Unknown

daun itu jatuh tepat depan mata, 
belum sempat aku menyanyikan lagu untuknya,
keburu angin membawanya....

berkibaran rasa sesal di atas tangga, tapi apa itu memang seharusnya?

di ujung serangkaian ikatan tali, aku menindihkan tawaku padanya,
tahukah bahwa setitik tawa akan terasa bila dia tahu, bahwa itu miliku, aku rangkaikan jariku untuk menjoba bertahan, tapi bisa dimengerti bahwa ini adalah emosi,

coba dilihat di ujung lilitan itu, bukanya menempel debu yang saling merindu?
membicarakan bahwa air tak kunjung datang, takut angin aklan membawanya pergi lagi, ah itu sudah usai,

mulai mberjalan lagi, disisi sebuah jembatan harapan, dia menyapaku dengan harapanya, bisa dipahami kalo hari ini adalah milik sang pencipta, ya mengertilah kalau memang hidup itu hya seperti ini, jangan ada harapan tanpa kau singkirkan batu sanduingan yang menghadang...

aku bertanya, siapa yang berani menghadang? bukanya itu sudah benar? bagaimana jika tangan ini sudah siap di depan, pedang disamping dan keris dibelakang, ah, itu sudah pernah untuk tidak digunakan,

>Lima langkah< — di di zaman kritik hati.
0 Responses

Post a Comment