Guidelines “Riset dan Advokasi Minoritas II”

By: Tim Interseksi
Penjelasan konsep Minoritisasi:


RUANG LINGKUP PENELITIAN DAN MASALAH YANG AKAN DITELITI


Untuk penelitian lapangan, penelitian ini akan difokuskan pada upaya untuk memeriksa tiga persoalan besar yang nanti akan diterjemahkan lebih rinci dalam rancangan penelitian (research design):

Pertama, apa saja faktor pendorong (driving forces) berlangsungnya minoritisasi komunitas-komunitas lokal di Indonesia dari luar dan dari dalam.
Kedua, bagaimana praktek reformulasi politik identitas komunitas-komunitas lokal dalam konteks perjumpaannya (encounter) baik dengan negara, agama resmi, maupun dengan arus modal internasional.
Ketiga, bagaimana proses pembentukan kebijakan hukum atas komunitas minoritas baik di level negara atau pemerintah setempat, apa saja jenis kebijakan-kebijakan hukum yang telah dikeluarkan, bagaimana kebijakan hukum itu bekerja di lapangan, bagaimana dampak terhadap minoritisasi komunitas-komunitas minoritas, apa tanggapan dan responsi kelompok minoritas terhadap kebijakan hukum tersebut, dan pada akhirnya apakah perlu ketetapan hukum yang lebih adil dan memproteksi hak-hak minoritas.

PROSEDUR KOLEKSI DATA

Menurut John W. Creswell (1994), pengumpulan data melibatkan beberapa tahap (a) menetapkan batasan-batasan (boundaries) dalam riset, (b) mengumpulkan informasi melalui observasi, wawancara, dokumen, dan materi visual, dan (c) memapankan  prosedur merekam informasi. Sementara itu, terdapat  empat parameter dalam koleksi data: Pertama, setting (di mana lokus riset dilakukan, Kedua, aktor (orang yang akan diobservasi atau diwawancarai), Ketiga, peristiwa (aktor diwawancarai mengenai apa), Keempat, proses (proses peristiwa yang dilakukan oleh aktor di dalam setting).           

Klarifikasi Konsep Minoritisasi
            Titik tekan (stressing point) dalam riset ini adalah pada proses minoritisasi atau marjinalisasi dari kelompok-kelompok yang diteliti. Secara sederhana, konsep minoritisasi (minoritization) yang operasional di sini mengandung arti terjadinya proses-proses atau ”proyek” yang membuat kelompok-kelompok yang diteliti menjadi semakin terpinggirkan atau semakin terkucilkan sebagai suatu entitas kelompok yang disebut minoritas, dan juga berlangsungnya proses pembentukan, reformulasi dan dan negosiasi secara sinambung tentang identitas, batasan etnik dan sebagainya.
Menurut Antigoni Papanikolaou (2003) bahwa the most useful and appropriate term to characterise the process through which minority identity/identities, ethnic boundaries etc. are constantly formed, reformed and negotiated is the concept of “minoritization”. Sementara Cowan, dalam kertas kerjanya “the making of a Macedonian minority in Greece” menggunakan istilah ini dalam perdebatan antropologis mengenai identitas minoritas dan mendefenisikannya sbb:
“The way in which changes in the wider political framework can give rise to the new social groupings, as well as recast the meanings and boundaries of established ones, invites attention to ‘minoritization’. This is a process –which may also be a project- by which the identities of a diverse population and the meanings of its cultural practices are reformulated to fit within the framework of the moral, conceptual and legal category of minority.”

            Bentuk-bentuk minoritisasi yang umum terjadi adalah penolakan atau pengabaian kaum mayoritas terhadap budaya (identitas) kelompok minoritas. Dalam manifestasinya yang lebih jauh, adalah dapat terjelma dalam bentuk dominasi, diskriminasi dan hegemoni. Bentuk-bentuk minoritisasi dalam skala makro, yang umum diketahui misalnya eksistensi bangsa Moro di Pilifina, kaum keturunan Turki di Jerman, dll. Hal-hal inilah yang akan dieksplor oleh peneliti untuk konteks Indonesia dengan mengambil empat subjek penelitian melalui prosedur koleksi data yang sudah disebutkan di atas.    

Dalam penelitian ini, tiga wilayah dipilih sebagai tempat penelitian. Secara garis besar tiga tempat ini merupakan daerah yang relatif jauh dari pusat kota (remote area). Secara kultural tiga wilayah ini dapat disebut sebagai “komunitas lokal”. Tradisi, akar budaya dan seluruh medan pergulatan yang dilakukan oleh komunitas di tiga wilayah ini semuanya telah bersentuhan dengan dunia modern, namun secara bersama-sama mereka masih menjadikan tradisi lokalitas mereka sebagai bagian dari identitas kolektif.

Draft Guide lines Penelusuran Data Lapangan (Riset Hak Minoritas tahun II)  
Dibawah ini tersedia petunjuk menelusuri data-data lapangan. Guidelines ini bukan saja daftar pertanyaan wawancara, melainkan juga petunjuk terpadu bagi peneliti  untuk  memasuki dunia orang-orang/ tokoh yang diteliti, arah yang memberi petunjuk bagaimana menjabarkan secara operasional disain penelitian ini untuk memperoleh gambaran holistik mengenai suatu subjek penelitian. 
Perlu dicamkan oleh peneliti bahwa guidelines ini hanyalah panduan yang harus diperlakukan secara proporsional. Jika dalam lokus riset, guidelines kurang atau tidak operasional, atau terjadi dinamika yang berbeda dengan rancangan ini, maka peneliti harus cermat untuk menyesuaikan data yang dibutuhkan sesuai dengan skope riset yang disebut di atas.
            Tahapan awal yang harus diusahakan oleh peneliti lapangan adalah mengumpulkan informasi dasar tentang setiap lokasi, yang tidak saja penting untuk mengetahui gambaran umum mengenai lokasi, tetapi juga memberikan setting pendahuluan sebelum memasuki dunia dari kelompok minoritas yang diteliti.

I. Melukiskan deskripsi wilayah
  1. Lingkungan fisik: kondisi jalan raya, rumah penduduk, fasilitas publik dan beberapa kondisi fisik yang ddapat diidentifikasi sebagai ciri spesifik dari lingkungan setempat, dan lebih spesifik lagi kondisi fisik ini memiliki hubungan langsung dengan proses minoritisasi.
  2. Peta Umum lokasi (dapat ditelusuri di kantor desa, atau kantor kecamatan). Peta lokasi wajib digambar lebih detil oleh peneliti.
  3. Jumlah penduduk komunitas lokal
  4. Informasi mengenai kelahiran dan kematian (fertilitas) komunitas lokal
  5. Jenis-jenis Mata Pencaharian Utama
  6. Tingkat Pendidikan
  7. Tingkat/kualitas sanitasi, gizi keluarga
  8. Jumlah sekolah
  9. jumlah tempat peribadatan agama resmi
  10. Sistem keorganisasian komunitas lokal
  11. Tingkat migrasi penduduk
  12. Jumlah perusahaan yang ada di sekitar komunitas lokal (jika ada)

Panduan Analisis:
Dengan melihat deskripsi wilayah secara seksama dan detil, peneliti dapat menggambarkan gambaran umum masyarakat yang diteliti; serta menghubungkannya dengan makna “keterbelakangan, kemiskinan, dan kemajuan”.

II. Deskripsi Kehidupan Aktual komunitas lokal; Parmalim/ Tengger/ Tolotan:
1.      Cara berpakaian (motif pakaian, dan sistem produksi pakaian khas mereka)
2.      Bentuk/ motif rumah adat (tempat tempat tinggal komunitas lokal)
3.      Relasi gender (hubungan laki-laki –perempuan) menurut konsep adat dan aplikasi kongkretnya dalam relasi sosial
4.      Bentuk-bentuk upacara dan sistem ritual yang masih dipertahankan
5.      Makanan khas komunitas lokal dan sistem pengolahannya
6.      pandangan-pandangan hidup (nilai-nilai filosofis masyarakat adat) yang berhubungan dengan sistem berpakaian, rumah, makanan dan upacara-upacara.
7.      Sikap hidup kaum muda di komunitas lokal (sejauhmana ia menjadi bagian dari individu yang tunduk terhadap kultur dominan orang tua mereka, dan sejauhmana ia sendiri bisa membangun subkultur tersendiri (penting untuk memahami subkultur kaum muda dihubungkan dengan penetrasi budaya luar, dan apresiasi kaum muda terhadap penetrasi itu; adanya budaya pop dll). 


INFORMAN DARI APARATUS NEGARA, AGAMAWAN, ELITE LOKAL

III.  Investigasi terhadap tokoh-tokoh birokrasi setempat (Lurah, Camat, Kades, Depag, Ulama) Dalam mempersepsikan komunitas lokal.
1.      Pandangan (konstruksi) mereka terhadap kelompok lokal (Termasuk perbedaan persepsi diantara aparatus negara)?
2.      Tindakan/ kebijakan (pemerintah) yang sudah pernah dilakukan terhadap  komunitas lokal dan tujuan dari masing-masing kebijakan itu.
1.      Ekonomi (misalnya tentang intensifikasi pertanian)
2.      Anggaran (APBD) yang diperuntukkan untuk kelompok minoritas (Misalnya KAT, Pariwisata, dll)
3.      Tanah (misalnya tentang sertifikasi/administrasi tanah, atau isu reclaiming—kalau ada)
4.      hutan (Perhutani, Inhutani)
5.      budaya (praktek-praktek kesenian dan ritual kebudayaan)
6.      pendidikan (misalnya tentang wajib belajar, pengadaan fasilitas pendidikan formal di lokasi)
7.      agama (standarisasi ajaran dan ritual, petugas penyuluhan agama)
8.      kesehatan (keluarga Berencana, sanitasi lingkungan, pengadaan dokter)
9.      politik (pembentukan wilayah administasi seperti desa, legalisasi kewargaan melalui KTP, penanaman ideologi politik melalui penyuluhan, bentuk-bentuk persuasi atau mobilisasi, kalau ada, dalam pemilu, pilkades, pilkada, dst)

3.      Telusuri kebijakan-kebijakan ini melalui surat keputusan resmi, atau perda-perdanya yang masih berlaku, jumlah anggaran dana yang disediakan oleh pemerintah untuk mengoperasionalkan kebijakan ini, bagaimana anggaran itu disalurkan, seberapa transparan anggaran itu diberitahukan kepada publik.   
4.      Evaluasi aparatur negara terhadap kebijakan yang sudah dibuat terhadap komunitas lokal
5.      Instrumen kekuasaan yang digunakan untuk mendukung kebijakan
6.      Metode/cara yang digunakan untuk sosialisasi kebijakan
7.      Metode yang diambil negara bila muncul resistensi terhadap kebijakan


IV. Investigasi terhadap kelompok pemuka AGAMA RESMI (aktor: Ulama, kiai, muballigh, birokrat yang relevan, dll)
1.      Konstruksi keagamaan (Teologi) pemuka agama/agamawan tentang masyarakat yang diteliti.
2.      Implikasi dari keharusan memiliki teologi sebagaimana nomer 1 (relasi yang pernah dibangun, praktik atau sikap hidup yang pernah disampaikan kepada komunitas lokal, termasuk sejarah konflik informan dengan komunitas lokal)
3.      Hubungan informan dengan negara (telusuri lebih jauh jika informan merupakan salah satu bagian dari aparatus yang terlibat dalam proyek negara di bidang keagamaan)
4.       Testimoni (kesaksian diri) pemuka agama terhadap komunitas lokal dan bagaimana komunitas lokal itu sendiri berhadapan dengan kelompok-kelompok lain, khususnya terhadap informan.
5.      Jenis-jenis proyek yang dibuat oleh organisasi keagamaan berserta tujuannya: NU, Muhammadiyah, gereja, dll yang melibatkan informan (baik yang dilakukan dengan bekerjasama dengan negara maupun tidak). Penting juga diketahui jumlah anggaran yang dibuat untuk melaksanakan proyek ini, aktor pelaksana proyek, dan bagaimana sistem pengoperasiannya.

V.  Investigasi tentang masuknya MODAL EKONOMI dan implikasinya terhadap komunitas lokal (aktor: Pengusaha, pemuka adat, birokrat, dll yang relevan)
  1. Sejarah masuknya modal di komunitas lokal (bila perlu jumlah nominal modal yang dibawa oleh masing-masing kegiatan) di bidang:
a. Ekonomi (misalnya masuknya perusahaan, proyek negara untuk pengentasan kemiskinan, intensifikasi pertanian/ revolusi hijau, dll)
b. Pariwisata (berhubungan dengan komodifikasi budaya lokal)
c. Agama (proyek DEPAG, GEREJA, dan agama-agama resmi lain, yang berhubungan dengan pembangunan peribadatan, dan agamaisasi secara umum).
d. Pendidikan (proyek pembangunan sekolah, pengentasan buta huruf, dll)
  1. Keberadaan modal-modal sebagaimana di atas pada saat ini (apakah mengalami perubahan, atau tidak, jika berubah bagaimana dan siapa yang memegang kendali)
  2. Sikap pemuka adat/tokoh setempat tentang masuknya modal sebagaimana di atas terutama dalam kaitannya dengan kemurnian identitas kelompok minoritas
  3. Konstruksi Pemda setempat tentang masuknya modal yang berhubungan dengan industrialisasi/ pembangunan tempat-tempat industri (nasional dan internasional)
  4. Keterlibatan kelompok komunitas sebagai tenaga kerja di perusahaan-perusahaan/ pusat industri yang sudah dibangun di sekitar masyarakat lokal.
  5. Keberadaan anggaran negara (APBD) untuk mendukung aktifitas sebagaimana nomer 1, dia atas.
  6. Konflik-konflik yang muncul karena keberadaan modal sebagaimana poin 1 (sejarah, tokoh yang terlibat, dll) di:
a. Bidang ekomoni (konflik tanah, perebutan lahan, sertifikasi, masalah pupuk,  kerusakan lingkungan akibat indistrlialisasi)
b. Konflik penolakan terhadap proyek pariwisata
             c. Konflik antara komunitas lokal terhadap kelompok agamawan, dll.
            d. konflik menolak wajib belajar.
  1. Instrumen kekuasaan yang digunakan untuk intervensi modal upaya untuk mengatasi konflik/ penolakan dari masyarakat lokal


INFORMAN DARI KOMUNITAS LOKAL SENDIRI

VI. Hubungan antara agama lokal dengan agama-agama Besar di wilayah lokasi
1.      Pandangan masyarakat lokal memandang diri mereka sendiri berhadapan dengan kelompok lain (agama-agama formal, negara) (dapat ditelusuri melalui wawancara, cerita/narasi lokal dalam bentuk legenda rakyat, mitos, dll)
2.      Proses migrasi agama/keyakinan  dari tradisi/agama setempat (lokal) ke agama formal (sejarah, faktor-faktor pendorong, aktor elite lokal yang terlibat,dll), dan ketika masyarakat lokal sudah menjadi bagian dari umat agama formal, bagaimana masyarakat lokal memandang agama baru mereka (agama formal) dihubungkan dengan tradisi/ agama lokal setempat?.
3.      Intervensi negara;dominasi, hegemoni dan segala tekanan dari cerita para informan.
4.      Bagaimana komunitas setempat memandang agama lain? (cerita lokal mengenai keberadaan agama lain, pandangan tokoh, masyarakat setempat, dll)


    

Catatan: Peneliti hukum dan peneliti lapangan (terutama di Cianjur dan Tengger) secara intensif mengadakan komunikasi untuk  membangun penjelasan yang memadai mengenai hukum yang melanggengkan atau mempengaruhi minoritisasi dalam komunitas yang diteliti. (lihat kembali penjelasan Hedy Ahimsa di Notulasi hasil workshop Ariyanti 7-9 Agustus 2006). 


VII. PERTANYAAN ANALITIS UNTUK PANDUAN FGD  
I.                    Problem-problem apa saja yang saat ini mucul dan dihadapi sebagai masalah bersama oleh komunitas lokal? (Fasilitator membuat DIM; Daftar inventarisasi masalah, dan mengarahkan forum untuk memperbincangkan lebih jauh yang berhubungan dengan intervensi modal)
II.                 Rekomendasi apa saja yang bisa diberikan forum untuk membuat aksi bersama mengatasi masalah yang mereka pilih yang penting untuk diselesaikan (PENTING BAGI FASILITATOR UNTUK MEMANDU MEMBUAT RENCANA AKSI BERSAMA)
Catatan: FGD melibatkan simpul-simpul komunitas minoritas (tokoh masyarakat, tokoh adat, kelompok pemuda, kelompok LSM yang terlibat di situ, dll). Peneliti bertindak sebagai fasilitator untuk mengeksplorasi data-data yang dibutuhkan dari partisipan. Sebaiknya proses FGD diurekam dan ditranskrip.
Selain itu, pembicaraan informal juga dapat dilakukan secara intensif di warung-warung, kedai, atau tempat-tempat nongkrong warga.

(Bagian ini dapat digunakan jika memungkinkan sesuai dengan dinamika di lapangan)
F.2. DISCOURSE(s) AND COUNTER-DISCOURSE(s)
1. Wacana yang mereka kembangkan (sebagai counter discourse) tentang kebijakan-kebijakan negara dalam bidang-bidang:
                                                        i.      Ekonomi (misalnya tentang intensifikasi pertanian)
                                                      ii.      Tanah (misalnya tentang sertifikasi/administrasi tanah, atau isu reclaiming—kalau ada)
                                                    iii.      hutan (Perhutani, Inhutani)
                                                    iv.      budaya (praktek-praktek kesenian dan ritual kebudayaan)
                                                      v.      pendidikan (misalnya tentang wajib belajar, pengadaan fasilitas pendidikan formal di lokasi)
                                                    vi.      agama (standarisasi ajaran dan ritual, petugas penyuluhan agama)
                                                  vii.      kesehatan (keluarga Berencana, sanitasi lingkungan, pengadaan dokter)
                                                viii.      politik (pembentukan wilayah administasi seperti desa, legalisasi kewargaan melalui KTP, penanaman ideologi politik melalui penyuluhan, bentuk-bentuk persuasi atau mobilisasi, kalau ada, dalam pemilu, pilkades, pilkada, dst)

2.  Wacana yang berkembang tentang pilihan eksistensialis mereka berhadapan dengan wacana besar agama-agama formal.
3.  Apakah ada praktek semantik yang mengindikasikan proses negosiasi antara wacana dominan tersebut dengan praktek wacana hidup mereka sehari-hari?

Labels: | edit post
0 Responses

Post a Comment