BAB I
PENDAHULUAN
A.  latar belakang
Agama-agama wahyu memperakui bahawa perkawinan pertama di kalangan manusia berlaku antara Nabi Adam a.s. bersama Hawa. Perkawinan ini berlaku dengan suatu cara perhubungan yang dibenarkan oleh Allah s.w.t kepada mereka berdua. Ini merupakan suatu sistem perkawinan yang disyariatkan bagi keberlangsungan manusia untuk memerintah Bumi dan mendudukinya untuk sementara waktu. Selain al-Quran dan hadith, turut menceritakan kejadian Adam dan Hawa sebagai pasangan pertama. Di dalam kitab Taurat. telah diselitkan beberapa ayat, antaranya yang bermaksud, “Tuhan telah berkata tidak baik Adam berkeseorangan sahaja, maka Aku jadikan seorang penolong sepertinya”.
Berkenaan dengan perkawinan anak-anak Adam sendiri tidaklah dapat diketahui bagaimanakah sistemnya yang sebenar. Di dalam Tafsir Ibn Katsir, apa yang diriwayatkan oleh Ibn Jarir daripada Ibn Masi’ud dari beberapa orang sahabat yang lain,bahawa mereka berkata yang bermaksud, “Sesungguhnya tidak diperanakkan bagi Adam anak lelaki melainkan diperanakkan beserta anak perempuan, kemudian anak lelaki kandungan ini dikawinkan dengan anak perempuan dari kandungan lain, dan anak perempuan bagi kandungan ini dikawinkan dengan anak lelaki dari kandungan yang lain itu.” Pada masa itu, perkawinan berlainan kandungan boleh dijadikan seperti perkawinan berlainan keturunan..
Perkawinan atau nikah menurut bahasa ialah berkumpul dan bercampur. Menurut istilah syarak pula ialah Ijab dan Qabul (‘aqad) yang menghalalkan persetubuhan antara lelaki dan perempuan yang diucapkan oleh kata-kata yang menunjukkan nikah, menurut peraturan yang ditentukan oleh Islam. Perkataan zawaj digunakan di dalam al-Quran bermaksud pasangan dalam penggunaannya perkataan ini bermaksud perkawinan Allah s.w.t. menjadikan manusia itu berpasang-pasangan, menghalalkan perkawinan dan mengharamkan zina.





BAB II
PEMBAHASAN
A.  Perngertian perkawinan atau nikah
Perkawinan atau nikah menurut bahasa ialah berkumpul dan bercampur. Menurut istilah syarak pula ialah Ijab dan Qabul (‘aqad) yang menghalalkan persetubuhan antara lelaki dan perempuan yang diucapkan oleh kata-kata yang menunjukkan nikah, menurut peraturan yang ditentukan oleh Islam. Perkataan zawaj digunakan di dalam al-Quran bermaksud pasangan dalam penggunaannya perkataan ini bermaksud perkawinan Allah s.w.t. menjadikan manusia itu berpasang-pasangan, menghalalkan perkawinan dan mengharamkan zina.
Pernikahan merupakan salah satu ibadah yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Hal ini tersurat dalam firman Allah:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
21.  Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَاء يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
32.  Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.[1]
Dari firman tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa perkawinan merupakan salah satu ibadah yang dianjurkan oleh Allah. Lantas perkawinan seperti apakah yang sesuai dengan syariat islam, dan apa saja rukun dan syarat dari sebuah perkawinan?
Berikut uraian sedikit tentang rukun, syarat dan larangan dalam perkawinan menurut ajaran Islam:
a.       Setiap ibadah tentunya mempunyai rukun dan syarat, agar ibadah tersebut sah dan sesuai dengan ajaran islam. Dalam konteksnya dengan perkawinan, rukun dari sebuah pernikahan adalah:
a.        Adanya calon mempelai pria dan wanita
b.       Adanya wali dari calon mempelai wanita
c.        Dua orang saksi dari kedua belah pihak
d.       Adanya ijab; yaitu ucapan penyerahan mempelai wanita oleh wali kepada mempelai pria untuk dinikahi
e.        Qabul; yaitu ucapan penerimaan pernikahan oleh mempelai pria (jawaban dari ijab)
b.      Setiap rukun yang ada harus memiliki syarat-syarat tertentu. Hal ini demi sahnya sebuah pernikahan. Adapun syarat-syarat pernikahan tersebut adalah:
1.      Menyebut secara spesifik (ta’yin) nama mempelai. Tidak boleh seorang wali hanya mengatakan, “saya nikahkan kamu dengan puteri saya” tanpa menyebut namanya sedangkan puterinya lebih dari satu.
2.      Kerelaan dua calon mempelai. Dengan demikian tidak sah pernikahan yang dilangsungkan karena paksaan dan tanpa meminta persetujuan dari calon mempelai. Sebagaimana sabda Nabi : “Seorang gadis tidak boleh dinikahkan sehingga diminta persetujuannya” (HR Bukhari & Muslim)
3.      Wali bagi mempelai wanita, sebagaimana dalam sabda Nabi Saw : “Tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya wali” (HR. Abu Dawud).  Yang menjadi wali bagi seorang wanita adalah ayahnya, kemudian kakek dari ayah dan seterusnya ke atas; kemudian anak lelakinya dan seterusnya ke bawah; Kemudian saudara kandung pria, saudara pria ayah dan seterusnya sebagaimana dalam hal warisan. Apabila seorang wanita tidak memiliki wali, maka sulthan (penguasa) yang menjadi walinya.
4.      Dua orang saksi yang adil, beragama Islam dan laki-laki. Sebagaimana sabda Nabi: “Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali dan dua orang saksi yang adil ” (HR. Al-Baihaqi)

B.  Mahar dalam perkawinan
Pada saat ini sepertinya ada semacam kesalahan penafsiran di kalangan umat Islam dalam hal penentuan mahar untuk perkawinan. Umat Islam cenderung meremehkan pemberian mahar kepada mempelai wanita. Sehingga nilai dari pemberian mahar menjadi berkurang, bahkan akhirnya hilang. Padahal salah satu fungsi pemberian mahar kepada wanita adalah agar istri mendapatkan manfaat secara pribadi dari mahar itu. Penentuan mahar pada saat ini, yang paling menentukan, adalah keluarga wanita. Pihak keluarga mempelai wanita umumnya meminta mahar dengan nilai yang sangat rendah. Sebagai penggantinya mereka menuntut seperangkat serah-serahan yang nilainya mencapai belasan juta. Ironisnya, harta serah-serahan ini hanya sebagian kecil saja yang diberikan kepada mempelai wanita. Bagian terbanyaknya diambil oleh keluarga mempelai wanita.
Maka Tidak mengherankan jika ada yang mengatakan ”Alangkah sulitnya pernikahan bagi umat Islam”. Akibatnya, para pemuda Islam merasa tidak memiliki kekuatan untuk menikah karena tidak memiliki biaya yang cukup untuk melamar gadis idamannya. Padahal dalam Islam persyaratan (mahar) untuk menikah mudah. Jika memiliki rejeki yang lapang nilainya bisa besar dan kalaupun tidak memilikinya cukuplah menikah dengan cincin besi. Bahkan bisa juga menikah dengan mahar berupa pemberian jasa, bisa pula maharnya dihutang. Asalkan mempelai wanita ridlo. Pemberian mas kawin/ mahar merupakan bentuk pemuliaan Islam terhadap wanita. Dahulu di zaman jahiliah, wanita tidak memiliki hak untuk dimiliki sehingga urusan mahar sangat bergantung kepada walinya. Walinya itulah yang kemudian menentukan mahar, menerimanya dan juga membelanjakannya untuk dirinya sendiri. Sedangkan pengantin wanita tidak punya hak sedikitpun atas mahar itu. Berbeda dengan Islam, yang menjadikan mahar itu menjadi kewajiban kepada wanita dan bukan kepada ayah/ibunya/walinya. Hal ini disyariatkan dalam beberapa ayat Al Qur’an dan Sunah nabi:
(#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%ß|¹ \'s#øtÏU 4 bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿÏZyd $\«ÿƒÍ£D ÇÍÈ  
4.  Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan[267]. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Ajaran Rasulllah SAW, besar kecilnya mahar sangat bergantung permintaan wanita dan kemampuan dari mempelai laki-laki. Secara fiqhiyah, kalangan Al- Hanafiyah berpendapat bahwa besarnya mahar minimal 10 dirham.
Sedangkan Al-Malikiyah mengatakan bahwa minimal mahar itu 3 dirham. Meskipun demikian sebagian ulama mengatakan tidak ada batas minimal dengan mahar. Dalam beberapa riwayat disebutkan betapa tidak memberatkannya nilai mahar yang diwajibkan bagi calon mempelai:
  1. Sepasang Sendal ”Dari Amir bin Robi'ah bahwa seorang wanita dari bani Fazarah menikah dengan mas kawin sepasang sendal. Lalu Rasulullah SAW bertanya, "Relakah kau dinikahi jiwa dan hartamu dengan sepasang sendal ini?". Dia menjawab," Rela". Maka Rasulullahpun membolehkannya” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu madjah).
  2. Hafalan Quran “Dari Sahal bin Sa'ad bahwa nabi SAW didatangi seorang wanita yang berkata,"Ya Rasulullah kuserahkan diriku untukmu", Wanita itu berdiri lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang berkata," Ya Rasulullah kawinkan dengan aku saja jika kamu tidak ingin menikahinya". Rasulullah berkata," Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar? dia berkata, "Tidak kecuali hanya sarungku ini" Nabi menjawab,"bila kau berikan sarungmu itu maka kau tidak akan punya sarung lagi, carilah sesuatu". Dia berkata," aku tidak mendapatkan sesuatupun". Rasulullah berkata, " Carilah walau cincin dari besi". Dia mencarinya lagi dan tidak juga mendapatkan apa-apa. Lalu Nabi berkata lagi," Apakah kamu menghafal qur'an?". Dia menjawab,"Ya surat ini dan itu" sambil menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah Nabi,"Aku telah menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan qur'anmu" (HR Bukhori Muslim).
  3. Tidak Dalam Bentuk Apa-apa Kemudahan dalam memberikan mahar tercermin pula dalam pernikahan seorang sahabat nabi. Dimana ada seorang wanita rela tidak mendapatkan mahar dalam bentuk benda atau jasa yang bisa dimiliki. Cukup baginya keimanan calon suaminya non muslim untuk masuk Islam. Tanpa sebuah benda atau barangpun yang dimintanya. KeIslamanannyalah yang menjadi mahar untuknya. “Dari Anas bahwa Aba Tholhah meminang Ummu Sulaim lalu Ummu Sulaim berkata," Demi Allah, lelaki sepertimu tidak mungkin ditolak lamarannya, sayangnya kamu kafir sedangkan saya muslimah. Tidak halal bagiku untuk menikah denganmu. Tapi kalau kamu masuk Islam, keislamanmu bisa menjadi mahar untukku. Aku tidak akan menuntut lainnya". Maka jadilah keislaman Abu Tholhah sebagai mahar dalam pernikahannya itu”. (HR Nasa'i).

C.  larangan dalam pernikahan
Selain rukun dan syarat penikahan, ada pula larangan antara seorang pria dan seorang wanita untuk melangsungkan pernikahan disebabkan :
1.      pertalian nasab
a.       dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu
b.      dengan saudara ibu yang melahirkannya.
2.      Karena pertalian kerabat.
a.       Dengan seorang yang melahirkan istrinya
b.      Dengan seorang wanita, bekas istri orang yang menurunkannya.
3.      Karena pertalian susuan
a.       Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus ke atas
b.      Dengan wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus kebawah
c.       Anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.
d.      Dengan bibi susuan dan nenek bibi susuan.
ada juga hal yang harus diperhatikan dalam sebuah pernikahan. Pernikahan dianggap batal apabila ada larangan dalam pernikahan. secara rinci diuraikan dalam pasal 40 sampai 44 KHI sebagai berikut.
·         Pasal 40 KHI. Dilarang melangsungkan perkawinan karena keadaan tertentu:
a.       Karena wanita yang bersangkutan masih memiliki suami ynag sah.
b.      Seorang wanita masih dalam masa iddah.
c.       Seorang wanita yang tidak beragama islam.
·         Pasal 41 KHI.
1.      Seoramg pria dilarang memadu istrinya dengan wanita yang memiliki hubungan nasab atau susuan dengan istrinya seperti : saudara kandung, seayah atau seibu serta keturunannya
2.      Larangan tersebut berlaku pada ayat (1) meskipun istrinya telah ditalak raj’I tapi masih dalam masa iddah.
·         Pasal 42 KHI.
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 orang istri. Dan ke empatnya masih terikat tali perkawinan meskipun masih dalam masa iddah atau pun di talak raj’i.
·         Pasal 43 KHI.
a.       dilarang melangsungkan perkawinan dengan wanita yang sudah ditalak ba’in olehnya. Dan wanita bekas istri yang di li’an
b.      larangan tersebut bias gugur kalau bekas istri tadi telah kawin dengan pria lain.
·         Pasal 44 KHI.
Seorang wanita dilarang melangsungkan pernikahan  dengan seorang pria yang tidak beragama islam.

BAB III
PENUTUP
a)   Kesimpulan
  1. Dilihat dari hikmah perkawinan itu sendiri, banyak sekali yang dapat kita ambil diantaranya: Cara yang halal untuk menyalurkan nafsu seks melalui ini manakala perzinaan liwat, kemudian Untuk memperoleh ketenangan hidup, kasih sayang dan ketenteraman, Memelihara kesucian diri, Melaksanakan tuntutan syariat, Menjaga keturunan, Mewujudkan kerjasama serta tanggung jawab.
  2. Syarat dan rukun merupakan point inti dari keberlangsuangan kedua mempelai yang diridhai oleh allah SWT. Sebab apabila salah satu dari syarat dan rukun tersebut maka secara otomatis pernikahan dianggap tidak sah,
  3. Mahar ialah pemberian yang wajib diberikan oleh lelaki kepada perempuan yang bakal menjadi isterinya. Ia juga disebut sebagai mas kahwin. Hukumnya adalah wajib berdasarkan surah an-Nisa: ayat 4. Jumlah mahar yang wajib dibayar akan ditentukan oleh walinya jika perempuan itu masih kecil, tetapi sudah baligh atau janda boleh ditentukan oleh perempuan itu sendiri. Mahar boleh dibayar dengan pelbagai cara yang mempunyai nilai atau faedah tertentu berdasarkan persetujuan bersama seperti rumah, kebun, mengajar atau membaca al-Quran, mengajar ilmu agama, senaskah kitab al-Quran, sejadah sembahyang, pakaian sembahyang atau sebagainya. Malah ia boleh dibayar secara tunai, bertangguh atau berhutang. Jika mahar berhutang, suami wajib membayarnya setelah melakukan persetubuhan. Jika diceraikan sebelum bersetubuh, hutang mahar wajib dibayar separuh daripada nilainya kepada bekas isterinya, jika sudah dibayar tetapi belum bersetubuh, maka isteri wajib memulangkan separuh daripadanya. Jika isteri meminta fasakh, mereka belum bersetubuh, dan mahar masih berhutang, suaminya tidak wajib membayarnya. Jika sudah dibayar, bekas isteri wajib memulangkan kesemua jumlah mahar tersebut.
  4. Larangan dalam pernikahan sudah trmaktub seperti yang di paparkan sebelumnya bahwa yang di larang dalam perkawinan antara lain : Adanya hubungan mahram antara kedua mempelai, Tidak terpenuhinya rukun pernikahan dan  Terjadi pemurtadan.





DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman, Abu.2003. PetunjukPraktis dan Fatwa Pernikahan. Jakarta: Najla Press
Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah),
Idris ramulyo mohd, 1996. Hukum perkawinan islam, Jakarta: Bumu Aksara
Zainuddin ali. Prof. 2009. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika


[1] [Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.
Labels: | edit post
0 Responses

Post a Comment