Terenyuh ketika di hadapkan dengan kondisi bangsa ini yang sedang sakit, dan yang lain menikmati kebahagiaan di atas penderitaan yang lainya.
Banyak yang tak tau diri, pemuda bangga dengan foya foya, hidup pura pura dan penuh dengan tipu daya. Hanya mengharapkan janji pendidikan yang mensejahterakan, nyatanya kehidupan tak seindah bayangan di bangku kuliah.
Mereka adalah pemuda yang bingung, pemuda yang kehilangan arah, bahkan dengan dirinya sendiri mereka tidak paham.
Mereka seharusnya berterimakasih pada tuhan, mereka tau seharusnya meluapkan rasa syukur itu bagaimana. Seharusnya mereka tau cara belajar pada sejarah. Seharusnya tau jerih payah orang tua untuk membahagiakan mereka.

Tapi, mereka sedang sakit, sakit psikisnya, sakit batinnya. Mereka menciptakan dunianya sendiri, mereka membuat kehidupan terkotak kotak, mereka lupa kalau mereka bagian dari masyarakat, mereka lupa kalau bangsanya sedang sakit, mereka lupa kalau hari ini kita masih hidup dalam penjajahan dan perbudakan

Ya Tuhan, yang maha agung, sekiranya ada kesempatan kami untuk bertaubat, ampunilah kami, ihdinashirotolmusytaqim, kembalikan jati diri kami, pupuk lah kepercayaan kami.
Kami yakin, bangsa kami adalah bangsa yang Engkau ridhoi, bangsa kami besar Tuhan, kami ingin hidup secara damai dalam memujimu, kami ingin keadilan untuk menegakan ketaatan, kami ingin kekuatan untuk menebus segala kesakitan, kami ingin jadi bangsa yang banyak syukur, yang bersikapnya adalah kecintaannya padaMu Tuhan.

Segerombolan anjing itu menyerang
Menyergap paksa serigala salju
Dengan sengit serigala melawan
Anjing pun masih dalam posisi menggempur

Andai saja para anjing tau, pertarungan mereka fana. Anjing anjing bertarung untuk mengalahkan bangsanya sendiri.
Mereka membunuh kemerdekaan sekawananya
Hanya karena latar belakang kebodohan dan ketidak mampuan nya menjadi diri sendiri

Inilah gambaran asing memperlakukan bangsa kita.
Kita jadi anjing apa jadi serigala?

Unknown

Beberapa hari yang lalu salah tiga kampus di kota Malang melakukan ritual rutin melabeli manusia menjadi sarjana, dengan harapan manusia ini mampu memberikan kontribusi pada kemajuan bangsa ini, ribuan manusia ini di pestakan dengan seremonial, genggap gempita, riuh dan ramai.
Wajah bahagia tersandar pada para wisudawan dan keluarganya, rasa bangga dan penuh dengan kesyukuran. Entah apa yang ada di benak para manusia ini, satu hari itu mungkin mereka bahagia karena melewati proses yang katanya berat, hari berikutnya mereka kembali merengkuh kebingungan, ada yang tersadar bahwa jerih perih mereka ada hasilnya, ada yang merasa proses selama ini sia-sia.
Banyak di antara manusia ini bingung dengan dunia nyata, tak seindah impian yang di bangun universitas, janji janji manis kehidupan menguap begitu saja, yang ada hanya kebingungan kebingungan yang ambiguitas, tuntutan sosial, tuntutan usia, dan tuntutan calon mertua menindas dengan paksa.
Bagi yang punya biaya mereka memilih untuk bertahan di kota ini dengan melanjutkan studi sebagai hiburan, yang belum berani pulang memilih mencari pekerjaan hanya sekedar bertahan hidup di kota ini, tapi juga masih ada beberapa manusia terpilih, mereka yang bekerja sebelum lulus, mereka yang punya usaha, mereka yang melanjutkan studi dengan beasiswa, dan mereka yang menikah dengan modal janji tuhan.
Fenomena ini bukan gambaran matang, paling tidak ini adalah kondisi manusia hari ini.
Masih hangat dalam ingatan penulis, tentang banyak pilihan dan paksaan yang ada, penulis dengan bodohnya memilih pekerjaan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan jurusan yang di tempuh saat kuliah dulu, karena sekali lagi hidup bukan untuk menuruti gengsi dan suara sumbang sosial.
Menjadi apa adalah harapan setiap manusia, menjadi apapun yang di kehendaki tuhan dan bermanfaat untuk orang lain adalah hal yang baik.
Yang penting dalam kehidupan kita masih ada rasa cinta pada sesama, masih ada kepekaan sosial, kepedulian pada bangsa ini, kepedulian kepada agama ini, jauh lebih penting dari pada menghadapi ketakutan karena belum ada makanan untuk esok hari.
Sarjana pengangguran bukan manusia nista, tidak pernah ingin menjadi seperti itu, mereka ingin bahagia, mereka ingin di anggap sebagai manusia. Tapi kondisi sosial lah yang menciptakan mereka menjadi marginal, universitas hanya memberikan janji dan mimpi, selebihnya manusia nya sendiri juga harus sadar diri, bagaimana harus bersikap sebagai manusia.

Siapa se yang tidak pernah marah? Rasanya hampir tidak ada seorangpun yang tidak pernah marah di dunia ini, karena marah adalah ekspresi, marah adalah bahasa seseorang ketika menyampaikan apa yang ada di benaknya dengan penuh emosional.

Unknown

Sudah hampir satu minggu ini saya di pindah tugaskan di kota mojokerto, beberapa hal baru mengenai adaptasi sudah hampir rampung, mulai pengenalan wilayah, jalan, nama tempat, termasuk dimana tempat beli makan dan minuman pakai es tentunya.
Ada banyak hal baru yang saya temui sepanjang jalan ataupun tempat tempat yang saya kunjungi, keunikan budaya, kehidupan sosial dan sejenisnya.
Satu hal yang menarik, disepanjang jalan kampung dan kecamatan akan kita temui banyak pohon mangga, mungkin ini salah satu kota dengan pohon mangga terbanyak, atau saya saja yang sebenarnya kurang paham kota lain yang ada mangganya sebanyak kota ini.
Saat ini sedang musim dimana mangga mulai berbuah dan sering jatuh di jalan, terbesit kenangan akan kampung halaman jauh disana, hahaha dimana masa kecil sering saya habiskan untuk bermain di perkebunan mangga yang luas, dan sekarang sudah di tebang habis karena keserakahan manusia, berganti dengan tanaman jati produksi.
Berbeda dengan disini sepanjang jalan banyak kita temui pohon mangga besar, jalanan menjadi teduh, selain itu juga menghasilkan buah yang enak dan mempunyai nilai ekonomi tinggi.
Mengaca dari hal ini seharusnya dinas terkait di kota manapun mempertimbangkan untuk menanam tanaman produktif di sepanjang jalan, bukan hanya tanaman teduh, tanaman buah yang menyejukkan dan memberikan manfaat ekonomis untuk masyarakat.
Bayangkan berapa panjang jalan di indonesia, jika semua ditanami tanaman produktif tentunya akan sangat menguntungkan, untuk ekonomi lokal maupun nasional, disamping sebagai penyuplai oksigen dan memberikan keteduhan bagi pengguna jalan.
Apresiasi untuk pemerintah mojokerto kota dan kabupaten yang masih mempertahankan mangga di kota ini, semoga kedepannya tanaman produktif di utamakan untuk ditanam di pinggir jalan atau pekarangan rumah warga

Beberapa hari ini kehidupan terasa sangat berbeda, lingkungan yang baru dan hampir semua baru. Tapi bukan itu yang membuat saya merasa berbeda, itu sudah biasa.
Di kota ini setiap pagi terasa berkabut, apalagi di jalan raya poros nasional, sebelumnya saya mengira ini adalah kabut seperti biasa yang saya temui di malang, bukan, ini adalah polusi udara, dengan kadar racun mungkin tinggi, saking dekatnya menghalangi jarak pandang normal, belum lagi adalah baru busuk yang menyengat disekitar daerah industrial, luar biasa sekali.
Ini lah resiko yang harus dibayar mahal untuk kehidupan di bumi, memang benar pabrik pabrik itu menyerap tenaga kerja yang tidak sedikit, tetapi dampaknya adalah semua kehidupan di bumi, walau tak terasa karena biasa, suatu saat nanti korban pastilah banyak, jadi jangan salah kalau manusia modern sistem imunitas nya semakin lemah. Bukan karena orangnya, tapi melainkan kondisi lingkungan yang memaksa begitu.

Salam untuk kota mojokerto