1272 dan 1273 KUH Perdata)

d.      Perikatan Tanggung menanggung
Dalam perikatan tangung menanggung dapat terjadi seseorang debitur berhadapan dengan beberapa orang kreditur, atau seorang kreditur berdapan dengan beberapa orang debitur. Apabila kreditur terdiri dari beberapa orang, ini disebut tanggung-menanggung aktif. Dalam hal ini setiap kreditur barhak atas pemenuhan prestasi selurauh hutang, dan jika prestasi tersebut sudah dipenuhi, debitur dibebaskan dari hutangnya dan perikatan hapus (pasal 1278 KUH Perdata).
e.       Perikatan dapat dan tidak dapat dibagi
Suatu perikatan dikatakan dapat atau tidak dapat dapat dibagi, apabila benda yang menjadi objek perikatan dapat atau tidak dapat dibagi menurut imbangan, lagi pula pembagian itu tidak boleh mengurangi hakikat dari prestasi tersebut. Jadi sifat dapat atau tidak dapat dibagi itu didasarkan pada :
a. Sifat benda yang menjadi objek perikatan.
b. Maksud perikatannya, apakah itu dapat atau tidak dapat dibagi.
f.       Perikatan dengan ancaman hukuman
Perikatan ini membuat suatu ancaman hukuman terhadap debitur apabila ia lalai memenuhi prestasinnya. Ancaman hukuman ini bermaksud untuk memberikan suatu kepastian atau pelaksanaan isi perikatan seperti yang telah ditetapkan dalam perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak.
F.      Hapusnya perikatan
a.       Pembayaran
b.      Penawaran pembayaran tunai diikuti penitipan
c.       Pembaharuan hutang (novasi)
d.      Percampuran hutang
e.       Pembebasan hutang
f.       Pembatalan
g.      Berlakunya syarat-syarat batal
h.      Lampau waktu (daluarsa)
G.    Perikatan yang lahir dari perjanjian
a.       Istilah dan pengertian perjanjian
Istilah perjanjian ini, terumus dalam bahasa Belanda dengan istilah overeenkomst, yang biasanya diterjemahkan dengan perjanjian dan atau persetujuan. Kata perjanjian menunjukkan adanya makna, bahwa para pihak dalam perjanjian yang akan diadakan telah sepakat tentang apa yang mereka sepakati berupa janji-janji yang diperjanjikan. Sementara itu, kata persetujuan menunjukkan makna bahwa para pihak dalam suatu perjanjian tersebut juga sama-sama setuju tentang segala sesuatu yang mereka perjanjikan. Artinya terjemahan istilah tersebut dapat dikatakan sama,  terkadang bahkan digunakan bersamaan, hal ini disebabkan antara keduanya ditafsirkan sama, karena perjanjian itu sendiri sebenar juga adalah persetujuan.
b.      Pengaturan mengenai perjanjian
Peraturan yang dijadikan sebagai dasar hukum perjanjian adalah KUHPerdata Buku III  Bab II yang berjudul “Perikatan-perikatan yang Dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian”. Secara sistematis pengaturan mengenai perjanjian dalam KUHPerdata ini terdiri dari empat bagian, yakni  dari Pasal 1313 – 1351 KUHPerdata, yang terdiri dari :
Bagian Kesatu yang mengatur tentang ketentuan umum (Pasal 1313 – 1319 KUHPerdata)
Bagian Kedua yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian (Pasal 1320 – 1337 KUHPerdata)
Bagian Ketiga yang mengatur tentang akibat-akibat dari perjanjian (Pasal 1338 – 1341 KUHPerdata)
Bagian Keempat yang mengatur tentang penafsiran perjanjian-perjanjian (Pasal 1342 – 1351 KUHPerdata)
Selain itu, terdapat beberapa ketentuan tambahan mengenai pengaturan perjanjian, yakni :
Pasal 1266 dan 1267 Bab I Buku III KUHPerdata yaitu tentang perikatan-perikatan bersyarat yang merupakan syarat-syarat putus yakni wanprestasi.
Pasal 1446 – 1456 KUHPerdata tentang kebatalan dan pembatalan

c.       Subyek dan obyek perjanjian
·         Subyek (manusia pribadi dan badan hokum)
·         Obyek (benda atau prestasi)
d.      Unsur-unsur perjanjian
·         Para pihak yang sedikitnya dua orang
·         Ada perrsetujuan antara pihak itu
·         Ada tujuan yang akan dicapai dengan diadakannya perjanjian
·         Ada prestasi yang akan dilaksanakan
·         Adanya bentuk tertentu
·         Ada syarat-syarat tertentu
e.       Asas-asas dalam perjanjian
·         Asas kebebasan berkontrak
·         Asas konsensualisme
·         Asas kepatutan
·         Asas kekuatan mengikat
·         Asas keseimbangan
·         Asas kepastian hokum
·         Bersifat obligatoir
·         Bersifat pelengkap
f.       Syarat syahnya perjanjian
·         adanya persetujuan kehendak antara pihak yang membuat perjanjian
·         adanya kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian
·         ada  suatu sebab yang halal
g.      berakirnya perjanjian
   Berakhirnya suatu perjanjian memang tidak diatur secara tersendiri dalam Undang-undang. Akan tetapi, mengenai berakhirnya perjanjian ini dapat disimpulkan dari beberapa ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang. Berakhirnya persetujuan harus benar-benar dibedakan dari pada hapusnya perikatan, karena suatu perikatan dapat hapus sedangkan persetujuannya yang merupakan sumbernya masih tetap ada. Hal tersebut bisa ditemukan dalam perjanjian jual beli, dimana apabila harga sudah dibayar maka perikatan mengenai pembayaran sudah hapus, tetapi perjanjiannya belum hapus karena perjanjian penyerahan barang belum terlaksana.

H.    Daftar Pustaka
Ahmad Ichsan, Hukum Perdata IA, Pembimbing Masa, Jakarta, 1969;
R.Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1975;
Riduan Syahrani, Seluk-beluk dan Azas-azas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 1992;
Z.Ansori Ahmad, Sejarah dan Kedudukan BW di Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1986;
Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, Hukum Perdata dan  Hukum Benda, Seksi Hukum Perdata, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 1975;

Labels: 1 comments | | edit post


PERADILAN ISLAM DI KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM NUSANTARA

1.  Peradilan Agama Islam di Kerajaan Mataram
            Disini digambarkan peradilan pada masa sebelum islam yang mana masih bercorak hindu ditandai dengan dua bagian yaitu, 1. Perkara  yang menjadi urusan raja (pradata). 2. Perkara yang bukan urusan peradilan raja (padu). 
            Kemudian pada masa sultan agung mulai ada perubahan dan penanaman hukum islamdiperadilan pradata dengan jalan menempatkan orang yang berkompeten dibidang agama islam pada lembaga peradilan. Setelah dirasa siap kemudian sultan agung mengubah pradata menjadi pengadilan serambi dan bukan langsung dipimpin raja, melainkan dipimpin oleh ulama. Dinamakan serambi karena proses peradilanya dilaksanakan diserambi masjid agung. Tataran ketua di pengadilan ini adalah penghulu dan didampingi  para ulama, meskipun begitu masih dibawah tangan sultan. Peradilan serambi berfungsi sebagai dewan penasihat sultan dalam menjalankan kewajibanya, dan itu tidak pernah bertentangan dengan sultan.
2.  Peradilan islam di aceh
Paska ditakhlukanya kerajaan samudra pasai oleh portugis kerajaan itu dibawah pengaruh kerajaan aceh yang berpusat di aceh darussalam, yang dikenal dengan  ketegasanya yaitu sultan iskandar muda yang semangat menegakan panji-panji islam.
Di aceh sitem peradilan yang berdasarkan hukum islam menyatu dengan pengadilan negeri, yang mempunyai ada empat tingkatan disini, yang pertama adlah Keucik yaitu peradilan tingkat kampung,, yang berbobot ringan, sedangkan yang lebih berat yaitu oeloubalang, kemudian panglima sagi, dan yang terahir adalah di sultan, yang pelaksanaanya dilakukan oleh mahkamah agung yang anggotanya terdiri dari , malikul adil, O.K. sri paduka tuan, O.K. raja bandahara, dan faqih.
3.  Peradilan islam di priangan
Kerajaan yang dulunya kadipaten dan oleh syarif hidayatulloh ditingkatkan menjadi kerajaan dibawah kekuasaan mataram, dan kemudian mejadin independent. Dikerajaan cirebon ini terdapat tiga bentuk peradilan, yaitu pengadilan agama, yang mengurusi tentang hukuman badan dan hukuman mati.  peradilan digama, mengurusi tentang perekara perkawinan dan waris, dan sedangkan peradilan cilaga adlah mengurusi tentang perniagaan.
Dicirebon peradilan dilaksanakan oleh 7 orang menteri yang mewakili 3 sultan, yaitu sultan sepuh, sultan anom, dan panembahan cirebon.
4.  Peradilan Agama di banten
Banten adalah kerajaan yang paling ketat menjalankan hukum islam dan tanpa interfensi dari hukum adat maupun corak hindu-budha, dan qishas sudah benar-benar diterapkan.
Syaikh tertinggi bergelar kyai ali yang kemudian dikenal dengan istilah qodhi, yang pada mulanya dijabat oleh ulama dari makah, dan pada masa perkembanganya di jabat oleh bangsawan banten sendiri.
5.  Peradilan islam di Sulawesi
Dikerajaan ini terjadi asimilisasi budaya, akan tetapi hukum islam diterima setelah rajanya secara resmi menerima islam, dan kemudian dibentuklah parewa syara’, yang kedudukanya sama dengan parewa adat, yang sebelumnya sudah ada sebelum islam. Parewa syara’ dipimpin oleh kadi, yaitu pejabat tertinggi syariat islam yang ada dikerajaan. Dan dimasing-masing paleli dibantu oleh imam, serta dibantu oleh khateb, yang gajinya diambilkan dari zakat, dan sodakoh raja.
6.  Peradilan islam di palembang
Pengadilan dipalembang yang dipimpin oleh pangeran penghulu merupakan bagian dari struktur pemerintahan, disamping peradilan syah bandar, hukuman dijatuhkan pada hukum al-quran dan Al-hadist, dan pengadilan patih diputuskan berdasarkan hukum adat.
Kasultanan ini menganut tiga sistem peradilan pertama, pengadilan agama dipimpin oleh pangeran penghulu Nato Agamo, kedua pengadilan umum yang dipimpin oleh tumenggung karto negoro, dan yang ketiga adalah pengadilan adat yang dipimpin oleh pan geran adipati.
Ada 3 hal yang mempengaruhi perkembangan hukum islam diwilayah ini:
1.     Orang-orang arab yang mulai pertama datang dan menyebarkan ajarn agama islam didaerah ini.
2.     Semula hukum islam diterapkan pribadi antara penganut islam yang ada.
3.     Pasca runtuhnya majapahit agama islam semakin berkembang didearah ini.


Sumber : Alaidin Kotto, Sejarah Peradilan Islam  PT.Rajawali Press Jakarta
Labels: 0 comments | | edit post