BAB I
PENDAHULUAN

Allah SWT telah menciptakan manusia dan menjadikannya sebagai sebaik-baiknya makhluk dengan memberikan akal yang mampu membedakan baik dan buruk. Allah SWT telah ciptakan dalam diri manusia potensi kehidupan (thaqatul hayawiyah) berupa kebutuhan naluri (gharaa’iz) yang terdiri dari naluri beragama (gharizatut tadayyun), naluri mempertahankan diri (gharizatul baqa) serta naluri melangsungkan keturunan (gharizatun nau').  Di samping itu Allah SWT juga telah menciptakan potensi kehidupan lainnya berupa kebutuhan jasmani  (Hajatul Adlawiyah) yang penampakannya berupa berupa rasa lapar, rasa haus, rasa kantuk, bernafas, keinginan buang hajat dan lain-lain. Berdasarkan potensi kehidupan yang dimilikinya inilah manusia menjalani kehidupannya di dunia.
Dengan adanya potensi kehidupan berupa kebutuhan jasmani dan kebutuhan naluri inilah manusia menjalani kehidupannya sehari-hari. Atau dengan kata lain apapun yang dilakukan manusia selama hidup didunia adalah dalam rangka memenuhi seluruh kebutuhan mereka tersebut. Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut manusia akan menggunakan berbagai benda dan sarana yang dapat dimanfaatkan.
Agar seluruh pemenuhan kebutuhan tersebut berjalan dengan baik dan menghasilkan ketenangan, ketenteraman dan kebahagiaan, maka manusia harus terlebih dahulu mengetahui baik atau buruk, serta apakah mendatangkan manfaat atau memberikan mudharat baik di dunia maupun di akhirat. Untuk itu manusia harus terlebih dahulu mengetahui siapa yang berhak mengeluarkan status hukum dan dan pembuat Hujum itu sendiri dilihat dari sisi baik atau buruk terhadap perbuatan manusia.







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Al-hakim (pembuat hukum)
a)   pengertian
Bila ditinjau dari segi bahasa, Hakim mempunyai dua arti yaitu:
وَاضِعُ الْأَحْكَامِ وَمُثْبِتُهَا وَ مُنْشِئُهَا وَ مَصْدَ رُهَا
                  Artinya : “ Pembuat hukum, yang menetapkan, memunculkan sumber hokum”.
            اَلَّذِيْ يُرْدِكُ الْأَحْكَامِ وَ يُظْهِرُهَا وَ يُعْرِفُهَا وَيُكْشِفُ عَنْهَا
Artinya :“ yang menemukan Hukum, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan”.
Hakim termasuk persoalan yang cukup penting dalam Ushul fiqh, sebab berkaitan dengan pembuat hukum dalam syari’at Islam, atau pembentuk hukum syara’, yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya. Dalam ilmu Ushul fiqh, hakim disebut pula dengan syar’i. Dari pengertian pertama tentang hakim diatas, dapat diketahui bahwa hakim adalah Allah SWT. Sebagai pembuat hokum dan satu-satunya sumber hkum yang dititahkan kepada seluruh mukallaf. Karena didalam agama islam tidak ada syari’at kecuali dari Allah SWT, baik yang berkaitan dengan Hukum-hukum taklif( wajibb, sunnah, haram, makruh, dan mubah), maupun yang berkaitan dengan hokum wadh’i(sebab, syarat, Halangan, sah, batal, fasid, azimah, dan rukhsah). Dan para ulama sepakat dengan hal ini. Maka Atas dasar yang  merupakan keharusan untuk menjadikan al-hakim atas perbuatan manusia serta atas sesuatu yang berkaitan dengannya dari sisi terpuji dan tercala adalah Allah Ta’ala, bukan manusia. Atau dengan kata lain syara’lah yang menetukan hukum, bukan akal. Ini dari prespektif dalil rasional (aqli) atas hasan dan qabih. Sedangkan dari sisi dalil syar’I, sesungguhnya syara' telah mengharuskan peng-hasanan dan peng-qabihan itu dengan mengikuti Rasul serta mencela hawa nafsu. Karena itu adalah termasuk hal yang qath'i secara syar’i, bahwa yang disebut dengan hasan adalah apa yang dihasankan oleh syara’ sedangkan qabih adalah apa yang diqabihkan oleh syara’. OIeh karena itu mukallaf wajib mengerjakan apa yang dipandang baik oleh akal dan meninggalkan apa yang dipandang buruk oIeh akal. AlIah akan memberikan pahala kepada para mukallaf yang berbuat baik berdasarkan kepada pendapatnya, sebagaimana AlIah memberi pahala berdasarkan apa yang diketahui mukallaf dengan perantaraan syara'.[1]
Sedangkan dari pengertian kedua tentang hakim diatas, para ulama’ Ushul fiqh membedakannya menjadi dua yaitu:
a)    Sebelum Nabi Muhammad SAW diangkat sebagai Rasul
Dalam hal ini para ulama menemukan banyak perbedaan pendapat terrkait tentang siapa yang menemukan? memperkenalkan ? dan menjelaskan hokum sebelum di utusnya Nabu Muhammad sebagai Rasul? Terdapat dua kelompok yang berbeda Pendapat yang mempermasalahkan adanya taklif sebelum datangnya Rasul. Pertama, kelompok ahlussunnah wal jama’ah yang menyatakan tidak ada taklif sebelum datangnya Rasul, karena jika hanya semata-mata dengan akal, manusia tidak mungkin dapat mengenal hukum Allah.
Kemudian yang kedua kelompok mu’tazilah berpendapat adanya taklif sebelum datangnya Rasul, karena akal manusia dapat menilai baik dan buruknya suatu perbuatan manusia atas penilaian itu, maka akal mendorong manusia untuk melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk. Hal ini berarti bahwa akal manusia dapat menyuruh manusia untuk berbuat atau tidak berbuat. Inilah yang dimaksud Taklif itu.[2]  Sehingga dikalangan Ulama Ushul fiqh dalam persoalan yang cukup rumit itu dikenal dengan istilah “At-tahsin wa al-taqbih”, yakni pernyataan bahwa sesuatu itu baik atau buruk.[3]
b)    Setelah diangkatnya Nabi Muhammad sebagai Rasul dan menyebarnya da’wah islam.
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa al-hakim adalah syari’at yang turun dari Allah SWT. Yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Didalam Al-qur’an  strat al-an’am ayat 57 yang berbunyi:
ÿÈbÎ) ãNõ3ßÛø9$# žwÎ) ¬!
Artinya : "Sesungguhnya menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah”
 Apa yang telah dihalalkan oleh Allah maka hukumnya adalah halal, yang didalamnya terdapat kemaslahatan bagi manusia. Begitu juga dengan apa yang diharamkan-nya maka hukumnyapun menjadi haram. Karena didalamnya terdapat kemudaratan atau kerusakan bagi manusia.
Dalam hal ini para ulama terbagi menjadi tiga :
1.    al-asya’riyah
Yaitu pengikut Abu Hasan al-Asy’ary : akal tidak mungkin mengetahui hukum-hukum allah atas perbuatan mukallaf kecuali dengan perantaraan para rosul dan kitab-kitab allah. Karena masing-masing akal akan berbeda dalam memahami perbuatan tersebut. Sebagian menganggap baik dan sebagian menganggap buruk, dan bahkan satu orang saja bisa berbeda dalam memahami suatu perbuatan. Seringkali nafsu manusia mengalahkan akalnya, sehingga anggapan baik dan baik itu bedasarkan hawa nafsu. Oleh karena itu tidak mungkin dikatan , “Apa yang menurut akal baik maka baik menurut allah, dituntut oleh Allah untuk dikerjakan dan pelakunya akan diberi pahala dari allah. Dan apa yang menurut akal buruk  mkan buruk menurut allah, dituntut untuk ditinggalkan, dan pelakunya akan disiksa oleh allah.”
Menurut pendapat ini, perbuatan mukallaf yang baik adalah apa yang telah ditunjikan oleh syar’i bahwa perbutan itu baik secara mubah maupun dituntut untuk dikerjakan. Dan perbuatan buruk adalah apa apa yang ditujukan oleh syar’i bahwa perbuatan itu buruk dengan tuntutan untuk ditinggalkan. Baik, yang bukan menurut akal baik dan buruk, bukan yang menurut akal buruk, ukuran baik dan buruk menurut pendapat ini adalah syara’, bukan akal. Mazhab ini disepakati dan sesuai dengan pendapat para ulama akhlaq, yakni ukuran baik dan buruk adalah undang-undang. Artinya, apa yag diwajibkan undang-undang atau diperbolehkan berarti baik, dan yang dilarang adalah buruk.
Bedasarkan mazhab ini, seseorang tidak mungkin untuk diperitah melakukan atau meninggalkan sesuatu kecuali telah mendengar dakwah dan syari’at Allah Swt.
Mazhab ini dikuatkan   oleh firman Allah Swt :
$tBur $¨Zä. tûüÎ/ÉjyèãB 4Ó®Lym y]yèö6tR Zwqßu ÇÊÎÈ  
“Dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”



2.    Al- Mu’tazilah
Pengikut Washil bin Atho’. Menurut mazhab ini, hukum-hukum Allah tidak mungkin diketahui secara langsung, tanpa prantaraan para rosul dan kitab-kitab allah. Karena perbuatan manusia itu memiliki sifat yang dapat memberikan pengaruh manfaat dan bahaya, sehingga akal dapat menggunakan dasar sifat-sifat pebuatan itu. Apa yang dihasilakan olah kal bedasarkan manfaat atau bahaya itu dihukumi dengan baik atau buruk. Dan hukam allah atas perbuatan hamba itu tergantung pada anggapan akal, bermanfaat atau berbahaya. Allah Swt menuntut orang-orang mukallaf untuk melaksanakan perbuatan yang bermanfaat menurut akal mereka. Apa yang dianggap baik menurut akal maka dituntut oleh allah dan pelakunya akan diberi pahala, sedangkan yang dianggap buruk oleh akal maka dituntut oleh Allah untuk ditinggalkan dan pelakunya akan disiksa.
Dasar pada mazab ini. “Perbuatan baiak adalah perbutan yang di anggap baik menurut akal karena ada manfaatnya. Sedangkan perbuatan jelek adalah perbuatan yang di anggap jelek oleh akal karena ada bahayanya.” Adapun hukum-hukum allah atas perbuatan orang mukallaf ukurannya adalah menurut akal mereka sendiri; baik atau jelek. Pendapat ini adalah sesuai dengan pendapat mayoritas para ulama akhlaq bahwa ukuran baik dan jelek adalah akibat suatu perbuatan, manfaat atau bahaya yang sampai kepada kebanyakan umat manusia.
Bedasarkan pendapat ini, orang yang belum sampainya dakwah dan syri’at para rosul, maka akan dituntu oleh Allah atas perbuatan baik yang ditunjukan oleh akal mereka dan akan di beri pahaa oleh Allah atas perbuatan itu, juga dituntu sebab meninggalkan perbuatan jelek yang ditunjukan oleh akal mereka dan akan disiksa jika melakukan perbuatan itu. Pengikut mazhab ini menguatkan, tidak ada stu akalpun yang dapat membantah bahwa setiap perbuatan memiliki ciri-ciri khusus dan memiliki akibat yang menjadikan perbuatan itu baik atau jelek.
Dan diantara hal-hal yang dpat dijangkau akal adalah bahwa bersyukur atas nikmat, sedekah, memenuhi janji, dan menjaga kepercayaan adalah perbuatan baik dan lawannya adalah perbuatan jelek. Demikian pula tidak ada satu akalpun yang mampu mengingkari bahwa Allah tidak menetapkan hukum atas perbuatan mukallaf kecuali bedasarkan kemanfaatan atau bahaya.

3.    Al-Matrudiyah
Pengikut Abu Manshur Al-Matrudi, pendapat ini bersifat moderat dan netral, dan menurut pendapat saya, mazhab inilah yang unggul. Kesimpulannya, perbuatan orang-orang mukallaf memiliki ciri-ciri dan memiliki pengaruh pada baik dan buruknya perbuatan itu. Sedangkan akal, bedasarkan ciri-ciri dan pengaruh ini, akan mampu menghukumi bahwa perbuatan itu baik atau jelek. Apa yamg oleh akal sehat dianggap baik maka dihukumi baik, dan yang dianggap jelek maka dihukum jelek. Tetapi hukum-hukum Allah atas perbuatan mukallaf itu tidak boleh ditetapkan baik atau jelek menurut kemampuan akal kita. Karena meskipun akal sudah matang, kadang juga salah, karena sebagian perbuatan yang tidak jelas menurut akal maka tidak dapat ditetapkan di antara hukum-hukum Allah dan tidak ditetapkan diantara hukum yang mampu diterima akal. Oleh karena itu tidak ada jalan lain untuk mengetahui hukum-hukum allah kecuali melalui para rosul-Nya.
Mazhab ini selaras dengan pendapat al-mu’tazilah bahwa baik buruknya suatu perbuatan itu diukur dengan manfaat atau bahayanya. Tetapi berbeda pendapat bahwa hukum allah itu harus sesuai menurut akal dan apa yang baik menurut akal dituntut oleh allah utuk dikerjakan, dan apa yang  jelek menurut akal maka dituntut oleh allah untuk meninggalkannya.
Mazhab ini juga selaras dengan pendapat Al-Asy’ariyah bahwa hukum allah tidak dapat diketahui kecuali melalui perantaraan para rosul dan kitab-kitabnya. Tetapi berbeda pendapat dengan mereka bahwa baik dan jeleknya perbuatan bersifat syara’ bukan akal, dan perbuatan itu baik jika dituntut oleh allah untuk dikerjakan dan perbuatan itu jelek  jika dituntut oleh allah untuk ditinggalkan, karena hal ini jelas keliru. Bahwasanya pokok keutamaan itu bisa dijangkau karena ada manfaat, dan pokok kehinaan itu bisa dijangkau akal karena ada bahaya, meskipun tidak dijelaskan pada syara’.
Perbedaan pendapat ini tidak mempengaruhi sama sekali kecuali bagi orang-orang yang belum sampai kepada mereka syari’at rosul. Adpaun mereka yang telah sampai syari’at para rosul, maka ukuran suatu perbuatan baik dan jeleknya bagi mereka adalah syari’at, bukan yang dianggap sesuai dengan menurut akal mereka. Apa yang diperintahkan syari’ berarti baik, dituntut untuk dilaksanakan dan pelakunya diberi pahala. Apa yang dilarang syari’.[4]

B.  Tahsin Wa Taqbih (baik dan buruk)
Ulama’ ushul fiqh berbeda-beda dalam memberikan pengertian tentang Hasan dan Qabih, diantaranya:
·               Al-husnu adalah segala perbuatan yang di anggap sesuai dengan tabiat manusia, misalnya tentang tolong menolong orang yang sedang dalam kesusahan. Sedangkan Qabih adalah segala sesuatu yang tidak sesuai dengan tabiat manusia, misalnya menyakiti orang lain.
·         Al-husnu diartiakan sebagai sifat sempurna,misalnya kemuliaan dan pengetahuan. Sebaliknya Qabih  diartikan sebagai sifat jelek, misalnya kekurangan dalam diri orang seperti bodoh, kikir. Kedua pengertian tentang hasan dan qabih tersebut telah disepakati oleh para Ulama’ bahwa hal itu hanya bias dicapai oleh akal.
·           Al-husnu adalah sesuatu yang boleh dikerjakan oleh manusia, sedangkan qabih, merupakan segala perbuatan yang tidak boleh dikerjakan oleh manusia. Hal ini disepakati oleh para ulama’ dalam hal yang tidak bias dicapai oleh akal.
·         Al-husnu diartikan sebagai pekerjaan yang apabila dikerjakan akan mendapat pujian di dunia dan pahala dari Allah SWT, di akhirat. Sebaliknya Qabih adalah perbuatan yang akan mendapat cercaan dari manusia bila di kerjakan, seperti maksiat, mencuri, dan lain-lain.
Pengertian yang diperselisihkan oleh para ulama’ adalah nomor tiga dan empat, yaitu perkara mungkin atau tidaknya dicapai oleh akal.menurut Asy-ariayah, pengertian nomor tiga dan empat hanya bias di tentukan oleh Syara’ . namun pendapat ini di tentang oleh golongan Mu’tazilah yang menyatakan bahwa hasan dan sahih dapat di tentukan oleh akal. Tanpa memerlukan pemberitahuan dari Syara’ . menurut golongan mu’tazilah  sebagian yang baik atau yang buruk itu terletak pada zatnya, dan sebagian lainnya terdapat di antara manfaat, mudarat, baik dan buruk.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Di antara masalah yang sangat penting yang harus dijelaskan dalam kajian syari'at Islam, ialah mengetahui siapa yang berhak mengeluarkan hukum, yakni siapakah Sang Pembuat Hukum (Al-Hakim) itu.
Golongan Asy'ariyah berpendapat, bahwa sebelum datang syara' tidak diberi sesuatu hukum kepada perbuatan-perbuatan mukallaf. Golongan Mu'tazilah dan Asy'ariyah sependapat bahwa akal dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, yakni yang bersesuaian tabi'at: dipandang baik oleh akal dan yang tidak bersesuaian dengan tabi'at dipandang buruk oleh akal.
Titik perselisihan antara golongan Mu'tazilah dengan golongan Asy'ariyah ialah tentang apakah perbuatan itu menjadi tempat adanya pahala atau siksa, tergantung pada perbuatan, walaupun syara' belum menerangkannya, sedangkan golongan jumhur berpendapat, bahwa tidak disiksa dan tidak diberi pahala manusia sebelum datang syara' kendati akal bisa mengetahui baik buruknya sesuatu perbuatan. Seluruh kaum muslimin bersepakat, bahwa tidak ada hakim selain Allah.
Tolok ukur ini adalah hukum syara' yakni aturan-aturan Allah SWT yang dibawa oleh Rasulullah saw dan bukan akal dan hawa nafsu manusia. Sehingga apabila syara' menilai perbuatan tersebut terpuji (baik), maka itulah terpuji (baik) sedangkan apabila syara' menilai suatu perbuatan tercela (buruk) maka itulah tercela (buruk).  








DAFTAR PUSTAKA
Abdul wahab Khallaf, ilmu ushul fikih, jakarta: pustaka amanni 2003
Amir Syarifuddin, Ushul fiqh jilid 1, Jakarta: kencana 2009.
Rachmat syafe’I, ilmu ushul fiqih, Bandung: pustaka setia 2007.
http://www.cybermq.com/pustaka/detail/doa/123/


[1] http://www.cybermq.com/pustaka/detail/doa/123/
[2] Amir Syarifuddin, Ushul fiqh jilid 1, Jakarta: kencana 2009. Hal 414
[3] Rachmat syafe’I, ilmu ushul fiqih, Bandung: pustaka setia 2007. Hal 345
[4] Abdul wahab Khallaf, ilmu ushul fikih, jakarta: pustaka amanni 2003, hal.135
Labels: | edit post
5 Responses
  1. Unknown Says:

    ayatnya kok tidak muncul dengan jelas alias kota kotak?


  2. Unknown Says:

    karena font support tidak mendukung, ayat bisa search di qur'an masing2,,,,





Post a Comment