Unknown
 DZIHAR
a.       Definisi Zihar
Zhihar berasal dari kata Zhahr yang artinya punggung, sedangkan menurut istilah adalah suatu ungkapan suami yang menyatakan kepada isterinya “Bagiku kamu seperti punggung ibuku”. Dalam kitab fathul Bari dikatakan: zihar khusus disebut punggung saja dan bukan anggota badan lainnya, karena umumnya punggunglah tempat tunggangannya.
Pada zaman jahiliyah zihar ini menjadi thalaq. Lalu islam dating membatal-kannya. Kemudian Islam menetapkan isteri yang di zhihar haram untuk di kumpuli sebelum membayar kafarat kepada isterinya sekalipun suami menzhihar isterinya hanya bermaksud untu menthalaq, tetapi secara hukum tetap dipandang zhihar.
Dan jika dengan ucapan thalaq dimaksud zhihar, tapi secara hukum tetap thalaq. Andai kata ada suami mengatakan kepada isterinya “engkau seperti punggung ibuku”, sedangkan maksudnya menthalaq, maka hukum tersebut bukan thalaq, tapi tetap dinamakan sebagai zhihar. Dan zhihar tidak menyebebkan isteri terthalaq dari suami.
Para Ulama sepakat tentang haramnya zhihar. Dan tidak boleh melakukan perbuatan ini. Karena Allah berfirman:
tûïÏ%©!$# tbrãÎg»sàムNä3ZÏB `ÏiB OÎgͬ!$|¡ÎpS $¨B  Æèd óOÎgÏF»yg¨Bé& ( ÷bÎ) óOßgçG»yg¨Bé& žwÎ) Ï«¯»©9$# óOßgtRôs9ur 4 öNåk¨XÎ)ur tbqä9qà)us9 #\x6YãB z`ÏiB ÉAöqs)ø9$# #Yrãur 4 žcÎ)ur ©!$# ;qàÿyès9 Öqàÿxî ÇËÈ  
Artinya:  Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
b.      Kata-Kata Zhihar
Fuqaha berpendapat bahwa seorang suami berkata kepada isterinya, “engkau haram bagiku seperti ibuku”, maka kata-kata tersebut adalah zhihar. Jika ada suami yang mengatakan kepada isterinya selain dari kata punggung, semahram. Malik berpendapat bahwa penyebutan kata-kata tersebut adalah zhihar. Segolongan para Ulama berpendapat bahwa zhihar hanya terjadi dengan kata-kata “punggung”dan “ibu”.
Apabila seorang suami berkata, “isteriku bagiku adalah seperti ibuku” atau “Dia (Isteriku) haram padaku seeperti ibuku”, tanpa menyebutkan punggung, menurut Abu hanifah dan Syafi’I hal ini bergantung pada niatnya, karena boleh jadi kata-kata tersebut ditujukan untuk mengagungkan isteri dan ketinggian kedudukannya disisinya. Tetapi menurut Malik kata-kata tersebut bukan zhihar, karena pendapatnya apabila seseorang menyamakan isterinya dengan orang perempuan lain yang tidak selamanya haram dikawin.
c.       Akibat Zihar
Suami yang telah menzhihar isterinya dengan sah bias menimbulkan dua macam akibat, yaitu:
Pertama, haram untuk bersetubuh. Seorang suami yang telah menzhihar isterinya maka haram baginya untuk melakukan persetubuhan dengan isterinya sebelum membayar kafarat zhihar.
Karena diharamkannya bersetubuh, berarti haram pula perbuatan-perbuatan pendahuluannya, seperti: mencium, mengecup leher dan sebaginya yang besa disebut dengan muqaddimah nya ini menurut Malik dan abu Hanifah yang beralasan dengan firman Allah surat Al-mujadalah ayat:3
`ÏiB….. È@ö6s% br& $¢!$yJtFtƒ …..4 ÇÌÈ  
….sebelum kedua suami isteri itu bercampur. …..

Sedangkan menrut Imam syafi”i bahwa zhihar hanya menyebabkan keharaman pergaulan pada kelamin perempuan saja, yang telah disepakati atasnya. Bukan terhadap anggota tubuh lainnya.
Kedua, wajib membayar kafarat dan berhak untuk kembali lagi. Para ulama berbeda pendapat tentang maksud “kembali lagi”. Qatadah, Sai’id bin Zubair, abu Hanifah dan murid-muridnya berkata: kembali lagi maksudnya kembali kehendak bersetubuh yang jdi haram karena zhihar tadi. Tetapi Syafi’I berkata: bahkan ia dapat memegang isterinya setelah zhihar dalam tempo seperti thalaq, walaupun disini bukan perkara thalaq. Karena menyamakan isteri dengan ibu menyebabkan thalak ba’in. dan memegang kembali isteri setelah zhihar berarti berlawanan dengan thalaq ba’in tersebut. Jadi jika suami ingin memegang isterinya kembali berarti ia telah mencabut ucapan zhiharnya.
Sedangkan kafaratnya bagi seseorang suami yang menzhihar isterinya adalah memerdekakan budak perempuan, jika tidak mampu berpuasalah dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu member makanan kepada 60 orang miskin, Syafi’I dan Abu Hanifah memberikan setiap orang miskin itu satu mud. karena Allah berfirman dalam surat Al-Mujadalah ayat 3-4 yang berbunyi:
tûïÏ%©!$#ur tbrãÎg»sàム`ÏB öNÍkɲ!$|¡ÎpS §NèO tbrߊqãètƒ $yJÏ9 (#qä9$s% ㍃̍óstGsù 7pt7s%u `ÏiB È@ö6s% br& $¢!$yJtFtƒ 4 öä3Ï9ºsŒ šcqÝàtãqè? ¾ÏmÎ 4 ª!$#ur $yJÎ tbqè=yJ÷ès? ׎Î7yz ÇÌÈ   `yJsù óO©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù Èûøïtöhx© Èû÷üyèÎ$tGtFãB `ÏB È@ö6s% br& $¢!$yJtFtƒ ( `yJsù óO©9 ôìÏÜtGó¡o ãP$yèôÛÎ*sù tûüÏnGÅ $YZŠÅ3ó¡ÏB 4 y7Ï9ºsŒ (#qãZÏB÷sçGÏ9 «!$$Î ¾Ï&Î!qßuur 4 šù=Ï?ur ߊrßãn «!$# 3 z`ƒÌÏÿ»s3ù=Ï9ur ë>#xtã îLìÏ9r& ÇÍÈ  

Artinya:
3. Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
4. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi Makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.
Mengenai permasalahan apakah Zhihar itu berulang dengan berulangnya pernikahan?. Mengenai apabila suami menceraikan isteri sesudah zhihar tetapi belum membayar kafarat, kemudian merujuknya, apakah zhihar dapat berulang baginya sehingga ia tidak boleh menggauli isteri sebelum membayar kafarat? Dalam hal ini para fuqaha berbeda pendapat.
Malik berpendapat bahwa apabila suami menceraikan isterinya dengan thalak kurang dari tiga, kemudian ia merujuknya dalam masa iddah atau sesudahnya, maka ia wajib membayar kafarat. Sedangkan Syafi’I berpendapat, bahwa apabila suami merujuknya pada masa iddah, maka wajib membayar kafarat, jika sesudah iddah maka ia tidak wajib membayar kafarat

Labels: | edit post
0 Responses

Post a Comment