q  Dalam fikih tidak ditemukan bahasan khusus tentang perjanjian perkawinan, tetapi yang ada yaitu “persyaratan dalam perkawinan” atau الشروة فى النكاح bahasan tentang syarat dalam perkawinan  dan sah atau tidaknya suatu perkawinan.
q  Kaitan antara persyaratan perkawinan dengan perjanjian perkawinan adalah karena perjanjian itu berisi syarat2 yg harus dipenuhi oleh pihak  yang melakukan perjanjian dalam arti berjanji memenuhi syarat2 yang telah ditentukan.
q  Perjanjian dalam perkawinan terpisah dari akad nikah, maka tidak ada kaitan hukum diantara keduanya. Tidak dipenuhinya perjanjian tidak menyebabkan batalnya nikah yang sudah sah.
q  perjanjian dalam perkawinan sebagaimana yang diuraikan diatas mendapat tempat yang luas dalam UU perkawinan, yang bunyi-nya:
BAB V
Perjanjian perkawinan
(1) pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapa mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bila mana melanggar batas2 hukum, agama dan kesusilaan.
(3)Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan         dilangsungkan
(4)Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
q  Dalam KHI juga mengatur panjang lebar perjanjian perkawinan tersebut dalam pasal 45,46,47,48,49,50,51, dan 52. pasal 45 dan 46 mengatur ttg ta’lik talak dengan tata caranya. Pasal 47,48,49,50 dan 51 mengatur perjanjian dalam hal harta bersama lengkap dengan cara pelaksanaannya, sedang pasal 52 mengatur hal lain diluar ta’lik talak dan harta bersama.                
                 Dalil Al-quran

q  Firman Allah dalam Al-Quran surat al-Maidah ayat 1 :
                يا أيها الذين ءامنوا أوفوا بالعقود
                “hai orang-orang yg beriman penuhilah janji yg kamu janjikan”
q  Suraat al-Isra’ ayat 34 :
                وأوفوا بالعهد إن العهد كان مسئولآ
                “dan penuhilah janji-janji mu karena janji itu suatu yang harus dipertanggung jawabkan”
q  Membuat perjanjian dalam perkawinan hukumnya mubah, artinya seseorang itu boleh membuat atau pun tidak, namun apabila perjanjian itu telah dibuat maka jumhur ulama berpendapat bahwa hukum memenuhi perjanjian itu wajib, hal ini ditegaskan dalam hadist nabi dari Uqbah bin Amr:
                أحق الشروة بالوفاء ما إستحللتم به الفروج
                “syarat-syarat yang paling layak untuk dipenuhi adalah syarat yang berkenaan dengan perkawinan.”
q  Kewajiban memenuhi persyaratan yang terdapat dalam perjanjian tergantung kepada bentuk persyaratan perjanjiannya,
q   
                ulama’ membagi menjadi 3 bagian:
1.            Syarat yang langsung berkaitan dg perkawinan, semisal suami istri bergaul secara baik, suami menafkahi keluarga dsb.
2.            Syarat yang bertentangan dg hakikat perkawinan atau memberi mudharat kpd pihak-pihak tertentu. Umpamanya, suami meminta kepada istri untuk mencari nafkah dg cara melacur.
3.            Syarat yg tidak menyalahi tuntutan perkawinan dan tidak pula di syari’atkan. Umpamanya, hasil pencaharian  dalam rumah tangga menjadi milik bersama atau istri tidak mau di madu.

q  Ulama’ sepakat mengatakan bahwa syarat dalam bentuk pertama wajib dilaksanakan, karna berkenaan dg hak bagi yang dijanjikan, sedangkan bentuk syarat kedua ulama’ sepakat mengatakn perjanjian itu tidak wajib dipenuhi dalam arti tidak berdosa orang yg melanggar perjanjian itu karna bertentengan dg hukum syara’. Dan bentuk syarat yg ketiga terdapat perbadaan pendapat di kalangan ulama’. Seperti istri meminta untuk tidak di madu, ulama’  syafi’iyah berpendapat bahwa syart tersbut tidak boleh dipenuhi, namun tidak membatalkan perkawinan jika dilakukan. Alasan mereka ialah bahwa yg demikian termasuk syarat yg mengharamkan sesuatu yg halal.
q  Menurut Hanabilah yg mengatakan bila istri  mensyaratkan tidak mau di madu itu wajib dipenuhi, karna bagi mereka persyaratan ini tlah memenuhi apa yg dikatakan Nabi ttg syarat yg paling layak untuk dipenuhi tersebut.
q  Pendapat Imam Ahmad dalam hal ini sangat relevan dg usaha memperkecil terjadinya poligami yg tidak bertanggung jawab (Ibnu Qudamah VII:93)

Labels: , | edit post
0 Responses

Post a Comment