A. Latar Belakang
Harta dinilai oleh Allah Swt, sebagai qiyaman:
apa yang menjadi landasan segala sesuatu. Harta dijadikan Allah sebagai
landasan; pokok kehidupan manusia dan kemaslahatannya, baik untuk dunia ataupun
agamanya. Tidak heran jika islam memerintahkan untuk menggunakan dan menjaga
harta, bahkan Al-Qur’an
sampai melarang pemberian harta kepada pemiliknya
sekalipun, apabila sang pemilik harta tidak pandai mengurus hartanya. Karna
pada pokok ini harta sangat bersinggungan dengan masalah sosial yang terjadi di
masyarakat disetiap waktu, sehingga berdamapak pada perkembangan hukum islam.
وَلا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ
اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا
Dan
janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta
(mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok
kehidupan. (QS. An-Nisa’: 5).
Allah mencegah umat islam yang menjadi wali
(orang tua asuh) anak-anak yatim dan wali orang safih (belum mampu mengurus
hartanya seperti anak nakal, tidak sehat jiwanya, lanjut usia, dsb)[1]
memberikan atau menyerahkan kembali harta-harta milik mereka itu, jika memang
pemberian itu tidak mendatangkan kemashlahatan. Apalagi harta yang
pengelolaannya dikuasakan kepada para wali itu merupakan penopang pokok
kehidupannya, selain membuat terlaksananya kemashlahatan bagi mereka, baik yang
bersifat umum maupun khusus. Para wali tetap wajib mengelolanya dengan baik.
Dari
harta-harta tersebut bisa diperoleh kemanfaatan (kemashlahatan) apabila
harta-harta itu dikelola oleh orang yang mampu secara baik dan tidak melampaui
batas. Dalam
makalah ini, akan kita lihat bagaimana Al-Quran berbicara tentang hukum pembagian harta, dengan mempelajari ayat yang berkaitan dengan hal tersebut.
Selain membahas tentang maknanya, di dalam makalah ini juga akan dijelaskan
kata kunci ayat, analisis munasabah dan analisis qiraah, serta analisis asbabun
nuzul ayat bersangkutan.
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimanakah pembahasan pembagian harta dalam perspektif Al-Quran?
b. Bagaimana
rumusan kata kunci yang menyangkut tentang ayat hukum pembagian harta ?
c. Bagaimana
analisis munasabah ayat yang bersangkutan?
C. Tujuan Penulisan
a. Mengetahui bagaimana pandangan Al-Quran tentang hukum pembagian harta.
b. Memahami rumusan kata kunci dalam ayat tersebut.
c. Memahami berbagai analisis terhadap ayat hukum pembagian harta yang bembarsangkutan.
D. Fokus Ayat dan Kata Kunci
ü Fokus ayat yang bersangkutan dengan hukum menyia-nyiakan harta :
وَلا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ
اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ
قَوْلا مَعْرُوفًا
Dan janganlah kamu serahkan kepada
orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam
kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta
itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.
ü Kata kunci ayat:
1.
تُؤْتُوا
2.
السُّفَهَاءَ
3.
أَمْوَالَكُمُ
E. Kronologi Ayat dan Kata Kunci
1.
تُؤْتُوا Berdasarkan atas informasi dalam kitab Al-Mu’jam Al-Mufahras Li
Alfazh Al-Quran Al-Karim karya Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqiy, halaman 394 diketahui bahwa kata kunci تُوًتُوا disebutkan dalam beberapa bentuk kata dalam Al-Quran.
Bentuk kata تُوًتُوا disebutkan sebanyak satu kali, yaitu pada QS.
An- Nisa’:5,[2] (berisi
tentang bahwa. janganlah kamu serahkan kepada orang-orang
yang belum sempurna akalnya).
Kata تُؤْتُونِ disebutkan satu kali,
pada QS. Yusuf:66,[3]
(membahas Yakub tidak akan melepaskannya (benyamin)
bersama-sama kamu ( bujang-bujang) sebelum kamu memberikan kepadaku janji yang teguh atas nama Allah).
Kata تُؤْتُونَهُنَّ disebutkan satu kali pada QS. An-Nisa’: 127,[4] (berisi
informasi memberikan harta kepada wanita yatim
ketika ingini dinikahi).
Bentuk kata تُؤْتَوْهُ disebutkan satu kali
pada QS. Al-Maidah: 41,[5] (berisi
tentang menerangkan bahwa Allah memberikan kerajaan
kepada orang yang dikehendaki orang-orang yang memperlihatkan kekafiran dan orang-orang
yahudi yang amat suka dengan berita-berita bohong).
Setelah mengetahui semua konten yang terdapat
pada ayat-ayat diatas ternyata telah diketahui bahwa “serahkan”
yang dimaksudkan dalam al-Quran mencegah umay islam yang menjadi wali (orang
tua asuh) anak-anak yang belum mampu mengurus hartanya seperti anak nakal,
tidak sehat jiwanya dsb.
Berdasarkan
penelitian dalam kamus tersebut bahwa ada beberapa ayat yang berhubungan dengan
kata تُوًتُوا pada ayat Makkiyah dan Madaniyah yang
terdapat pada tabel berikut:
No
|
Makkiyah
|
Madaniyah
|
01
|
Q.S. Yusuf, ayat 66
|
Q.S. An-Nisa’, ayat 5
|
02
|
|
Q.S. An-Nisa’, ayat 127
|
03
|
|
Q.S. Al-Maidah, ayat 41
|
04
|
|
Q.S. Ali Imran, ayat 26
|
2. السُّفَهَاءَ Berdasarkan atas
informasi dalam kitab Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Alfazh Al-Quran Al-Karim
karya Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqiy, halaman 599 diketahui bahwa kata kunci السُّفَهَاءَ disebutkan dalam
beberapa bentuk kata dalam Al-Quran.
Kata
السُّفَهَاءَ disebutkan sebanyak dua kali, yaitu pada QS. An-Nisa’: 5,
[7](tentang
informasi janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan
Allah sebagai pokok kehidupan) . Pada
QS. Al-Baqarah: 13, (tentang
informasi bahwa orang kafir akan berimansesudah orang
bodoh beriman ).
Kata سَفِهَ disebutkan sebanyak satu kali, yaitu
pada QS. Al-Baqarah: 130, [8](tentang
informasi bahwa tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan
orang yang memperbodoh dirinya sendiri).
Kata سَفَهًا disebutkan satu kali pada QS. Al-An’am: 140,[9] (berisi
tentang informasi bahwa rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka karena kebodohan).
Kata سَفِيهًا disebutkan sebanyak satu, yaitu pada
QS. Al-Baqarah: 282, [10](berisi
tentang janganlah seseorang mengurangi sedikit pun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakan,
maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur).
Kata سَفِيهُنَا disebutkan satu kali, yaitu pada QS. Al-Jin: 4,[11] (berisi
orang yang kurang akal
daripada kami dahulu selalu mengatakan (perkataan) yang melampaui batas
terhadap Allah).
Setelah mengetahui semua konten yang terdapat
pada ayat-ayat diatas ternyata telah diketahui bahwa “orang
yang belum sempurna akalnya” yang dimaksudkan dalam al-Quran orang yang
tidak bisa bertindak bijaksana dalam mengurus harta.
Berdasarkan
penelitian dalam kamus tersebut bahwa ada beberapa ayat yang berhubungan dengan
kata السُّفَهَاءَpada ayat Makkiyah dan Madaniyah yang terdapat pada tabel
berikut:
No
|
Makkiyah
|
Madaniyah
|
01
|
Q.S. Al-An’am, ayat 140
|
Q.S. An-Nisa’, ayat 5
|
02
|
Q.S. Al-Kahfi, ayat 71
|
Q.S. Al-Baqarah, ayat 130
|
03
|
Q.S. Al-Jinn, ayat 4
|
Q.S. Al-Baqarah, ayat 13
|
04
|
|
Q.S. Al-Baqarah, ayat 282
|
3. أَمْوَالَكُمُ Berdasarkan atas informasi dalam kitab Al-Mu’jam
Al-Mufahras Li Alfazh Al-Quran Al-Karim karya Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqiy,
halaman 228-230 diketahui bahwa kata kunci أَمْوَالَكُمُ disebutkan dalam
beberapa bentuk kata dalam Al-Quran.
Kata أَمْوَالَكُمُ sendiri disebutkan sebanyak empat belas kali,
yaitu pada QS. Al-Baqarah: 188,[12] (berisi
tentang janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain
di antara kamu dengan jalan yang batil). Pada
QS. Al-Baqarah: 279,[13] (berisi
tentang jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan
sisa riba), maka Allah
dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba),
maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya). Pada QS. Al-Imran: 186,[14] (tentang
Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu).
Pada QS. Al-An-Nisa’: 2,[15] (berisi
tentang berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta
mereka). Dalam QS. An-Nisa’: 5,[16] (berisi tentang janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan
Allah sebagai pokok kehidupan.
Pada QS. An-Nisa’:24,[17] (tentang dihalalkan bagi kamu selain yang
demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk
berzina). Pada QS. An-Nisa’: 29,[18] (ayat ini menerangkan: Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu). Dalam QS. Al-Anfal: 28,[19] (ayat ini menerangkan bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan. Pada QS. At-Taubat:41,[20] (tentang
perintah berjihadlah dengan harta
dan dirimu di jalan Allah.. Pada QS. As-Saba’:37,[21] (menerangkan bahwa bukanlah harta
dan anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikit pun;
tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh. Pada QS. Muhammad: 36,[22]
(ayat ini menerangkan bahwa jika
kamu beriman serta bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia
tidak akan meminta
harta-hartamu. Pada QS. Ash-Shaff: 11,[23]
( menerangkan bahwa Hai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, berjihad di jalan Allah dengan harta
dan jiwamu. Pada QS. Al-Munafiqun: 9,[24]
(menerangkan bahwa Hai
orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu
dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah). Pada QS. At-Taghabun: 15,[25]
(menerangkan bahwa Sesungguhnya
hartamu
dan anak- anakmu hanyalah cobaan (bagimu).
Kata أَمْوَالِنَا disebut dua
kali, yaitu pada QS. Hud: 87,[26]
(berisi
tentang informasi bahwa kaum syuaib berkata: "Hai Syuaib, apakah agamamu yang
menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami
atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami).pada
QS. Al-Fath: 11,[27]
(berisi
tentang Orang-orang Badui yang tertinggal (tidak turut ke Hudaibiah) akan
mengatakan: "Harta dan keluarga kami telah merintangi kami).
Kata أَمْوَالَهُمْ disebut tiga puluh satu kali dalam QS.
Al-Baqarah: 261,[28]
(menceritakan tentang Perumpamaan (nafkah yang
dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah). Pada QS. Al-Baqarah: 262,[29] (
menerangkan bahwa Perumpamaan (nafkah yang
dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan
mereka). Pada QS. Al-Baqarah: 265,[30]
(menerangkan tentang perumpamaan
orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridaan Allah dan untuk keteguhan
jiwa mereka). Pada QS. Al-Baqarah: 274,[31]
(menerangkan tentang Orang-orang
yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan
terang-terangan). Pada QS. Al-Imran: 10,[32]
(menerangkan bahwa orang-orang
yang kafir, harta benda dan anak-anak mereka, sedikit pun tidak dapat
menolak (siksa) Allah dari mereka). Pada QS. Al-Imran: 116,[33]
(menerangkan bahwa orang-orang
yang kafir baik harta mereka maupun anak-anak mereka, sekali-kali tidak
dapat menolak azab Allah). Pada QS. An-Nisa’: 2,[34]
(menerangkan tentang perintah memberikan harta mereka kepada anak-anak yatim (yang sudah balig). Pada QS. An-Nisa’: 2,[35]
(menerangkan tentang larangan memakan harta anak yatim bersama hartamu). Pada
QS. An-Nisa’: 6,[36] (menerangkan tentang ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk
kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara
harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya). Pada QS. An-Nisa’: 6,[37]
(menerangkan tentang larangan memakan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan). Pada QS. An-Nisa’: 34,[38]
(menerangkan bahwa Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena itu Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian
dari harta mereka). Pada QS. An-Nisa’: 38,[39]
(menerangkan tentang orang-orang
yang menafkahkan harta-harta mereka karena riya). Pada QS. An-Nisa’: 95,[40]
(menerangkan tentang Tidaklah
sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai
uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta
mereka dan jiwanya). Pada QS. An-Nisa’: 95,[41]
(menerangkan bahwa Allah
melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta
dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat). Pada QS. Al-Anfal: 36,[42]
(menerangkan bahwa Sesungguhnya
orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta
mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah).
Pada QS. Al-Anfal: 72,[43]
(menerangkan tentang orang-orang
yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta
dan jiwanya pada jalan Allah). Pada QS. At-Taubat: 20,[44]
(menerangkan tentang Orang-orang
yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta
benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah). Pada QS. At-Taubat: 44,[45]
(menerangkan bahwa Orang-orang
yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak akan meminta izin kepadamu
untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta
dan diri mereka.) pada QS. At-Taubat: 55,[46]
(menerangkan bahwa janganlah
harta
benda dan anak-anak mereka (orang-orang kafir ) menarik hatimu. Pada QS. At-Taubat: 81,[47]
(menerangkan bahwa Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang) itu,
merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka
tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka). Pada QS. At-Taubat: 88,[48]
(menerangkan bahwa Rasul
dan orang-orang yang beriman bersama dia, mereka berjihad dengan harta). Pada QS. At-Taubat: 103,[49]
(menerangkan tentang Ambillah zakat dari sebagian harta
mereka
(orang Arab Badui yang munafik). Pada QS. At-Taubat: 111,[50]
(menerangkan bahwa Allah
telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta
mereka dengan memberikan surga untuk mereka). Pada QS. Yunus: 88,[51]
(menerangkan bahwa Musa berkata: "Ya Tuhan kami Engkau telah memberi
kepada Fir'aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan). Pada QS. Al-Ahzab: 27,[52]
(menerangkan bahwa Allah mewariskan kepada kamu tanah-tanah, rumah-rumah dan harta benda mereka (orang-orang Ahli
Kitab (Bani Quraizhah). Pada QS. Al-Hujurat: 15,[53]
(menerangkan bahwa orang-orang yang beriman tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta
dan jiwa mereka pada jalan Allah). Pada QS. Adz-Dzariyat: 19,[54]
(menerangkan bahwa orang-orang bertakwa pada harta-harta
mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan
orang miskin yang tidak mendapat bagian). Pada QS. Al-Mujadalah: 17,[55]
(menerangkan bahwa orang-orang yang takut miskin karena memberikan sedekah,
maka sesungguhnya Harta benda dan anak-anak mereka tiada berguna
sedikit pun (untuk menolong) mereka dari azab Allah). Pada QS. Al-Hasyr: 8,[56]
(menerangkan tentang harta
rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya bagi para fakir
yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka). Pada
QS. Al-Ma’arij: 24,[57]
(menerangkan tentang orang-orang
yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu).
Kata الأمْوَالِ sendiri disebutkan sebanyak sebelas kali,
yaitu pada QS. Al-Baqarah: 155,[58]
(menerangkan bahwa cobaan Allah yang akan diberikan kepada manusia meliputi
rasa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta dan
jiwa serta kekurangan buah-buahan). Pada QS. An-Nisa’:
10,[59]
(orang yang makan harta anak yatim
dengan cara yang dzolim maka pada hakikatnya ia telah menelan api kedalam
perutnya ). Pada QS. An-Nisa’: 161,[60]
(menerangkan bahwa Allah mengharamkan bagi orang Yahudi sesuatu yang halal sebelumnya
karena mereka memakan riba dan memakan harta
orang lain dengan cara yang batil). Pada QS. At-Taubat: 24,[61]
( menerangkan bahwa orang yang mencintai harta kekayaan serta
perniagaan yang dihawatirkan kerugianya serta rumah tempat tinggal yang disukai
melebihi cinta kepada Allah dan Rasulnya maka Allah akan membalas perbuatan itu
dalam waktu yang dikehendaki-NYA ). Pada QS.
At-Taubat: 34,[62] (menerangkan bahwa sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan
rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta
orang dengan jalan yang batil ). Pada QS. Al-Isro’: 6,[63]
( menerangkan bahwa Allah akan membantu kaum yang beriman dengan harta dan anak-anak serta dengan kelompok yang besar
untuk mengalahkan orang-orang Yahudi). Pada QS. Al-Isro’: 64,[64]
( menerangkan bahwa Allah
memberikan kebebasan kepada setan untuk berserikat dengan manusia pada harta dan anak-anak serta memperbolehkan mengadakan
perjanjian dengan manusia). Pada QS. Ar-Rum: 39,[65]
( menerangkan bahwa harta yang diperoleh
dengan jalan riba agar bisa bertambah pada harta
manusia, maka disisi Allah pada hakikatnya harta tersebut
tidak bertambah). Pada QS. Al-Hadid: 20,[66]
( menerangkan bahwa karakteristik manusia adalah saling berkompotisi dan berlomba-lomba
untuk menumpuk harta dan anak). Pada QS. Nuh: 12,[67]
( menerangkan bahwa orang yang bertaubat atas dosa-dosa yang ia perbuat maka Allah akan
melapangkan rizki dan akan memperbanyak anak baginya).
Kata أَمْوَالا sendiri disebutkan sebanyak tiga kali, yaitu
pada QS. At-Taubat: 69,[68] (
menerangkan tentang keadaan orang musyrik yang terdahulu bahwa mereka lebih
banyak memiliki harta da anak keturunan ). Pada QS.
Saba’: 35,[69] ( menerangkan tentang para
penentang utusan Allah,ereka beranggapan bahwa dirinya lebih banyak memiliki harta dan anak keturunan serta mereka, menganggap
dirinya akan selamat dari siksa). Pada QS. Yunus: 88,[70]
( menerangkan bahwa permohonan Nabi Musa agar kekayaan Firaun
dan para pengikutnya dibinasakan, karena mereka telah menyesatkan umat
dari jalan yang bena).
Setelah mengetahui semua konten yang terdapat
pada ayat-ayat diatas ternyata telah diketahui bahwa “harta”
yang dimaksudkan dalam al-Quran harta-hartamu, meskipun harta itu sesungguhnya
milik anak yatim dan orang safih yang diasuhnya, hal ini memberi isyarat bahwa
para wali wajib mengelola harta tersebut seperti mengelola harta sendiri.
Berdasarkan
penelitian dalam kamus tersebut bahwa ada beberapa ayat yang berhubungan dengan
kata أَمْوَالَكُمُ pada ayat
Makkiyah dan Madaniyah yang terdapat pada tabel berikut:
No
|
Makkiyah
|
Madaniyah
|
01
|
Q.S. Al-Baqarah, ayat 279
|
Q.S.Al-Baqarah, ayat 155,188,261, 262
|
02
|
Q.S. Al-Kahfi, ayat 71
|
Q.S. Al-Imran, ayat 10, 116, 186
|
03
|
Q.S. Al-Jinn, ayat 4
|
Q.S. A,n-Nisa’, ayat 2, 5, 6, 10, 24, 29, 34, 38, 95
|
04
|
Q.S. Saba’, ayat 35, 37
|
Q.S. Al-Anfal, ayat 28, 72
|
05
|
Q.S. Hud, ayat 87
|
Q.S. At-Taubat, ayat 20, 24, 34, 41, 44, 55, 69, 81, 85, 88, 103,
111
|
06
|
Q.S. Al-Anfal, ayat 36
|
Q.S. Muhammad, ayat 36
|
07
|
Q.S. Al-Isro’, ayat 6, 64
|
Q.S. Shaf, ayat 11
|
08
|
Q.S. Ar-Rum, ayat 39
|
Q.S. Al-Munafiqun, ayat 9
|
09
|
Q.S. Nuh, ayat 12
|
Q.S. At-Taghabun, ayat 15
|
10
|
Q.S. Yunus, ayat 88
|
Q.S. Al-Fath, ayat 11
|
11
|
Q.S. Adz-Dzariyat, ayat 19
|
Q.S. Al-Hadid, ayat 20
|
12
|
Q.S. Al-Ma’arij, ayat 24
|
Q.S. Hujurat, ayat 15
|
|
|
Q.S. Al-Mujadalah, ayat 17
|
|
|
Q.S. Al-Hasyr, ayat 8
|
وَلا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ “Dan janganlah kamu serahkan kepada
orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta maksudnya adalah, Allah melarang kepada para wali untuk
menyerahkan harta anak yatim yang merupakan sandaran kehidupan mereka kepada
orang-orang yang tidak bijak, baik itu perempuan, anak laki-laki ataupun
seorang yang memang tidak bijaksana yaitu kurang jeli dalam masalah maaliyah
(harta), atau tidak tahu cara pengolahannya (membelanjakannya), hal ini
ditakutkan mereka mempergunakan tidak sesuai dengan aturannya, atau merusaknya
dengan berbagai cara, seperti menyia-nyiakan (menghambur-hamburkan) harta
tersebut. Kemudian Allah
memerintahkan kepada para wali menginfakkan harta itu untuk kebutuhan makan dan
pakaian. Yang menarik adalah kata fiiha bukan minha, ini
menunjukkan bahwa semestinya harta itu di investasikan, baik dalam bentuk usaha
perdagangan, produksi ataupun cocok tanam, kemudian dari hasil keuntungan
itulah yang dimakan. Dan memerintahkan mereka supaya berbicara kepada Sufaha’,
yaitu orang-orang yang menahan harta mereka dengan perkataan yang baik,
seperti tanggapan yang bagus dan kata-kata yang baik.
F. Analisis Munasabah
Sebelum kita masuk dalam bab analisis munasabah, terlebih dulu saya
akan menjelaskan sedikit tentang analisis tersebut. Dalam
analisis Munasabah ini terdapat beberapa teori untuk menemukan relasi antar
ayat didalam Al-Qur’an. Pertama dengan cara mencari persamaan kata atau
kandungan ayat dengan ayat sebelumnya, analisis seperti ini dinamakan
At-Tamtsil (perumpamaan), Kedua mencari perlawanan kata atau kandungan pada
ayat- ayat Al-Qur’an, analisis semacam ini dinamakan Al-Mudhaddah
(perlawanan), Ketiga dengan cara memerhatikan akhir pembahasan pada satu ayat,
jika kita tidak menemukan relasi dengan ayat berikutnya maka analisis semacam
itu dinamakan Al-Istidrad (akhir pembicaraan), Keempat apabila pada ayat
selanjutnya tidak ada keterkaitan kandungan dengan ayat sebelumnya maka
analisis semacam ini dinamakan At-Takhalus (mengalihkan pembicaraan).
Dalam surah An-Nisa’ ayat 5 ini. Seputar pengarahan Allah kepada
umat-Nya tentang sesuatu yang dapat mengantarkan mereka guna meraih kebaikan
dunia dan mendapatkan keberuntungan di akhirat. Kalimat وَلا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ memiliki keterkaitan dengan kalimat
sesudahnya:
وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ
آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ وَلا
تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا
فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا
دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ وَكَفَى بِاللَّهِ
حَسِيبًا.
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta),
maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta
anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa
(membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara
itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu)
dan barang siapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.
Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu
adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah
sebagai Pengawas (atas persaksian itu)”.
Korelasi antara
ayat pertama dan ayat kedua terdapat pada objek yang dituju oleh firman Allah,
yaitu harta anak
yatim (belum sempurna akalnya), artinya wajib atas kamu memberi latihan kepada
mereka, sehingga akan memiliki kemampuan mengelola hartanya untuk hidup pada
masa depannya, baik yang menyangkut kecerdasan akalnya, kelurusan budi, ataupun
keterampilan usaha. Sebelum mereka benar-benar mandiri, Tuhan menyuruh para
wali untuk mengujinya setahap demi setahap. Tak seluruh harta miliknya
diserahkan sekaligus, tetapi sebagian demi sebagian. Baru setelah diketahui
kemampuan dan tanggung jawabnya memadai, harta miliknya diserahkan kembali
seluruhnya.
Yang
dimaksud dengan sudah cukup umur dan siap nikah, adalah sampai siap
untuk beristri, yaitu setelah timbul keinginan berumah tangga, dan siap menjadi
suami dan memimpin keluarga. Hal itu tidak akan bisa berjalan sempurna, jika
dia belum mampu mengurus harta kekayaan.
Abu
Hanifah berpendapat, harta-harta anak yatim diserahkan kembali setelah seorang
anak mencapai usia 25 tahun, walaupun secara kejiwaan belum benar-benar dewasa
(rasyid).
Dalam
kitab al-amwal wa nadzriyatul aqdi disebutkan, ayat ini tegas menyatakan
anak yatim wajib diasuh sampai umur dewasa atau dengan kata lain, perlu (tetap
diasuh) sampai seorang mencapai dewasa.
Al-Qurthubi
dalam tafsirnya menjelaskan: said ibn jubair dan asy-sya’bi berpendapat, bisa
terjadi seseorang telah berjenggot tetap belum berjiwa dewasa. Karena itu,
harta orang yatim tetap belum boleh diserahkan kembali, meskipun usianya sudah
tua, sampai dia benar-benar dewasa dan mampu hidup mandiri. Begitu pula
pendapat adh-Dhahak. Beliau berkata, meskipun orang yatim sudah berusia 100
tahun, hartanya tetap belum boleh diserahkan, jika diketahui dia tidak mungkin
mampu mengelolanya sendiri.
Para
fukaha dan ahli undang-undang sepakat menetapkan, seseorang diminta
pertanggungjawaban atas perbuatannya dan mempunyai kebebasan menentukan
hidupnya setelah cukup umur. Menurut pandangan syafi’iyah, hambaliyah, dan
malikiyah, umur 15 tahun merupakan usia minimal untuk disebut seseorang anak
telah cukup umur, baik lelaki ataupun perempuan. Tetapi bagi syi’ah, cukup umur
adalah 19 tahun untuk anak perempuan, dan 20 tahun untuk anak-anak lelaki. Abu
Hanifah berpendapat, cukup umur adalah 18 tahun untuk anak lelaki dan 17 tahun
untuk anak perempuan.
وَلا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا : janganlah kamu makan
(pergunakan) harta mereka dengan cara yang boros dan secara cepat-cepat,
sebelum mereka dewasa.
Janganlah kamu ambil harta anak yatim dan
jangan pula kamu memakan atau mempergunakan secara boros, tidak efisien, dan cepat-cepat
menghabiskan sebelum anak tersebut mencapai cukup umur.
Mengenai penggunaan harta anak yatim dengan
tidak boros dan tidak cepat-cepat dihabiskan sebelum anak sampai umur, Allah
telah menerangkan hukumnya dengan firman-Nya :
وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ
فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ : barang siapa cukup mampu (di
antara kamu), maka hendaklah memelihara (menjauhkan) diri dari menggunakan
harta-harta anak yatim. Barangsiapa tidak mampu (di antara kamu), maka
hendaklah menggunakan secara makruf (sesuai kepentingan dan wajar ).
Kata ibn jabir: para ulama’ sepakat menetapkan
bahwa harta anak yatim bukanlah harta wali (orang tua asuh). Oleh karena itu
wali tidak boleh memakannya. Yang dibolehkan adalah meminjamkan saat ada
keperluan. Boleh pula mengambil sebagai upah dengan kadar yang layak untuk
pengurusan dan pelayanan atas harta-harta tersebut.
فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ : apabila kamu memberikan
harta-harta tersebut kepada anak yatim, hadirkan saksi-sakti atas mereka.
Apabila
kamu menyerahkan kembali harta yang kau kelola kepada anak yatim sebagai
pemilik, setelah dianggap anak itu cukup umur dan mampu mengelolanya sendiri,
maka hadirlah saksi-saksi. Menghadirkan saksi, menurut mazhab syafi’i dan
malik, adalah wajib hukumnya. Sedangkan ulama-ulama hanbaliyah memandang
sunnat, bukan wajib.[71]
Allah memerintahkan untuk
melakukan pengujian terhadap anak yatim tatkala telah mencapai akil balig dan
telah dewasa dalam mengambil sikap, dengan cara memberikan sebagian harta
kepada mereka, kemudian mereka diminta untuk melakukan perniagaan dengan harta
itu, kalau ternyata mereka melakukan tindakan yang menunjukkan kemampuan mereka
dalam mengurus harta, maka harta itu dikembalikan kepada mereka dengan
memanggil saksi, supaya dikemudikan hari tidak terbuka peluang menagih kembali
harta yang telah diberikan, dan cukuplah Allah sebagai saksi, pengawas dan
penjaga.
Allah melarang memakan harta anak
yatim dengan berlebih-lebihan atau memanfaatkan kesempatan sebelum harta itu
diserahkan. Allah melarang kepada para wali anak yatim dan orang yang
mendapatkan amanah memelihara anak yatim, agar tidak memakan harta anak yatim
dengan berlebih-lebihan, yaitu membelanjakan diluar kebutuhan pokok, jangan
pula bersegera memakan sebelum waktu penyerahan terjadi,” itulah yang dimaksud
dengan Al-Mubadarah. Kemudian Allah memberikan jalan keluar bagi yang terpaksa,
dengan cara apabila sang wali tergolong orang yang mampu maka janganlah memakan
harta itu sedikitpun, dan bagi yang miskin maka makanlah dengan cara yang baik,
bentuknya sebagai pinjaman dari harta itu, kemudian mengembalikannya bila sudah
ada, atau bila si wali miskin maka tidaklah mengapa seorang wali bekerja dengan
upah seperti tatkala ia bekerja di tempat lain. Namun, bagi yang kaya, dia
diharuskan bekerja dengan ikhlas dan tanpa imbalan, balasannya ada di sisi
Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan amalan setiap hamba-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jazairi, Abu Bakar Jabir, Tafsir
Al-Qur’an Al-Aisar (jilid 2), Jakarta Timur: Darus Sunnah Press, 2007
Shihab, M Quraish, wawasan
Al-Qur’an, Bandung: Penerbit Mizan, 1996
Teungku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, Prof. DR, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur, Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra, 2000
Al-Qur’an dan Terjemahnya, CV
Penerbit Diponegoro
[1] Orang safih: yang memboroskan harta, tidak
dapat mengelola secara semestinya.
[71] ) tafsir Al-Qur’anul masjid An-Nur jilid
2, hal: 785
Post a Comment