Bagian I
Potret Buram Gerakan PMII
Distorsi
Reformasi dan Macetnya Transisi Demokrasi
Indonesia kolaps, denyut perubahan di negeri seribu pulau ini mengarah pada gerak
mundur, menyimpang dari cita-cita perjuangan kemerdekaan dan reformasi. Krisis
multidimensional yang telah menghinggapi bangsa Indonesia sejak krisis ekonomi 1997
(6 tahun lampau) semakin hari kian parah dan diprekdisikan akan berubah menjadi
tragedi nasional. Indikator nyata dari itu semua sangat tampak di permukaan
kehidupan masyarakat Indonesia .
Fenomena ini terjadi sejak reformasi mengalami pendarahan (bleeding), yakni sejak mahasiswa sebagai “bintang lapangan”
penjatuhan rezim Orde Baru mulai tergeserkan posisinya oleh para elit-elit
politik baru (elit lama berganti baju?), sampai reformasi menjadi saksi bisu
jatuh bangunnya kepemimpinan sipil mulai dari Habibie, Gus Dur hingga Megawati
(?) sekarang ini.
Kegagalan
recovery ekonomi dan membangun
kembali kepercayaan dunia internasional (international
trust) akibat tidak ada kata sepakat dari seluruh stake holder perekonomian nasional atas konsep, strategi dan solusi pemulihan ekonomi model
apa yang mesti diterapkan di Indonesia
turut memperparah keadaan. Dua persoalan di atas berkelindan dengan remuknya
sistem hukum dan peradilan serta bobroknya moral
attitude aparatur hukum nasional, akibatnya berbagai tindak KKN, kejahatan
politik, ekonomi, sosial, dan HAM tidak mampu dijerat dengan sistem hukum yang
berlaku di Indonesia.
Dalam
konteks politik, sejak reformasi digelar, Indonesia kembali dicekoki oleh
kembalinya “ideologi” politik lama ke pasar politik baru. Euphoria reformasi telah menghilangkan kesadaran kritis para
elit-elit politik baru dan lama dalam mengusung simbol politik aliran masa lalu
ke pusaran politik pasca berhentinya Soeharto. Kelompok nasionalis dan Islam
paling banyak melahirkan partai-partai politik. Sedangkan yang mencoba kembali
dengan aliran sosialisme (dari klasik hingga modern) terkapar tanpa pendukung
dalam Pemilu 1999 lalu.
Akibatnya,
bangsa ini melahirkan parados tampilnya elit penguasa sipil yang not in touch with people, tak tersentuh
oleh rakyat. Tidak saja dalam domain sistem politik dan pemerintahannya saja
yang mengalami trial and error, detak
tumbuhnya kekuatan sipil yang mampu mengontrol jalannya kekuasaan juga tak
kunjung terbentuk. Semua gagasan-gagasan luhur tentang demokrasi, civil society, civilian supremacy, ekonomi kerakyatan, dan law enforcement hanya berhenti ditingkat kata-kata, turats perundangan, dan seminar-seminar
belaka.
Kelengahan
inilah yang menjadikan kekuatan lama Orde Baru kembali mampu mengkonsolidasikan
kekuatan, sehingga mereka memiliki ruang lebih bebas untuk kembali mengontrol
jalannya perubahan menurut model dan langgam otoritarianisme seperti yang telah
mereka pertontonkan selama 32 tahun lamanya. Divestasi Indosat, kebijakan
pemerintah mengeluarkan Release & Discharge (R&D), kegagalan menarik capital flight para konglomerat,
lepasnya Sipadan-Ligitan, hingga kehendak pemerintah untuk menalangi dana rekap
obligasi para konglomerat hitam sebesar Rp. 60 trilyun dengan menghapus subsidi
kepada rakyat sembari menaikkan harga BBM, TDL dan tarif telepon adalah wujud
ketidakmampuan penyelenggara negara mengemban amanat reformasi.
Peta politik
dalam negeri semakin terpuruk dalam kondisi kekacauan, sehingga bangsa ini
tampak gagap menyikapi perkembangan mutakhir dunia internasional. Apalagi dalam
merumuskan kebijakan politik luar negeri agar Indonesia memperoleh dukungan
internasional agar segera dapat keluar dari krisis mutidimensional yang
mengancam integritas nasional bangsa Indonesia . Bom Bali, deportasi TKI,
lepasnya Sipadan-Ligitan, serta ketidakmengertian pemerintah Indonesia bahwa
setelah era cold war berakhir, maka
“terorisme internasional” telah menggantikan konflik ideologi dalam perang
dingin. Isu ini sekarang sangat menentukan jatuh bangunnya sebuah pemerintahan
serta pemulihan ekonomi negara-negara yang bergantung pada bantuan keuangan
Negara Industri Maju (NIM) ataupun
International Monetery Fund (IMF). Para pemegang / pelaksana kebijakan di Indonesia
kurang menyadari situasi dan struktur
internasional di atas, sehingga gagal merumuskan dan memainkan diplomasi
internasional yang tepat dan strategis agar peristiwa semcam deportasi TKI dan
tragedi bom Bali mampu dihindarkan
Transisi
demokrasi yang mestinya dilakukan masyarakat Indonesia pasca lengsernya rezim
otoriterianistik Orde Baru, dengan realitas negara seperti di atas, dipastikan tak kunjung terjadi. Gerak
demokratisasi di Indonesia
justru menjadi tak beraturan dan berjalan sangat lamban menuju terciptanya
tatanan pemerintahan dan politik demokratis seperti yang dikehendaki oleh
bangsa ini dalam preambule UUD NKRI.
Pembangunan institusi demokrasi, konstitusionalisme sebagai prasyarat
terbentuknya negara demokrasi, konsolidasi kekuatan sipil, dan kultur
demokrasi, terutama kalah oleh nafsu berkuasa para “penumpang gelap” reformasi
yang selama ini tertindas oleh proses rezimentasi kekuasaan Orde Baru.
Minimal ada lima indikator yang dapat
diketengahkan untuk membuktikan bahwa transisi demokrasi di Indonesia tidak
berjalan ke arah terciptanya negara demokrasi yang sesungguhnya. Transisi
demokrasi di Indonesia
justru melahirkan rezimentasi elit “gaya
baru” dengan memakai selubung demokrasi. Pertama, rapuhnya sistem perekonomian
pemerintahan Mega-Hamzah. Hal ini ditandai dengan tingginya ketergantungan
ekonomi Indonesia atas bantuan asing dan ketidaksungguhan pemerintah
mengoptimalkan mobilisasi dana dari dalam negeri sendiri, pertumbuhan ekonomi
kita masih sangat bergantung pada konsumsi, belum lagi kebocoran APBN yang
mencapai 20% lebih serta kegagalan menarik investasi langsung (direct investation) dan menghidupkan
sektor riil. Faktor lain yang membuat rapuhnya sistem perekonomian adalah tidak
adanya kata sepakat antara pemerintah, parlemen dan seluruh pihak di luar
pemerintah yang memiliki kekuatan mengendalikan dan mempengaruhi tentang sistem
dan kebijakan ekonomi yang mesti dijalankan pemerintah dan didukung
bersama-sama.
Kedua,
polarisasi di seluruh kekuatan politik sipil tak bisa diatasi pemerintahan
Mega-Hamzah. Pengkotak-kotakan ideologi politik di masyarakat menjadi kekuatan
politik yang sulit diatasi. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu
destabilitasi politik nasional, padahal stabilitas politik menjadi syarat utama
proses recovery ekonomi Indonesia .
Menguatnya gerakan Islam politik, tribalisme
dan sektarianisme politik adalah beban tersendiri transisi demokrasi di Indonesia .
Ketiga, lumpuhnya sistem hukum, sehingga ratusan
persoalan hukum tak mampu terselesaikan. Diskriminasi dan manipulasi hukum
justru kerapkali terjadi karena hukum tidak mampu berdiri secara independen.
Belum tertangkapnya beberapa obligor besar/konglomerat hitam, tidak adanya
jerat hukum atas white collar crime, serta kebobrokan moral para aparatus hukum Indonesia
merupakan indikasi kongkrit ruwetnya reformasi hukum dan peradilan Indonesia .
Keempat, tidak
adanya transparansi dalam penyelenggaraan negara dan diterimanya partisipasi
politik warga secara penuh. Sebab, tanpa transparansi regulasi politik, hukum,
ekonomi dan budaya, maka dukungan penuh rakyat atas berbagai kebijakan yang
diambil para elit pemerintahan ataupun parlemen hanya akan berbalik menjadi
bumerang bagi kelangsungan pemerintahan itu sendiri. Demonstrasi besar-besaran
mahasiswa dan kekuatan sipil lain, serta tidak adanya satu suara para pembantu
presiden (kabinet) adalah salah satu contoh nyata tidak adanya transparansi
tersebut.
Kelima, lemahnya diplomasi internasional Indonesia,
deportas ratusan ribu TKI, tragedi bom Bali, dan ketentuan wajib lapor warga
Indonesia di AS sebenarnya tidak akan terjadi, jika pemerintah memiliki
kecanggihan diplomasi internasional yang mampu meyakinkan publik internasional
tentang posisi dan kesungguhan bangsa Indonesia dalam melakukan reformasi menyeluruh
di segala bidang demi tegaknya demokrasi.
PMII
: Student Movement yang a-historis ?
Adagium teori sosial menyatakan, sesuatu akan tetap
ada kalau dia berfungsi, kalau sampai hari ini PMII ada, maka berarti ia
berfungsi. Kemudian banyak pihak menggugat, fungsi apa yang sedang dilakoni
PMII? Apa sumbangsih kongkritnya bagi bangsa ini? Bagi demokrasi, pluralisme,
dan kemanusiaan? Jangan-jangan PMII tak lebih sekedar wadah berekspresi dari
anak muda NU yang sedang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi yang memang
umatnya memiliki kecenderungan komunalisme, bergerombol pada organisasi yang
memiliki ikatan historis dan kultural yang sangat lekat dengan NU.
Tepisan bahwa
PMII bukanlah lahan “reproduksi kader” bagi NU (maupun PKB), PMII adalah sebuah
organisasi kemahasiswaan yang berdiri dengan segebok idealisme, nilai-nilai dan
paradigma gerakan tersendiri, yang kehadirannya diabdikan untuk perjuangan
tanpa henti pada terwujudnya keadilan sosial, demokrasi, dan kemanusiaan mungkin hanya akan menjadi tanda tanya
besar?.
Usaha
berkali-kali untuk meyakinkan publik, bahwa PMII bukanlah “underbouw” NU, melalui berbagai statemen, landasan hukum organisasi
maupun wacana dan model gerakan, hingga hari ini belum mampu juga menggoyahkan
opini umum bahwa PMII itu tidak bisa dipisahkan dengan NU. Realitas ini
kemudian menjadi semacam “beban kultural” PMII terutama dalam merekrut anggota baru. Apalagi
kecenderungan mahasiswa baru hari ini tidak lagi mempedulikan lagi apa itu NU,
Muhammadiyah, nasionalis dan sebagainya, kecuali di beberapa daerah yang memang
menjadi basis (umat) NU, Muhammadiyah ataupun lainnya.
Dus, tatkala
PMII saat ini gerakannya terpolarisasi
ke dalam berbagai bentuk, dan ditingkat nasional-nya sedang mengalami
fragmentasi kepentingan antar pengurus, bahkan menjadi berbilang (pecah)
kepengurusannya, PMII semakin kesulitan memberikan jawaban yang pasti terhadap
publik atas fungsi dan peran kesejarahannya. Lihat saja, dalam setiap
perbincangan para kader PMII di semua lini organisasi selalu diwarnai dengan
ketidakpuasan atas kondisi dan kinerja PMII yang semakin rigid dan gamang terhadap perkembangan kontemporer maupun sulitnya
para pengurus menjawab pertanyaan kader-kader (mahasiswa) baru, semisal PMII
itu sebetulnya mahkluk apa?
Hampir semua para
pengurus dan aktivis PMII akan berbicara tentang sisi normatif idealistis bahwa
PMII itu adalah sebuah organisasi mahasiswa pejuang demokrasi, HAM dan ke
Islaman yang berkeindonesiaan dengan pola gerakan yang dilandasi paradigma
kritis transformatif, bersumber dari ajaran Islam Aswaja yang lebih liberal,
inklusif, tidak literal dan anti ortodoksi. Namun, ketika mereka melanjutkan
pertanyaannya, apa bentuk riil (prakis) dari semua itu yang bisa dirasakan
nyata seluruh umat dan banga Indonesia ?
Barulah kemudian para aktivis (pengurus PMII) berusaha mencari pembenar (bahkan
truth claim) tentang apa yang telah
PMII perjuangkan dan peran sertanya dalam membumikan sekeranjang idealisme,
nilai-nilai dan paradigma PMII itu sendiri.
Apalagi jika
mereka menyoal berapa jumlah kader PMII yang menjadi pejabat negara? ahli
ekonomi, ahli lingkungan, iptek dan hukum? Yang terjadi selanjutnya adalah
kegagapan aktivis PMII untuk menyebutkan siapa sih alumni PMII yang ahli di
berbagai bidang itu? Meski hal ini tidak menjadi ukuran utama out put pergerakan kita, namun tetap
saja pertanyaan seperti ini muncul dari para mahasiswa baru.
Gambaran di
atas adalah sekelumit dari kegelisahan-kegelisahan kader PMII hampir di semua
lini organisasi mulai dari Pengurus Besar (PB) hingga komisariat dan rayon.
Belum lagi, jika PMII ditanya masalah peran kesejarahan PMII yang kongkrit
disumbangkan untuk bangsa dan agama? Maka dipastikan kegelisahan ini menjadi
lautan kegalauan dan kekecewaan yang menjadikan diri kita kadang-kadang gamang
melihat realitas gerakan PMII itu sendiri.
Beberapa tahun
lampau, setidaknya pada era 1990-an, organisasi ini dinilai oleh banyak pihak
sebagai organisasi mahasiswa paling dinamis, liberal dan berani. PMII dinilai
sebagai salah satu motor utama anti kemapanan, pejuang demokrasi dan pembela wong cilik. Para
kadernya adalah mereka-mereka yang sangat “gila wacana”. Pemikiran Arkoun,
Hasan Hanafi, Ahmed An-Na’im, Marx, Gramsci, Tan Malaka, Foucoult, Derrida, hingga Che Guevara, menjadi santapan dan menu
sehari-hari aktivis PMII. Hampir tidak ada aksi jalanan yang tidak menyertakan
PMII, bermacam advokasi dan kerja
pemberdayaan masyarakat tertindas terjadi di berbagai daerah hingga mampu
membawa organisasi ini menjadi salah satu “most
wanted” rezim Orde Baru.
Realitas
sosial di atas menjadi fakta tak tergugat disebabkan kemampuan PMII dengan
seluruh resources yang dimilikinya
mampu berdialog secara kreatif dengan konteks dan historisitas sosial saat itu,
sehingga elan vital gerakan begitu
tampak menggeliat dalam kerja-kerja kongkrit demokrasi, kemanusiaan dan
perjuangan mewujudkan keadilan. Meskipun pada zaman ini, kekurangan di
sana-sini masih terlihat, siapapun bisa menilai bahwa organisasi kader ini
telah sanggup menyatukan dirinya dengan realitas historis dan menjadi anak
zamannya. Antara gerakan pemikiran dan gerakan jalanan bisa berpadu, bergerak
kreatif dan dinamis menjawab berbagai keruwetan dan persoalan hidup masyarakat
dan bangsa Indonesia .
PMII dan Potret untouchable dinamika
zaman
Hari ini, PMII
tidaklah seperti dulu lagi. Berbagai gerakan yang bernas dan mampu mempengaruhi
jalannya sejarah kebangsaan dan keindonesiaan yang kerapkali dilakukan oleh
aktivis PMII, tampaknya kini sudah mulai luntur seiring dengan semakin kuatnya
tarikan pragmatisme kepentingan, konsumerisme dan semakin kecilnya semangat
idealisme aktivis PMII. Bahkan, sinisme dari teman-teman gerakan mahasiswa lain
mulai menerpa PMII (khususnya) tingkat nasional. Tuduhan, bahwa organisasi ini
lebih concern dengan urusan-urusan
parpol dan kekuasan serta melupakan habitat aslinya sebagai pejuang anti
kemapanan yang sangat pro rakyat (mustadl’afin) dan anti hegemoni, sudah
menjadi hal yang biasa.
Terlepas
tuduhan ini benar atau tidak, namun harus diakui bahwa tudingan ini sangatlah
menyesakkan dada kita semua. Apalagi, sampai hari ini belum ada upaya untuk
mengcounter dengan tindakan. Yang
justru dilakukan hanyalah apologi dengan sejumlah pernyataan kering. Trend baru
ini berimplikasi pada kader-kader dan aktivis PMII di bawah. Di banyak daerah
misalnya, aktifitas PMII seakan lebih banyak berhenti pada ritus-ritus
strukturalistik organisasi, semenjak jatuhnya Soeharto, naik dan turunnya Gus
Dur sebagai Presiden RI ke-4 hingga era Orde Baru jilid II pemerintahan
Mega-Hamzah, gerbong PMII lebih terseret dalam dinamika politik praktis yang
jauh dari dimensi moral gerakan.
Hiruk-pikuk
reformasi yang diwarnai membludaknya jumlah parpol dan penetrasi kapitalisme
global menuju “one world” telah
sanggup meninabobokkan PMII untuk ikut terlibat bermain merasakan enaknya “kue
kekuasaan”. Gerakan PMII menjadi lebih politis (elit) dan kehilangan ruh
gerakan (populis) serta semakin jauh dari rakyat yang mestinya dibela hak dan
kepentingannya. PMII tak mampu mengingatkan para mahasiswa dan elemen demokrasi
pro reformasi, tatkala di tikungan jalan
perubahan tiba-tiba muncul banyak penumpang yang seolah-olah telah diberi
tongkat amanat oleh mahasiswa untuk melanjutkan perubahan dan reformasi. Pada
gilirannya, situasi sekarang telah menunjukkan adanya distorsi arah perjalanan
reformasi dan tampilnya rezim otoriterianistik gaya baru a
la Mega-Hamzah.
Lihat saja, Indonesia hari
ini menjadi cerminan nyata dari lemahnya koordinasi untuk menanggulangi
berbagai bentuk konflik, krisis dan ancaman disintegrasi. Para
elit eksekutif tidak satu suara dan tampak berjalan sendiri-sendiri, tanpa
payung kepemimpinan yang jelas dan terarah. Saat bangsa membutuhkan kekompakan
untuk menepis ancaman desintegrasi, aparat pengawal keamanan seperti tentara
dan polisi justru terjebak dalam persoalan pasca separasi TNI-Polri, baik soal
anggaran, rebutan lahan ataupun lainnya. Sementara itu, para politisi sibuk
mempertahankan posisi dan makin tidak peduli pada hukum. Ancaman terorisme yang
ada cenderung ditutup-tutupi dan dijadikan bahan polemik. Padahal secara nyata,
terorisme telah banyak memakan korban rakyatnya sendiri.
Ini masih
ditambah oleh persoalan yang menurut banyak pihak semakin terkontaminasi oleh
suburnya “politik uang”, padahal kekuasaan dan otoritas legislatif sekarang ini
jauh lebih besar daripada era monolitik Orde Baru. Akibatnya, legislatifpun
dianggap praktis memasung gerak eksekutif. Di ujung lain, yudikatif sendiri
belum mampu menjadi panutan. Hal ini ditunjukkan oleh semakin maraknya kasus
korupsi yang justru juga dilakukan penegak hukum sendiri. Kasus kebohongan
Kejagung MA. Rahman ketika menyampaikan laporan kekayaan kepada KPKN, adalah
bukti nyata dari masih suburnya KKN di Indonesia.
Sadarkah kita,
para aktivis PMII, bahwa bangsa ini sedang pingsan, erosi nasionalisme,
impotensi pemerintahan, krisis kepemimpinan nasional, kecamuk ancaman
desintegrasi, mandulnya hukum dan sistem peradilan. Parlemen lebih getol mengurusi agenda
politik para anggotanya daripada menyelesaikan ratusan RUU dan berbagai produk
regulasi, dunia intelijen Indonesia kacau, tingginya jumlah pengangguran akibat
deportasi TKI ataupun PHK telah membawa Indonesia hingga kini belum mampu mempetakan
(melihat) masa depannya.
Di
tengah-tengah makin kompleksnya persoalan-persoalan di atas, muncul pertanyaan
sederhana, di mana PMII dan apa yang dilakukan PMII ? Pertanyaan ini menjadi rasional, karena PMII yang
men-deklarasi-kan dirinya sebagai entitas
tak terpisahkan gerakan mahasiswa, justru tidak kelihatan. Meski tidak
semua aktivis PMII seperti itu, namun respon sosial PMII terhadap realitas di
atas selama ini tampak sporadis dengan gerakan yang patah-patah. PMII bergerak
dengan isu, bukan pembuat isu, sehingga gerakannya dinilai sebagian pihak
sebagai bentuk gerakan reaktif dan counter
isu belaka yang tak mampu memberi sumbangsih kongkrit pada perubahan. PMII
belum mampu mencandra teori dan konsep dari pelontar isu itu sendiri. Dengan
demikian, plat form gerakan PMII
tidak menjadi muncul dan menjadi bahan pertimbangan oleh para stake holder negara (rakyat) maupun
kekuasaan.
PMII dianggap tidak mampu membumikan peran
mahasiswa (seperti Arbi Sanit nyatakan) sebagai intelektual dan
intelektual-teknokrat, yakni; pertama,
sebagai kekuatan korektif terhadap
penyimpangan yang terjadi di dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat dan
pemerintahan. Kedua, PMII belum mampu
menjadi penerus kesadaran masyarakat luas akan problema yang ada dan
menumbuhkan kesadaran kitis untuk menerima alternatif perubahan yang
dikemukakan atau didukung oleh mahasiswa itu sendiri, sehingga masyarakat
berubah ke arah kemajuan.
Memudarnya Tradisi “gila wacana”
Salah satu keluhan yang menghinggapi aktifis PMII
selama perjalanan saya ke berbagai daerah adalah menurunnya tradisi pergumulan
intelektual. Tradisi baca yang seharusnya menjadi habit dan kultur PMII lambat laun memudar terkalahkan oleh
glamour dan hedonisnya penetrasi globalisasi, pragmatisme, konsumerisme dan
budaya instan. Euphoria reformasi dan tajamnya laju teknologi serta informasi
justru menjadi penyandera sikap kristis kader yang berakibat pada menurunnya
semangat “gila wacana” kader PMII. Aktivis PMII justru dihinggapi “budaya
tulalit”, gandrung akan berbagai produk-produk modernisme dan teknologi
informasi, semisal handphone dan
sejenisnya.
PMII belum mampu lagi mereproduksi berbagai wacana
aktual yang sangat dibutuhkan publik dalam merajut masa depan bersama. Berbagai
proyek pemikiran cemerlang yang dulu ‘digagas’ oleh sahabat-sahabat PMII
seperti wacana demokratisasi, civil
society, open society,
post-tradionalisme Islam, hingga liberalisasi pemahaman dan pemikiran keagamaan
(keislaman) a la Indonesia yang mampu menghantarkan masyarakat keluar dari
kejumudan, taqdisun al-afkar al-diniyah, tak
lagi mengemuka menjadi mainstream pergumulan
wacana publik PMII.
Di beberapa tempat, justru banyak kader PMII yang tidak suka lagi
dengan buku. Aktivis PMII justru seringkali terjebak pada ritus organisasional
yang sangat mendewakan struktur saja, bahkan ada pula sebuah cabang yang
kehilangan komisariatnya hanya karena tidak mampu menawarkan aroma
intelektualisme kepada para mahasiswa universitas tersebut. Kenyataan ini
memilukan, apalagi PMII dikenal sebagai organisasi kader, di mana intelektualisme
menjadi jargon utamanya.
PMII mestinya menjadi garda terdepan dalam
menangkal perkembangan pesat menguatnya kecenderungan memperjuangkan Islam
secara politik, normatif, konservatif dan milenarian. Apalagi gerakan radikal
kanan ini menjadikan kampus sebagai basis utama perkembangbiakan lahirnya
wacana-wacana Islam yang ortodok-literal, berwajah keras dan serba anti
“barat”. Padahal, PMII merupakan motor dalam upaya mewujudkan Islam rahmatan lil-alamin yang mengedepankan
pemahaman Islam konstektual, kultural, humanis, pluralis dalam wajah
keindonesiaan.
Apa yang menimpa sahabat Ulil Absar Abdalla
(akhir tahun 2002) yang diancam hukuman
mati oleh para ulama kelompok Islam kanan Indonesia karena pikiran-pikiran
cemerlangnya (meski pemikiran itu sebenarnya biasa saja bagi aktifis PMII yang
selama ini karib dengan wacana yang seperti Ulil lontarkan), tak juga
mendapatkan pembelaan intelektual maupun gerakan dari PMII, padahal Ulil adalah
kader PMII. Kemana suara-suara pencerahan para kader PMII, apakah memang ini
indikator bahwa kader PMII semakin asing dengan pergumulan pemikiran Islam yang
dulu menjadi salah satu kebanggaan organisasi ini? Ataukah memang PMII sekarang
sedang mematikan mata dan telinga intelektualnya, sehingga tak sempat (tertarik)
lagi mengupas ilmu, pemikiran dan wacana-wacana mencerdaskan seperti dulu lagi?
Semoga penilaian ini salah.
Dalam diskursus ilmu sosial (filsafat dan
humaniora), PMII sebenarnya memiliki silabus pengkaderan yang cukup komplit.
Namun tetap saja ghirah kader PMII bergulat lebih intens dan total di dalamnya
serta menjadikannya sebagai salah satu pisau analisis membedah ketimpangan
sosial, kekuasaan yang tak bernurani, dan hegemoni kapitalisme global yang anti
tradisi dan nilai-nilai universal tak kunjung muncul. Kalau toh ada sebagian
kecil kader PMII yang “melek sosial”, biasanya itu bersifat individualistik,
sporadis, dan bukan berasal dari kinerja sistem pengkaderan yang paten khas
PMII. Belum lagi merebaknya dunia maya (internet) sebagai salah satu ekses kemajuan
teknologi informasi, juga belum mampu secara optimal dan efektif digunakan
untuk menggalang komunikasi, merapatkan barisan dan sosialisasi (tukar) wacana
dan pengetahuan serta aksi-sksi real PMII
di seluruh daerah.
Semua itu bermuara pada tak kunjung terbentuknya image building PMII sebagai organisasi
mahasiswa yang paling dinamis, progresif dan kaya akan kader yang haus
diskursus di berbagai disiplin ilmu, baik agama, sosial, ekonomi, budaya,
iptek, politik ataupun lainnya. Minat baca para kader mungkin tidak begitu
parah degradasinya, mungkin yang lebih sering adalah kurangnya kader PMII
keluar kandang untuk melakukan dialog dan berdialektika dengan kelompok
mahasiswa, intelektual dan cendekiawan lain. Situasi telah menjadikan kader
PMII layaknya katak dalam tempurung yang
hanya cukup puas bisa sedikit paham tentang sebuah diskursus keilmuan dan
menularkannya pada kader-kader dibawahnya melalui MAPABA, PKD, PKL maupun
forum-forum ilmiah lain di PMII.
Kegagapan PMII
atas Menjamurnya Organ Semi Legal
Perkembangan mutakhir gerakan mahasiswa semenjak
reformasi digelar adalah munculnya berbagai organ semi legal yang mengklaim
sebagai motor dan garda terdepan dalam melawan dan meruntuhkan rezim
otoriterianistik Orde Baru (etatisme negara). Kecenderungan yang mengemuka
pasca lengsernnya Soeharto adalah menguatnya semacam keyakinan dari kalangan
mahasiswa bahwa gerakan aksi turun jalan (demonstrasi) merupakan satu-satunya
bentuk kritisisme sebuah organisasi mahasiswa. Turun jalan dianggap sebagai
media paling ampuh untuk menunjukkan eksistensi gerakan dan cara mudah
memperoleh (simpati) massa guna merengguk anggota baru. Bentrok dengan aparat
dan para pendukung institusi/kelompok/penguasa yang didemo akan semakin menjadi
bumbu penyegar kristalisasi loyalitas massa (mahasiswa) atas institusinya.
Ekstra parlementer kemudian ditahbiskan sebagai
satu-satunya parameter idealisme mahasiswa, apapun pertimbangannya. Gerakan
ekstraparlementer dengan radikalisme hingga pada stadium tertentu dianggap akan
menyuarakan pada publik luas bahwa mahasiswa memang benar-benar tampil sebagai
kekuatan pendobrak, anti kemapanan dan penjaga moral sejati. Hal ini kemudian
menumbuhkan ruang bagi mahasiswa untuk segera mengelompok pada organisasi semi
legal-semi legal yang beragam bendera ideologi dan corak gerakannya. Fenomena
ini beriringan dengan menggeliatnya kembali organisasi intra instituter dengan
format keorganisasian yang lebih variatif ketimbang era Orde Baru dan lebih
bebas dari kungkungan birokratis perguruan tinggi yang rigid dan kooptatif.
Kecenderungan di atas, diakui atau tidak, telah
menggiring eksistensi, posisi dan peran OKP seperti PMII mulai dijauhi
(terpinggirkan) oleh mahasiswa-mahasiswa. Organisasi semi legal dianggap lebih
“laku” dan menarik gelora muda para
mahasiswa. OKP dianggap tidak lebih sebagai organisasi kaderisasi parpol-parpol
dan Ormas keagamaan. Apalagi ikatan historis dan kultural OKP-OKP yang ada
memang menyiratkan bahwa mereka memiliki kaitan yang cukup kental dengan parpol
yang ada (baru ataupun lama), baik itu dikarenakan ikatan
senioritas-yunioritas, kesamaan ideologi, maupun kesamaan resources manusianya.
Berapa banyak kader PMII yang beringsut lari dan
lebih asyik menjadi aktifis semi legal semacam, Forkot, Famred, FPPI, FKSMJ,
FRONKOT (di Jakarta), P3Y, KMPD dan Fampera di Jogya, Forkom, FKMM, SMID, di
Malang, FKMS di Surabaya, dan dibelahan daerah lainnya. Di semua organisasi
tersebut, betapa banyak aktifis PMII yang lebih kerasan. Beragam alasan yang
diajukan, namun diantaranya yang paling menghenyak dari sekian alasan adalah
PMII dilihat dari namanya saja sudah hebat yakni ada kata “pergerakan”, namun
nyatanya selama proses reformasi hingga era Mega-Hamzah, PMII tidak banyak
melakukan apa-apa, layaknya macan ompong.
PMII memang memiliki jaringan di berbagai daerah,
memiliki buku panduan aksi sosial, paradigma gerakan yang cukup kritis, namun
itu semua hanyalah catatan di atas kertas belaka. Sosialisasi dan aplikasi
kongkrit dari itu semua tidak pernah sungguh-sungguh dilakukan. Bahkan yang
lebih sadis, mereka menyatakan bahwa PMII tidak pernah mampu menampung para
kadernya yang berkehendak turun ke tengah-tengah masyarakat dan bergelut dengan
rakyat memperjuangkan kepentingan mereka. Jadi jangan salahkan kami, jika
kemudian lebih memilih organisasi semi legal yang memang lebih kongkrit dan
jelas dari pada PMII, kira-kira begitu jawabannya.
Pernyataan di atas jelas menyesakkan, terlepas
pandangan itu agak subyektif dan tidak seluruhnya benar. Namun, harus diakui,
bahwa akhir-akhir ini PMII seakan-akan kehilangan radikalitas gerakan jalanan,
kultural dan transformasinya. PMII seperti lebih terlena untuk membicarakan
reformasi dan politik-kekuasaan, tanpa mau berpikir bagaimana cara mengubahnya
dan menjadikannya lebih demokratis, humanis serta langkah kongkrit apa yang
mesti dilakukan PMII guna mewujudkan agar reformasi benar-benar terjadi di
Indonesia.
Harus ada lompatan besar agar PMII tidak larut
dalam distorsi gerakan berkepanjangan. Saya meyakini bahwa cukup bahan di PMII
untuk mampu membuat kadernya progresif, dan radikal di bidang pemikiran,
humanis dan pluralis dalam bersikap, radikal dan transformatif dalam berkiprah.
Hanya kemudian, PMII belum mampu mengejawantahkan payung agung ideologi dan gerakan yang dapat menggerakkan seluruh potensi
dan resources PMII dalam satu gerak
dan satu kata terciptanya kader perubah, kritis, kaya akan disiplin ilmu, melek
wacana sosial serta independen. Baik itu berupa strategi, sistem, maupun
kulturnya.
Kuatnya Patronase PMII dengan NU dan Parpol
Salah satu problem yang cukup melilit
kelincahan gerak PMII adalah kuatnya patronase kader PMII dengan NU maupun
Parpol. Persoalan ini tidak hanya menimpa kader-kader PMII di tingkat nasional,
di wilayah propensional maupun Kotamadya/Kabupaten tak kalah peliknya.
Tarik-menarik antara ketiganya, meski masing-masing organ itu memiliki sandaran
hukum dan keorganisasian, bahwa hubungan diantara ketiganya adalah independen
dan hanya ikatan kultural serta kesejarahan saja yang mengikat mereka, tetap
saja terkalahkan oleh kepentingan personal/kelompok dan politik (yang terkadang
pragmatis) dari para elit ketiganya.
Pola hubungan mendekat dan menjauh antara
PMII dengan kedua organisasi (NU & Parpol) itu, akan sangat banyak
ditentukan oleh seberapa banyak kader / pengurus PMII yang terlibat aktif di
kedua institusi tersebut. Bukti nyatanya adalah masih terdapat banyak pengurus
PMII mulai nasional, propensional hingga lokal yang merangkap jabatan di NU
maupun di Parpol (terutama di PKB, PPP dan sebagian di Golkar). Inilah blunder
organisasi yang kemudian menyulitkan PMII menentukan independensi dan
obyektivasi gerakan dan kepentingannya sendiri.
Siapapun
tidak bisa mengelak, bahwa di tubuh NU maupun Parpol kader PMII bercokol hingga
pada elit-elitnya. Secara yuridis PMII memang memiliki ruang untuk terjadinya
pencampur adukan keaktifan anggotanya di kedua institusi tersebut, sebab dalam
ART PMII pasal 3 ayat c dinyatakan bahwa anggota yang belum melewati batas usia
33 tahun merupakan anggota biasa PMII. Padahal dalam usia 30 tahunan itu
seorang kader biasanya sudah melewati masa studi di perguruan tinggi yang cukup
lama (yakni antara 23-25 tahun), kecuali bagi mereka yang melanjutkan studi S-2
maupun S-3. Pada rentang usia antara 25 hingga 33 tahun inilah, kader-kader PMII
kebanyakan sudah mulai merambah dunia baru di Ormas seperti NU, di domain
politik seperti Parpol ataupun institusi sosial dan profesional lainnya.
Apalagi Pemilu sebentar lagi digelar 2004 (kalau
tepat waktu) dan tensi politik semakin tinggi, dimana resistensi dari
mahasiswa, buruh, masyarakat dan para politisi atas beberapa kebijakan
pemerintah seperti menaikkan BBM, TDL, tarif telepon, Release and Discharge
(R&D) atas beberapa konglomerat hitam, divestasi Indosat pada STT, lepasnya
Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia, diyakini akan semakin menggelembung dan
dimungkinkan membawa situasi politik dan keamanan tanah air bertambah panas, keruh dan rawan konflik yang
bisa membawa pada pergantian kekuasaan maupun krisis multidimensional tahap
kedua yang lebih parah.
PMII dipastikan akan dijadikan salah satu
organ yang ditarik kesana-kemari oleh berbagai kekuatan politik nasional agar
mau berpihak pada agenda dan kepentingan sempit mereka. Dan sekali lagi,
kondisi PMII beberapa tahun terakhir ini (sejak reformasi digelar) mendatangkan
rasa pesimis para kader dan pejuang demokrasi bahwa PMII tidak akan tergoda /
terseret dalam blok-blok kepentingan pragmatis di atas.
Mestinya, pada tahun 2003 dan 2004 ini adalah
tahun pembuktian bagi PMII untuk bangkit dari prejudice minor yang selama ini tersandang dipundaknya. Pembuktian
ke publik luas bahwa komitmen dan konsistensi PMII dalam memperjuangkan
nilai-nilai kebenaran, keadilan dan kejujuran tak pernah lekang dimakan situasi
semacam di atas, ataupun kritisisme dan gerakan transformatif PMII akan
dimandulkan oleh paternalisme, pragmatisme, konsumerisme dan hedonisme
otoritarianisme maupun globalisasi.
10 Tahun Ke Depan PMII akan
memfosil
Kegagalan PMII melakukan berbagai gerakan
sistemik di atas akan semakin memisahkan PMII dari sejarah, dari rakyat yang
mesti dibelanya dan dari ideologi gerakan kritis-transformis yang termaktub dalam dokumen yuridis-formal
organisasi maupun nilai-nilai kultural yang selama ini tumbuh subur didalamnya.
Isu money
politik para petinggi PMII, maupun keterlibatan kader-kader PMII dalam
politik praktis di seluruh strata organisasi serta ‘kemandekan’ diskursus
keilmuan di PMII, mengentalnya budaya “tulalit” kader, pragmatisme dan
konsumerisme, bila tak cepat ditangani, saya meyakini bahwa dalam 10 tahun mendatang PMII akan segera masuk
museum arsip nasional dan hilang dari peredaran sejarah keindonesiaan
maupun dunia.
Ini bukanlah dramatisasi dari situasi dan realitas
PMII hari ini, tetapi prediksi ini lahir dari analisa atas seluruh fenomena
yang sedang terjadi di PMII khususnya maupun dari bangsa Indonesia secara
keseluruhan. Dalam era kapitalisme internasional, dengan “one world” dan
konsumerisme sebagai barang dagangannya, serta lompatan teknologi informasi
akan menjadikan angkatan pendidikan tinggi
Indonesia lebih terbetot menjadi sekrup-sekrup globalisasi yang
mengakibatkan perubahan orientasi dan paradigma masyarakat (PMII di dalamnya)
lebih individual, economic oriented,
munculnya tribalisme (semangat
kesukuan), regionalisme, dan avonturirisme yang dipastikan akan
menggerus PMII dalam kondisi ketidakmampuan beradaptasi dengan perubahan zaman
yang cepat dan radik tersebut.
Post a Comment