BIDANG EKSTERNAL
“Tatkala AS
masih mengangkat dirinya jadi “polisi dunia” dia selalu was-was, jangan sampai
orang salah jalan. Oleh sebab itu, perkembangan apapun dan di manapun, jangan
sampai ngelantur. Artinya, ngelantur menurut ukuran AS. Barang siapa yang sudah
ngelantur menurut ukuran AS, pastilah sesat dan tidak selamat jalannya, dan
pada gilirannya mengganggu tugas-tugas sang polisi”. (Mahbub Djunaidi)
Memang sengaja mengkutip pernyataan Sahabat
Mahbub tersebut. Kesengajaan ini bermaksud menyadarkan kita semua, akan obsesi
Amerika Serikat (AS) yang sejak dulu ingin menjadikan dirinya sebagai polisi
dunia (world police), bahkan bisa
jadi AS menginginkan menguasai seluruh dunia. Artinya, semua negara harus
tunduk dan patuh terhadap aturan dan perintahnya. Jika ada negara yang mbalelo (menentang) atas keinginan AS,
negara itu harus siap dibumi-hanguskan.
Pada awal abad ke-21 dan milenium ke-3,
pengaruh dan kekuatan AS tak tertandingi. Dengan produk domestik bruto sebesar
8 trilyun dollar AS, anggaran pertahanan sekitar 340 milyar, eskpor barang dan
jasa sebesar 560 milyar setiap tahunnya, AS sebagai kekuatan multidimensional
hadir di seluruh pelosok dunia. Transaksi keungan dunia yang berjumlah 3,5
trilyun dollar sehari sebagian besar berputar dan keluar-masuk AS. Kekuatan Wall
Street, Silicon
Valley, Hollywood melengkapi perangkat kekuatan yang memancar
dari kepresidenan di Gedung Putih dan Kongres di Washington DC.
Riset yang dilakukan perusahaan-perusahaan serta perguruan tinggi AS merajai
penelitian bisnis dan pengembangan teknologi. Puluhan ribu tenaga terampil
terbaik dari mancanegara bekerja di ratusan ribu usaha besar, menengah dan
kecil di AS. Dengan daya pikat ekonomi konsumen dan daya jangkau hiburan musik,
film, televisi dan internet yang demikian luas, masih perlukah AS menempatkan embassy-nya di luar negeri?
Justru karena AS demikian unggul dalam
percaturan internasional pada seperempat abad ke-21 ini, dua pemikir terkemuka,
Henry Kissinger dan Robert McNamara, merisaukan peran AS di masa mendatang. Akankah AS
menjadi pemimpin dunia dalam arti yang luhur, yakni mengajak bangsa-bangsa lain
untuk menggalang perdamaian dan kemakmuran dengan membagi-bagi berkah ilmu dan
teknologi yang diterimanya sebagai keniscayaan sejarah? Ataukah AS
akan menjadi kemaharajaan, dengan menghalau setiap calon pesaing yang tampil di
pentas dunia dengan mengandalkan kekuatan politik, ekonomi dan teknologi
militernya?
Karena luas dan derasnya segala sesuatu yang
serba Amerika hadir di seluruh pelosok dunia itu, Henry Kissinger mengupas peran
AS dalam bukunya Does America need a
Foreign Policy? (Simon & Schuster, 2001) yang diberi anak-judul “Toward
a Diplomacy for the 21st Centrury”. Sementara Robert McNamara
membedah keadaan dunia pada abad 21 sebagai upaya untuk menghilangkan ilusi
besar yang diwariskan Presiden Woodrow Wilson ketika mencanangkan idealisme dan
moralisme sebagai prinsip hubungan luar negeri AS. Kegagalan Wilson
menerjemahkan gagasan luhur seperti penghormatan terhadap ‘hukum
internasional’, ‘keamanan bersama’, dan ‘hak menentukan nasib sendiri’ itulah
yang mendorong McNamara untuk merenungkan nasib moralisme dan idealisme melalui
karyanya Wilson’s Ghost (Public
Affairs, 2001). Anak-judul buku ini pun seakan mencari pelajaran dari
pengalaman buruk abad ke-20: “Reducing
the risk of Conflict, Killing and Catastrophe in the 21st Century”.
Kissinger terkenal sebagai tokoh yang
menganut mazhab realist, yang memandang percaturan internasional sebagai wujud
alamiah manusia, masyarakat dan negara untuk menaklukkan manusia, masyarakat dan
negara lain dengan dalih “kepentingan nasional”. Sebagai pengungsi dari Jerman
yang kemudian menjadi warga negara AS, Kissinger memandang layak bila AS
menjadi penentu perdamaian dan keamanan internasional. Senjata dan nuklir
adalah andalan utama di bidang politik dan pertahanan, sedangkan bobot
ekonomi-keuangannya di lembaga-lembaga seperti Badan Perdaganan Dunia (WTO),
Bank Dunia (World Bank) dan Dana Moneter Internasional (IMF) ikut membina
“sistem ekonomi pasar” yang bertugas menguntungkan perusahaan-perusahaan
multinasional AS. Sedangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) praktis hanya
menjadi ajang penerus kepentingan diplomasi AS.
Akan tetapi Kissinger sadar bahwa kesepihakan
AS dalam bertindak atas dasar kepentingannya yang sempit juga bisa memukul
balik. Dari penjanjian Versailles tahun 1919 ia melihat kesalahan Inggris,
Perancis dan Italia yang terlalu berat menjatuhkan hukuman pada Jerman sehingga
bangkit seorang Adolf Hitler yang ingin membalas dendam melalui Perang Dunia II
yang dilancarkannya pada September 1939. Karena itu, selepas akhir Perang
Dingin 1989-1991, Kissinger memberi nasehat kepada Presiden Bush (ayah Presiden
George W Bush yang sekarang) agar Rusia jangan sampai dipermalukan. Janganlah
Rusia mengalami keparahan besar akibat bubarnya Uni Soviet dan runtuhnya paham
komunisme. Lagipula, dengan 20.000 hulu ledak nuklir yang masih dimilikinya,
kestabilan Rusia amat penting untuk transisi politik dan ekonomi di negeri itu
serta Eropa Tengah dan Eropa Timur. Pola ‘membantu musuh untuk menjaga
perdamaian dan keamanan’ diulangi oleh menteri pertahanan William Perri ketika
menyusun kerangka bersama tentang hubungan Korea Utara dan Korea Selatan pada
tahun 1994.
Akan halnya Republik Rakyat Cina (RRC), para
pengambil keputusan AS sepakat bahwa dalam kurun waktu 30 tahun mendatang
negeri itu akan menjadi kekuatan politik dan ekonomi yang menyaingi AS dan
Jepang di Asia Pasifik. Pada satu sisi, pasar di RRC adalah peluang emas untuk
kepentingan bisnis MNC’s (multinational corporation’s) Amerika, Eropa dan
Jepang. Tapi bagaimana menyikapi bangkitnya kekuatan dan daya saing ekonomi RRC
terhadap industri menengah dan manufaktur Amerika, Eropa, dan Jepang? Apakah
cukup membendung dengan membelokkan aturan main WTO yang untuk bagian terbesar
dipasang guna membela pemodal Amerika, Eropa dan Jepang. Dan bagaimana
menyikapi kebangkitan tentara RRC di Pasifik Barat, termasuk pembangunan
angkatan bersenjata RRC yang dapat menentukan perang atau damai di alur-alur
Asia Timur Laut dan Asia Tenggara? Bukankah konfrontasi Selat Taiwan pada Maret
1995, krisis presiden Taiwan 1996, dan insiden pesawat pengintai EP-3 di Pulai
Hainan bulan April 2001 menjadi pertanda bahwa RRC ingin semakin diperhitungkan
sebagai negara besar di kawasannya sendiri.
Agaknya, baik Kissinger maupun McNamara
sepakat tentang perlunya para pemimpin AS menunjukkan empati terhadap cita-cita
negara besar seperti Rusia dan RRC untuk dilibatkan dalam penentuan “keamanan
internasional”. Sebagai mantan menteri pertahanan, McNamara mengambil hikmah
bahwa kekuatan militer bukanlah segala-galanya. Sebagai mantan Presiden Bank
Dunia (1968-1981) ia ‘menebus dosa’-nya semasa Amerika merusak negeri Vietnam
dengan memusatkan perhatian pada pengurangan kemiskinan di negara-negara sedang
berkembang. Ketika di Jakarta pada Juni 1968, McNamara membuka kantor
perwakilan Bank Dunia pertama di suatu negara sedang berkembang, langkah itu
merupakan pengakuan bahwa Indonesia
adalah “negara kunci” di Asia Pasifik.
Kissinger mengakui manfaat pengelompokkan
regional sebagai ajang membangun lingkar-lingkar perdamaian atas dasar
kerjasama regional. Negara-negara kunci seperti Brazil, Meksiko, Argentina,
Nigeria, Afrika Selatan, Mesir, Iran, Pakistan, Indonesia layak dibantu agar
persaingan antar-negara besar di tiap-tiap kawasan tidak sampai pecah menjadi
peperangan terbuka. Membantu negara-negara itu adalah bagian dari strategi
pelimpahan pengaruh AS di Amerika Latin, Afrika dan Asia.
Strategi dasar ini sesuai dengan pemikiran Kissinger yang menilai bahwa
keamanan internasional pada akhirnya harus mengacu pada perimbangan kekuatan
antar negara-negara besar, sedangkan negara-negara menengah berperan sebagai
‘perantara kepentingan’.
Harapan Kissinger dan McNamara terhadap masa
depan AS yang lebih baik, agaknya ditebas oleh kepentingan para kontraktor
Pentagon (departemen pertahanan) karena Presiden George W Bush telah menyetujui
program pengembangan pertahanan rudal sebesar 60 milyar dollar untuk jangka
waktu 10 tahun. Selain itu, pasca peristiwa runtuhnya gedung World Trade
Center pada 11 September 2001, Bush
yang juga didukung oleh sebagian besar anggota senat di parlemen menyetujui
memberikan dana ‘on top’ dari
anggaran belanja pertahanan sebesar 40 milyar dollar bagi program perang
terhadap terorisme. Padahal
AS sedang mengalami defisit
anggaran sebesar 156 milyar dollar, dan diperkirakan akan terus membengkak
hingga tahun 2006.
Belum hilang dari ingatan bagaimana AS
membombardir Afghanistan
karena dituduh telah kong kalikong
menyembunyikan Osama bin Laden. Irak untuk kedua kalinya –setelah perang teluk
tahun 1991— kembali diinvasi AS bersama sekutunya. Presiden Saddam Husein
cenderung dipojokkan dengan dituduh memiliki senjata pemusnah massal (nuklir,
biologi dan kimia). Kampanye yang dilakukan Bush untuk mendukung serangannya ke
Irak tidak memperoleh dukungan dari politik domestik maupun internasional. Hal
ini disebabkan karena tidak jelasnya tujuan politik AS. Tujuan politik AS kabur
dan terbagi dua antara maximun demand yang
menginginkan pergantian rezim politik di Irak dengan minimum demand yang sekedar menginginkan dilakukannya kembali
proses pelucutan senjata di Irak. Tak kurang negara seperti Rusia, Perancis dan
beberapa negara lain yang ada dalam DK PBB menentang serangan AS tersebut. Jika
hal itu terus memanas, maka kekuatiran McNamara dan Kissinger bahwa akan muncul
Hitler-Hitler baru adalah sebuah keniscayaan. Maka Perang Dunia III sudah
dihadapan mata.
Lain halnya dengan Indonesia, McNamara dan Kissinger
berpandangan mengenai posisi Indonesia di Asia Tenggara. Bahwa berbeda dengan
tahun 1967-1977, nilai strategis Indonesia secara nisbi cenderung
tujun tajam. Asia Tenggara dan selat serta alur laut kepulauan Indonesia memang
masih penting sebab sepanjang 46 persen perdagangan laut dunia masih harus
melintasi perairan Indonesia, tetapi kemajuan teknologi informasi dan ekonomi
jasa telah mengurangi bobot perdagangan tradisional sehingga geo-ekonomi
semakin penting dibandingkan geo-politik. Sementara itu, daya saing bangsa
lebih ditentukan oleh ada tidaknya pemerintah yang tangkas memantau
perubahan-perubahan cepat yang dihasilkan oleh lompatan kemajuan teknologi
informasi dan ekonomi pengetahuan. Kemudian, sarana dan prasarana dasar seperti
telkom, bandar udara, bandar laut, pelistrikan, dan air bersih mutlak harus menjangkau
rakyat banyak. Sebab, tanpa adanya landasan sosial-ekonomi yang kokoh,
pemerintahan macam apapun tidak akan dapat bertahan lama. Oleh karena itu,
seluruh anggota masyarakat Indonesia harus menjadi bagian dari gerakan
diplomasi global yang mengejar selisih-selisih keunggulan yang kita miliki
sebagai potensi pasar maupun sebagai potensi penghasilan barang, jasa, budaya,
informasi dan ilmu yang dapat dinikmati dan dijual kepada masyarakat dunia.
Seluruh dunia adalah medan perjuangan untuk itulah mesti direbut
selisih keunggulan yang selalu berkembang secara dinamis. Sebab, segala sesuatu
di Indonesia –seperti Lhokseumawe di Aceh, Bontang di
Kalimantan, Timika di Papua— sudah menjadi bagian dari ajang persaingan yang
melibatkan sumberdaya manusia, teknologi, dan modal manca negara. Karena yang
global adalah lokal dan yang lokal adalah global, maka keamanan dan perdamaian
pada setiap peringkat adalah masalah bersama diplomasi Indonesia pada
abad ke-21 ini. Dalam dunia yang semakin menyatu secara kuat, setiap warga
negara dari kalangan manapun adalah bagian dari “total diplomacy” bangsa Indonesia.
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
adalah bagian dari entitas masyarakat Indonesia bahkan dunia. Dari sudut
pandang antropologis, sosiologis, geo-politik, geo-ekonomi, jelas akan
mengambil bagian, baik mempunyai peran maupun menjadi korban dari pergeseran
peran (participant shifting) dalam
konstelasi yang ada. Dalam kondisi inilah PMII sebagai bagian dari komponen
bangsa yang kadernya tersebar di seluruh nusantara, sudah saatnya merebut peran
dan memberi kontribusi terhadap negara. Disadari ataupun tidak posisi inilah
yang akan menggiring PMII pada wilayah tarik menarik kepentingan; kepentingan
politik, ekonomi, sosial, budaya bahkan ideologi.
Dalam rentang historical perjuangan PMII
sudah jelas, bahwa PMII menyatakan perjuangannya untuk membela dan
mengembangkan segala kemampuan yang dimilikinya untuk memberikan dedikasi serta
loyalitasnya pada bangsa dan negara dengan tidak memihak pada salah satu golongan
maupun kepentingan apa dan manapun. Meski, dalam perkembangannya PMII selalu
terjadi tarik menarik dan terkadang berafiliasi pada salah satu golongan maupun
kepentingan, namun hal ini dimaknai sebagai satu patner dalam mengembangkan
nilai-nilai dasar perjuangan organisasi.
I. Pokok-Pokok Pikiran dan Rekomendasi Bidang Politik
[
Politik Internasional
Eksistensi bangsa Indonesia
memang tidak bisa lepas dari konstelasi internasional. Bahkan, bisa dikatakan
kesejarahan Indonesia
merupakan perpanjangan tangan dan metamorfosa dari pertarungan kepentingan
sosial, politik, ekonomi dan wacana yang sedang menggelincir di dunia
internasional. Dalam hal ini segala perubahan dan perkembangan geo-politik akan
selalu mempengaruhi rotasi dan perkembangan di negara kita juga. Ironisnya, hal
itu tidak dipahami secara komprehensif oleh para pemikir dan elit-elit negara
sebagai satu kesatuan dari tata dunia global. Hal ini bisa berarti bahwa
analisa ataupun diagnosa yang dilakukan di negeri ini bakal mengalami kebuntuan
dan kegagalan. Dalam sejarah, telah terbukti bahwa berbagai aliran politik dan
ideologi yang berkembang di Indonesia
sesungguhnya diwarnai, bahkan terkadang muncul dari perkembangan ideo-politik
global. Ideologi-ideologi yang berkembang di Indonesia sebagai bagian dari
meresapnya ideologi atau pemikiran dunia global yang jelas-jelas mempunyai interest tertentu. Dan justru
ideologi-ideologi itu acapkali dapat menghacurkan negara-negara miskin dan
berkembang.
Globalisasi merupakan
fenomena yang hangat dibicarakan dalam berbagai forum dunia, baik itu
forum-forum pemerintah, maupun dalam forum yang dihadiri oleh aktor-aktor
non-pemerintah. Globalisasi juga merupakan isu yang menjadi perhatian dalam
berbagi demonstrasi-demonstrasi yang mencoba untuk menyuarakan kepentingan-kepentingan
negara berkembang, atau menyuarakan keprihatinan terhadap dampak negatif yang
telah ditimbulkan oleh proses ini terhadap manusia dan lingkungan. Isu ini
menjadi topik pembicaraan yang menarik dan berkembang pesat sejak berakhirnya
Perang Dingin.
Runtuhnya tembok Berlin dan kejatuhan Uni Soviet menjadi
pemicu bagi perkembangan pesat globalisasi tersebut. Globalisasi berkembang dan
tidak dapat dihindari semua pihak, tidak juga Indonesia. Globalisasi tumbuh dan
berkembang, terinstrusi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di seluruh dunia
diiringi dengan berbagai kontroversi. Ada
kelompok yang mendukung proses pengglobalan itu, yang diindikasikan dengan
semakin terintegrasinya masyarakat dari berbagi belahan dunia dalam sebuah global village. Sementara, tidak sedikit
kelompok yang menentang proses ini, dengan alasan bahwa globalisasi hanyalah
jargon dari negara-negara maju yang telah terindustrialisasi, karena dengan
proses tersebut mereka akan semakin dapat memperkuat dominasinya dalam sistem
internasional, sedangkan bagi negara-negara berkembang atau terbelakang,
globalisasi hanya akan semakin memperburuk kondisi mereka. Sehingga dapat
dikatakan bahwa globalisasi merupakan kekuatan dari luar yang memaksa suatu
negara untuk mengikuti aturan-aturan global, demokrasi misalnya. Globalisasi
seolah-olah menciptakan sebuah aturan yang memaksa aktor-aktor di dalamnya
untuk menemukan suatu strategi yang tepat bagaimana mereka mengatur dirinya dan
bersikap terhadap aktor lain dengan tidak hanya –bahkan dengan tidak—
menggunakan instrumen-instrumen konvensional, yaitu militer dan power politics.
Sebagai satu fenomena
baru yang banyak kita jumpai dalam era globalisasi infix adalah maraknya
dilakukan kerjasama yang berbasiskan pada kawasan, seperti AFTA, ASEAN, MEE,
dll. Kerjasama ini tidak hanya dalam kerjasama eonomi semata, sebagaimana yang
banyak di lakukan pada masa-masa akhir abad ke-19. Tetapi fokus kerjasama ini
lebih dominan diwarnai oleh kerjasama keamanan untuk mendorong stabilitas
keamanan kawasan yang akan signifikan bagi upaya untuk memperlancar berbagai
bentuk kerjasama antara negara dalam satu kawasan di bidang-bidang lain,
seperti kerjasama ekonomi, militer dan politik.
Dominasi kerjasama yang berbasiskan pada
keamanan ini tentunya tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dan implikasi
kampanye anti terorisme global yang dilakukan oleh AS. Serta keberhasilan AS
menumbangkan rezim Taliban di Afganistan dan Rezim Saddam Husaein di Iraq.
Kedua hal tersebut menjadi salah satu hal penting yang dilakukan oleh AS dalam
konteks mendorong kerjasama keamanan antara negara dalam satu kawasan tertentu.
Dari berbagai bentuk kerjasama yang
berbasiskan pada kawasan tersebut paling tidak kita akan menyaksikan adanya
komunitas masyarakat tanpa sekat dalam satu kawasan, yang kemudian
diterjemahkan dalam political community, economicalcomunity dan security
community antar negara dalam satu kawasan. Dan, kalau kita mau jujur,
hilangnya sekat-sekat masyarakat antara negara dalam kawasan sejalan dengan
pasar bebas dalam kawasan, seperti AFTA dan NAFTA. Artinya bahwa isu terorisme
internasional tidak lain adalah bagian dari skenario global yang dilakukan oleh
AS untuk mempersiapkan perangkat lunak dan perangkat keras di setiap negara dan
kawasan untuk menuju globalisasi.
Hal lain yang tidak kalah penting adalah
dalam konteks isu nuklir dan ketegangan antar yang berbasiskan pada daerah
perbatasan antar negara. Isu nuklir yang sempat tenggelam setelah didominasi
oleh isu terorisme global, sekarang kembali mencuat. Dan, yang menjadi target
atau sasaran dari isu nuklir tersebut adalah Suriah, Iran
dan Korea Utara.
Sebagai sebuah cacatan
dari kejahatan perang dan ancaman nuklir adalah, sekitar 160 juta manusia tewas
akibat perang antar-negara dan tindak kekerasan antar sesama manusia. Perang
Dunia I (1914-1918) merenggut 8 juta nyawa prajurit, 20 juta penduduk luka-luka
serta 8 juta orang yang hilang atau ditawan. Meskipun perang itu terjadi di
Eropa, akibatnya meluas ke daerah-daerah jajahan di Afrika dan Asia. Perang Dunia II (1919-1945) yang berkobar di Eropa
dan di Asia Pasifik (termasuk bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Agustus 1945)
menewaskan 50 juta prajurit dan puluhan juta penduduk tak berdosa, entah berapa
puluh juta lagi yang hilang tak tercatat. AS ikut memenangkan PD I melawan
Jerman. Tentara Amerika menjadi penentu kemenangan sekutu atas fasisme Jerman
dan Jepang pada PD II Selama perang
dingin 1947-1989 dan 10 tahun terakhir 1991-2001 terjadi perang di dalam negara
yang menewaskan 15 juta orang. Mengapa hal itu terjadi, karena sistem politik
internasional dipenuhi oleh tiga karakter yang bisa berdiri sendiri secara
terpisah atau bahkan melekat bersamaan yaitu karakter negara, watak asli
manusia dan struktur internasional yang cenderung melakukan perang, sehingga
politik internasional dianalogikan dengan “hutan” atau “negara perang”. Dalam
kondisi seperti itu, siapa yang kuat dialah yang keluar sebagai pemenang.
Karena itu, setiap negara harus siap
menghadapi riil politik seperti itu, siap perang dan mengkalkulasikan
relativitas balance of power secara
tepat. Sukarnya kerjasama internasional terwujud karena sistem internasional
tidak memiliki struktur kekuasaan yang jelas dan tegas seperti dalam struktur
politik domestik. Dalam sistem politik domestik, yang menjadi landasan adalah
hierarki, sedangkan dalam sistem politik internasional yang menjadi dasarnya
adalah anarkhi. Yang dimaksud anarkhi bukanlah berarti dunia sangat kacau dan
tidak beraturan, melainkan tidak adanya struktur yang jelas dan mampu mengatur
perjalanan sistem yang ada. Dalam sistem anarkis seperti itu, maka tujuan utama
dari setiap negara adalah keamanan dan upaya untuk tetap hidup serta
independen. Karena sistem internasional bersifat anarkis, hanya self help saja yang mampu menolong negara
untuk tetap survive.
Berdasarkan deskripsi di atas, PMII
memberikan beberapa catatan yang perlu dipertimbangkan. Pertama, penindasan yang dilakukan negara adikuasa pada
negara-negara miskin dan sedang berkembang melalui berbagai cara dan metode
mesti diantisipasi dengan serius. Arogansi negara adikuasa (AS) yang telah
melakukan intervensi kepada negara dunia ketiga sudah terlampau jauh menjalar
sampai ke persoalan penataan politik dalam suatu negara. Ini dapat kita jumpai
dari kasus Afghanistan,
dan berikutnya Irak, selain itu kebijakan boikot juga sering diterapkan. Salah
satu boikot yang sangat mempengaruhi negara dunia ketiga adalah boikot pada
masalah ekonomi yang berdampak pada ‘kelumpuhan’ kehidupan negara bersangkutan.
Oleh karena itu, menghimbau kepada negara adikuasa untuk tidak melakukan
intervensi terlampau jauh sebab akan merusak tatanan kehidupan berbangsa sebuah
negara, dan dapat berakibat negatif terhadap tata dunia.
Kedua, PBB sebagai lembaga penjaga gawang
perdamaian dunia, harus mengambil sikap tegas dan netral dalam berbagai konflik
antar negara yang berbasiskan pada daerah perbatasan, seperti yang sempat
terjadi antara Indonesia
dan Malaysia
di daerah perbatasan Ambalat.
Ketiga, program bantuan kemanusiaan perlu lebih
ditingkatkan. Bantuan ini sangat berarti bagi negara yang tertimpa musibah
(sebab faktor alam maupun akibat perang). Oleh karena itu, menghimbau PBB
melalui lembaga-lembaga yang berhubungan langsung terhadap masalah kemanusiaan,
dan Palang Merah Internasional (International Red Cross) agar lebih aktif dan
tanggap dalam memberikan bantuan bagi negara-negara yang membutuhkan.
Keempat, resolusi konflik internasional. Pertimbangan
ini disampaikan mengingat kondisi dunia ke depan nampaknya akan disuguhkan oleh
berbagai konflik-konflik terbuka (perang) yang terjadi mulai dari tingkat
sistem internasional sampai internal suatu negara. Tidaklah mengherankan
apabila pendekatan keamanan yang didominasi oleh dimensi militer menjadi
dominan terutama sejak sifat perang menjadi total semesta pada masa perang
Napoleon sampai terjadinya perang dingin yang mengkondisikan hubungan-hubungan
terutama dalam struktur sistem internasional kepada bentuk-bentuk persaingan
ideologi politik dan kekuatan militer. Oleh karena itu, perlu adanya konsep keamanan
dan konsep resolusi konflik yang lebih humanis diharapkan dapat mengantisipasi
perluasan makna ancaman yang juga lebih menyentuh aspek kemanusiaan secara
langsung.
Kelima, pemerintah Indonesia
perlu mempertegas berbagai bentuk kerjasama dengan negara-negara lain yang
berbasiskan pada kerjasama kawasan, baik itu kerjasama politik, ekonomi,
social, budaya maupun kerjasama keamanan kawasan.
Keenam, PMII sebagai organisasi mahasiswa Islam terbesar di dunia, harus mampu
mendorong terciptanya jaringan kerjasama antar pemuda khususnya di kawasan
ASEAN dan ASIA, dengan harapan PMII mampu menjadi garda terdepan untuk
membangun gerakan lingkar muda Asia.
[
Politik Dalam Negeri
Sukses penyelenggaraan pemilu 2004, baik
pemilu legeslatif maupun pemilu presiden putaran pertama dan kedua, memang
memberikan arti dan makna yang amat signifikan bagi bangsa Indonesia,
khususnya bagi kemajuan demokrasi. Meskipun belum bisa dikatakan sebagai pemilu
yang berjalan dengan jurdil, tetapi kesuksesan penyelenggaraan pemilu tetap
menjadi indikator penting bagi perkembangan dan pembangunan politik dalam
negeri.
Tetapi hal lain yang terlupakan dari agenda
penting pasca pemilu adalah minimnya partisipasi masyarakat dalam konteks
mengawal hasil-hasil pemilu, seperti melakukan kontrol atas kinerja DPR dan DPD
serta tetap mengambil sikap kritis terhadap perjalanan pemerintahan SBY-JK. Hal
ini memang belum mampu berjalan maksimal di untuk saat ini, yang tentunya lebih
dikarenakan kegagalan partai politik untuk melakukan pendidikan politik di
tingkat masyarakat bawah. Masyarakat hanya dijadikan sebagai basis untuk
mendapatkan suara dalam momentum pemilu, dan sejalan dengan berakhirnya pemilu,
meninggalkan masyarakat adalah sebuah hal yang wajar dilakukan oleh partai
politik.
Alhasil, demokrasi yang diharapkan akan
benar-benar menjadi mainstream bangsa Indonesia telah gagal, akibat tidak
berjalannya pendidikan politik di masyarakat. Sehingga demokrasi yang ada di Indonesia
berjalan dalam konteks demokrasi prosedural dengan mengabaikan kekuatan
masyarakat sebagai pemegang kedaulatan negara. Jika pola-pola demikian masih
tetap dipertahankan, bukan tidak mungkin jika demokrasi yang berjalan di Indonesia hanya
akan dimiliki oleh elit-elit politik nasional semata. Berbagai fenomena
perpecahan partai politik yang meraih suara cukup signifikan akhir-akhir ini
adalah sebuah fakta yang menjelaskan fenomena demokrasi prosedural dan
demokrasi elit semata.
Pertanyaan besarnya, sebenarnya apa yang
salam dalam sistem politik nasional kita. Upaya untuk mendorong peran dan
partisipasi politik masyarakat baik di tingkat lokal maupun tingkat nasional
terbukti telah gagal, sistem multi partai juga tidak memberikan jaminan bahwa
aspirasi masyarakat akan terwakili sepenuhnya dan sistem politik yang tetap diwarnai
dan didominasi oleh pragmatisme politik. Dengan demikian melakukan perubahan
dan perbaikan atas sistem politik nasional menjadi penting dalam konteks
mendorong terwujudnya demokrasi yang sebenarnya. Harus diakui bahwa UU Politik
yang dijadikan sebagai landasan hukum bagi pelaksanaan pemilu adalah bentuk
tawar-mewanar antar partai politik di parlemen. Dengan demikian nuansa UU
Politik lebih merepresentasikan kepentingan partai politik dari pada
kepentingan masyarakat dan bangsa Indonesia. Dengan demikian
perbaikan sistem politik dengan melaukan perubahan atas UU politik menjadi amat
penting untuk dilakukan.
Agenda besar untuk mempercepat transisi
demokrasi di tingkat lokal atau yang dikenal dengan Pemilihan Kepala Daerah
Langsung (PILKADAL) tetap harus mendapatkan pengawalan dengan ketat. Mengingat
berbagai konflik antar pendukung yang berbasiskan pada perbedaan sikap politik
serta konflik akibat isu money politik akan sangat potensial terjadi dalam
momentum pilkada ini. Meskipun harus tetap diakui bahwa pilkada langsung adalah
terobosan baru bagi sistem politik dan demokrasi di Indonesia. Tetapi jangan sampai
cita-cita luhur transformasi dan transisi demokrasi di tingkat lokal harus
diciderai oleh konflik horisontal antar pendukung.
Artinya bahwa agenda-agenda politik kedepan
di bangsa Indonesia
harus tetap dicontrol oleh masyarakat selaku pemegang kedaulatan negara.
Partisipasi masyarakat harus dimaksimalkan dalam semua ranah dan sisi politik
nasional. Berdasarkan pada diskripsi
diatas, PMII merekomendasikan ;
Pertama, mempertegas bentuk Ketata Negara Indonesia RI, sehingga tidak ada lagi
perdebantan antara presidensiil dan parlementer. Menjelaskan fungsi ini dalam
konstitusi berarti mempertegas bentuk Negara Indonesia ini. Karena ini adalah
persoalan fundamental dan mendasar di Indonesia. Jika bentuk Negara Indonesia yang
sudah jelas secara konstitusi maka juga akan berimplikasi pada relasi dan
fungsi lembaga-lembaga tinggi negara. Tahap ini masih merupakan tahap yang
sangat sulit dilakukan mengingat masih terjadi kesemrawutan fungsi antar
lembaga-lembaga elit negara. Memperjelas fungsi dari lembaga-lembaga itu
menjadi penting terutama untuk menfungsikan lembaga-lembaga dan peran
masing-masing. DPD, DPR pusat maupun DPRD tingkat I atau II berfungsi sebagai
badan legislatif yang bertugas membuat kebijakan dan mengawasi jalannya
pemerintahan, sedangkan pemerintah sebagai badan eksekutif memiliki tugas
menjalankan kebijakan yang dibuat legislatif, dan untuk yudikatif bertugas
dalam hal menjalankan dan menegakkan hukum. Penegasan atas peran dan fungsi
tiap lembaga bertujuan untuk membagi tugas dan peran yang jelas agar berdampak
positif bagi masyarakat dalam menilai dan meminta pertanggungjawaban
pelaksanaan sesuai dengan amanat yang diemban.
Kedua, peningkatan partisipasi politik masyarakat.
Keberhasilan penyelengaraan pemilu 2004, bisa menjadi indokator penting bagi
perkembangan peran dan partisipasi politik masyarakat. Tetapi pada sisi lain
tetap harus diakui adanya kegagalan partai politik dalam mengartikulasikan
aspirasi rakyat telah menyebabkan terjadinya krisis partisipasi politik.
Partisipasi politik masyarakat baik yang hendak disalurkan melalui saluran
formal maupun non-formal menjadi terhambat. Tuntutan-tuntutan dan tingkah laku
politik masyarakat yang ingin berperan serta dalam politik tidak direspon oleh
partai politik ataupun oleh pemerintah. Bahkan terkadang aspirasi yang
berkembang dalam masyarakat dianggap tidak legal dan tidak sah oleh negara.
Masalah mendasar yang dihadapi partai politik dan sistem kepartaian selaku
pemasok wakil rakyat dan pelembagaan perwakilan politik adalah belum bekerjanya
berbagai mekanisme demokratis, baik dalam tubuh partai sebagai unit maupun
dalam sistem kepartaian.
Ketiga, jadikan moral sebagai panglima. Pada masa orde
lama yang dijadikan panglima adalah politik sehingga dampak yang timbul adalah
politik begitu diagungkan. Masa orde baru, ekonomi yang dijadikan panglima,
dampaknya yang timbul adalah masyarakat hidup dalam budaya konsumtif dan
kapitalistik. Dua pola yang telah ada tersebut terbukti membawa Indonesia dalam
kehancuran. Kehancuran yang paling dahsyat adalah meningkatnya kejahatan
–apakah itu kejahatan HAM, korupsi ataupun pelanggaran hukum--. Sementara itu,
demokratisasi merupakan cerminan kekuasaan yang transformatif. Fungsi kekuasaan
politik dikemukakan merupakan sarana dan daya untuk memenuhi kepentingan
bersama masyarakat. Namun, fungsi ini mudah diselewengkan, karena kekuasaan
memberi sejumlah kemungkinan legal bagi penguasa untuk melanggar aturan-aturan
yang ditetapkan, menekan masyarakat dan memanipulasi kekuasaan. Tekanan dan
hambatan yang terus menerus dilancarkan dalam penyelewengan kekuasaan, dapat
memantapkan fungsi semu lembaga-lembaga politik dan membina pemahaman umum
tentang kekuasaan yang tak sesuai maknanya. Oleh karena itu, dalam suasana
kemerosotan moral dan untuk mengawal proses demokrasi sehingga sesuai dengan
maknanya, sekarang ini perlu diajukan tawaran untuk menjadikan moral sebagai
panglima. Terutama bagi para elit politik dan elit negara sehingga Indonesia dapat
menjadi lebih baik.
Keempat,
visi kepemimpinan nasional.
Krisis multi-dimensional mengakibatkan keterpurakan masyarakat dan juga negara.
Ketika hal ini tidak dapat ditangani dengan baik, niscaya masyarakat dan negara
akan memasuki masa krisis yang berkepanjangan. Konflik politik, resesi ekonomi,
konflik sosial, kerusuhan dan berbagai persoalan lain membutuhkan visi
kepemimpinan yang tidak hanya mengedepankan kepentingan kelompok dan
individunya saja. Namun, harus lebih diarahkan pada upaya mengangkat masyarakat
agar tercipta bangsa yang berkeadilan dan masyarakat yang sejahtera serta
makmur.
Kelima, PMII berserta dengan organisasi yang lain, mendorong dan mempelopori
pengawalan transisi demokrasi di tingkat lokal melalui mekanisme PILKADAL.
Sehingga cita-cita luhur transisi demokrasi di tingkat lokal tidak lagi
diciderai.
Keenam, Pemerintah dan DPR Harus melakukan perubahan sistem politik nasional yang
benar-benar merepresentasikan kepentingan bangsa dan negara dalam konteks mewujudkan
kesejahteraan nasional, dengan jalan melakukan perubahan atas UU Politik yang
menjadi dasar hukum bagi pelaksanaan pemiluhan umum 2009.
Ketujuh,menolak kebijakan pemerintah yang promodalanti
rakyat dengan jalan pencabutan subsidi rakyat, privatisasi BUMN, tolak perpu No
25 tentang pertambanga, tolak UU privatisasi sumber daya air, hapus hutang lama
tolak hutang baru, menolak intervensi IMF CGI Warld Bank TNCs MNCs, tolak
perpres tentang Agraria.
Delapan, usut tuntas kasus-kasus korupsi di Indonesia
Sembilan, usut tuntan pelanggaran hak asazi manusi
(HAM) di Indonesia
Sepuluh, revisi UU otonomi daerah(Otda) dan mendesak
pemerintah untuk mempercepatpemekaran wilayah-wilayah di Indonesia.
Sebelas, ,mendorong terwujudnya profesionalitas
militer
II. Pokok-Pokok Pikiran dan Rekomendasi Bidang Ekonomi
Globalisasi
dan modernisasi yang berkembang pesat di dunia akhir-akhir ini juga mendorong
bangsa Indonesia
untuk menyesuaikan dan beradaptasi dengan hal tersebut. Fenomena pasar bebas
dan kerjasama ekonomi yang berbasiskan kawasan
bagian penting dalam proses globalisasi. Indonesia sebagai Negara berkembang
juga memiliki keterkaitan secara politik dan ekonomi dengan globalisasi. Dan
bukan tidak mungkin akan menimbulkan adanya dependensi atau interdependensi Indonesia
kepada rezim internasional yang liberal.
Keputusan
pemerintah Indonesia
untuk menganut kebijakan ekonomi berorientasi keluar (outward-oriented) menyebabkan sistem ekonomi Indonesia
terintegrasi dengan sistem internasional yang ada. Indonesia tidak bisa menentukan
kebijakan tanpa mempertimbangkan sistem internasional. Pemerintah harus mampu
menyesuaikan diri dengan berbagai aturan main dari lembaga-lembaga ekonomi
internasional, seperti IMF, Bank Dunia, atau GATT/WTO. Oleh karena itu,
berbagai keputusan yang diambil oleh pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan
faktor-faktor eksternal.
Sejak
tahun 1990-an, sistem internasional sudah mulai terkonsolidasi ke dalam sistem
kapitalisme global. Sistem ini mensyaratkan diberlakukannya liberalisasi dalam
transaksi pasar. Pasar yang liberal tidak mengenal batas-batas negara, tetapi
justru memiliki kekuasaan struktural yang secara tidak langsung mampu menekan
kebijakan suatu negara yang tidak sesuai dengan mekanisme pasar bebas.
Situasi
inilah yang harus dihadapi Indonesia
ketika negara ini dilanda oleh krisis ekonomi sejak pertengahan kedua 1997.
Krisis yang bermula dari krisis moneter di Thailand mempunyai contagion effect terhadap negara-negara
tetangganya, termasuk Indonesia.
Akibat awalnya adalah menurunnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar.
Hingga akhir Januari 1998, nilai riil rupiah berkurang 75,92 persen yang
berarti bahwa nilai riil rupiah pada bulan tersebut tinggal 24,08 persen. Jika
pada 1 Juli 1997 nilai rupiah sama dengan sekitar Rp 2.400/dollar AS, maka pada
akhir Januari 1998 nilai rupiah menjadi Rp 10.100/dollar AS. Dengan demikian,
sejak 1 Juli 1997 rupiah mengalami depresiasi sebesar 358 persen terhadap
dollar AS.
Nilai
rupiah yang sangat tinggi tersebut menyebabkan hutang luar negeri (sekitar 136
milyar dollar AS) mengalami peningkatan
tajam jika dihitung dengan nilai tukar rupiah. Kaitan antara nilai tukar rupiah dengan
dollar AS ini merupakan satu dari sekian banyak dimensi persoalan dalam sistem
ekonomi pasar bebas.
Kaitan
tersebut menunjukkan kecenderungan bahwa sistem ekonomi nasional Indonesia
semakin tergantung pada mekanisme pasar bebas yang kapitalistik. Ketika Indonesia
mengalami krisis ekonomi, maka pemerintah mengajukan permintaan bantuan kepada
rezim internasional, yaitu IMF. Indonesia
tidak bisa meminta bantuan kepada institusi lain yang berada di luar atau
bertentangan dengan sistem internasional. Oleh karena itu, inisiatif Jepang dan
Malaysia,
yang didukung oleh negara-negara di Asia,
untuk membentuk suatu lembaga dana moneter regional (Asian Monetary Fund) secara langsung mendapat tentangan keras dari
IMF maupun AS sebagai pendukung utama sistem ekonomi liberal.
Sejalan
dengan itu, perkembangan ekonomi Indonesia belum menunjukkan arah
yang baik. Indikator ini dapat dilihat dari menurunnya nilai tukar rupiah
sampai saat ini dan meningkatnya inflasi. Selanjutnya ini juga ditandai dengan
menurunnya ketahanan fiskal akibat lambannya pemulihan ekonomi, beratnya beban
utang pemerintah, lambatnya penjualan aset yang berada di bawah pengawasan
BPPN, belum optimalnya privatisasi, adanya kenaikan tarif dasar listrik, BBM,
masih maraknya praktek KKN, dan keamanan untuk berinvestasi yang masih belum
kondusif, mengakibatkan ekonomi Indonesia sampai kini belum menunjukkan proses
menuju lebih baik.
Persoalan
ekonomi ini sesungguhnya telah menjadi muara dari berbagai persoalan dan
ketimpangan sosial yang ada di Indonesia.
Untuk itulah percepatan dan efisiensi perbaikan ekonomi menjadi sebuah
keharusan yang tak bisa ditawar-tawar lagi oleh pemerintah. Berdasarkan hal
itu, PMII memberikan rekomendasi, yaitu ;
Pertama, perlunya peningkatan kerjasama ekonomi negara-negara yang berbasiskan
kawasan seperti ASEAN dan APEC. Berbagai perkembangan ekonomi internasional
memberikan tanda bahwa negara-negara di wilayah ASEAN dan APEC semakin perlu
untuk meningkatkan kerjasama ekonomi regional guna meningkatkan kemakmuran
ekonominya masing-masing. Kerjasama ekonomi yang dimaksud bukanlah untuk
menjadikan ASEAN dan APEC sebagai pasar ekonomi yang tertutup seperti
Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE). Kemakmuran ekonomi semua negara ASEAN sangat
tergantung pada jalur keuangan, perdagangan, dan teknologi dunia. Oleh
karenanya, tujuan pokok kerjasama ekonomi ASEAN dan APEC adalah untuk
merangsang pembagian kerja bagi peningkatan produktivitas dan efisiensi serta
menurunkan biaya produksi di kawasan ini. Sementara itu, dibutuhkan perubahan
kebijakan internal ekonomi di masing-masing negara anggota yang memberikan
petunjuk akan semakin dimungkinkan meningkatnya kerjasama regional. Untuk itu
perlu adanya perubahan pada orientasi maupun peranan sekretariat serta komite
kerjasama ASEAN dan APEC.
Kedua, mengurangi atau menolak secara drastis ketergantungan terhadap lembaga
donor internasional. Ketergantungan penyelesaian perbaikan ekonomi oleh lembaga
donor telah menyebabkan Indonesia
menjadi lemah dalam posisi barganing di
tingkat internasional. Akibat yang langsung dirasakan, mereka ikut mengatur dan
menentukan arah perkembangan ekonomi yang jelas berbeda antara pandangan mereka
dengan keadaan riil sosial budaya Indonesia. Pemerintah Indonesia harus
berani menolak campur tangan lembaga-lembaga tersebut.
Ketiga, menegaskan konsensus penanggulangan masalah. Lambannya proses perbaikan
ekonomi Indonesia
selama ini disebabkan belum adanya konsensus nasional mengenai cara
mengatasinya. Sebagai akibat dari pengambilan suatu keputusan terhadap suatu
kebijakan sering berjalan lamban –walaupun didukung kuat oleh pihak
internasional— penundaan pelaksanaan suatu keputusan telah merupakan hal yang
wajar, serta penyimpangan substansi masih sering terjadi. Meski, konsensus
telah diambil oleh para stake holders negara
ini terhadap pentingnya pelaksanaan kebijakan, namun kemajuannya berjalan
pelan. Bahkan kebijakan yang saling bertentangan masih sering dijumpai.
Misalnya bagaimana keputusan mengenai divestasi Indosat sebagai aset strategis,
ternyata antara pemerintah dan wakil rakyat belum satu pemahaman. Apabila ini
terus berlangsung, kemungkinan terulangnya krisis makin besar.
Keempat, meningkatkan pengaturan dan pengawasan. Peningkatan pengaturan dan
pengawasan merupakan kunci penguatan sistem ekonomi di dalam negeri.
Akhir-akhir ini perhatian terhadap masalah ini ditujukan pada susunan lembaga
pengawasan yang bersih dari unsur-unsur lama dan KKN. Namun, pendirian lembaga
pengawasan ini pun tidak akan dapat berjalan efektif bila accountability yang dilakukan tidak ada.
Kelima, penyelesaian masalah ketenagakerjaan . Masalah tenaga kerja di Indonesia
merupakan tantangan yang berat, seiring dengan melambatnya perkembangan
perekonomian dan ketidak-pastian ekonomi ke depan. Hal ini dapat menyebabkan
makin banyaknya jumlah pengangguran. Dampak yang paling dikuatirkan dengan
semakin banyaknya pengangguran adalah sikap anarkisme masyarakat karena
didorong oleh kepentingan mempertahankan hidup.
Keenam, penguatan peluang investasi. Iklim penanaman modal di Indonesia mengalami
tekanan yang sangat berat di tengah situasi resesi ekonomi global maupun
nasional. Beberapa indikator telah menunjukkan bahwa terjadi kelesuan pada
kegiatan penanaman modal sehingga mengurangi perannya dalam mendukung pemulihan
ekonomi. Salah satu faktor yang menyebabkan lemahnya penanaman modal di
Indonesia adalah kondisi sosial politik yang fluktuatif dan berimbas pada situasi
keamanan yang tidak kondusif. Gangguan keamanan tersebut menyebabkan kekuatiran
investor untuk menanamkan modalnya.
Ketujuh, memprioritaskan dana bantuan untuk sektor riil. Pemulihan ekonomi hanya
dapat dilaksanakan dengan didukung oleh stabilitas keuangan yang kokoh dan
berkesinambungan. Salah satu yang utama adalah penyaluran keuangan pada sektor
riil, karena sudah teruji pada masa krisis yang dapat bertahan hanya sektor
riil yang tidak membutuhkan modal besar dan hasil produksinya langsung berhubugan
dengan masyarakat. Di samping itu, sektor riil juga merekrut tenaga kerja yang
lebih banyak.
Kedelapan, percepatan pembangunan kawasan khusus daerah perbatasan dan daerah
tertinggal. Upaya percepatan pembangunan kawasan khusus daerah perbatasan sebagaimana
telah diamanatkan oleh kebijaksanaan dan rencana pembangunan daerah di
masing-masing daerah yang memiliki wilayah perbatasan dan daerah tertingal,
diperlukan dukungan sistem prasarana pembangunan yang memadai, baik yang
dibangun bersumber dari dana pemerintah pusat, dan pemerintah daerah
masing-masing, maupun peran-serta pihak swasta sebagai mitra pemerintah dalam
pembangunan kawasan itu. Hal ini penting dilakukan karena dapat mendukung
distribusi pasar dan lalu lintas barang antar daerah perbatasan dengan negara
lain. Artinya sebagai pembuka jalan bagi perusahaan-perusahaan yang
berkepentingan untuk memasarkan produknya dengan biaya produksi lebih rendah,
karena tidak perlu menggunakan alat transportasi yang mahal seperti pesawat
atau kapal laut, tetapi cukup dengan kendaraan darat.
Kesembilan,
PMII mendorong pemerintah
untuk dan masyarakat untuk melakukan judician review atas UU Sumber Daya Air,
karena jelas bahwa air adalah kebutuhan vital masyarakat, sehingga
pengelolaanya harus dilakukan oleh negara atau pemerintah sepenuhnya.
Kesepuluh,
Mendesak kepada pemerintah
agar benar-benar menempatkan desentralisasi fiskal sebagai upaya untuk
melakukan pemerataan keuangan antar daerah, sehingga stimulus fiskal dan
satbilisasi perekonomian di pusat maupun nasional akan benar-benar mampu
dilakukan.
III.
Pokok-Pokok Pikiran dan Rekomendasi Bidang Hukum dan HAM
Berbagai penyelewengan kasus hukum yang ditangani oleh
lembaga hukum masih banyak dijumpai. Mafia peradilan masih mendominasi dalam
penyelesaian atas kasus hukum yang terjadi. Hal ini diperparah dengan cara-cara
penekanan yang represif, baik sipil maupun militer pada pelaksana hukum itu
sendiri. Sehingga asumsi fenomena hukum di Indonesia yang mencuat ke permukaan
adalah siapa yang kuat, baik kekuasaan maupun uang, itulah yang akan menang.
Dalam hal inilah, hukum tidak bisa berbuat banyak. Paradigma negara hukum yang
diterapkan oleh para founding fathers hanya
menjadi isapan jempol dan dipolitisir oleh kekuasaan di dalam maupun di luar
pelaksana penegak hukum itu sendiri.
Ketidak-tegasan lembaga hukum dalam mengadili para
koruptor yang sebetulnya lebih besar hasil curiannya dibanding pencuri kambing,
nampaknya menyebabkan ketidak-percayaan masyarakat semakin besar terhadap
lembaga hukum dan peradilan di Indonesia.
Ironis memang, ketika seorang pencuri ayam harus dibakar hidup-hidup hanya
karena ingin membiayai uang sekolah anaknya yang masih SD, sementara seorang
koruptor, bebas dari dakwaan padahal telah mencuri milyaran rupiah untuk
membiayai anaknya yang kuliah di universitas ternama dan ternyata terjerat
narkoba. Gambaran ini menyiratkan betapa hukum di negeri ini telah mati.
Di samping itu, kasus-kasus pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh aparat keamanan dari TNI maupun Polri, tidak pernah tuntas. Bagaimana
kasus trisakti, semanggi I, semanggi II, kasus tanjung priok, kasus
timor-timor, kasus kerusuhan maluku, dan lainnya yang banyak menelan korban
jiwa, tidak pernah tuntas mengungkap dengan gamblang siapa pelakunya apalagi
mengadilinya.
Untuk itulah penegakan atas rule of law di Indonesia sangat dibutuhkan sebagai bukti bahwa
Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi hukum, dan hukumlah yang menjadi
proses akhir, bukanlah politik. Oleh karena itu, perlu law enforcement bagi lembaga-lembaga yudikatif yang ada.
Atas dasar pemikiran di atas maka PMII memberikan
beberapa rekomendasi, yaitu pertama,
pemerintah diharapkan konsisten menjalankan lima agenda reformasi hukum. Yaitu, reformasi
legislasi, reformasi pengadilan, reformasi aparatur penegak hukum, penyelesaian
kasus-kasus tertentu yang terkait dengan HAM dan KKN, serta penumbuhan budaya
taat hukum. Dijalankannya lima
agenda reformasi hukum itu mutlak harus dijalankan agar dapat mengembalikan
kepercayaan publik terhadap pemerintahan sehingga penyelesaian kasus-kasus pun
tidak sekedar “menyenangkan” publik.
Kedua, menciptakan
dan menetapkan pemerintah yang baik(Good
Government). Dalam rangka mewujudkan demokrasi di Indonesia,
pemerintah dituntut untuk menyelenggarakan pemerintahan terbuka (open government), yang merupakan salah
satu konsep dasar pada terwujudnya good
governance. Pada hakekatnya konsep pemerintahan yang terbuka mengandung
pengertian bahwa seluruh kegiatan pemerintahan terutama yang berkaitan dengan
kepentingan hajat hidup masyarakat banyak harus transparan, dapat diamati dan
diawasi oleh masyarakat. Di dalam pemerintahan terbuka ini juga accountability publik dapat berjalan.
Untuk dapat mengamati dan mengawasi kegiatan pemerintahan, masyarakat harus
memiliki hak atau kemudahan dalam memperoleh informasi yang dikuasai oleh
pemerintah.
Ketiga, utamakan
hak masyarakat. Masyarakat harus mempunyai hak untuk berpartisipasi dan
berperan serta dalam proses pengambilan keputusan, di samping hak untuk
menyampaikan keberatan berkaitan dengan proses dan mekanisme pengambilan
keputusan, substansi atau materi pengaturannya serta keberatan atas
diabaikannya hak-hak tersebut. Hal ini penting mengingat selama ini, masyarakat
hanya dijadikan untuk memperkuat apa yang dilakukan oleh pemerintah. Masyarakat
juga dimainkan oleh hukum tanpa dapat terlibat lebih jauh.
Keempat, menangkap
dan menghukum seluruh pelanggar HAM dan pelaku KKN. Selama ini penanganan
terhadap pelanggar HAM dan pelaku KKN masih belum terlihat dengan jelas atau
dengan kata lain penanganan kasus ini masih terlihat ‘main-main’. Oleh karena
itu, dituntut ketegasan aparat hukum untuk melakukan tindakan tegas tanpa
terkecuali dan mengusahakan pengembalian harta hasil korupsi ke kas Negara
untuk kemaslahatan umat.
Kelima, perberlakuan hukum yang adil. Masyarakat selama ini merasa tidak
diperlakukan secara adil oleh hukum, karena persoalan penanganan masalah hukum
selama ini yang terjadi adalah yang mempunyai power akan diperlakukan lebih daripada masyarakat biasa. Kasus ini
bukan hanya terjadi pada beberapa masalah, namun juga berlangsung hampir pada
seluruh kasus yang langsung berhubungan dengan masyarakat. Oleh karena itu,
perberlakuan hukum yang adil dan tidak ada pemihakan mutlak diperlukan agar
kepercayaan masyarakat kepada hukum dapat kembali timbul. Hal ini pun dapat
meminimalisir sikap anarkis yang muncul di masyarakat.
Keenam, reformasi agraria Meliputi
a.
mendesak kepada pemerintah untuk segera
menyelesaikan persengketaan tanah/agrarian seluruh Indonesia.
b.
Mendesak kepada pemerintah, DPR RI dan
GPN pusat untuk membentuk panitia land rifand diseluruh daerah-daerah yang
terjadi konflik agama atau persengketaan tanah
c.
Menolak dengan tegas perpres no 36/2005 tentang
pengadaan tanah untuk kepentingan umum karena sudah mengingkakari hak Asazi
rakyat
Ketujuh, menolak segala bentuk kekerasan yang
bertentangan dengan hokum dan nilai-nilai kemanusiaan
Kedelapan, Perlindungan dan pemenuhan hak seluruh
lapisan masyarakat baik buruh dan TKI,petani, nelayan dengan membuat UU
perlindungan buruh dan TKI.
Kesembilan, reformasi juga penting untuk dilakukan
ditingkat aparat penegak dan penanggulangan korupsi, seperti Kejaksaan Agung.
Sehingga kehadiran lembaga tersebut benar-benar mampu bekerja secara maksimal
dan bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain untuk melakukan pemberantasan
korupsi secara optimal.
Kesepuluh, mendesak pembentukan UU pembuktian terbalik yang diberlakukan kepada
seluruh elemen masyarakat.
Kesebelas, endesak pembentukan UU perlindungan saksi.
IV.
Pokok-Pokok Pikiran dan Rekomendasi Bidang Agama
Fakta maraknya aksi
spontanitas dengan menggunakan label agama dalam menanggapi berbagai fenomena
seperti demonstrasi di kedutaan besar Amerika ketika menyikapi aksi militer AS
terhadap Afganistan dan Irak, merupakan suatu indikasi betapa umat
beragama (Islam) masih sangat sensitif
dan cenderung reaksioner dalam menyikapi berbagai persoalan, terutama ketika
menyentuh masalah agama. Padahal tudingan tersebut, bukan di alamatkan pada
wilayah substansi ajaran agamnya, melainkan fenomena tampilan ke-agama-an yang
bersifat karitatif.
Islam di Indonesia yang
selama ini tampil dalam format kultural atau yang lazim di sebut “pribumisasi
Islam”. Tampilan ini biasanya menggunakan dua lokomotif kekuatan kultural Islam
Indonesia:
NU dan Muhammadiyah. Kini, telah merebak
beberapa kekuatan yang cenderung “radikal” dan “fundamental” dalam pendekatan
teologisnya. Mereka menjadi a-historis dengan sejarah kultur ke-Islaman di
Indonesia, dan “mencoba” menggunakan “tafsir Timur Tengah” dalam menerjemahkan
teks agama. Dalam memaknai teks suci kelompok ini cenderung skripturalis (qouliyah).
Padahal dalam langgam
mayoritas (jumhur ulama) Indonesia,
pendekatan tafsirnya menggunakan pendekataan substansialis (kauniyah), dimana memaknai teks suci
sesuai dengan kondisi sosial dan budaya munculnya teks tersebut. Anehnya,
kelompok ini makin hari memang makin subur di Indonesia. Bahkan menjadi kelompok
“primadona” di kalangan kelas menengah terutama lapisan intelektual.
Apalagi bagi Indonesia yang
mempunyai pandangan keagamaan substansial dan inklusif demokrasi, pluralisme,
liberasi dan pengakuan HAM merupakan prasyarat bagi tercapainya suatu
masyarakat seimbang, setara dan berkeadilan sebagaimana dicita-citakan para
pendiri bangsa. Adagium tersebut kendati tidak ada dalam teks suci, namun compatible dengan nilai agama (Islam)
sehingga tidak harus dipertentangkan. Bahkan harus dipadukan, karena mempunyai
substansi dengan ajaran Islam, seperti al-hurriyah, (kebebasan), al-musawah
(kesamaan) dan nilai-nilai lainnya.
Fenomena bom di Legian Bali, kemudian memberi imbas terhadap kehidupan beragama
di Indonesia,
khususnya Islam. Pasca peristiwa tersebut, Islam di Indonesia menyandang
predikat teroris. Ada
apa dengan kehidupan keagaman (Islam) di Indonesia sehingga diidentikkan dengan
gerakan terorisme transisional dan jaringan al-Qaeda. Padahal selama ini Islam
di Indonesia paling dikenal sebagai Islam yang toleran, humanis, inklusif dan
jauh dari image kekerasan (violence) sebagaimana praktek ke-Islaman
di beberapa negara di Timur Tengah.
Berdasarkan gambaran di
atas, PMII sebagai salah satu komponen bangsa yang menjunjung nilai-nilai
pluralisme merekomendasikan beberapa hal, pertama,
berpartisipasi aktif untuk menghentikan radikalisasi atas nama agama. Bahwa
tindakan radikalisme yang muncul dari beberapa kelompok agama telah menimbulkan
perasaan tidak nyaman dan dapat memecah belah umat. Pembelaan terhadap
prinsip-prinsip keagamaan mestinya dilakukan sejajar dengan pembelaan
negara-bangsa, yang merupakan modal utama untuk kelanjutan kegiatan keagamaan.
Kedua, mempertahankan dasar negara Pancasila. Islam tidak
dapat dijadikan alat pemersatu, sebab budaya, tradisi dan kepercayaan pra-Islam
masih sedemikian hidup pada saat kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Untuk
itulah diciptakan Pancasila sebagai persamaan terkecil seluruh bangsa, untuk
menghadapi kekuatan sentrifugal kepulauan yang multi-etnis, multi-budaya, dan
multi-religius ini. Dewasa ini, Pancasila diakui sebagai dasar negara, mungkin
justru karena ia tidak menghalagi islamisasi masyarakat.
Ketiga, menolak pelembagaan
agama dalam negara
V. Pokok-Pokok Pikiran dan Rekomendasi Bidang Sosial Budaya
Budaya
Indonesia
saat ini hampir hancur luluh bersamaan dengan menguatnya sistem korporatisme
negara ini. Kebudayaan sebagai nation
identity saat ini tidak jelas di negeri ini. Para pemimpin Indonesia
sedikit pun tidak meninggalkan warisan nilai-nilai dan tradisi luhur sebagai
sumber dan inspirasi budaya nasional, akan tetapi negara ini selalu diwarisi
dengan konflik kepentingan, konflik berdarah, korporatisme, monopoli, korupsi
dan sederet nilai-nilai budaya tak terpuji. Warisan budaya kebersamaan,
kekeluargaan, toleransi, pluralitas, kini hanya tinggal di museum-museum budaya
atau galeri-galeri pinggir kali yang sama sekali tidak pernah disentuh oleh
lapisan masyarakat kita.
Sementara
itu, rasa kepedulian masyarakat sudah menurun. Ini ditandai dengan
ketidak-pedulian kepada sesama kaum tertindas, malahan cenderung saling
menindas. Sifat ini dapat dilihat dari adanya diskriminasi terhadap perempuan,
orang-orang cacat, masyarakat miskin, dan golongan minoritas. Sikap sosial ini
mengingatkan kita pada sikap hidup ‘barbarian’ yang mempunyai prinsip hidup
‘siapa yang kuat dia yang berkuasa’.
Dalam
kondisi inilah sesungguhnya bangsa kita telah hancur dan tidak memiliki
karakteristik sendiri. Budaya-budaya adiluhung yang melambungkan negeri ini di
hadapan dunia internasional, kini telah tercabik-cabik oleh kepentingan semu
dan sempit dari para pemimpin politik. Ironisnya, para pemimpin memahami budaya
hanya sebagai simbol dan ritual formal belaka, namun kebudayaan tidak dipahami
sebagai sebuah tata dan pola kehidupan yang mengandung nilai, ajaran dan/atau
bahkan ideologi yang justru menjadi sumber serta inspirasi bagi seluruh rakyat
bangsa ini. Untuk itulah upaya character
building melalui budaya menjadi penting dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Revolusi yang akhirnya mereposisi kebudayaan kita mutlak diperlukan
sebagai bagian dari menata pola pikir dan karakteristik bangsa ini.
Menyikapi
hal itu maka PMII mengajukan rekomendasi, pertama,
modernisme dapat disiasati dan disinilah fungsi budaya untuk menyaring efek
negatif modernisasi dari Negara lain dengan menghidupkan lagi kebudayaan
masyarakat yang pluralistik. Sebagai nilai-nilai yang berlaku, kebudayaan harus
dihidupkan dan dikembangkan sesuai dengan kepribadian bangsa. Kebudayaan sebagai nilai-nilai yang berlaku
di masyarakat harus dihidupkan dan dipertahankan, sebab di dalam kebudayaan
terdapat nilai-nilai dan norma luhur. Rusaknya negara ini salah satunya akibat
hilangnya budaya luhur di masyarakat. Masyarakat sudah kehilangan moral dan
etika tapi lebih berusaha untuk mencari sesuatu yang baru dengan label
modernisme. Memang, modernisme tidak bisa dihentikan, tapi modernisme dapat
disiasati dan di sinilah fungsi budaya untuk menyaring efek negatif modernisme.
Kedua, perlunya partisipasi seluruh
komponen masyarakat serta pembangunan yang berkebudayaan. Pembangunan yang
dilakukan oleh pemerintah baik di pusat maupun di daerah harus sesuai dengan
budaya lokal yang berlaku agar masyarakat dapat menikmati pembangunan tersebut
dengan maksimal. Pembangunan yang berkebudayaan dapat berdampak positif bagi
perkembangan mental spiritual masyarakat dan memperkuat eksistensi masyarakat.
Masyarakat tidak merasa ditinggalkan akibat dampak dari pembangunan. Oleh
karena itu, di dalam melakukan proses pembangunan diperlukan partisipasi
masyarakat, sehingga rasa memiliki tersebut menjadi besar.
Ketiga, menolak diskriminasi social
budaya. Perlu disadari bahwa meningkatkan rasa kebersamaan dan menghilangkan
diskriminasi merupakan bagian yang utuh dalam proses sosial budaya. Upaya untuk
meningkatkan persoalan ini telah merupakan suatu ‘gerakan global’ yang menembus
batas-batas nasionalitas dan lingkungan sosial budaya. Gerakan ini bukan lagi
menjadi milik bangsa Indonesia,
akan tetapi sudah menjadi masyarakat internasional. Apabila ada yang melakukan
diskriminasi social budaya maka dapat dikenakan sangsi terhadap negara yang
melakukannya.
Keempat,
mengadakan kerjasama lintas budaya antara daerah untuk menghidupkan dan
mempertahankan nilai-nilai luhur budaya.
Kelima, menolak kapitalisasi dan
komersialisasi budaya internasional
VI. Pokok-Pokok Pikiran dan Rekomendasi Bidang Pendidikan
Pendidikan
merupakan investasi demokrasi dengan menjadikan manusia beradab yang notabene
adalah human capital bagi pembangunan. Seringkali terdengar adagium ini
dari banyak orang, baik kalangan intelektual, akademisi, aktivis bahkan
politisi. Begitu pentingnya pendidikan bagi masa depan sebuah bangsa sehingga
generasinya harus mempersiapkan kualitas dirinya. Untuk itu, instrumen
pendidikan mulai dari sistem pendidikan, kualitas pengajar, dan biaya,
memerlukan perubahan untuk peningkatan hasil pendidikan. Karena pendidikan kita
selama ini tidak menjawab berbagai kepentingan masyarakat bangsa justru
melahirkan kekerasan, ketidak-adilan, dan jumlah pengangguran semakin tinggi.
Sistem
pendidikan yang menjadikan peserta didik sebagai obyek telah memberangus
potensi kritis sehingga model pembelajaran gaya bank semacam ini sebagaimana yang
digugat Freire harus segera dihapuskan. Karena pendidikan seharusnya
membebaskan manusia, bukan malah membelenggu kreativitas berpikir manusia. Oleh
karena itu, sistem pendidikan termasuk kurikulum harus berfungsi sebagai media
pencerahan bagi peserta didik. Pendidikan beserta seluruh perangkatnya sangat
mempengaruhi sikap dan perilaku manusia sehingga output pendidikan sangat dipengaruhi sistem pendidikan yang
diterima. Misalnya sistem pendidikan yang tidak mempertimbangkan kepentingan
gender laki-laki dan perempuan akan melahirkan relasi yang timpang antara
laki-laki dan perempuan di masyarakat. Seringkali mereka gagal dalam
mengidentifikasi dirinya. Selain itu, pendidikan agama yang simbolik dan
monoton hanya mengerdilkan sikap keber-agama-an dan moralitas. Pendidikan agama
tidak diposisikan sebagai kebutuhan pelengkap dari proses pendidikan. Oleh
karena itu, seharusnya menempati porsi tersendiri dengan muatan pilihan moral
bukan doktrinasi.
Berlangsungnya
pendidikan yang feodalistik, paternalistik, dan tidak peka gender sudah
mengakar di alam bawah sadar, sehingga untuk merubahnya dibutuhkan kesadaran
yang tinggi. Di samping perubahan seluruh sistem pendidikan dan perangkatnya
membutuhkan biaya tinggi untuk peningkatan kualitas. Tidak berarti dengan
tingginya biaya yang dibutuhkan menjadi kendala yang berarti, tidak juga hanya
menjadi beban peserta didik. Karena mendapatkan pendidikan berkualitas dan
murah menjadi hak bagi setiap warga negara, dan pemerintah sebagai
penyelenggara negara wajib untuk memenuhinya karena berkaitan dengan hajat
hidup orang banyak.
Oleh karenanya PMII
merekomendasikan ; pertama, adanya perubahan sistem pendidikan dari
pembentukan pribadi mekanik ke arah intelektual organik dengan rekonstruksi
potensi daya kritis.
Kedua, Pemerintah perlu untuk
secepatnya merealisasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen baik dalam APBN
maupun APBD. Dengan demikian perbaikan infrastruktur pendidikan dan pemberian
sarana dan prasarana lain dapat secepatnya dilakukan
Ketiga, metodologi pembelajaran
yang egaliter antar pengajar dan peserta didik dan sesama peserta didik
sehingga terjadi proses dialogis
Keempat, mengembangkan daya kritis peserta didik dengan
kebebasan berpikir
Kelima, menyelenggarakan
pendidikan agama yang komprehensif tanpa doktrinasi
Keenam, pemerintah wajib
menyelenggarakan pendidikan murah dan berkualitas bagi masyarakat.
Ketujuh, pendidikan gratis bagi
masyarakat miskin dan rentan
Kedelapan, pendidikan khusus bagi
masyarakat pasca kerusuhan
Kesembilan, menolak standarisasi
nasional, karena jelas akan menghilangkan kaidah dan kompetensi pendidikan yang
berbasiskan pada kedaerahan atau lokal
Kesepuluh, perlu mengembangkan
kurikulum pendidikan yang peka gender
Kesebelas, meningkatkan kesejarteraan
dan profesionalisme tenaga pendidik
Keduabelas, menghilangkan segala
tindak kekerasan dan diskriminasi pada semua level dan tingkat pendidikan.
Ketiga belas, pemerintah wajib memberikan keseimbangan kesempatan bagi aut put
pendidikan baik dari departemen agama maupun departemen pendidikan.
VII. Pokok-Pokok Pikiran dan Rekomendasi Keadilan Gender
Demokrasi
pada dasarnya merupakan konsep politik yang membincangkan tentang hubungan
antara rakyat dan yang memimpinnya. Didalamnya terdapat nilai-nilai dan etika
politik yang harus diwujudkan untuk membangun tata hubungan kemasyarakan dan
kenegaraan yang harmonis dan adil. Bersamaan dengan perubahan-perubahan yang
terus terjadi, konsep demokrasi telah mengalami perluasan. Demokrasi dimaknai
tidak hanya dengan menggunakan perspektif politik, melainkan juga dalam
perspektif yang lain seperti sosial, ekonomi, budaya dan hukum.
Dalam perkembangan
pemikiran tentang demokrasi, dalam pelbagai dimensi dan perspektifnya, satu hal
yang sangat menarik untuk digarisbawahi adalah keberadaan atau posisi
perempuan. Pengingkaran (peminggiran) perempuan dalam pelbagai bidang seperti
ekonomi, politik, sosial dan hukum merupakan kritik terhadap wacana dan gerak demokrasi saat ini. Secara teoritik,
demokrasi bersifat genderless.
Artinya perbedaan seks tidak memberi efek pada posisi public perempuan. Namun
apabila kita lihat, perkembangan demokrasi ternyata sangat tidak berbanding
lurus dengan keadilan gender.
Praktek-praktek bias
gender yang kental dapat kita temukan dalam kebijakan dan perilaku sosial
politik pemerintah. Beberapa kebijakan yang sangat berpengaruh terhadap nasib
perempuan khususnya harus segera direvisi. Diantaranya adalah UU Politik, UU
Pendidikan, UU Kesehatan, UU Perburuhan, UU Pemilihan Anggota DPR, DPD dan DPRD
dan UU lain yang keberadaannya akan sanagt mempengaruhi nasib perempuan.
Perbaikan nasib perempuan memiliki 3 (tiga) nilai strategis. Yang pertama,
menjadikan sebagian besar penduduk (jumlah perempuan lebih dari separoh)
memiliki kualitas yang lebih baik, sehingga akan mempengaruhi kualitas
keseluruhan masyarakat. Kedua, perempuan memiliki peranan yang sangat besar
untuk melahirkan generasi penerus (prokreasi), kondisi kesehatan, pendidikan
dan pengalaman akan mempengaruhi kondisi generasi yang dilahirkannya. Ketiga,
perempuan dalam praktek kehidupannya sudah tersebar di pelbagai bidang; artinya
hubungan public laki-laki dan perempuan merupakan persoalan kepemimpinan dimana
harus terbuka dan egaliter. Siapapun yang memilki potensi yang lebih bagus,
baik laki-laki atau perempuan, harus didorong untuk menjadi pemimpin.
Mempertimbangkan perspektif
gender dan melibatkan perempuan dan laki –laki dalam proses pembuatan keputusan
adalah sine qua non dari berbagai kerangka kerja
demokratik. Oleh karena demokrasi perdefinisi tidak bisa dianggap menciptakan
pengaburan gender maka ia harus berupaya keras untuk mengarah pada kesetaraan
dan reperesentasi pada perempuan dan laki- laki dalam pengambilan keputusan
dalam berbagai kesempatan untuk meraih tujuan. Inilah persoalan yang sedang
dihadapi perempuan di dunia ketiga seperti Indonesia. Disamping rendahnya
kesadaran gender dikalangan pengambilan
keputusan, keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan dan
pengembangan publik (oleh lembaga –lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif dan
TNI –Polri ) sangat minim jumlahnya sehingga tidak mengherankan jika hasilnya
sangat merugikan bagi perempuan (tidak peka gender) diseluruh sektor
pembangunan ekonomi, sosial, budaya, hukum dan politik. Dikatakan tidak peka
gender karena tidak mempertimbangkan pengalaman, aspirasi, dan kepentingan
antara laki –laki dan perempuan serta belum menetapakan kesetaraan dan keadilan
gender sebagain tujuan atau sasaran akhir kebijakan pembangunan.untuk itu keadilan ini harus
terus diperjuangkan dengan meningkatkan partisipasi politik perempuan sebagai affirmative action melalui kuota untuk
mendapatkan kesetaraan hasil (equality of
result). Affirmative action merupakan tindakan strategis yang harus diambil
sebagai tindakan khusus yang bersifat sementara (temporary special measure) percepatan peningkatan representasi
perempuan. Semakain banyak perempuan diposisi pengambilan keputusan akan
semakin baik karena secara logika dipastikan perempuan akan juga membela
kepentingan perempuan. Akan tetapi yang terpenting dari proses ini adalah
dibukanya kesempatan bagi perempuan dalam wilayah pengambil kebijakan,
mengingat kesempatan inilah oleh berbagai cara coba dihambat.
Memang tidak gampang mendorong meningkatnya
partisipasi politik perempuan karena banyaknya kendala yang harus dihadapi
meskipun hak- haknya dijamin oleh hukum, retorika politik pemerintah yang manis
dan demokrasi partisipatori. Patriarkhi,
subordinasi ( penyingkiran dalam politik), marginalisasi (proses pemiskinan
ekonomi), stereotyping (pelabelan
atau cap-cap sosial yang memungkinkan berlanjutnya ketidak adilan gender) ,
kekerasan (violence), double burden (beban ganda), legitimasi
agama dan budaya terhadap diskriminasi perempuan, sosialisasi ideologi nilai
peran gender, public domain menjadi
persepsi yang melekat pada laki- laki, bahwa kontrak sosial adalah mengenai
hubungan antara laki- laki dan pemerintahan bukan warga negara dengan
pemerintahan, semuanya merupakan manifestasi ketidakadilan gender akan tetapi
merupakan ketidakadilan sosial karena saling mempengaruhi secara dialektis.
Dengan
demikian tanggung jawab penegakan keadilan ini semata- mata bukan dipundak
perempuan untuk menuntut hak- haknya (pemenuhan kebutuhan praktis dan strategis)
meskipun ada kesadaran bahwa penindasan harus mereka tanggulangi sendiri. Lebih
dari itu, harus melibatkan seluruh warga
bangsa terutama laki-laki, bersama memiliki kesadaran kritis akan kepentingan
penghargaan atas HAM ini. Salah satunya
dengan mensupport penigkatan partisipasi politik perempuan (baik kuantitas
maupun kualitas) untuk terlibat dalam proses pengambilan kebijakan baik yang
ditetapkan oleh lembaga legislatif, eksekutuif yudikatif, TNI/POLRI agar
ketimpangan ini tidak berlanjut. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan
sinergi dan aliansi strategis antara berbagai kekuatan dan lembaga yang peduli
tehadap terbentuknya format politik yang menguntungkan bagi kepentingan
perempuan. Juga tidak kalah penting untuk memperkuat ini, adalah menjalin
kemitraan dengan lembaga –lembaga yang memiliki visi pemberdayaan perempuan dan
masyarakat umumnya-- seperti ormas (Organisasi Kemasyarakatan), OKP (Organisasi
Kepemudaan), LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) organisasi perempuan, berbagai
instansi pemerintah dan lain sebagainya.
Jaminan partisipasi
politik perempuan ini sebenarnya dilindungi oleh negara kita, Republik Indonesia
dengan meratifikasi dua perjanjian (konvensi) hak asasi manusia tentang
perempuan. Yakni mengenai hak politik perempuan atau convention of the political
rights of women. Dan konvensi mengenai
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan atau convention on the elimination of all forms
of discrimination against women disahkan melalui undang –undang RI no. 7
tahun 1984--, penanggung jawab pelaksan konvensi adalah kementrian negara
urusan peranan wanita (sekarang menteri negara pemberdayaan perempuan). Tinggal
apakah kita mempunyai political will
menyelaraskan kehendak dan kenyataan, antara wacana demokrasi dengan perilaku
sosial. Nampaknya, rencana aksi untuk membenahi ketidak seimbangan yang ada
dalam partisipasi laki- laki dan perempuan dalam kehidupann politik ( plan of action to correct present imbalances
in the participation of men and women in political life ) menjadi agenda yang harus kita prioritaskan.
Oleh karena itu, PMII merekomendasikan
beberapa hal yaitu, Pertama, ketidak-adilan terhadap perempuan merupakan
permasalahan HAM yang menjadi tanggungjawab seluruh masyarakat bangsa baik
laki-laki maupun perempuan untuk menegakkannya.
Kedua, setiap program pembangunan dalam perencanaan, pelaksanaan dan
pengawasanya harus selalu mempertimbangkan kepentingan gender agar hasilnya
tidak melahirkan ketimpangan dan ketidakadilan masyarakat yang mana sebagian
besar dari mereka adalah perempuan.
Ketiga, mensupport berlangsungnya mekanisme politik yang berkeadilan gender
dengan akses dan kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan sebagai
pengambil keputusan dan pembuat kebijakan publik di berbagai lembaga formal
(yudikatif, eksekutif, legislatif,TNI- Polri).
Keempat, menggunakan system quota
sebagai langkah affirmative action
baik melalui legislasi nasional maupun dengan prakarsa dari partai politik yang
didukung oleh berbagai lembaga masyarakat (Ormas, OKP, LSM, Organisasi
Perempuan dan sebagainya).
Kelima, pemerintah bersama seluruh elemen masyarakat bangsa berkewajiban
mensosialisasikan dan mengembangkan perilaku sosial, politik, budaya, ekonomi,
dan keamanan yang peka terhadap kepentingan gender.
Keenam, KOPRI melakukan penguatan jaringan baik dengan lembaga-lembaga didalam NU
seperti Fatayat, Muslimat, IPPNU, dll, maupun dengan organisasi dan
lembaga-lembaga strategis lainnya diluar NU.
Ketujuh, bersama-sama
dengan lembaga dan organisasi lainnya untuk mengkampanyekan isu-isu Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan isu-isu kesehatan reproduksi perempuan.
Kedelapan, bekerjasama dengan lembaga
dan organisasi lainnya untuk melakukan kajian-kajian gender dengan berbagai
aspek (Ekonomi, agama, social dan budaya)
VIII. Pokok-pokok Pikiran dan Rekomendasi bidang Lingkungan
Lingkungan merupakan kekayaan yang tak
ternilai harganya, namun seringkali penebangan dan kerusakan hutang terjadi
dimana-mana maka untuk melestarikan dan melingdungi kekayaan yang tak ternilai
harganya ini PMII merekomendasikan.
1.
mempertahan kan
ekologi dan vegetasi didaerah hutan
2.
menolak HPH yang erugukan rakyat
3.
mendesak kepada pemerintah RI untuk mencabut UU no tentang ekplorasi di hutan lindung
4.
mendesak kepada pemerintah RI untuk memperluas kawasan hutan lindung dan
arcalk untuk vegetasi hayati dan nabati yang sudah hilang.
5.
mengusut tuntas segala bentuk illegal logging dan fishing Loging di
Indonesia
6.
kembalikan tanah dan hutan adat untuk pelestarian.
BIDANG INTERNAL
Sebagai organisasi yang terus berbenah
diantara kenyataan-kenyataan dan sebuah keharusan-keharusan, maka sudah
seharusnya jika PMII senantiasa mencari jati diri dan mengali sejarahnya secara
dialektis dengan sejumlah tarikan-tarikan yang tak pernah sepi. Mandat sosial
PMII yang berasal dari “harapan-harapan” warga pergerakan bukan sesuatu yang
mudah manakala berkelindan dengan dinamika sosial yang seringkali tanpa
dinyana. Differensiasi kader pergerakan, kapasitas intelektual, daya serap,
latar belakang, pengalaman, cita-cita, memberi dan menuntut sejumlah ruang
aktualisasi. Senyatanya medan
pergerakan (PMII) adalah anak tangga pembelajaran bagi terpenuhinya mobilitas
vertikal kader dalam medan
sosial yang lebih luas. Sebagai Media pembelajaran PMII menjadi “miniatur”
lembaga sosial, lembaga ekonomi, lembaga kebudayaan, termasuk lembaga politik,
lembaga akademik, dan lembaga agama serta lainnya. Di anak-anak tangga itulah
terdapat sejumlah pilihan sadar yang harus dipilih oleh kader. Walaupun, entah oleh hiruk-pikuk euforia
politik yang selalu dicover media atau karena proses kaderisasi, citra dan
popularitas kader politisi justru tampak lebih menonjol.
Lebih dari itu, tampaknya organisasi yang
baik dan sehat haruslah berjalan dalam track
yang mendukung tiga keberlanjutan, yaitu keberlanjutan organisasi (institutional sustainability),
keberlanjutan program (program
sustainability) dan sekaligus keberlanjutan warga/basis/kader (social sustainability).
Keberlanjutan organisasi adalah sebuah sistem
besar yang yang memperlihatkan karakteristik, identitas, dan eksistensi sebuah
gagasan-gagasan besar (semacam ideologi) sebagai titik pijak. Di PMII muncul
apa yang disebut Aswaja, NDP atau Paradigma Kritis Transformatif. Lalu gagasan
dasar ini dicarikan wadah strukturalnya, otoritas/wewenangnya, komunitasnya,
aturan-aturannya, dll. Dalam sistem besar inilah dibreak-down sebuah program yang spesific
(fokus), Measurable (terukur), applicable (mungkin dilaksanakan) , realistic (sesuai dengan kebutuhan), Time bound (ada tenggang waktu). Di sini
adalah tahapan proses yang memungkinan ada kerja-kerja menghidupkan kader dan
munculnya kader yang hidup. Sementara yang terakhir adalah keberlanjutan
warga/kader. Ini adalah out-put
(keluaran) dari sebuah sistem yang bekerja. Jika disederhanakan hubungan keberlanjutan
organisasi, keberlanjutan program dan keberlanjutan kader/warga berada dalam
tahapan-tahapan hubungan antara input, proses dan out-put.
Dalan kaitan inilah rekomendasi ini dapat
dibaca dalam kerangka membumikan dan menyambungkan ketiga hubungan yang
simbiosis-mutualistik dan komplementer tersebut. Keberlanjutan yang dimaksud
tidak dalam spektrum waktu dan ruang tertentu tapi menjangkau masa lalu, masa
kini dan kemungkinan masa depan sehingga selalu mempertimbangkan aspek
keterkaitan, bukan menafikan. Beberapa hal yang penting direkomendasikan
adalah:
1. Otonomisasi dan
desentralisasi berbasis di Cabang dan Rayon.
Tidak tuntasnya keinginan untuk
memberikan keleluasaan secara otonom kepada Cabang-cabang di daerah memang
memperlihatkan kegagapan cabang-cabang dalam mengimplementasikan gagasan untuk
otonom. Sebab improvisasi dan kecerdasan masing-masing dalam mengaktualisasikan
otonomi dan desentralisasi itu yang justru berjalan alamiah atau bahkan “liar”
tanpa panduan ke arah mana atau sebatas mana otonomi dan desentralisasi itu
berjalan.
Keinginan untuk otonomi dan
desentralisasi selama ini dipahami dalam semua level struktur (Korcab, Cab,
Komisariat, Rayon) semetara di beberapa daerah pada saat yang sama terdapat
beberapa kesulitan tekhnis menyangkut area kewenangan. Pengurus PB, Korcab,
Cabang, Komisariat, Rayon dalam beberapa hal bergerak dalam wilayah Kontestasi
yang sama. Baik menyangkut ruang maupun isu. Oleh karena itu, pergerakan
seharusnya dibagi dalam jenjang-jenjang pemberdayaan kader secara sinambung.
Secara berjenjang, laboratorium sosial kader justru harus berbasis di Rayon.
Pengurus Rayon harus bergerak memperkuat kapasitas dan kapabilitas dasar yang
umum dari kader. Seperti bahasa inggris, Kemampuan tulis-menulis/jurnalistik,
teori-teori sosial (bagi mahasiswa humaniora),
atau teori-teori alam (bagi mahasiswa eksakta), bahkan ilmu-ilmu agama
dasar dll.
Sedangkan Cabang bergerak
memperkuat aktualisasi diri kader, seperti kemampuan pengorganisasian
masyarakat, research, politik praktis, intelektual-akademis, atau aktivis
extra-parlementer, dll. Sementara Korcab dan komisariat menjadi lembaga antara
yang memperdekat jarak komunikasi antara Rayon dan Cabang atau rayon dengan lingkungan sosial di satu perguruan
tinggi (bagi komisariat) dan antara Cabang dengan PB atau Cabang dengan
lingkungan sosial di level Propinsi (bagi Pengurus Korcab). Maka Korcab adalah
“perpanjangan kaki” PB ke Cabang dan sekaligus “perpanjangan tangan” Cabang ke
PB dan Komisariat adalah “perpanjangan kaki” Cabang ke Rayon dan sekaligus
“perpanjangan tangan” Rayon ke Cabang. Sebagai pengecualian, karena situasi
khusus, fungsi-fungsi lembaga antara tidak berlaku bagi derah-daerah yang tidak
ada Korcab dan tidak ada Rayon. Selanjutnya bagi daerah-daerah yang tidak ada
Rayon maka otonomisasi sementara berbasis di Komisariat.
2. Pengembangan Struktur
yang kuat dan berkelanjutan.
Sehubungan dengan yang pertama,
hal ini merupakan refleksi pengalaman atas penafsiran Cabang-cabang yang
terlampau jauh bergerak melakukan upaya otonomisasi/desentralisasi secara liar
dan serampangan di satu sisi dan pengalaman setiap kepemimpinan rezime PMII (di
semua level) yang selalu memutus rangkai
keterkaitan sejarah dengan rezime sebelumnya bahkan dalam beberapa hal tampak
jelas kita membudayakan tradisi negasi (peniadaan) tanpa ada keinginan untuk
melakukan konfirmasi juga affirmasi atas warisan-warisan yang relevan.
Selama ini Batang tubuh PMII
tidak mampu bergerak lugas karena struktur-nya menyatu atau tersentralisasi
dalam ketunggalan strukturnya. Padahal dengan struktur yang menyatu itu, PMII
tidak mampu secara cerdas bermain cantik di ruang sosial yang lebih luas.
Ibarat kesebelasan sepak bola, PMII hanya bisa bermain dengan satu pola dan
karena itu pergerakannya mudah dibaca oleh kesebelasan lawan. Tanpa mampu bahkan takut membuat improvisasi, karena akan
takut dicaci maki atau dianggap desersi. Karena itu, seharusnya PMII membuat
struktur yang kuat dan berkelanjutan dalam pengertian: (a) Struktur (semacam
lembaga-lembaga/badan semi otonom) yang sama di semua level kepengurusan dari
mulai PB, Korcab, Cabang, sampai Rayon. Walaupun ini tidak menafikan
kemungkinan adanya struktur yang berbeda untuk mengakomodir kecenderungan atau karakteristik masing-masing
yang memang berbeda. (b) Membuat
struktur (semacam lembaga-lembaga atau badan semi otonom) yang tetap dalam
jangka waktu tak terbatas. Untuk sekedar contoh, lembaga-lembaga atau Badan otonom di NU yang namanya tidak
berubah-ubah, seperti IPNU, IPPNU, atau LKKNU, LDNU, LAKPESDAM, dll.
Dengan ini ada beberapa keuntungan yang
kita peroleh: (a) Batang tubuh PMII akan dengan lentur dan leluasa bergerak
memainkan peranan ke semua sektor, termasuk peran politis. sementara
lembaga-lembaga semi-otonom akan menjadi lembaga-lembaga strategis dan
profesional tanpa tergantung ke batang tubuh. (b) Ada kontinyuitas sejarah pergerakan yang
terukur yang memungkiinkan lembaga-lembaga semi-otonom bahkan PMII secara keseluruhan memiliki nilai tawar
keluar. Karena akan dilihat orang lain dengan nilai lebih pengalaman/peranan
bersejarahnya. Padahal dengan nama lembaga yang berubah-ubah justru terlihat
lembaga-lembaga di PMII hanya terus-menerus menjadi “kelinci percobaan” (c) ada persebaran peran
kader yang memungkinkan kader PMII terwadahi berdasarkan bakat, minat, skill
dan kapasitas yang dimiliki sebagai tempat aktualisasi diri.
3. Menyelesaikan segala
administrasi dan komunikasi yang masih kucar kacir.
Persoalan administrasi dalam sebuah organisasi adalah
suatu hal yang mutlak dan harus. Pengaturan menegerial organisasi dengan
mekanisme administrasi adalah upaya untuk melakukan perbaikan managerial
organisasi. Maka menjadi penting bagi PMII adalah memperbaiki system dan
mekanisme administrasi organisasi yang selama ini dianggap “amboradul”.
Perbaikan system administrasi ini juga berkaitan
langsung dengan makanisme komunikasi antar struktur organisasi, dari tingkat
rayon sampai ke tingkat PB. Hal ini penting untuk menjaga kesinambungan isu dan
sikap-sikap politik antara PB PMII dengan struktur di bawahnya, yaitu Koorcab,
Cabang, Komisariat dan Rayon. Hambatan tekhnis komunikasi yang selama ini
sering dijadikan sebagai alasan atas kebuntuan komunikasi, harus secepatnya
diselesaikan, sehingga kita tidak lagi harus terjebak pada asumsi-asumsi yang
mendasari atas berbagai steatment dan sikap politik yang meski dilakukan oleh
organisasi pada level apapun.
4. Mempertegas pengkaderan sebagai basis utama
organisasi
PMII adalah organisasi pengkaderan, sehingga
menjaga keberlangsungan organisasi kaderisasi adalah tugas utama dari PMII.
Dalam konteks melakukan pengkaderan, berbagai kendala dan hambatan yang selama
ini selalu menjadi persoalan harus
secepatnya di atasi. Menciptakan keseimbangan system pengkaderan antara kampus
yang berbasiskan agama dan kampus umum menjadi sebuah kebutuhan untuk menjaga
PMII agar tetap astablis. Dengan demikian, untuk menjaga keberlangsungan
kaderisasi di PMII, maka PMII harus mampu menyediakan pelatih atau fasilitator
handal, yang bertugas khusus mengawal proses pengkaderan di PMII.
Hal lain yang tidak kalah
penting yang berkaitan dengan persoalan pengkaderan adalah menciptakan system
pengkaderan yang siap pakai, baik dalam konteks aktualisasi visi dan misi PMII
maupun pengkaderan yang berbasiskan pada skill, yang akan berguna bagi upaya
untuk menyiapkan kader yang siap pakai. Karena bagaimanapun, salah satu
indicator keberhasilan organisasi adalah kemampuan untuk mencetak kader yang
berkualitas dan diterima oleh pasar.
Sehingga dalam konteks melakukan
pengkaderan dua hal yang harus ditekankan adalah mendorong pengkaderan yang
profesional serta penguatan pengkaderan yang berbasiskan pada penguatan wacana
dan ekemampuan pengorganisasian masyarakat.
- Memperkuat moralitas organisasi, disiplin, dan tunduk pada aturan PMII serta memelihara social trusth.
- Mempertegas pembagian kerja dan orientasi organisasi dalam skema atau struktur organisasi PMII, dari tingkat PB sampai Rayon, sebagai upaya untuk melakukan pembangunan institusi/organisasi PMII.
- Melakukan koordinasi Issue dan gagasan program kerja organisasi, sehingga tidak terjadi tumpah tindih dan perbedaan issue ditiap level kepengurusan PMII.
- Mendorong dan memperkuat mekanisme organisasi dalam rangka melakukan penguatan KOPRI sebagai bagian dari strategi penguatan kader PMII dalam pemahaman gender.
Post a Comment