Semakain mengglobal
dunia,
Semakin penting
hal-hal yang berbasis local
John Neisbitt, Global
Paradox.
Tanda Cinta PMII Sleman-
Untuk Muspimnas
Tentang
sebuah mandat sejarah
Membuka
lembaran sejarah Indonesia,
demikian seorang antropolog Jepang, sama halnya dengan menyaksikan sejarah
panjang perjuangan kaum santri. Perjuangan melawan penindasan dan
kesewenang-wenangan kolonialisme dan imperialisme. Mereka, kaum non-koorporasi,
kaum non-kolaborator, namun memiliki kolektivitas tinggi. Setiap pada prinsip perjuangan dan percaya
pada setiap proses. Mereka, kaum santri yang dikutip tersebut, adalah leluhur
kita. Our anchesters.
Mereka
telah meneladankan pada kita makna patriotisme yang sesungguhnya. Mencontohkan
arti perjuangan yang nyata. Perjuangan demi sebuah nilai, perjuangan demi
sebuah idealisme, yang layak diperjuangkan bersama. Bukan perjuangan demi
kepentingan sesaat. Bukan pula untuk kepentingan kekuasaan dan uang, yang
sekedar untuk diri atau klik politik.
Era
mereka telah lalu. Uswatun hasanah telah ditorehkan. Sejarah emas telah
terukir. Ideologi, nilai, strategi, dan taktik perjuangan diwariskan bagi
mereka yang merindukan perjuangan. Mereka telah meletakkan fondasi dasar
keindonesiaan. Mereka, para leluhur kita, para kyai, ulama, suhada,’ adalah
history-makers kebangsaan dan keislaman yang sesungguhnya. Kini era telah
bergeser. Dari imperialisme menjadi neoimperialisme.
Akan
tetapi, cita-cita luhur mereka masih jauh panggang dari api. Aneh bin ajaib,
kita diam seribu bahasa. Padahal di depan mata kita, nyaris setiap hari, kita
dihadapkan realitas social yang sungguh tidak layak dibiarkan. Setiap hari kita
menyaksikan ribuan orang terusir dari rumahnya, ribuan orang digusur dari tempat
mencari sesuap nasi, ribuan orang dikejar-kejar apparatus negara, ratusan ribu
anak negeri dipaksa berhenti sekolah dan
kuliah. Petani, buruh, kaum pinggiran, harus menerima kebijakan yang tidak
pernah berpihak pada mereka.
Indonesia
yang menjadi zamrud katulistiwa ini, yang kaya akan sumber daya alam anugerah
ilahy, yang padinya terhampar, yang sungainya mengalir jernih, yang hutannya
rimbun, yang ikannya tak terhitung, yang minyak dan emasnya lebih dari cukup
untuk menjadi bangsa dengan GNP terbesar dunia, justru harus menerima kenyataan
pahit. Perampasan dan perampokan terhadap anugerah tersebut terjadi dengan arus
yang maha syahwat. Dilakukan dengan terang terangan vulgar persis seperti video
mesum, maupun dengan cara halus dan canggih, dengan perangkat kompleks.
Namun,
yang lebih pahit lagi, kita, warga PMII, kebanyakan diam. Tidak bergerak.
Apatis. Seolah tidak ada apa-apa. Padahal negeri ini tengah geger. Beragam
bencana melanda. Beragam kebijakan pro-modal terus bergulir. Ada apa dengan PMII? Apakah memang tidak
sadar? Ataukah sadar, namun tidak dapat berbuat apa-apa? Tidak dapat berbuat
apa-apa karena dahsyatnya lawan atau karena kapasitas kelembagaan PMII kocar
kacir tidak karuan? Namun, mengapa, kita begitu tangkas dan cerdas ketika
bertarung secara internal? Mengapa, kita begitu lihai mengamputasi dan
membonsasi sesame sahabat? Namun, sekali lagi, begitu tidak responsif dengan
masalah-masalah riil yang dihadapi masyarakat? Di mana ruh PMII dalam lapindo?
Di mana PMII di tengah-tengah penggusuran dan pengusiran? Di mana PMII di
tengah-tengah petani yang menjerit, buruh yang kepanasan, perempuan yang
dilacurkan? Di mana PMII di tengah-tengah korupsi yang mendarah daging?
Mari
kita tengok internal kita. Ternyata, ‘alas-sawa.’ Yang terjadi bukanlah
perkembangan progresif, namun involusi. Basis PMII tidak pernah menengah di
kampus umum, sementara basis tradisional mulai digerogoti secara serius. Kultur profesionalisme kian
susah tumbuh, kaderisasi semakin compang camping, komunikasi dan konsolidasi
organisasi, ke atas dan ke bawah, ke samping kanan dan kiri, semakin amburadul.
Dalam
luatan kegelisahan itulah, Muspimnas ini mesti kita maknai. Muspimnas harus
menjadi ruang kontestasi gagasan, yang mampu membawa PMII dari kebuntuan
gerakan. Membaca sejarah bukan untuk
menjebak diri dalam romantisme maupun pesimisme. Sejarah hanyalah cermin,
risalah, perspektif. Dari sejarahlah
kita tahu, bahwa pemilik mandat perjuangan sesungguhnya adalah PMII. PMII
bukanlah komunitas yang lahir tahun 64 lalu. PMII adalah sublimasi dan
kristalisasi semangat perjuangan panjang negeri ini. Ketika kenyataan kontras
dengan cita-cita leluhur kita, di situlah PMII harus mengambil peran itu. Itulah tugas sejarah PMII. Mandat sejarah
PMII.
Pertanyaannya
adalah? Bagaimana agar mandat tersebut dapat diwujudkan? Menurut analisis
sahabat-sahabat PMII Sleman, paling tidak terdapat tiga hal yang harus
dieksplorasi dalam Muspimnas ini. Pertama, reposisi PMII. Kedua, bertumpu pada
lokalitas. Ketiga, keharusan mengembangkan teologi sosial baru. Inilah tiga
pokok pikiran yang diharapkan memantik pergumulan gagasan pergerakan lebih
intens. Secara panjang lebar, ketiganya
ditulis secara sendiri-sendiri, namun akan diurai secara singkat.
Pertama, PMII haruslah
tetap memposisikan diri sebagai bagian dari masyarakat sipil. Gerakan mahasiswa
harus kembali ke khittah sebagai bagian dari gerakan sosial masyarakat. Pijakan
ini, tidak dimaknai sebagai anti-negara, atau antiglobalisasi mutlak seperti
sering disalahpahami, melainkan menempatkan gerakan mahasiswa sebagai solidarity
maker dalam menumbuhkan kesadaran masyarakat (public awareness), dan
melakukan advokasi sosial kerakyatan.
Ketika
era Orde Baru, semua elemen masyarakat sipil dalam satu barisan menentang
otoritarianisme negara. Berhadap-hadapan
dengan negara dan pasar. Begitu proses dekontruksi terjadi, dan terjadi proses
liberalisasi politik, sebagian besar mereka, dari intelektual sampai aktifis
LSM, dari akademisi sampai aktifis mahasiswa, melakukan proses negaranisasi. Di
titik ini, terjadi kevakuman actor gerakan yang setia mendampingi dan
memperjuangan hak-hak masyarakat. Di sinilah, gerakan mahasiswa harus
menempatkan khittah perjuangannya.
Kedua, bergerak dengan
basis lokalitas. Gerakan dengan basis lokalitas memiliki dua makna. Makna
pertama, gerakan mahasiswa hendaknya tanggap terhadap persoalan riil yang
terjadi di sekelilingnya. Penggusuran, biaya pendidikan mahal, harga pupuk yang
melambung, akses kesehatan yang mahal sampai persoalan Peraturan daerah sebagai
implikasi logis otonomi daerah harus menjadi basis material gerakan. Isu-isu
lokal semacam ini niscaya memiliki keterkaitan dengan desain global. Karenanya,
bergerak dengan basis lokalitas bukan berarti abai dengan realitas global,
namun justru mematerialkan berbagai isu global.
Bergerak dalam ranah ini mensyaratkan pemahaman politik, sejarah,
sosiologi, antropologi, dan ekonomi masyarakat lokal. Makna kedua, terkait
dengan ranah pertarungan PMII di kampus. Merebut basis kampus adalah
satu-satunya jawaban jika PMII hendak merebut masa depan.
Ketiga, rekonstruksi
teologi sosial. Tantangan yang terkait dengan keagamaan dan keislaman merupakan
tantangan yang kian membutuhkan respons serius. Paling tidak tiga hal yang
mendasari hal ini. Pertama, liberalisasi telah menumbuhkan keberislaman
yang cenderung ekstrem. Kedua,
kemandegan pemikiran Islam kritis atau kiri Islam. Seperti terlihat, pemikiran tersebut
kehilangan relevansi sosialnya seiring runtuhnya otoritarianisme negara.
Pemikiran teologi keislaman kritis telah mengalami kemandegan. Pemikiran Islam kiri lahir dalam konteks
berhadapan dengan negara. Ketika negara
mengalami pergeseran, pemikiran tersebut kehilangan basis social, sehingga
tidak berkembang dengan intensif. Pada
saat yang sama lahir basis social baru yakni realitas globalisasi yang
membutuhkan rekonstruksi teologi social baru keislaman agar gerakan social berbasis Islam dapat merespons
secara kritis perkembangan globalisasi. Ketiga,
keringnya spiritualitas warga pergerakan. Dekonstruksi dan “sekularisasi” yang
terlalu berlebihan telah menyebabkan PMII gagal memberikan semacam keberislaman
berbasis spiritualitas yang dibutuhkan masyarakat awam, sekaligus mendasari ruh
perjuangan. Karenanya, pemikiran keislaman tersebut harus mneyatu dengan teori gerakan, lebih empiris,
operasional, dan applicable. Di sinilah ditawarkan elaborasi kritis aswaja dalam konteks gerakan.
Selamat
membaca.
Belajar
dari Diskursus Teori Gerakan Kontemporer
(di-review
dari tulisan Nelson. A. Pichardo)
Kritik Teori Gerakan Sosial Baru
Gerakan
sosial baru (new social movements)
memiliki perbedaan dengan pola dan bentuk gerakan sosial sebelumnya (old social movements). Menurut Samir
Amin gerakan sosial lama bisa diklasifikasikan dalam dua tema. Pertama,
perjuangan kelas (the theme of class struggle) yang berbasiskan
organisasi kelas pekerja industri seperti persatuan dagang, serikat buruh,
partai-partai yang mengusung ideologi sosialis maupun komunis, juga gerakan
petani dan sejenisnya. Kedua, ideologi politik (the theme of political
ideology) seperti pertarungan kanan konservatif
dan kiri reformis. Menurutnya, dalam sejarah Asia
dan Afrika, tema ini tampak pada polarisasi gerakan perjuangan mencapai
kemerdekaan. Namun, kedua tema ini tampaknya tidak efektif. Di Eropa Timur,
melahirkan rezim otoriter Uni Soviet dan di Barat dua tema ini direduksi serta
dipolarisasi menjadi kanan-kiri. ( Amin, 1991:78)
Gerakan
sosial baru dipandang sebagai respon terhadap masyarakat pos-industri, di mana
isu-isu yang diusung bukan lagi mengenai redistribusi ekonomi sebagaimana yang
tampak pada gerakan sosial lama, melainkan membidik isu-isu politik identitas
dan kualitas hidup seperti gerakan lingkungan, perdamaian, perempuan dan lain
sebagainya. Demikian juga aktor penggeraknya atau partisipannya, tidak lagi
terkotak pada kelas pekerja dan petani melainkan meluas dengan melibatkan kelas
menengah seperti mahasiswa, kaum intelektual, anak muda dan lain sebagainya.
(Barker, 2000:125)
Menurut
Rajendra Singh, ada empat ciri dari gerakan sosial baru, pertama, kebanyakan
gerakan sosial baru menaruh konsepsi ideologis mereka pada asumsi bahwa
masyarakat sipil tengah meluruh; ruang sosialnya telah mengalami penciutan dan
yang ‘sosial’ dari masyarakat sipil tengah digerogoti oleh kontrol negara.
Ekspansi negara dalam panggung kontemporer ini, bersesuaian dengan ekspansi
pasar. Negara dan pasar dilihat sebagai dua institusi yang sedang menerobos
masuk ke dalam seluruh aspek kehidupan warga. Dalam ketidakberdayaan ini,
gerakan sosial baru, membangkitkan isu ‘pertahanan diri’ komunitas dan
masyarakat guna melawan meningkatnya ekspansi aparatus negara dan pasar. Kedua,
secara radikal gerakan sosial baru mengubah paradigma Marxis yang menjelaskan
konflik dan kontradiksi dalam istilah ‘kelas’ dan konflik kelas. Marxisme
memandang perjuangan sebagai perjuangan kelas dan semua bentuk pengelompokan
manusia sebagai pengelompokan kelas. Banyak perjuangan kontemporer seperti
anti-rasisme, gerakan feminis, lingkungan, bukanlah perjuangan kelas dan juga
bukan cerminan sebuah gerakan kelas. Pengelompokan mereka adalah lintas kelas. Ketiga,
karena latar belakang kelas tidak menentukan identitas aktor atau pun penopang
aksi kolektif, gerakan sosial baru, pada umumnya melibatkan politik akar
rumput, aksi-aksi akar rumput, kerap memprakarsai gerakan mikro
kelompok-kelompok kecil, membidik isu-isu lokal dengan sebuah dasar institusi
yang terbatas. Keempat, gerakan sosial baru didefinisikan dengan pluralitas
cita-cita, tujuan, kehendak dan orientasi dan oleh heterogenitas basis sosial
mereka. (Singh, 2002)
Tulisan
Nelson A. Pichardo yang bertajuk “New Social Movements: A Critical Review”,
“menggugat” asumsi-asumsi umum mengenai perbedaan antara gerakan sosial lama
dengan gerakan sosial kontemporer. Menurutnya, ada dua ciri menonjol yang
sering dikemukakan oleh para pengamat mengenai perbedaan keduanya, yaitu pertama, gerakan sosial baru bersifat
unik, terutama kalau dilihat dari ideologi, tujuan, taktik dan keorganisasian
serta aktivisnya. Kedua, gerakan
sosial baru merupakan produk masyarakat pos-industri, di mana isu-isu yang
diusung bukan lagi mengenai redistribusi ekonomi, melainkan isu-isu politik
identitas seperti hak-hak “minoritas”, subkultur, lingkungan, perdamaian, dan
lain sebagainya.
Menguji Dua Asumsi
Benarkah
gerakan sosial kontemporer itu unik? Apakah gerakan kontemporer itu merupakan
produk khas era pos-industri?
Untuk
mengurai yang pertama, Pichardo menelusuri secara komprehensif “citra” keunikan
gerakan sosial baru di semua aspeknya, mulai dari ideologi dan tujuannya,
taktik dan strateginya, struktur dan keorganisasiannya sampai aktivisnya.
Menurut Pichardo, di ranah ideologi dan
tujuan, paradigma gerakan sosial baru dengan tegas mengatakan bahwa gerakan
sosial kontemporer menghadirkan perbedaan yang mendasar dengan gerakan era
masyarakat industri. Gerakan sosial kontemporer tidak lagi menyoal redistribusi
ekonomi, melainkan konsen dengan persoalan kualitas hidup (quality of life) dan gaya
hidup (life-style). Karena itulah,
gerakan sosial baru mempertanyakan tujuan yang berorientasi kesejahteraan
materialistik masyarakat industri, juga model demokrasi representatif yang
telah membatasi peran dan partisipasi warga negara dalam pemerintahan. Gerakan
sosial baru lebih mendorong bentuk-bentuk demokrasi langsung, kelompok-kelompok
mandiri dan kerjasama organisasi sosial. Nilai utama gerakan sosial baru adalah
mengenai otonomi diri dan identitas. Isu identitas dianggap sebagai keunikan
dari gerakan sosial kontemporer karena adanya pandangan bahwa “politik
identitas” mengungkapkan keyakinan mengenai identitas itu sendiri yaitu
elaborasi, ekspresi dan afirmasinya yang merupakan fokus mendasar dari
kerja-kerja politik. (h 414)
Namun,
beberapa penelitian lapangan—sebagaimana dikutip Pichardo- menemukan bahwa
klaim identitas dalam partisipasi gerakan sosial tidaklah linear dengan
keberhasilan gerakan. Klandermens, misalnya, mengemukakan bahwa keragaman
identitas di dalam gerakan perdamaian Belanda sebagai representasi dari beragam
keanggotaan organisasi malah pada gilirannya menyebabkan mereka meninggalkan
gerakan itu sendiri. Demikian juga data-data yang diperoleh oleh Pichardo dan
Sullivan Catlin serta Deane, mengenai gerakan lingkungan yang menurut temuan
mereka menghadirkan “keterputusan” antara identitas personal dengan keterlibatan
mereka di gerakan lingkungan, terutama antara praktik di gerakan dengan
aktivitas sehari-hari mereka. Dengan kata lain, apa yang diperjuangkan dalam
gerakan, banyak bertolak belakang dengan pilihan sehari-hari mereka. Dalam
konteks ini, klaim “politik identitas” yang bersumber dari pandangan mengenai “personal is political” dalam beberapa
hal masih perlu dikaji ulang.
Sedangkan
taktik yang dikembangkan oleh gerakan
sosial baru mencerminkan orientasi ideologis yang mereka usung. Karena gerakan sosial
baru meyakini tidak representatifnya karakter demokrasi modern, maka taktik
mereka dalam menyiasati situasi ini adalah membentuk organisasi yang tidak
institusional. Gerakan sosial baru lebih menyukai chanel-chanel di luar politik
resmi dan memakai taktik pengacauan serta memobilisir opini publik untuk meraih
pengaruh politik. Di samping itu, mereka lebih suka menampilkan aksi-aksi
dramatik dengan mengenakan pakaian dan representasi simbolik dalam aksi-aksi
politiknya. Meskipun demikian, tidak semua gerakan sosial baru menolak masuk
dalam sistem. Beberapa gerakan sosial baru malah membentuk sebuah partai
politik dan terlibat dalam Pemilu, seperti tampak pada The Greens. Ini menandakan bahwa generalisasi ciri-ciri gerakan
sosial baru menjadi tidak relevan. (h 415)
Dalam
struktur dan keorganisasian, gerakan
sosial baru memilih bentuk yang tidak institusional. Artinya mereka
mengorganisir diri dengan gaya
yang tidak rigid dan cair. Mereka juga mengganti kepemimpinan secara rutin dan
mengambil suara secara komunal dalam menyikapi isu-isu yang dihadapi. Bentuk
anti-birokrasi yang mereka kembangkan merupakan suatu bentuk perlawanan
terhadap sistem birokrasi modern yang tidak humanis juga untuk menghindari
adanya kooptasi dan intervensi kepentingan luar. Namun, tidak semua, gerakan
sosial baru menerapkan model ini. Beberapa kelompok seperti Gerakan Perempuan
Nasional dan gerakan lingkungan malah mengambil jalan sebaliknya, yaitu
bersifat hirarkis dan terpusat.(h 416)
Sedangkan
di keanggotaan, gerakan sosial baru
bersifat lintas kelas. Menurut Offe ada tiga sektor keanggotaan gerakan sosial
baru. Pertama, kelompok kelas
menengah baru, kedua, elemen-elemen
kelas menengah lama seperti petani, pedagang dan seniman. Ketiga, kelompok “pinggiran” yang terdiri dari orang-orang yang
tidak masuk dalam pusaran pasar tenaga kerja, seperti pelajar dan mahasiswa,
ibu rumah tangga, serta para pensiunan. (h 417)
Dari
uraian di atas, menurut Pichardo menjadi jelas bahwa gerakan sosial baru
tidaklah benar-benar unik dan berbeda dari gerakan sebelumnya, karena ternyata
banyak pengecualian dari klaim-klaim yang ada.
Klaim bahwa gerakan sosial baru bersifat terbuka, demokratis,
non-hirarki dan seterusnya, ternyata beberapa kelompok yang digolongkan sebagai
gerakan sosial baru seperti gerakan perempuan dan lingkungan malah menerapkan
ihwal yang sebaliknya, yaitu, hirarkis dan sentralistik. Demikian pula yang
lainnya sebagaimana yang diuraikan di atas.
Mengenai
asumsi kedua, gerakan sosial baru, produk khas masyarakat pos-industri, menurut
Pichardo ada dua mazhab pemikiran yang dominan mengenai hal ini. Pertama, Mazhab Objektif dan kedua, Mazhab Subjektif. Mazhab
Objektif lebih menekankan faktor-faktor struktur sosial yang membentuk “kelas
sosial baru” sebagai kelompok-kelompok oposisi. Sedangkan, Mazhab Subjektif
menekankan pada perubahan sikap di tengah masyarakat yang pada gilirannya
membentuk kelompok-kelompok “sukarela”. Dalam bahasa Pichardo, Mazhab Objektif,
dia sebut dengan hipotesis “intrusi negara” (state intrusion) yaitu hipotesis kelompok pos-Marxis yang
menghubungkan kelahiran gerakan sosial baru dengan perubahan akumulasi modal di
era posmodern. Akumulasi modal di era posmodern telah mendominasi kehidupan
sosial, sehingga ruang sosial menjadi hanya semata-mata pasar. Dalam konteks
ini, negara yang sudah menjadi bagian dari rezim kapital, melakukan ekspansi
dengan membuat mekanisme koersif terhadap ruang kewarganegaraan (civic sphere). Kondisi ini membuat
masyarakat konsen dengan gerakan “pertahanan diri” terhadap ekspansi negara dan
pasar. (h 419)
Moffee
menambahkan bahwa akumulasi modal di ruang sosial itu pada gilirannya mencipta pertama, komodifikasi kehidupan sosial (commodification of social life), di mana
kehidupan sosial tergantung pada pasar, kedua,
birokratisasi, yang merupakan hasil dari intervensi negara ke semua wilayah
reproduksi sosial, dan ketiga,
massifikasi kebudayaan, yang merupakan efek dari pengaruh media massa yang
menghancur atau memodifikasi identitas-identitas kelompok. Bentuk-bentuk
subordinasi inilah, menurut Moffe yang menyemai lahirnya gerakan sosial baru
yang sarat dengan bentuk-bentuk perlawanan. (h 420)
Sedangkan
Mazhab Subjektif mempunyai dua macam prinsip. Pertama, hipotesis “pergeseran nilai” (value shift) yang merupakan pokok persoalan bangsa-bangsa Barat
karena perluasan konteks ekonomi, politik dan masyarakatnya. Hipotesis ini
menyatakan bahwa orang-orang Barat telah melalui tahap aman ekonomi dan politik
di era modern, di mana kebutuhan pokok sudah terpenuhi dengan merata.
Konfidensi ini pada gilirannya menggeser opini publik dari perhatian terhadap
isu-isu ekonomi-politik ke wilayah perkembangan dan aktualisasi diri. Pandangan
ini menurut Pichardo didasari pada teori Maslow mengenai tahapan perkembangan
psikologi manusia. Karena itulah, gerakan sosial baru konsen dengan isu-isu
pos-material, seperti identitas, partisipasi, kualitas hidup dan lain
sebagainya. (h 421)
Kedua, hipotesis tentang
“seri protes” (cycle of protest).
Hipotesis ini menyatakan bahwa gerakan sosial baru merupakan manifestasi dari
pola perputaran gerakan sosial. Misalnya dikaitkan dengan ideologi anti-modern
atau romantik terhadap prinsip-prinsip fungsional, kontradiksi-kontradiksi dan
alienasi modernitas. (h 422)
Namun,
menurut Pichardo, hipotesis-hipotesis dua mazhab ini terkesan tidak meyakinkan.
Hipotesis “intrusi negara”, menurutnya, tampak “gagal” saat mengurai secara
empiris keterkaitan antara tindakan negara dan kelahiran gerakan sosial baru.
Beberapa keterkaitan dua hal di atas hanya bisa digambarkan dalam kesimpulan
dengan memantapkan makna dan maksud dari tindakan-tindakan negara dengan
menghipotesiskan konsekuensi-konsekuensinya. Dengan kata lain, kesimpulan
tersebut banyak dibalut oleh interpretasi atas fakta-fakta yang umum, bukan
atas data-data yang spesifik.
Sedangkan,
hipotesis “pergeseran nilai” meskipun didasari pada penelitian empiris,
terkesan memaksakan. Pertama,
perubahan nilai itu hanya terjadi pada kelas tertentu: kelas menengah baru,
bukan masyarakat secara luas. Kedua,
pergeseran nilai itu, dihubungkan dengan pertumbuhan dan meningkatnya
kesejahteraan negara-negara Barat. Pandangan ini, menurutnya, perlu verifikasi
empiris, karena beberapa kemungkinan penjelasan lainnya juga bisa muncul
seperti terjadinya birokratisasi masyarakat dan lain sebagainya. Ketiga, pergeseran nilai itu juga belum
mampu menjelaskan secara konkrit apakah hal tersebut terjadi di dalam
nilai-nilai privat atau publik. Keempat,
terjadi harapan yang kontradiktif. Dari temuan Boltken dan Jagodzinski
menyatakan bahwa ada ketidakstabilan responden antara orientasi nilai yang
mereka tuju dengan perilaku sehari-hari mereka. (h 422-423)
Demikian
juga halnya dengan hipotesis “seri protes” yang menyatakan bahwa gerakan sosial
baru merupakan salah satu titik dari pola putaran protes gerakan-gerakan sosial
secara umum. Klaim ini, menurut Pichardo malah bisa bermakna negatif, yaitu
model-model protes sebagaimana yang diusung oleh gerakan sosial baru bisa
berarti belum pernah ada sebelumnya. Padahal, kelas menengah dan pola-pola
protes yang dikembangkan dalam gerakan sosial baru, tentu tidak bisa dilepaskan
dari konteks historis lampau. Dengan kata lain,
sebuah gerakan sosial tentu memiliki jejak di masa sebelumnya, seperti
yang tampak pada beberapa gugatan Pichardo di atas. (h 424)
Dari
telisikan Pichardo terhadap dua asumsi dominan mengenai perbedaan gerakan
sosial baru dengan gerakan sosial sebelumnya telah menyajikan ke hadapan kita
bahwa ciri-ciri gerakan sosial baru tidaklah benar-benar diskontinue dengan
gerakan sebelumnya. Selain isu identitas, tidak ada perbedaan yang rigid di
antara gerakan sosial lama dengan gerakan sosial kontemporer, sebagaimana
dikemukakan Pichardo.
Daftar Pustaka
Amin, Samir, “Social
Movements at the Periphery”, dalam Ponna Wignaraja (editor), New Social Movements
in South, Empowering the People, London & New Jersey: Zed Book, 1991
Barker, Chris, Cultural
Studies :Theory and Practice, London.Thousand Oaks. New Delhi : Sage Publications, 2000
Singh,
Rajendra, “Teori-Teori Gerakan Sosial Baru”, Wacana, edisi 11, Jogjakarta: Insist, 2002
Larana,
E, Johnston H, Gusfield JR, New Social Movements: From Ideology to
Identity Philadelphia:
Temple University Press, 1994
Pichardo,
Nelson A, “New Social Movements: A Critical Review”, Annual Review of Sociology, 1997
Asawaja
sebagai Basis Ideologi dan Paradigma PMII
1. AKIDAH
Sebagaimana ditetapkan dalam khitah 1926
aswaja merupakan cara berfikir, bersikap dan bertindak bagi warga Nahdliyin.
Sikap dasar itu yang menjadi watak PMII sehingga berbeda dengan kelompok Islam
yang lain, dengan watak keislamannya yang mendalam dan dengan citra
keindonesiaannya yang matang. Cara pandang, tafsir sejarah, yang darinya
diperoleh mandat sejarah dirurunkan dari nilai-nilai tersebut. Perspektif
tersebut juga bukan sekedar memberikan basis nilai, namun juga paradigma dan
strategi perubahan sejarah. Semuanya itu
kemudian direfleksikan dalam berfikir dan bersikap serta bertindak.
Cara Berfikir: Cara berfikir
menurut PMII sebagai refleksi ahlussunah
wal jama’ah adalah cara berfikir dialektis yang memadukan antara dalil naqli
(doktrin) dengan dalil aqli (rasio) dan dalil waqi’i (empiria). Maka, di sini PMII menolak rasionalisme murni,
sebagaimana yang dikembangkan kelompok free-thinker/pemikir liberal dan
positivisme ortodoks seperti yang dikembangkan materialisatis. Demikian
juga PMII menolak pemahaman zahir dan kelompok skriptualis, karena tidak
memungkinkan memahami agama dan realitas social secara mendalam.
Cara Bersikap: PMII memandang
dunia sebagai realitas yang plural, karena itu pluralitas diterima sebagai
kenyataan. Namun juga bersikap aktif yakni menjaga dan mempertahankan
pluralitas tersebut agar kehidupan menjadi harmoni, saling mengenal
(litaa’rofu) dan memperkaya secara budaya. Sikap moderat dan toleran menjadi
spirit utama dalam mengelola pluralitas tersebut. Dengan demikian PMII juga
menolak semua sikap yang mengganggu keanekaragaman atau pluralits budaya
tersebut.
Cara Bertindak: Dalam bertindak,
aswaja mengakui adanya kehendak Allah (taqdir) tetapi aswaja juga mengakui
bahwa Allah telah mengkaruniai manusia pikiran dan kehendak. Karena itu dalam
bertindak, aswaja PMII tidak bersikap pasif fatalis dalam menghadapi kehendak
Allah, tetapi berusaha untuk mencapai taqdir Allah yang dalam teologi dikenal
dengan istilah kasab (berjuang/berusaha). Namun demikian tidak bersifat
antroposentris, bahwa manusia bebas berkehendak (seperti Qodariyah). Tindakan
manusia tidak perlu dibatasi dengan ketat, karena dengan sendirinya akan
dibatasi oleh alam, oleh sejarah,. Sementara Allah tidak dibatasi oleh
faktor-faktor itu. Dengan demikian tindakan ala PMII bukan tindakan yang
sekular melainkan sebuah dinamika iman yang mengejawentah dalam seluruh aspek
kehidupan.
II. IDEOLOGI
Dari kaedah tersebut dijabarkan dalam konsep ideologi PMII. Karena aswaja
berangkat dari nalar dialektis antara teks-konteks-rasionalitas, dan berangkat
dari historisitas perjalanan bangsa ini, maka gerakan ideologi PMII bersifat:
1.
Nasionalistik
Mengingat bangsa ini terdiri dari berbagai
suku, adat, budaya dan agama. Maka prinsip kebangsaan sangat tepat untuk
mewadahi pluralitas yang terbentuk sejak zaman awal sejarah Nusantara. Selain
itu prinsip kebangsaan itu juga sangat penting untuk membentengi bangsa ini
dari intervensi dan penjajahan bangsa lain, baik penjajahan secara politik,
militer maupun kolonialisme-imperialisme pengetahuan dan kebudayaan. Dengan
adanya komitmen kebangsaan itu kedaulatan rakyat, kedaulatan Negara serta
martabat bangsa bisa dipertahankan dan dijunjung tinggi.
2. Kerakyatan
Kebangsaan yang terbentuk secara
budaya itu dengan sendirinya dibentuk secara bersama oleh keseluruhan warga
bangsa (rakyat), maka nasioalisme berwatak antropologis, bukan politis an
sich, karena itu seluruh gerak bangsa ini baik yang bersifat politik,
ekonomi, kultural harus diorientasikan pada kepentingan rakyat, karena memang
tumbuh dari rakyat. Maka nasionalisme borjuis sangat berbahaya bagi keutuhan
bangsa karena cenderung pragmatis dan berwatak kolaborator terhadap kekuatan
kolonial. Sementara nasionalisme populis menolak segala bentuk kolaborasi
dengan kekuatan imperialis sebab hanya akan merusak keutuhan dan meruntuhkan
martabat bangsa.
3. Pluralis
Terbentuknya kekuatan nasional baik secara
politik maupun kebudayaan sering berbenturan dengan realitas lokal yang plural.
Maka nasionalisme tidak boleh dibiarkan melebur corak-corak lokal, tetapi harus
terus menjaga keanekaragaman budaya baik yang diekspresikan oleh etnis, agama
atau tradisi yang lain. Disini kebangsaan harus aktif menjaga pluralitas dan
bertindak tegas terhadap setiap pengancam pluralitas bangsa baik yang dibawa
oleh globalisme maupun oleh agama-agama universal.
III. PRINSIP
Setiap gerakan di samping punya aqidah, idologi, harus juga menegakkan
prinsip-prinsip agar gerakan tersebut dijalankan dengan sungguh-sungguh dan
penuh kayakinan. Adapun prinsip-prinsip gerakan PMII adalah:
1.
Ukhuwah
Sebuah gerakan mengandaikan sebuah kolektivitas, karena itu perlu diikat dengan
ukhuwah atau solidaritas yang kuat (al urwatul wutsqo) sebagai perekat
gerakan tersebut. Adapun gerakan ukhuwah gerakan PMII adalah meliputi :
a. Ukhuwah PMII-ah
Sebagai gerakan
yang berbasis PMII tentu ukhuwah PMII-ah harus menjadi prinsip utama sebelum
melangkah ke ukhuwah yang lain. Ini bukan untuk memupuk fanatisme kelompok,
sebaliknya sebagi pengokoh ukhuwah yang lain sebab hanya kaum PMII yang
mempunyai sistem pemahaman keagamaan yang mendalam dan bercorak sufistik yang
moderat yang penuh toleransi serta gigih menjaga kemajemukan budaya, tradisi
adat, kepercayaan dan agama yang ada.
Karena itu kader
PMII yang mengabaikan ukhuwah PMII dengan dalih mengutamakan ukhuwah yang lebih
luas, yakni ukhuwah Islamiyah, Wathoniyah, atau Basyariyah, apalagi hanya demi
kepentingan politik personal atau geng,
adalah sebuah penyimpangan bahkan dalam kader tertentu bisa disebut
sebagai pengkhianatan. Sebab ukhuwah tanpa dasar aqidah yang kuat akan mudah
pudar karena tanpa dasar dan sering dimanipulasi untuk kepentingan pribadi.
Ukhuwah PMII-ah berperan sebagai penggodokan dan pemotongan ukhuwah yang lain
karena ukhuwah bukanlah reaksi spontan melainkan sebuah keyakinan, penghayatan,
dan pandangan yang utuh serta matang yang secara terus menerus perlu di
kuatkan.
b.
Ukhuwah Islamiyah
Ukhuwah Islamiyah
bersepektrum lebih luas yang melintasi aliran dan madzhab dalam Islam. Oleh
sebab itu ukhuwah ini harus dilandasi dengan kejujuran, cinta kasih, dan rasa
saling percaya. Tanpa landasan tersebut Ukhuwah Islamiyah sering dimanipulasi
oleh kelompok tertentu untuk mendominasi yang lain, sehingga menjadi ukhuwah
kusir kkuda, yang satu menjadi tuan besar yang lain diperlakukan sebagai kuda
tunggangan.
Ukhuwah islamiyah
semacam itu harus ditolak, harus mengembangkan ukhuwah islamiyah yang jujur dan
amanah serta adil. Dan itupun dijalankan untuk kesjahteraan umat islam serta
tidak diarahkan untuk menggangu ketentraman agama atau pihak yang lain. PMII
sebagai Islam toleran berkewajiban mengawal agar ukuwah islamiya terus terjaga
dengan demikian ukhuwah yang lain juga bisa dikembangkan.
Dengan ukhuwah
islamiyah yang jujur dan adil itu umat islam seluruh indonesia seluruh dunia bisa saling
mengembangkan, menghormati, melindungi seta membela dari gangguan kelompok lain
yang membahayakan eksistensi iman budaya dan masyarakat islam secara
keseluruhan.
c.
Ukhuwah Wathaniyah
Sebagai organisasi
yang berwawasan kebangsaan, maka PMII berkewajiban untuk mengembangkan dan
menjaga ukhuwah wathoniyah (solidaritas nasional). Dalam kenyataannya bangsa
ini tidak hanya multi ras, multi agama dan multi budaya tetapi juga multi
ideologi.
Bagi PMII yang
lahir dari akar budaya bangsa ini tidak pernah mengalami ketagangan dengan
konsep kebangsaan yang ada. Sebab PMII adalah bentuk dari Islam Indonesia
(Islam yang berkembang dan melebur dengan tradisi dan budaya indonesia)
bukan Islam di Indonesia (Islam yang baru datang dan tidak berakar dalam budaya
Indonesia).
Karena itu PMII berkewajiban turut mengembangkan ukhuwah wathoniyah untuk
menjaga kerukunan nasional. Karena dengan adanya ukhuwah wathoniyah ini
eksistensi PMII, umat Islam dan agama lain terjaga. Dan bila seluruh elemen bangsa ini solid akan disegani bangsa lain dan
mampu menahan serangan dari bangsa lain yang ingin menjajah bangsa ini. Dalam
kepentingan itulah PMII selalu gigih menegakkan ukhuwah wathoniyah sebagai
upaya menjaga keutuhan dan menjunjung martabat bangsa Nusantara.
d. Ukhuwah
Basyariyah
Walaupun PMII memegang teguh prinsip ukhuwah Nahdliyah, Islamiyah dan
Wathoniyah, tetapi PMII tidak berpandangan, berukhuwah sempit, melainkan tetap
menjunjunhg solidaritas kemanusiaan universal, menolak ekspiotasi dan
penjajahan satu bangsa dengan bangsa lain karean hal itu mengingkari martabat
kemanusiaan.
Menggugat kenyataan ini maka pencptaan tatadunia yang adil tanpa penindasan
dan peghisapan merupakan keniscayaan. Menggunakan isu kemanusiaan sebagai
sarana kolonialis merupakn tindakan moral yang harus dicegah agar tidak
meruntuhkan martabat kemanusiaan.
Ukhuwah Basyariyah memandang manusia sebagai manusia tidak tersekat oleh
sekat agama, ras atau ideologi semuanya ada dalam satu perasudaraan universal.
Persaudaran ini tidak bersifat pasif tetapi selalu aktif membuat inisiatif dan
menciptakan terobosan baru dengan berusaha menciptakan tatadunia baru yang jauh
dari penjajahan, yang lebih relevan bagi kondisi manusia kontemporer.
2. Amanah
Dalam kehidupan yang serba materialistis
sikap amanah mendapat tantangan besar. Namun demikian perlu terus
dipertahankan. Sikap amanah (saling percaya) ditumbuhkan dengan membangun
kejujuran baik pada diri sendiri maupun pihak lain.
Sikap tidak jujur akan menodai prinsip
amanah, karena itu pelakunya harus dikenai sangsi organisasi secara tegas.
Amanah sebagai roh gerakan harus terus dipertahankan dibiasakan sdan
ditradisikan dalam sikap dan perilaku sehari-hari.
3. Ibadah
(pengabdian)
Berjuang dalam PMII untuk masyarakat dan
bangsa haruslah berangkat dari semangat pengabdian baik mengabdi pada PMII,
umat, bangsa, dan seluruh umat manusia. Dengan demikian
mengabdi di PMII bukan untuk mencari pengahasilan mencari pengaruh atau mencari
jabatan. Tetapi memiliki tugas berat dan mulia.
Dengan semangat pengabdian itu mereka akan gigih dan ikhlas membangun dan
memajukan PMII. Tanpa semangant pengabdian, PMII hanya dijadikan termpat mencari
kehidupan, menjadi batu loncatan untuk memproleh jabatan dipemerintahan. Selam
ini PMII terbengkalai karena hilangnya rasa pengabdian bagi para pengurusnya
sehingga tidak aktif dikantor tidak terinisiatif menggerakkan kader organisasi
dan tidak melakukan terobosan pemikiran atau langkah terobosan yang konkrit,
sepeti penataan organisasi serta memanaj pola kerja.
Maka spirit pengabdian itu yang harus dinamakan dalam gerakan agra PMII
berkambang lebih dinamis dengan banyaknya sukarelawan yang siap berjuang
mengembangkan organisasi.
4. Asketik
Sikap amanah dan pengabdian muncul bila seseorang memiliki jiwa asketik
(bersikap zuhud). Karena pada dasarnya sikap materialistik (hubbud dunya) akan
menggerogoti sikap amanah dan akan merapuhkan semangat perngabdian karena
dipePMIIhi pamrih duniawi maka sikap zuhud suatu keharusan bagi aktifis
pergerakan PMII sikap ini bukan anti duniawi anti kemajuan tetapi menempuh
hidup sederhana, tahu batas, tahu kepantasan sebagaimana diajarkan oleh para slafus
sholihin. Dengan sikap asketik itu integrasi kader pergerakan PMII akan
terjaga, sehingga kekuatan moral yang dimiliki bisa digunakan untuk menata
bangsa ini.
5. Non Kolaborasi
Prinsip ke 5 ini perlu ditegaskan kembali mengignat dewasa ini banyak
lembaga yang disponsori kaum kapitalkis-imperialis asing yang menawarkan
berbagai jasa dan dana yang tujuannya bukan untuk memandirikan, melainkan untuk
menciptakan ketergantungan dan pengaburan terhadap khittah serta
prinsip-prinsip gerakan PMII, melalui intervensi dan pemaksaan ide dan agenda
mereka.
Karena itu untuk menjaga kemandirian, maka gerakan PMII menolak untuk
berkolaborasi dengan kekuatan kapitalis-imperialis baik secara akademik,
politik, maupun ekonomi. Selanjutnya kader-kader PMII berkewajiban membangun
paradigma keilmuan sendiri, sistem politik dan sistem ekonomi sendiri yang
berakar pada budaya sejarah bangsa PMIIsantara sendiri.
6. Komitmen Pada Korp
Untuk menerapkan prinsip-prinsip serta menggerakkan roda pergerakan maka perlu
adanya kesetiaan dan kekompakan dalam korp pergerakan karena itu seluruh korp
harus secara bulat menerima akidah ideologi dan seluruh prinsip pergerakan.
Demikian juga pimpinan tidak hanya cukup menerima ideologi akidah serta
prinsip pergerakan tetapi harus menjadi pelopor, teladan dan penggerak
prinsip-prinsip tersebut. Segala kebijakan pimipinan haruslah merupakan
representasi organisasi. Dengan demikian seluruh korp harus tunduk dans etia
pada pimpinan.
Dalam menegakkan prinsip dan melaksanakan program pimpinan harus tegas memberi
ganjaran dan sanksi pada korp, demikian juga harus berani bersikap terbuka dan
tegas pada pimpinan dan berani menegur dan meluruskan bila terjadi
penyimpangan.
7. Kritik-Otokritik
Untuk menjaga mekanisme pergerakan serta memperlancar jalannya program maka
perlu adanya mekanisme organisasi untuk mengatasi kemungkinan terjadinya
kemandekan atau bahkan penyimpangan maka dibutuhkan mekanisme kontrol dalam
bentuk kritik otokritik mekanisme. Kritik otokritik ini bukan dilandasi
semangat permusuhan tetapi dilandasi semangat persaudaraan dan rasa kasih
sayang demi lancarnya roda pergerakan.
IV. STRATEGI Gerakan
1. Pribumisasi (agama, politik,
ekonomi, ilmu pengetahuan, budaya). TATA NILAI
2. Koservasi (budaya,
alam,/culture-nature).
3. Nasionalisasi
(sistem politik, sistem ekonomi, budaya) KELEMBAGAAN
V. LANGKAH
1. Penyadaran (posisi PMII, Situasi Nasional, politik global).
2. Sosialisasi
3. Pembentukan Jaringan (santri, siswa,
mahasiswa, pemuda, ulama, birokrasi, profesional, usaha, tentara).
4. Kampanye
5. Gerakan (sosial, budaya,
politik, ekonomi)
VI. Tahapan
1. PMII
sebagai
organisasi kader dan gerakan social mahasiswa
(multirealitas-multikomunitas-multistrategi)
2. Pasca-PMII
(ruang
spasial pasca-mahasiswa)-multi-strategi
Post a Comment