BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Islam
menganjurkan kepad kita untuk menikah bagi orang yang sudah benar-benar mampu,
karena menikah termasuk sunah Nabi, Nabi Muhanmmad mengajarkan pada kita untuk
menikah dan Nabi melarang kita untuk membujang, karena membujang bukanlah
termasuk dalam ajaran islam.
Sebelum menikah
kita diharuskan untuk melakukan pinangan atau dalam istilah islamnya Khitbah,
dalam makalah ini kita akan membahas tentang ketidakbolehan meminang diatas
pinangan orang lain, karena untuk menghormati dan menjaga perasaan si laki-laki
yang meminang pertama kali dan kebolehan kita untuk melihat calon wanita yang
akan kita nikahi nanti, agar kita merasa cocok atau kita tidak menyesal
dikemudian hari karena didalam diri wanita tersebut ternyata ada sesuatu yang
ternyata kita tidak menyukainya.
Maka kami ingin
meyampaikan sedikit tentang urgensi dan ketentuan Khitbah dalam pernikahan yang
terkandung dalam 2 hadits yang menunjukkan tentang larangan melamar atas
lamaran orang lain dan kebolehan untuk melihat wanita yang akan dilamar,
berusaha untuk menjelaskan sedikkit tentang takhrij hadits juga akan memberikan
sedikit tentang analisis lafad yang dilihat dari perspektif nahwu. Kandungan
hukum dan metode istinbathnyapun juga akan kami sedikit paparkan untuk
mejelaskan kedua hadits tersebut.
B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan
latarbelakang yang telah dijelaskan diatas, maka yang menjadi rumusan masalah
dalam makalah ini, adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
takhrij hadits dan kualitas hadits itu?
2. Apa makna mufrodat dan analisis
kebahasaan dalam perspektif nahwu?
3.
Bagaiman
kandungan hukum dan metode istinbathnya?
C. Tujuan.
Berdasarkan
rumusan masalah yang telah dijelaskan diatas, maka yang menjadi tujuan dalam
makalah ini, adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui takhrij hadits dan kualitas
hadits.
2. Memahami makna mufrodat dan analisis
kebahasaan dalam perspektif nahwu.
3.
Mengetahui
kandungan hukum dan metode istinbathnya.
BAB
II
PEMBAHASAAN
A. Teks Hadits.
a. Hadits pertama tentang larangan pinangan
diatas pinagan.
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم: لَا يَخْطُبْ بَعْضُكُمْ عَلَى خِطْبَةِ
أَخِيهِ , حَتَّى يَتْرُكَ اَلْخَاطِبُ قَبْلَهُ , أَوْ يَأْذَنَ لَهُ اَلْخَاطِبُ
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam bersabda: "Janganlah seseorang di antara kamu melamar
seseorang yang sedang dilamar saudaranya, hingga pelamar pertama meninggalkan
atau mengizinkannya."
b.
Hadits
kedua tentang melihat calon perempuan.
وَعَنْ جابِرٍ رضي الله عنه
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى
الله عليه وسلم إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ
الْمَرْأَةَ , فَإِنْ اِسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا مَا يَدْعُوهُ إِلَى
نِكَاحِهَا , فَلْيَفْعَلْ
Dair
jabir ra. berkata bahwa Rosulullah S.A.W. bersabda: “Jika salah seorang di
antara kamu meminang seorang wanita, maka apabila ia mampu
melihat apa yang membuatnya tertarik untuk menikahinya, maka
lakukanlah.”
B. Hadits Pendukung.
a. Hadits pendukung hadits pertama.
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَلَا يَخْطُبَ
الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ
يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ
“Nabi Muhammad saw telah melarang sebagian kalian untuk berjual beli
atas jual beli saudaranya. Dan janganlah seseorang meminang atas pinangan yang
lain hingga peminang sebelumnya meninggalkannya, atau ia telah diijinkan
peminang sebelumnya.” ( HR Bukhari, no: 4746)
وقد
أَعْلَمَتْ فَاطِمَةُ رَسُولَ اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم أَنَّ أَبَا جَهْمٍ
وَمُعَاوِيَةَ خَطَبَاهَا وَلَا أَشُكُّ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّ
خِطْبَةَ أَحَدِهِمَا بَعْدَ خِطْبَةِ الْآخَرِ فلم يَنْهَهُمَا وَلَا وَاحِدًا
مِنْهُمَا ولم نَعْلَمْهُ أنها أَذِنَتْ في وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَخَطَبَهَا على
اسامة ولم يَكُنْ لِيَخْطُبَهَا في الْحَالِ التي نهى فيها عن الْخِطْبَةِ ولم
أَعْلَمْهُ نهى مُعَاوِيَةَ وَلَا أَبَا جَهْمٍ عَمَّا صَنَعَا وَالْأَغْلَبُ
أَنَّ أَحَدَهُمَا خَطَبَهَا بَعْدَ الْآخَرِ فإذا أَذِنَتْ الْمَخْطُوبَةُ في
إنْكَاحِ رَجُلٍ بِعَيْنِهِ لم يَجُزْ خِطْبَتُهَا في تِلْكَ الْحَالِ
“Fathimah telah
memberitahukan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bahwa Abu Jahm dan
Mu’awiyah telah melamarnya, dan saya tidak ragu-ragu, dengan izin Allah
subhanahu wa ta’ala, bahwa lamaran salah satu dari keduanya terjadi setelah
lamaran yang lain, dan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam pun tidak melarang
kedua lamaran tersebut, dan tidak melarang salah satu dari keduanya. Kita juga
tidak mendapatkan bahwa Fathimah telah menerima salah satu dari kedua lamaran
tersebut. Maka Rasulullah shalallahu alaihi wasallam melamar Fathimah untuk
Usamah, dan beliau tidaklah melamarnya dalam keadaan yang beliau larang (yaitu
melamar seorang wanita yang sudah dilamar orang lain). Saya juga tidak
mendapatkan bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam melarang perbuatan
Mu’awiyah dan Abu Jahm. Dan kebanyakan yang terjadi, bahwa salah seorang dari
keduanya melamar terlebih dahulu dari yang lain. Tetapi, jika perempuan yang
dilamar tersebut telah menerima lamaran seseorang, maka dalam keadaan seperti,
orang lain tidak boleh melamarnya lagi[1].“
b.
Hadits
pendukung hadits kedua.
اُنْظُرْ اِلَيْهَا فَاِنَّ فِى اَعْيُنِ اْلاَنَصَارِ
شَيْءًا يَعْنِى الضِغَرُ
Lihatlah ia, sebab pada
wanita Anshar terdapat sesuatu, yakni sipit.” An-Nasa’i (2/73)
اُنْظُرْ
اِلَيْهَا فَاِنَّهُ اَحْرٰى اَنْ يُؤْدِمَ بَيْنَكُمَا
“Lihatlah dulu wanita itu, sebab
akan lebih menjamin kelanggengan kalian berdua.”
At-Tirmidzi (1/202)
C. Takhrij Hadits dan Kualitas Hadits.
a.
Takhrij hadits dan kualitas Hadits
yang pertama.
Hadits yang
pertama ditakhrij oleh An-Nasa’I (3240, 3241, 3242) dan disohehkan oleh Syaikh
al-Bana, musnad Ahmad bin Hambal dengan kalimat yang lain yaitu لا يخطب أحدكم على خطبة أخيه ولا يبيع على بيع أخيه الا
بإذنه (6276), menurut Su’aib al-Arnaud sanad ini mempunyai kualitas yang
soheh dengan syarat sohihaini, al-Muwatho’ (1090).
Kami menyimpulkan bahwa hadits diatas soheh karena hadits tersebut
diriwayatkan oleh banyak kalangan dan dengan redaksi yang berbeda-beda akan
tetapi tidak ada yang bertentangan.
b.
Takhrij hadits dan kualitas Hadits
yang kedua.
Hadits yang
kedua ditakhrij oleh Abu Dawud (2082), Ath-Thahawi, Al-Hakim dan Imam Ahmad
(3/334, 360), dari Muhammad bin Ishaq dari Daun bin Hushain dari Waqid bin
Abdurrahman bin Sa’ad bin Mu’az dari Jabir bin Abdillah mengatakan bahwa
Rasulullah pernah bersabda: (Kemudian ia menyebutkan
sabda Nabi pada Hadits yang kedua). Kemudian ia
melanjutkan penuturannya: “Setelah itu saya melamar
seorang gadis dan saya melihat anggota yang membuat saya tertarik kepadanya dan
tertarik untuk menikahinya.” Rangkaian kalimat itu yang diriwayatkan oleh
Abu Dawud. Sementara Al-Hakim menilai: Hadits ini shahih Sesuai dengan
kriteria Imam Muslim. Sedang Adz-Dzahabi juga sependapat
dengan penilaian itu.
Abdurrazaq dan Sa’id bin Manshur meriwayatkan di dalam kitab
Sunan-nya (520-521), juga Ibnu Umar serta Sufyan, dari Amr bin Dinar
dari Muhammad bin Ali bin Al-Hanafiyah: “Bahwa
Umar bin Khaththabt memimang puteri Ali
bin Abi Tholib yaitu Ummi Kulsum. Kemudian Ali bin Abi Tholib
memberitahukan bahwa puterinya masih terlalu hijau. Lalu dikatakan
kepadanya: “Jika ia menolak, paksa dia!” Kemudian Ali bin Abi
Tholib mengatakan. “Aku akan kirim anak itu kepadamu,
jika ia mau maka ia akan menjadi isterimu.” Setelah
puterinya di datangkan kepada Umar, Umar segera membuka betisnya. Lalu
si puteri itu berkata: “Seandainya engaku bukan seorang khalifah, pasti kedua
matamu sudah aku tonjok.”
D. Analisis Lafad.
Makna khitbah
atau meminang adalah meminta seorang wanita untuk dinikahi dengan cara yang
dikenal di tengah masyarakat. Dalam khitbah juga menerangkan tentang keharaman
mengkhitbah diatasa khitbah orang lain dan ketika melakukan khitbah maka
dibolehkan untuk melihat dulu orang yang akan di khitbah karena hal itu
diterangkan dalam hadits.
Dari kedua
hadits yang menerangkan tentang hak-hal diatas, maka terdapat beberapa kata
kunci dalam menganalisa lafadz-lafadznya, yaitu sebagai berikut:
No
|
Terjemahan
|
Kata Kunci
|
1
|
Janganlah seseorang di antara kamu melamar seseorang
|
لَا يَخْطُبْ بَعْضُكُمْ
|
2
|
sedang dilamar saudaranya
|
عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ
|
3
|
hingga pelamar pertama meninggalkan
|
حَتَّى يَتْرُكَ اَلْخَاطِبُ قَبْلَهُ
|
4
|
atau mengizinkannya
|
أَوْ يَأْذَنَ لَهُ اَلْخَاطِبُ
|
5
|
Jika salah seorang di antara kamu meminang seorang wanita
|
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ
|
6
|
maka apabila ia mampu melihat apa
yang membuatnya tertarik untuk menikahinya
|
فَإِنْ اِسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا مَا يَدْعُوهُ إِلَى
نِكَاحِهَا
|
7
|
Maka lakukanlah
|
فَلْيَفْعَلْ
|
-
Kata kunci pertama,
(لَا يَخْطُبْ بَعْضُكُمْ): Janganlah
seseorang di antara kamu melamar seseorang.
لَا: huruf nafi’
يَخْطُبْ: fi’il mudhari’ yang shohih akhir yang
terbaca jazam karena huruf la.
بَعْضُكُم: fa’il yang terbaca rofa’ karena isim
mufrod. Sedangkan huruf kaf (ك)
adalah huruf khitob yang mabni jazam. Adapun huruf mim adalah huruf yang menunjukkan
makna jama’.
-
Kata
kunci kedua, (عَلَى
خِطْبَةِ أَخِيهِ): sedang dilamar saudaranya
عَلَى adalah
huruf jar yang mabni sukun. Sedangkan lafadz خِطْبَةِ adalah mudhof yang majrur (yang dijerkan) oleh huruf jer (عَلَى). Sedangkan lafadz أَخِيهِ majrur
(yang dijerkan) menjadi
mudhaf ilaih dari lafadz خِطْبَةِ.
Adapun ke majruran dari lafadz أَخِيه dengan alasan bahwa hukum mudhaf ilaih
haruslah di dibaca jar. Hufuf ha’ pada lafadz أَخِيه adalah
ha’ dhomir (kata ganti) yang merujuk pada lafadz بَعْض.
-
Kata
kunci ketiga, (حَتَّى
يَتْرُكَ اَلْخَاطِبُ قَبْلَهُ): hingga pelamar pertama meninggalkan
حَتَّى:
sebagai huruf ‘athof yang mempunyai fungsi menashobkan fi’il mudhari’ karena
beramal seperti huruf nashob.
يَتْرُكَ:
adalah fi’il mudhori’ yang shohih akhir yang terbaca nashob karena huruf حَتَّى .
اَلْخَاطِبُ adalah
fa’il dari يَتْرُكَ.
Terbaca rofa’ karena menjadi fa’il. Adapun tanda rofa’nya adalah dhommah
dhohiroh (nampak) karena berupa isim mufrod.
قَبْلَهُ:
adalah dhorof zaman yang mabni manshub. Dan huruf ha’nya berupa dhomir yang
kembali kepada lafadz اَلْخَاطِبُ.
-
Kata
kunci keempat, (أَوْ
يَأْذَنَ لَهُ اَلْخَاطِبُ): atau mengizinkannya
أَوْ adalah
huruf ‘athof yang manbi sukun
يَأْذَنَ adalah
fi’il mudhari’ yang shohih akhir yang terbaca nashob karena di’athofkan oleh
huruf ‘athof (أَو)
kepada lafadz يَتْرُكَ
-
Kata
kunci kelima, (إِذَا
خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ): Jika salah seorang di antara kamu meminang seorang wanita
إِذَا:
adalah huruf syarat yang hanya bertempat fi’il madhi karena إِذَا menunjukkan makna akan dilakukan
خَطَبَ:
adalah fi’il madhi yang mabni fathah
أَحَدُكُمُ: fail
yang terbaca rofa’.Adapun tanda rofa’nya adalah dhomah dhohiroh karena berupa
isim mufrod.kaf adalah huruf khitob. Mim adalah huruf yang menunjukkan makan
jama’.Adapun terbaca dhomahnya huruf mim karena disambungkan dengan lafadz
setelahnya.
الْمَرْأَةَ:
maf’ul yang terbaca nashob.karena berupa ism mufrad
-
Kata
kunci keenam, (فَإِنْ اِسْتَطَاعَ
أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا): maka apabila ia mampu melihat apa
yang membuatnya tertarik untuk menikahinya
فَ adalah huruf jawab mabni fathah.
إِنْ adalah huruf syarat.
اِسْتَطَاعَ adalah fi’il madi yang mabni fathah.
أَنْ haruf yang menashabkan fi’il mudhari’
يَنْظُرَ: fi’il mudhari’ yang shohihul akhir yang
dinashobkan oleh huruf أَنْ.
مِنْهَا: مِنْ adalh huruf jar yang mabni sukun.Sedangkan ha adalah majrur
dari huruf مِنْ yang mabni sukun yang mengandung dhomir yang kembali pada
lafadz الْمَرْأَةَ
مَا: maf’uf bih yang mabni sukun
يَدْعُو : fi’il mudhari’ yang mu’tal akhir sebagai
shilahnya lafadz مَا.
هُ: adalah huruf dhomir yang mebni dhommah yang kembali pada
ba’dhu
إِلَى: huruf jar mabni sukun
نِكَاحِهَا: majrur karena huruf إِلَى. Yang mana tanda jarnya berupa kasroh
dhohiroh. Dan ha’nya adalah ha dhomir yang kembali pada lafadz الْمَرْأَةَ
-
Kata
kunci ketujauh, (فَلْيَفْعَلْ): Makpa lakukanlah
فَلْيَفْعَلْ adalah fi’il amar yang berbentuk ghaibah
maksudnya fi’il tersebut berupa fi’il mudhari’ yang ditambah lafadz فَلْ. Sehingga fi’il tersebut menjadi jazam.
E. Kandungan Hukum dalam Perpektif Fuqoha.
a. Kandungan hukum dan istinbat pada hadits
pertama.
1. Hadits pertama menurut Imam Nawawi, Seorang
perempuan yang telah dilamar seorang laki-laki dan ternyata perempuan itu
menerima lamaran itu maka, maka tidak boleh ada laki-laki lain yang melamarnya
sampai laki-laki pertama membatalkan atau mengijinkan laki-laki lain untuk
melamarnya[2].
Akan
tetapi, para ulama’ mempunyai pendapat yang berbeda terhadap hadits yang
pertama, sebagian dari mereka mengatakan bahwa larangan tersebut menunjukkan
keharaman, sedang sebagian yang lain berpendapat bahwa larangan tersebut
menunjukkan makruh bukan haram. Bahkan Ibnu Qasim dari madzhab Malikiyah
mengatakan: “Maksud dari larangan hadits di atas, yaitu jika orang yang shalih
melamar seorang perempuan, maka tidak boleh laki-laki shalih yang lain
melamarnya juga. Adapun jika pelamar yang pertama bukan laki-laki yang shalih
(orang fasik), maka dibolehkan bagi laki-laki shalih untuk melamar perempuan
tersebut[3].”
Menrut imam Syafi’I apabila wanita yang dipinang telah member izin kepada
walinya untuk menikakan dengan laki-laki lain, maka wanita itu tidak boleh
dipinang oleh laki-laki lain.[4]
2. Jika laki-laki yang kedua tetap memaksa
dan bersikeras untuk melamarnya dan menikahinya, maka dalam hal ini ulama’
berbeda pendapat:
·
Pendapat Pertama
menyatakan bahwa laki-laki tersebut telah bermaksiat kepada Allah subhanahu wa
ta’ala, tetapi status pernikahan antara keduanya tetap sah dan tidak boleh
dibatalkan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
·
Pendapat Kedua
menyatakan bahwa penikahan keduanya harus dibatalkan. Ini adalah pendapat Dawud
dari madzhab Zhahiriyah.
·
Pendapat Ketiga menyatakan
jika keduanya belum melakukan hubungan seksual, maka pernikahannya dibatalkan,
tetapi jika sudah melakukan hubungan seksual, maka tidak dibatalkan. Ini adalah
pendapat sebagian pengikut Imam Malik.
·
Adapun
Imam Malik sendiri mempunyai dua riwayat, yang satu menyatakan batal, sedang
riwayat yang lain menyatakan tidak batal[5].
3. Jika seorang perempuan yang dilamar dan
perempuan itu menolaknya atau si perempuan itu belum memberi jawaban kepada
laki-laki yang melamar, maka di dalam mazhab Imam Syafi’i ada dua pendapat
tentang masalah ini, yang paling benar dari dua pendapat tersebut adalah
hukumnya boleh[6].
Dalilnya adalah hadist Fatimah binti Qais yang telah dicerai
suaminya Abu Amru bin Hafsh tiga kali, kemudian beliau datang kepada Rasulullah
shalallahu alaihi wasallam mengadu :
قَالَتْ
فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَأَبَا
جَهْمٍ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ
فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ فَكَرِهْتُهُ ثُمَّ
قَالَ انْكِحِي أُسَامَةَ فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا
وَاغْتَبَطْتُ
Dia (Fathimah binti Qais) berkata: Setelah masa iddahku selesai,
kuberitahukan hal itu kepada beliau(Rasulullah SAW) bahwa Mu’awiyah bin Abi
Sufyan dan Abu Al Jahm telah melamarku, lantas Rasulullah saw bersabda: “Adapun
Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meninggalkan tongkatnya dari lehernya
(suka memukul), sedangkan Mu’awiyah adalah orang yang miskin, tidak memiliki
harta, karena itu nikahlah dengan Usamah bin Zaid.” Namun saya tidak
menyukainya, beliau tetap bersabda: “Nikahlah dengan Usamah.” Lalu saya menikah
dengan Usamah, maka Allah telah memberikan limpahan kebaikan padanya, sehingga
aku meras bahagia hidup dengannya. (HR Muslim, no: 2709)
Hal itu dikuatkan dengan riwayat yang menyebutkan bahwa Umar bin
Khattab pernah melamar seorang wanita untuk tiga orang: Jarir bin Abdullah,
Marwan bin Al-Hakam, dan Abdullah bin Umar, padahal Umar belum mengetahui
jawaban perempuan tersebut sama sekali. Hal ini menunjukkan kebolehan melamar
perempuan yang sudah dilamar orang lain dan dia belum memberikan jawabannya[7].
4. Perempuan yang dilamar tersebut belum
memberikan jawaban secara jelas, hanya saja ada tanda-tanda bahwa dia menerima
lamaran tersebut. Maka hukum melamar perempuan yang sudah dilamar dalam keadaan
seperti ini, para ulama berbeda pendapat di dalamnya:
·
Pendapat Pertama:
Hukumnya haram, sebagaimana kalau perempuan tersebut sudah menerima lamaran
tersebut secara jelas dan tegas. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam salah
satu riwayat. Dalilnya adalah keumuman hadits Ibnu Umar yang menyebutkan
larangan melamar perempuan yang sudah dilamar.
·
Pendapat Kedua:
Hukumnya boleh, ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam riwayat dan Imam Syafi’i
dalam qaul jadid (pendapat yang terbaru). Menurut kelompok ini bahwa
di dalam hadits Fathimah binti Qais menunjukkan bahwa dia (Fathimah )
sudah kelihatan tanda-tanda kecenderunganya kepada salah satu dari dua
laki-laki yang melamarnya, tetapi walaupun begitu Rasululullah shalallahu
alaihi wasallam tetap saja melamarkannya untuk Usamah. Ini menunjukkan
kebolehan.
·
Pendapat
yang lebih benar dari dua pendapat di atas adalah pendapat pertama yang
menyatakan haram hukumnya melamar perempuan yang sudah kelihatan
kecenderungannya kepada laki-laki yang melamarnya, walaupun belum diungkapkan
dalam kata-kata, karena kecenderungan sudah bisa dianggap sebagai persetujuan.
b. Kandungan hukum dan istinbat pada hadits
kedua.
1. Cara melihat perempuan yang di pinang
boleh dengan cara terang-terangan boleh juga dengan cara mengintip. Adapun
batas-batas anggota yang boleh di lihat adalah: Wajah, Telapak tangan, Telapak
kaki, bentuk tubuh. Dengan demikian dapat di ketahui kecantikan dan keindahan
tubuhnya, sehingga pihak suami tidak menyesal di kemudian hari, dan pihak
perempuan juga boleh melihat, bahkan mengamati laki-laki yang meminagnya.
2. Beberapa Pendapat Para Ulama’ Tentang
Melihat Pinangan.
·
Menurut
jumhur ulama’ mengatakan bahwa boleh meihat wajah dan telapak tangan karena
demikian akan dapat di ketahui kehalusan tubuhnya.
·
Menurut
abu dawud mengatakan boleh melihat seluruh badannya kecuali kemaluannya.
·
Imam
Abu Hanifah mengatakan membolehkan melihat telapak kaki, muka dan kedua telapak
tangan.
F. Hikmah.
a. Hikmah dilarangnya khitbah diatas
khitbah orang lain adalah:
·
demi
menjaga ukhuwah antar sesama muslim dalam sebuah masyarakat
·
rasa
saling mencintai antar sesama muslim dalam sebuah masyarakat
·
agar
tidak menyakiti perasaan laki-laki yang melamar pertama kali.
b. Hikmah dibolehkannya melihat pinangannya
adalah[8]:
·
Hati
calon suami itu yakin bahwa calon istrinya tidak mempunyai cacat yang dapat
menimbulkan rasa kecewa.
·
Untuk
mengukuhkan keinginan untuk melakukan peminangan dan menghilangkan perasaan
ragu yang mengusik.
BAB III
PENUTUPAN
Kesimpulan
Dari
pembahasan diatas bisa disimpulkan bahwa seorang wanita yang telah dikhitbah
atau dipinang, maka hukumnya haram di untuk laki-laki yang kedua yang akan
meminangnya. Akan tetapi ulama’ berbeda pendapat tentang keharaman, ada yang
mengatakan bahwa hal itu haram ada yang mengartikan keharaman itu menjadi
makruh. Selain itu seorang laki-laki yang ingin melamar perempuan lain maka
dibolehkan untuk melihat wanita yang ingin dilamarnya, akan tetapi para ulama’
juga berbeda pendapat mengenai kebolehan daerah mana saja yang akan dilihat,
kebolehan melihat ini ditujukan agar laki-laki yang akan meminang mendapat
kepuasan hati dan agar nanti ntidak ada penyesalan terjadi di kemudian hari.
Kita juga
akan mengetahui kualitas hadits yang digunakan dalam makalah ini, selain itu
juga dibahas tentang istinbath hukum dan analisis lafad menurut nahwu dan usul
fiqh.
DAFTAR PUSTAKA
As-Syarbini
Al-Khatib. Mughni al-Muhtaj. Beirut: Dar
al-Kutub aI-ilmiyah, 1994
Nawawi
Imam. Syarh Shahih Muslim. Kairo: Dar al-Bayan, 1987
Qudamah Ibnu. al Mughni. Beirut:
Dar al-Kutub aI-ilmiyah, 1994
Rusydi Ibnu. Bidayah al-Mujtahid. Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1988
Sarwat
Ahmd. Fiqih Nikah. Kampus Syari’ah, 2009
Syafi’I
Imam. Al-Umm. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993
---Imam.
Mukhtasor Kitab Al-Umm fi Al-Fiqh. Jakarta selatan: PUSTAKA AZZAM, 2002
Maktabah Samilah
[3]Ibnu Rusydi, Bidayah al-Mujtahid, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1988, cet ke – 10) , juz. 2:3
[4] Imam Syafi’I, Mukhtasor Kitab Al-Umm fi Al-Fiqh, (Jakarta
selatan: PUSTAKA AZZAM, 2002), juz. 3:380
[6] Al-Khatib As Syarbini, Mughni al
Muhtaj, (Beirut: Dar al-Kutub aI-ilmiyah, 1994, Cet ke –
1), Juz. 4: 222
[8] Ahmd Sarwat, Fiqih Nikah (Kampus Syari’ah, 2009), hal. 50
Post a Comment