BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dewasa ini, banyak sekali problem
dalam kehidupan rumah tangga tentunya mengenai hal pernikahan sebab nikah itu
bukan suatu hal permainan yang mudah di jalankan dalam rumah tangga, jikalau seorang
sudah nikah berarti ia akan memegang amanah yang berat untuk menjaga
keluarganya, dan melindunginya dari apapun.
Apalagi seorang suami, disamping
menjadi pemimpin rumah tangga ia juga harus bisa bersikap adil terhadap
keluarganya, memberikan apa yang harus di berikan kepada keluarganya, jikalau
mengenai istri maka berilah hak istri seperti nafkah batin dan nafkah dhahir
dan jika kepada anak maka berilah apa yang di butuhkan anak untuk masa depannya
dan lain sebagainya.
Rumah tangga merupakan jalinan
hidup antara dua insan atau lebih untuk mencapai kehidupan yang sakinah,
mawadah, wa rahmah, namun tidak semuanya bisa seperti apa yang di inginkan
karena problem dalam rumah tangga itu selalu ada, nah disini kita akan sedikit
membicarakan problem rumah tangga mengenai memadu istri atau disebut poligami.
Sebenarnya poligami itu sudah ada
sebelum islam datang dan menyeluruh ke setiap wilayah, karena pada waktu itu
raja-raja, para bangsawan dan lain sejenisnya melakukan poligami, mereka
mempunyai banyak istri dalam kehidupan rumah tangganya, dengan berbagai tujuan
seperti, ingin mempunyai keturunan yang banyak, agar bisa meneruskan
kekerajaannya, atau bisa juga karena keinginan birahinya dan lain sebagainya.
Dan memang pada waktu itu tidak salah jika seseorang mempunyai istri banyak.
Bahkan seperti nabi Ayub as, Sulaiman as dan sebagainya juga mempunyai istri
banyak.
Akan tetapi, sekarang ketika
syariat islam datang maka di batasilah dalam masalah perkawinan seperti yang di
jelaskan dalam al-Quran surat An-Nisa’ ayat 3, jadi poligami masih boleh di
lakukan tetapi ada batasnya seperti 2,3 dan 4.
Untuk lebih jelasnya mari kita
lihat dalam pembahasan yang akan datang, apakah poligami itu boleh dilakukan?
Jika iya apa yang menjadi syarat di perbolehkannya.
B. Rumusan masalah
1. Apakah pengertian poligami?
2. Apakah dalil al Quran dan al hadits
dalam masalah poligami?
3. Apakah syarat-syarat poligami dalam
islam?
4. Apa sajakah hukum poligami?
5. Bagaimana prosedur permohonan poligami
& dokumennya?
6. Apakah hikmah dari poligami?
C. Tujuan
Agar para pembaca mengetahui apa
itu poligami, serta dasar-dasar apa yang digunakan untuk di bolehkannya
berpoligami. Dan jika para pembaca ingin berpoligami, mengerti apa saja yang
menjadi syarat dalam berpoligami agar hubungan rumah tangga tetap harmonis.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian poligami
Poligami merupakan
praktik pernikahan seseorang yang lebih dari satu, seperti seorang laki-laki
yang menikahi seorang perempuan lebih dari satu atau sebaliknya seorang
perempuan menikahi laki-laki lebih dari satu. Namun ada pebedaan nama antara
keduanya, sebagai umumnya yang disebut poligami adalah laki-laki yang menikah
lebih dari satu sedang jika perempuan nikah dengan laki-laki lebih dari satu
disebut poliandri.
Sebenarnya,
istilah poligami itu mengandung pengertian poligini dan poliandri. Tetapi
karena poligami lebih banyak dikenal terutama di Indonesia dan negara-negara
yang memakai hukum Islam, maka tanggapan tentang poligini ialah poligami.
Drs. Sidi
Ghazalba mengatakan bahwa Poligami adalah perkawinan antara seorang laki-laki
dengan lebih dari satu orang perempuan. Dan lawannya adalah poliandri yaitu
perkawinan antara seorang perempuan dengan beberapa laki-laki.
Para orientalis
mengatakan bahwa mereka mengklaim poligami itu merupakan produk ajaran Islam.
Dengan tujuan menteror produk dan menghina ajaran Islam, mereka banyak
mengemukakan segi-segi negatif dalam berpoligami.
Kalau
kita mengkaji sejarah, maka akan terbuka bahwa masalah poligami itu sudah sejak
lama sebelum Islam datang. Bahkan poligami itu merupakan warisan dari
orang-orang Yahudi dan Nasrani, sampai pada masa Martin Luther, seorang
penganjur besar Protestan, tidak nampak adanya larangan poligami. Tujuan
tersebut dapat dijawab dengan beberapa bukti sejarah, bahwa poligami sudah
berjalan lama sebelum Islam datang, sebagai berikut:
Westernak berkata: "Poligami dengan sepengetahuan Dewan Gereja itu berjalan sampai abad ke 17 M."
Westernak berkata: "Poligami dengan sepengetahuan Dewan Gereja itu berjalan sampai abad ke 17 M."
Pada
tahun 1650 M Majelis Tinggi Perancis mengeluarkan edaran tentang
diperbolehkannya seorang laki-laki mengumpulkan dua orang isteri. Surat edaran
itu dikeluarkan karena kurangnya kaum laki-laki akibat perang 30 tahun terus
menerus.
Agama
Yahudi memperbolehkan poligami yang tidak terbatas. Kenyataannya Nabi Yakub,
Nabi Daud, dan Nabi Sulaiman mempunyai banyak isteri. Nabi Ibrahim juga
mempunyai dua orang isteri Hajar dan Sarah.
Penduduk
asli Australia, Amerika, Cina, Jerman dan Sisilia terkenal sebagai bangsa yang
melakukan poligami sebelum datangnya agama masehi. Poligami yang mereka lakukan
tanpa adanya batas dan tanpa adanya syarat-syarat keadilan terhadap beberapa
isterinya.
Ahli
pikir Inggris Harbert Sebenser dalam bukunya "Ilmu Masyarakat"
menjelaskan bahwa sebelum Islam datang, wanita diperjualbelikan atau digadaikan
bahkan dipinjamkan. Hal tersebut dilakukan sesuai dengan peraturan khusus yang
dikeluarkan oleh gereja dan berjalan sampai pertengahan abad 11 M.(4)
Dengan
ini jelas bahwa poligami sudah menjadi kebudayaan pada masa sebelum Islam datang.
Melihat
kenyataan yang jelas-jelas merendahkan martabat kaum wanita itu, maka Islam
melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulnya, membenahi dan mengadakan penataan
terhadap adat istiadat yang benar-benar tidak mendatangkan kemaslahatan dan
meneruskan adat kebiasaan yang menjunjung tinggi martabat manusia, dalam hal
ini termasuk masalah poligami yang tidak terbatas. Islam membolehkan poligami
dengan syarat adil. Hal ini demi menjaga hak dan martabat wanita.[1]
Salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
yang bernama Harits Bin Qais Bin ‘Umairah al-Asadi mengatakan : “Aku masuk
islam, sedangkan aku mempunyai delapan istri. Lalu aku menyebutkan hal itu
kepada Nabi, maka beliau bersabda : “ Pilihlah empat diantara mereka.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah
dan Ibnu Katsir Berkata dalam tafsirnya, Sanadnya bagu).
Sebenarnya ada tiga
bentuk poligami :
1. Poligini
yaitu seorang pria memiliki istri dalam sekaligus
2. Poliandri
yaitu seorang wanita memiliki beberapa suami sekaligus
3. Penikahan
kelompok (dalam bahasa inggrisnya group marriage) yaitu kombinasi poligini dan
poliandri
Namun dalam hal ini
yang kita bahas adalah poligami sesuai yang di jelaskan di atas, yaitu seorang
laki-laki yang menikah lebih dari satu istri.
a. Poligami dari
berbagai agama
1. Hindu
Baik poligini maupun poliandri dilakukan oleh sekalangan masyarakat Hindu
pada zaman dulu. Hinduisme tidak melarang maupun menyarankan poligami. Pada
praktiknya dalam sejarah, hanya raja dan kasta tertentu
yang melakukan poligami.
2. Buddisme
Dalam Agama
Buddha pandangan terhadap Poligami adalah suatu bentuk keserakahan (Lobha.
3.
Yudaisme
Walaupun
kitab-kitab kuno agama Yahudi
menandakan bahwa poligami diizinkan, berbagai kalangan Yahudi kini melarang
poligami.
4.
Kristen
Gereja-gereja Kristen umumnya, (Protestan, Katolik, Ortodoks, dan lain-lain) menentang praktik
poligami. Namun beberapa gereja memperbolehkan poligami berdasarkan kitab-kitab
kuna agama Yahudi. Gereja Katolik merevisi pandangannya sejak masa Paus Leo XIII pada tahun 1866
yakni dengan melarang poligami yang berlaku hingga sekarang.
Penganut Mormonisme pimpinan Joseph Smith di Amerika Serikat sejak tahun 1840-an hingga
sekarang mempraktikkan, bahkan hampir mewajibkan poligami. Tahun 1882
penganut Mormon memprotes keras undang-undang anti-poligami yang dibuat pemerintah
Amerika Serikat. Namun praktik ini resmi dihapuskan ketika Utah
memilih untuk bergabung dengan Amerika Serikat. Sejumlah gerakan sempalan
Mormon sampai kini masih mempraktekkan poligami.
5.
Islam
Islam pada dasarnya 'memperbolehkan'
seorang pria beristri lebih dari satu (poligami). Islam 'memperbolehkan'
seorang pria beristri hingga empat orang istri dengan syarat sang suami harus dapat
berbuat 'adil' terhadap seluruh istrinya. Poligini dalam Islam baik dalam hukum
maupun praktiknya, diterapkan secara bervariasi di tiap-tiap negara dengan
mayoritas penduduk beragama Islam. Di Indonesia sendiri terdapat hukum yang
memperketat aturan poligami untuk pegawai negeri, dan sedang dalam wacana
untuk diberlakukan kepada publik secara umum. Tunisia adalah contoh negara
Arab dimana poligami tidak diperbolehkan.
b.
Poligami
menurut MKI
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan
yang tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan)
yang menyatakan bahwa asas perkawinan adalah monogami, dan poligami
diperbolehkan dengan alasan, syarat, dan prosedur tertentu tidak bertentangan
dengan ajaran islam dan hak untuk membentuk keluarga, hak untuk bebas memeluk
agama dan beribadat menurut agamanya, dan hak untuk bebas dari perlakuan yang
bersifat diskriminatif sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
Hal
tersebut diutarakan dalam sidang pembacaan putusan perkara No. 12/PUU-V/2007
pengujian UU Perkawinan yang diajukan M. Insa, seorang wiraswasta asal Bintaro
Jaya, Jakarta Selatan pada Rabu (3/10/2007), di Gedung MK.
Pasal-pasal dalam UU Perkawinan yang
di nyatakan tidak bertentangan dengan kontitusi :
Pasal
3
Ayat (1) : pada asasnya suatu
perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang istri
hanya boleh mempunyai seorang suami.
Ayat (2) : pengadilan dapat memberi
izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang.
Pasal
4
Ayat (1) : dalam hal seorang suami
akan beristri lebih dari seorang maka wajib ia mengajukan permohonan kepada
daerah tempat tinggalnya
Ayat (2) : pengadilan akan
memberikan izin kepada seorang suami yang akan berisitri lebih dari seorang
apabila :
1. Istri
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri
2. Istri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3. Istri
tidak dapat melahirkan keturunan
Pasal 5
Ayat (1) : untuk dapat mengajukan
permohonan kepada pengadilan harus di penuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Adanya
persetujuan dari istri
2. Adanya
kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak
mereka
3. Adanya
jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka
Pasal 9 : seorang masih terkait tali
perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali hal yang tersebut
dalam pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 undang-undang ini.
Pasal 15 : barang siapa karena
perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan
atas dasar bahwa masih ada perkawinan dapat mencegah perkawinan yang baru.
Pasal 24 : barang siapa karena
perkawinan dirinya masih terikat kepada salah satu pihak dan atas dasar adanya
perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru.[2]
c.
Poligami
berseri
Poligami berseri dalam sosiologi adalah sejenis poligami, namun
tidak dilakukan pada saat yang bersamaan (paralel) melainkan melalui proses
perceraian (perceraian secara hukum, bukan cerai mati). Ketika seorang suami
atau seorang istri bercerai lalu menikah lagi, maka hal itu disebut sebagai
poligami berseri.[3]
B.
Dalil-dalil yang di perbolehkan berpoligami
Dasar hukum poligami di sebutkan dalam kalamullah yakni AL Quran
surat An Nisa’ ayat 3 yang berbunyi :
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû
4uK»tGuø9$#
(#qßsÅ3R$$sù $tB
z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$#
4Óo_÷WtB y]»n=èOur
yì»t/âur ( ÷bÎ*sù
óOçFøÿÅz wr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB
ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷r& 4 y7Ï9ºs #oT÷r& wr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
3. dan jika
kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang
kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
[265] Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam
meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat
lahiriyah.
[266] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat
tertentu. sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan
oleh Para Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi poligami sampai
empat orang saja.
Sebelum turun ayat 3 Surat An-Nisa' diatas, banyak
sahabat yang mempunyai isteri lebih dari empat orang, sesudah ada pembatalan
paling banyak poligami itu empat, maka Rasulullah memerintahkan kepada
sahabat-sahabat yang mempunyai isteri lebih dari empat, untuk menceraikan
isteri-isterinya, seperti disebutkan dalam hadits yang artinya:
"Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW berkata kepada
Ghailan bin Umaiyyah Al Tsaqafy yang waktu masuk Islam mempunyai sepuluh
isteri, pilihlah empat diantara mereka dan ceraikanlah yang lainnya." (HR.
Nasa'iy dan Daruquthni).
Haidts riwayat Nyai Aiysah ra :
Dari Urwah
bin Zubair, bahwa ia bertanya kepada Aisyah tentang firman Allah: "Dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi dua, tiga atau empat." [QS: An-Nisa (4) ayat 3]
Aisyah
berkata: "Hai keponakanku, ayat itu berbicara tentang seorang anak
perempuan yatim yang berada dalam asuhan walinya, di mana harta anak perempuan
itu telah bercampur dengan harta wali, kemudian wali itu tertarik dengan harta
dan kecantikannya dan ingin mengawininya tanpa membayar mahar yang layak
seperti yang akan dibayar orang lain kepada anak perempuan itu. Sehingga para
wali dilarang menikahi mereka, kecuali bila mereka berlaku adil dan membayar
mahar yang layak (mitsil) dan para wali juga diperintahkan untuk menikahi
perempuan lain yang baik bagi mereka.
Aisyah berkata: Maksud firman Allah
Taala: "Dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Alquran" adalah ayat
pertama yang ada dalam firman Allah: "Dan jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil terhadap hak-hak
perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi."[4]
Dari
kitab Sahih Muslim
عن عبد الله ابن أبي مليكة أن المسور
بن مخرمة حدثه أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم على المنبر يقول: ان بني هشام
بن المغيرة استأذنوا أن ينكحوا ابنتهم من علي ابن أبي طالب فلا أذن لهم ثم لا أذن
لهم ثم لا أذن لهم الا ان يريد ابن أبي طالب أن يطلق ابنتي وينكح
ابنتهم, فانما ابنتي بضعة مني, يريبني ما أرابها ويؤذيني ما آذاها.
رواه مسلم
Artinya:
Beberapa
keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk
mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Talib RA. Ketahuilah, aku tidak
akan mengizinkan, aku tidak akan mengizinkan,dan aku tidak akan mengizinkan
kecuali Ali bin Abi Talib menceraikan putriku,kupersilahkan ia mengawini putri
mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dari diriku apa yang menyakiti
hatinya adala menykitiku juga.
ان إباحة تعدد الزوجات مضيق فيها أشد
التضييق فهي ضرورة تباح لمن يختاج اليها بشرط الثقة بإقامة العدل والأمن من
الجور
Artinya:
Yang di perbolehkan bagi orang yang
berpoligami itu sangat sempit, sebab memerlukannya dengan syarat orang itu
mampu berlaku adil dan jamin aman dari perbuatan terlarang.[5]
C. Syarat
–syarat berpoligami
Apabila seorang ingin berpoligami, hendaklah dia memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut, agar tidak mengalami percekcokan dalam rumah
tangga :
1. Membatasi jumlah isteri yang akan dikahwininya. Syarat
ini telah disebutkan oleh Allah (SWT) dengan firman-Nya;
"Maka berkahwinlah dengan sesiapa yang kamu ber-kenan
dari perempuan-perempuan (lain): dua, tiga atau empat." (Al-Qur'an, Surah an-Nisak ayat 3)
Ayat di atas menerangkan dengan
jelas bahawa Allah telah menetapkan seseorang itu berkahwin tidak boleh lebih
dari empat orang isteri. Jadi, Islam membatasi kalau tidak beristeri satu,
boleh dua, tiga atau empat sahaja.
Pembatasan ini juga bertujuan
membatasi kaum lelaki yang suka dengan perempuan agar tidak berbuat sesuka
hatinya. Di samping itu, dengan pembatasan empat orang isteri, diharapkan
jangan sampai ada lelaki yang tidak menemukan isteri atau ada pula wanita yang
tidak menemukan suami. Mungkin, kalau Islam membolehkan dua orang isteri saja,
maka akan banyak wanita yang tidak menikah. Kalau pula dibolehkan lebih dari
empat, mungkin terjadi banyak lelaki tidak memperolehi isteri.
2. Diharamkan bagi suami mengumpulkan wanita-wanita yang
masih ada tali persaudaraan menjadi isterinya. Misalnya, berkahwin dengan
kakak dan adik, ibu dan anaknya, anak saudara dengan emak saudara baik sebelah
ayah mahupun ibu.
Tujuan pengharaman ini ialah untuk
menjaga silaturrahim antara anggota-anggota keluarga. Rasulullah (s.a.w.)
bersabda, maksudnya;
"Sesungguhnya kalau kamu berbuat yang demikian itu,
akibatnya kamu akan memutuskan silaturrahim di antara sesama kamu." (Hadis riwayat Bukhari &
Muslim)
Kemudian dalam hadis berikut,
Rasulullah (s.a.w.) juga memperkuatkan larangan ini, maksudnya;
Bahawa Urnmu Habibah (isteri Rasulullah) mengusulkan agar
baginda menikahi adiknya. Maka beliau menjawab; "Sesungguhnya dia tidak
halal untukku." (Hadis riwayat Bukhari dan Nasa'i)
Seorang sahabat bernama Fairuz
Ad-Dailamy setelah memeluk agama Islam, beliau memberitahu kepada Rasulullah
bahawa beliau mempunyai isteri yang kakak beradik. Maka Rasulullah menyuruhnya
memilih salah seorang di antara mereka dan menceraikan yang satunya lagi. Jadi
telah disepakati tentang haramnya mengumpulkan kakak beradik ini di dalam
Islam.
3. Disyaratkan pula berlaku adil, sebagaimana yang
difirmankan Allah (SWT);
"Kemudian jika kamu bimbang tidak dapat berlaku adil
(di antara isteri-isteri kamu), maka (kahwinlah dengan) seorang sahaja, atau
(pakailah) hamba-hamba perempuan yang kaumiliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat (untuk mencegah) supaya kamu tidak melakukan kezaliman." (Al-Qur'an, Surah an-Nisak ayat 3)
Dengan tegas diterangkan serta
dituntut agar para suami bersikap adil jika akan berpoligami. Andaikan takut
tidak dapat berlaku adil kalau sampai empat orang isteri, cukuplah tiga orang
sahaja. Tetapi kalau itupun masih juga tidak dapat adil, cukuplah dua sahaja.
Dan kalau dua itu pun masih khuatir tidak boleh berlaku adil, maka hendaklah
menikah dengan seorang sahaja.
Para mufassirin berpendapat bahawa
berlaku adil itu wajib. Adil di sini bukanlah bererti hanya adil terhadap para
isteri sahaja, tetapi mengandungi erti berlaku adil secara mutlak. Oleh kerana
itu seorang suami hendaklah berlaku adil sebagai berikut:
a) Berlaku adil terhadap
dirinya sendiri. Seorang suami yang selalu sakit-sakitan dan mengalami
kesukaran untuk bekerja mencari rezeki, sudah tentu tidak akan dapat memelihara
beberapa orang isteri. Apabila dia tetap berpoligami, ini bererti dia telah
menganiayai dirinya sendiri. Sikap yang demikian adalah tidak adil.
b) Adil di antara para isteri.
Setiap isteri berhak mendapatkan hak masing-masing dari suaminya, berupa
kemesraan hubungan jiwa, nafkah berupa makanan, pakaian, tempat tinggal dan
lain-lain perkara yang diwajibkan Allah kepada setiap suami.
Adil di antara isteri-isteri ini
hukumnya wajib, berdasarkan firman Allah dalam Surah an-Nisak ayat 3 dan juga
sunnah Rasul. Rasulullah (s.a.w.) bersabda, maksudnya;
"Barangsiapa yang mempunyai dua isteri, lalu dia
cenderung kepada salah seorang di antaranya dan tidak berlaku adil antara
mereka berdua, maka kelak di hari kiamat dia akan datang dengan keadaan
pinggangnya miring hampir jatuh sebelah." (Hadis riwayat Ahmad bin Hanbal)
i) Adil memberikan nafkah.
Dalam soal adil memberikan nafkah ini, hendaklah si suami tidak mengurangi
nafkah dari salah seorang isterinya dengan alasan bahawa si isteri itu kaya
atau ada sumber kewangannya, kecuali kalau si isteri itu rela. Suami memang
boleh menganjurkan isterinya untuk membantu dalam soal nafkah tetapi tanpa
paksaan. Memberi nafkah yang lebih kepada seorang isteri dari yang lain-lainnya
diperbolehkan dengan sebab-sebab tertentu. Misalnya, si isteri tersebut sakit
dan memerlukan biaya rawatan sebagai tambahan. Prinsip adil ini tidak ada
perbezaannya antara gadis dan janda, isteri lama atau isteri baru, isteri yang
masih muda atau yang sudah tua, yang cantik atau yang tidak cantik, yang
berpendidikan tinggi atau yang buta huruf, kaya atau miskin, yang sakit atau
yang sihat, yang mandul atau yang dapat melahirkan. Kesemuanya mempunyai hak
yang sama sebagai isteri.
ii) Adil dalam menyediakan
tempat tinggal. Selanjutnya, para ulama telah sepakat mengatakan bahawa
suami bertanggungjawab menyediakan tempat tinggal yang tersendiri untuk
tiap-tiap isteri berserta anak-anaknya sesuai dengan kemampuan suami. Ini
dilakukan semata-mata untuk menjaga kesejahteraan isteri-isteri, jangan sampai
timbul rasa cemburu atau pertengkaran yang tidak diingini.
iii) Adil dalam giliran.
Demikian juga, isteri berhak mendapat giliran suaminya menginap di rumahnya
sama lamanya dengan waktu menginap di rumah isteri-isteri yang lain.
Sekurang-kurangnya si suami mesti menginap di rumah seorang isteri satu malam
suntuk tidak boleh kurang. Begitu juga pada isteri-isteri yang lain. Walaupun
ada di antara mereka yang dalam keadaan haidh, nifas atau sakit, suami wajib
adil dalam soal ini. Sebab, tujuan perkahwinan dalam Islam bukanlah semata-mata
untuk mengadakan 'hubungan seks' dengan isteri pada malam giliran itu, tetapi
bermaksud untuk menyempumakan kemesraan, kasih sayang dan kerukunan antara
suami isteri itu sendiri. Hal ini diterangkan Allah dengan firman-Nya;
"Dan di antara tanda-tanda yang membuktikan
kekuasaan-Nya, dan rahmat-Nya, bahawa la menciptakan untuk kamu (wahai kaum
lelaki), isteri-isteri dari jenis kamu sendiri, supaya kamu bersenang hati dan
hidup mesra dengannya, dan dijadikan-Nya di antara kamu (suami isteri) perasaan
kasih sayang dan belas kasihan. Sesungguhnya yang demikian itu mengandungi
keterangan-keterangan (yang menimbulkan kesedaran) bagi orang-orang yang
berfikir."
(Al-Qur'an, Surah ar-Ruum ayat 21)
Andaikan suami tidak bersikap adil
kepada isteri-isterinya, dia berdosa dan akan menerima seksaan dari Allah (SWT)
pada hari kiamat dengan tanda-tanda berjalan dalam keadaan pinggangnya miring.
Hal ini akan disaksikan oleh seluruh umat manusia sejak Nabi Adam sampai ke
anak cucunya.
Firman Allah (SWT) dalam Surah az-Zalzalah ayat 7 hingga 8;
"Maka sesiapa berbuat kebajikan seberat zarrah, nescaya
akan dilihatnya (dalam surat amalnya)! Dan sesiapa berbuat kejahatan seberat
zarrah, nescaya akan dilihatnya (dalam surat amalnya)."
c) Anak-anak juga mempunyai
hak untuk mendapatkan perlindungan, pemeliharaan serta kasih sayang yang adil
dari seorang ayah. Oleh itu, disyaratkan agar setiap suami yang
berpoligami tidak membeza-bezakan antara anak si anu dengan anak si anu.
Berlaku adil dalam soal nafkah anak-anak mestilah diperhatikan bahawa nafkah
anak yang masih kecil berbeza dengan anak yang sudah besar. Anak-anak perempuan
berbeza pula dengan anak-anak lelaki. Tidak kira dari ibu yang mana, kesemuanya
mereka berhak memiliki kasih sayang serta perhatian yang seksama dari bapa
mereka. Jangan sampai mereka diterlantarkan kerana kecenderungan si bapa pada
salah seorang isteri serta anak-anaknya sahaja.
Keadilan juga sangat dituntut oleh
Islam agar dengan demikian si suami terpelihara dari sikap curang yang dapat
merosakkan rumahtangganya. Seterusnya, diharapkan pula dapat memelihara dari
terjadinya cerai-berai di antara anak-anak serta menghindarkan rasa dendam di
antara sesama isteri.
Sesungguhnya kalau diperhatikan
tuntutan syarak dalam hal menegakkan keadilan antara para isteri, nyatalah
bahawa sukar sekali didapati orang yang sanggup menegakkan keadilan itu dengan
sewajarnya.
Bersikap adil dalam hal-hal
menzahirkan cinta dan kasih sayang terhadapisteri-isteri, adalah satu
tanggungjawab yang sangat berat. Walau bagaimanapun, ia termasuk perkara yang
berada dalam kemampuan manusia. Lain halnya dengan berlaku adil dalam soal
kasih sayang, kecenderungan hati dan perkara-perkara yang manusia tidak
berkesanggupan melakukannya, mengikut tabiat semulajadi manusia.
Hal ini sesuai dengan apa yang telah difirmankan Allah dalam
Surah an-Nisak ayat 129 yang berbunyi;
"Dan kamu tidak sekali-kali akan sanggup berlaku adil
di antara isteri-isteri kamu sekalipun kamu bersungguh-sungguh (hendak
melakukannya); oleh itu janganlah kamu cenderung dengan melampau-lampau (berat
sebelah kepada isteri yang kamu sayangi) sehingga kamu biarkan isteri yang lain
seperti benda yang tergantung (di awang-awang)."
Selanjutnya Siti 'Aisyah (r.a.) menerangkan, maksudnya;
Bahawa Rasulullah (s.a.w.) selalu berlaku adil dalam
mengadakan pembahagian antara isteri-isterinya. Dan beliau berkata dalam
doanya: "Ya Allah, inilah kemampuanku membahagi apa yang ada dalam
milikku. Ya Allah, janganlah aku dimarahi dalam membahagi apa yang menjadi
milikku dan apa yang bukan milikku."
Menurut Prof. Dr. Syeikh Mahmoud
Syaltout; "Keadilan yang dijadikan syarat diperbolehkan poligami
berdasarkan ayat 3 Surah an-Nisak. Kemudian pada ayat 129 Surah an-Nisak pula
menyatakan bahawa keadilan itu tidak mungkin dapat dipenuhi atau dilakukan.
Sebenamya yang dimaksudkan oleh kedua ayat di atas ialah keadilan yang
dikehendaki itu bukanlah keadilan yang menyempitkan dada kamu sehingga kamu
merasakan keberatan yang sangat terhadap poligami yang dihalalkan oleh Allah.
Hanya saja yang dikehendaki ialah jangan sampai kamu cenderung sepenuh-penuhnya
kepada salah seorang sahaja di antara para isteri kamu itu, lalu kamu
tinggalkan yang lain seperti tergantung-gantung."
Kemudian Prof. Dr. T.M. Hasbi
Ash-Shidieqy pula menerangkan; "Orang yang boleh beristeri dua ialah yang
percaya benar akan dirinya dapat berlaku adil, yang sedikit pun tidak akan ada
keraguannya. Jika dia ragu, cukuplah seorang sahaja."
"Adil yang dimaksudkan di sini
ialah 'kecondongan hati'. Dan ini tentu amat sulit untuk dilakukan, sehingga
poligami adalah suatu hal yang sukar untuk dicapai. Jelasnya, poligami itu
diperbolehkan secara darurat bagi orang yang benar-benar percaya dapat berlaku
adil."
Selanjutnya beliau menegaskan,
jangan sampai si suami membiarkan salah seorang isterinya terkatung-katung,
digantung tak bertali. Hendaklah disingkirkan sikap condong kepada salah
seorang isteri yang menyebabkan seorang lagi kecewa. Adapun condong yang
dimaafkan hanyalah condong yang tidak dapat dilepaskan oleh setiap individu
darinya, iaitu condong hati kepada salah seorangnya yang tidak membawa kepada
mengurangkan hak yang seorang lagi.
Afif Ab. Fattah Tabbarah dalam
bukunya Ruhuddinil Islami mengatakan; "Makna adil di dalam ayat tersebut
ialah persa http://dokterbantal.tripod.commaan;
yang dikehendaki ialah persamaan dalam hal pergaulan yang bersifat lahir seperti
memberi nafkah, tempat tinggal, tempat tidur, dan layanan yang baik, juga dalam
hal menunaikan tanggungjawab sebagai suami isteri."
4. Tidak menimbulkan huru-hara di kalangan isteri mahupun
anak-anak. Jadi, suami mesti yakin bahawa perkahwinannya yang baru ini
tidak akan menjejaskan serta merosakkan kehidupan isteri serta anak-anaknya.
Kerana, diperbolehkan poligami dalam Islam adalah untuk menjaga kepentingan
semua pihak. Jika kepentingan ini tidak dapat dijaga dengan baik, maka
seseorang yang berpoligami pada saat itu adalah berdosa.
5. Berkuasa menanggung nafkah. Yang dimaksudkan
dengan nafkah di sini ialah nafkah zahir, sebagaimana Rasulullah (s.a.w.)
bersabda yang bermaksud;
"Wahai sekalian pemuda, sesiapa di antara kamu yang
berkuasa mengeluarkan nafkah, maka hendaklah kamu berkahwin. Dan sesiapa yang
tidak berkuasa, hendaklah berpuasa."
Hadis di atas menunjukkan bahawa
Rasulullah (s.a.w.) menyuruh setiap kaum lelaki supaya berkahwin tetapi dengan
syarat sanggup mengeluarkan nafkah kepada isterinya. Andaikan mereka tidak
berkemampuan, maka tidak digalakkan berkahwin walaupun dia seorang yang sihat
zahir serta batinnya. Oleh itu, untuk menahan nafsu seksnya, dianjurkan agar
berpuasa. Jadi, kalau seorang isteri saja sudah kepayahan untuk memberi nafkah,
sudah tentulah Islam melarang orang yang demikian itu berpoligami. Memberi
nafkah kepada isteri adalah wajib sebaik sahaja berlakunya suatu perkahwinan,
ketika suami telah memiliki isteri secara mutlak. Begitu juga si isteri wajib
mematuhi serta memberikan perkhidmatan yang diperlukan dalam pergaulan
sehari-hari.[6]
D.
Hukum
poligami
Hukumnya wajib, apabila ada salah seorang laki-laki
yang sudah beristri masih khawatir jika dia tidak poligami akan menyebabkan
dirinya terjerumus dalam perbuatan maksiat seperti zina, selingkuh dan
sejenisnya maka jika kondisinya seperti ini, wajib bagi dia untuk poligami.
Baik kekhawatiranya itu dilatarbelakangi diri suami, seperti seorang suami yang
mempunyai kelebihan dalam kemampuan seksual yang besar sehingga satu istri baginya
tidaklah cukup, atau dilatarbelakangi istri yang tidak bisa melayani dengan
baik dengan segala faktornya atau bukan dari suami dan istri, tetapi dari
faktor luar seperti fitnah syahwat yang luar biasa yang membuat dirinya
khawatir takut terjatuh dalam perbuatan haram.
Hukumnya sunnah (dianjurkan) apabila ada salah seorang
laki-laki yang telah beristri yang mempunyai harta yang cukup untuk poligami,
mampu berlaku adil, dan pada asalnya dirinya tidak khawatir terjatuh
dalam perbuatan haram kalau tidak poligami dan ada seorang muslimah perlu
ditolong seperti janda misalnya kemudian dia menikahinya dalam rangka ta’awun
terhadap janda tersebut.
Hukumnya mubah (boleh) apabila ada salah seorang laki-laki
yang telah beristri berkeinginan melakukan poligami dan ia cukup mampu untuk
melakukannya.
Hukumnya makruh, apabila ada salah seorang laki-laki
yang telah beristri berkeinginan untuk melakukan poligami sedangkan ia belum
memilki kemampuan yang cukup sehingga akan kesulitan dalam berlaku adil dan
memberi nafkah.
Hukumnya Haram, apabila ada salah seorang laki-laki
yang telah beristri berpoligami atas dasar niat yang buruk, seperti untuk
menyakiti isteri pertama dan tidak menafkahinya, atau ingin mengambil harta
wanita yang akan dipoligaminya, atau tujuan-tujuan buruk lainnya.[7]
E.
Prosedur
permohonan poligami
* Pemohon memfailkan aduan di Pejabat Agama
Islam Daerah (Isi borang aduan).
|
||||||||||||||||||||||||||
* Sessi kaunseling untuk perbincangan, nasihat
dan mendapatkan panduan.
|
||||||||||||||||||||||||||
* Dapatkan borang 2 B permohonan berpoligami
di Pejabat Agama Islam Daerah yang berdekatan.
|
||||||||||||||||||||||||||
* Pemohon membuat akuan sumpah di hadapan
Ketua Pendaftar / Pendaftar / Timbalan Pendaftar / Penolong Pendaftar bagi
kariah masjidnya dengan membawa 2 orang saksi lelaki.
|
||||||||||||||||||||||||||
* Mendaftarkan kes permohonan berpoligami di
Mahkamah Syariah dengan melampirkan dokumen yang berkaitan.
|
||||||||||||||||||||||||||
* Perbicaraan di Mahkamah Rendah Syariah
(ditetapkan mengikut giliran kes permohonan).
|
||||||||||||||||||||||||||
* Keputusan/perbicaraan - dapatkan surat
kebenaran nikah (Seksyen 23).
|
||||||||||||||||||||||||||
* Jika mendapat kelulusan, rujuk semula ke
Pejabat Agama Islam Daerah. Serahkan surat kebenaran nikah (Seksyen 23)
kepada pihak perempuan untuk dilampirkan dengan permohonan beliau semasa
berurusan dengan Penolong Pendaftar Nikah di kariah masjid yang berkenaan.
Dokumen yang di perlukan
|
F.
Hikmah
poligami
Pertama : Terkadang poligami darurat harus
dilakukan, misalnya isteri berusia lanjut atau sakit dan mempunyai anak dari
hasil pernikahan mereka, kalau suami hanya memiliki istri yang ini tentu dia tidak
akan mendapatkan kesucian (farj/kemaluannya) darinya. Disaat dia ingin
mempertahankan pernikahan maka dia khawatir dirinya terjatuh dalam pernbuatan
zina karena tidak mampu menahan keinginannya melakukan hubungan intim, jika dia
menalak (mencerai) isterinya dia masih mencintainya atau tidak tega (merasa
kasian) terhadap istrinya atau dengan sebab menceraikannya dapat mengakibatkan
memisahkan sang istri dengan anaknya, maka dilema ini tidak ada solusinya
kecuali dengan dihalalkannya poligami.
Kedua : Pernikahan adalah sebuah sebab
terjalinnya ikatan di antara manusia, Allah Ta’ala menjadikannya sebagai
gandengan dari nasab
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ المَاءِ
بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرًا
“ Dan Dia (pula) yang menciptakan
manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah
(hubungan kekeluargaan melalui pernikahan –pent) “ (Qs. Al Furqan : 54 )
Maka poligami mampu mengikat banyak
keluarga dan menghubungkan antara satu dengan lainnya. Inilah salah satu sebab
yang mendorong Nabi shallallahu alaihi wasallam menikahi banyak wanita.
Ketiga: Konsekuensi (poligami) akan
melindungi sejumlah wanita, menegakkan hajat kebutuhan mereka (nafkah dan
tempat tinggal), banyak anak keturunan, semua ini adalah hal yang dituntut oleh
syariat
Keempat : Sebagian laki-laki belum sempurna
menekan syahwatnya jika hanya memiliki satu istri, padahal dia seorang yang
memiliki ketaqwaan dan kesucian serta takut melakukan perzinaan, hanya saja dia
ingin menyalurkan keinginannya ditempat yang halal. Maka suatu rahmat
Allah Ta’ala pada hambanya dengan menghalalkan mereka untuk melakukan poligami
dengan cara yang benar.
Kelima : Terkadang setelah pernikahan
diketahui kemandulan istrinya sehingga sepintas solusinya adalah talak (cerai),
tapi kalau dia mendapatkan kesempatan untuk menikah lagi tentu seorang yang
berakal tidak akan berkata : “ menceraikannya lebih afdhal (utama) “
Keenam : Terkadang suami mesti banyak
melakukan perjalanan sehingga dia butuh untuk mendapatkan kesucian jiwanya
selama berada ditempat lain.
Ketujuh : Banyaknya perperangan dan
disyariatkannya jihad fi sabilillah adalah sebab yang menjadikan semakin
sedikitnya kaum laki-laki dan banyaknya kaum wanita sementara kaum wanita
membutuhkan pelindung, maka tidak ada jalan selain poligami
Kedelapan : Sering sekali seorang laki-laki
tertarik kepada seorang wanita (dan sebaliknya) disebabkan agama dan akhlaqnya,
maka pernikahan itulah jalan syar’i untuk mempertemukan keduanya.
Kesembilan : Sering terjadi cekcok diantara
suami istri sehingga keduanya bercerai, lalu mantan suaminya menikah lagi
dengan wanita lain kemudian selang beberapa lama dia ingin kembali menikahi
istrinya. Disaat seperti ini pensyariatan poligami datang memberikan solusi
pasti untuknya.
Kesepuluh : Umat islam sangat membutuhkan
banyaknya keturunan untuk menguatkan barisan mereka guna bersiap-siap
menyerukan jihad terhadap kufar, ini tidak akan tercapai kecuali dengan
memperbanyak pernikahan dan memperbanyak anak.
Kesebelas : Termasuk hikmah poligami
seorang istri diselain waktu gilirannya mendapatkan kesempatan untuk
berkonsentrasi menuntut ilmu, membaca Al Qur’an dll. Hal ini kebanyakkan tidak
mudah dilakukan oleh wanita yang mempunyai suami yang tidak berpoligami[9]
dan menambah rasa kasih sayang antara suami istri saat beriliran mereka saling
merindu bertemu satu dengan yang lain.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Syari’at
poligami adalah sebuah syari’at yang sangat agung, yang mengandung mashlahat
dan kebaikkan yang sangat banyak bagi laki-laki, perempuan dan yang lainnya.
Sebuah syaria’t yang Allah syariatkan bagi hamba-hambanya sebagai bentuk kasih
sayang Allah kepada mereka. Tetapi sungguh sebagian mereka tidak mengerti,
tidak memahami, bahkan menjadi musuh dari syari’at yang mulia ini
B. Saran
Pembaca
yang budiman, janganlah kita menjadi seorang yang hanya mendengar kata orang,
kata orang seperti katanya gini, katanya gini tapi lihatlah mana yang memang
benar dan mana yang salah, jika dalam syariat di bolehkan dan tidak
bertentangan kenapa tidak, yang penting berusaha menjadi yang terbaik dan
terbaik sebab apa yang ada disisi Allah SWT itulah yang terbaik. Semoga dengan
makalah yang pendek ini kita bisa ambil manfaat dan sebagai ilmu pengetahuan yang
di ridhoi-Nya. Amin…
Jika
ada kesalahan dalam penulisan kami, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya, dan
semoga bisa menjadi yang lebih baik lagi untuk kedepan.
DAFTAR RUJUKAN
As-Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al Qur’an al-Hakim as-Syahir
bitafsir al-Manar,(Bairut: Libanon: Dar al-Fikr, tth), 349
G. Abu
al-Husain bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisabury. Sha hih Muslim,
Juz:4, (Bairut: Libanon, Dar al-Kitub al-Ilmiyah, 1992), hal: 1902
http://dokterbantal.tripod.com/f_artikel_islam/syarat-
[1] Abu Ibrahim Abdullah,
[4] As-Sayyid Muhammad Rasyid
Ridha Tafsir al Qur’an al-Hakim as-Syahir bitafsir al-Manar,(Bairut:
Libanon: Dar al-Fikr, tth), 349
[5] Abu al-Husain bin al-Hajjaj
al-Qusyairy an-Naisabury. Sha hih Muslim, Juz:4, (Bairut:
Libanon, Dar al-Kitub al-Ilmiyah, 1992), hal: 1902
[6] http://dokterbantal.tripod.com
[7] Abu Ibrahim Abdullah,
[9] Abu Ibrahim Abdullah,
Post a Comment