BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Ketika kita berbicara tentang fenomena, maka akan terlintas dalam
pikiran kita bahwa pengertian fenomena sendiri
adalah kejadian yang melatarbelakanginya sebuah masalah. Ketika kita mengatakan fenomena tasyri’, maka dapat
dipahami pengertiannya adalah kejadian terbentuknya tasyri’(Undang-undang).
Tasyri’ secara istilah
adalah pembentukan undang-undang untuk mengetahui hukum-hukum bagi perbuatan
orang dewasa dan ketentuan-ketentuan hukum serta peristiwa yang terjadi
dikalangan mereka.[1]
melihat dari makna tasyri’ tersebut maka mucul sebuah persmasaalahan yang
sangat perlu diperhatikan, yaitu keberadaan sebuah agama (Islam) yang berada
dalam lingkungan orang-orang yang berwatak keras (Badui) dan masyarakat yang
hidup penuh dengan kebiadaban dan pelecehan serta belum memiliki sebuah aturan
baku untuk dijalani oleh pemeluk-pemeluknya, dalam hal ini adalah tasyri’.
Tentunya melihat
kondisi tersebut, maka Allah mengutus Rasulullah sebagai wasilah pertama untuk
menegakkan syariat Islam yang benar. Penegakan syariat Islam (tasyri’) ini
tidak berhenti setelah Rasulullah wafat, akan tetapi hal ini berlangsung sampai
beberapa periode, mulai dari periode Rasulullah, khulafaurrasyidin, tabiin dan
sterusnya. Akan tetapi dalam makalah ini penulis hanya memaparkan tentang
penegakan syariat Islam(tasyri’) pada periode Rasulullah saja.
Tidak terlepas bahwa berbagai
faktor social juga menjadi latar belakang turunnya al-quran. Banyak hal-hal
yang menjadi asbabun nuzulnya al-quran sebagai sumber tasyri’ periode
Rasulullah ini. Akan tetapi bukan keseluruhan ayat-ayat al-quran ini diturunkan
karena adanya Asbabun Nuzul. Kesesuaian tradisi dan al-quran juga terlihat
disana, akan tetapi bukan berarti al-quran dapat dikatakan sebagai tradisi
orang Arab, karena diturunkannya al-quran adalah untuk seluruh umatnya.
Adapun pada periode
Rasulullah ini memiliki dua fase, yaitu fase
Mekkah dan fase Madinah. Secara sosio cultural kedua fase ini berbeda dalam
penerimaan tasyri’ yang dibawa oleh Rasulullah ini. Karena corak kehidupan
Mekkah dan Madinah sangatlah jauh berbeda. Keadaan Mekkah yang saat itu penuh
dengan hal-hal yang menyimpang dari aturan atau hukum Islam, tentunya bagi
masyarakat tersebut sulit untuk menerima hal-hal yang baru dibawa oleh
Rasulullah. Sehingga yang pertama kali ditanamkan dalam hati mereka adalah
hal-hal yang menyangkut dengan ketauhidan.
Berbeda halnya dengan
keadaan masyarakat Madinah yang sangat mudah menerima Islam, bahkan mereka
menerima kedatangan Rasulullah dengan senang hati. Sehingga pembentukan tasyri’
pada masa ini dirasa jauh lebih mudah dibanding dengan fase Mekkah, dan pada
masa inilah hal-hal yang berkaitan dengan Ibadah, tauhid dan sebagainya menjadi
tasyri’.
Al-quran dan hadist
pada periode ini menjadi sebagai sumber penetapan tasyri’, kemudian
permasaalahan yang muncul adalah keterkaitan dengan ijtihad pada masa ini,
apakah ijtihad juga menjadi sumber tasyri’ saat itu. Maka untuk lebih lengkapnya akan kita bahas pada bab selanjutnya.
Melihat
berbagai latar belakang diatas, maka penulis dapat merangkaikan rumusan masalah
sebagai berikut:
b.Rumusan masalah
1. Bagaimana
Arab sebelum Islam?
2.
Bagaimana Tasyri’ periode Mekkah?
3.Bagaimana
Tasyri’ periode Madinah?
4.Apa
saja Sumber Tasyri’ periode Rasulullah?
5.Bagaimana
ijtihad pada Masa Rasulullah?
c.Tujuan Masalah
1.
Mengetahui Keadaan Arab sebelum Islam
2.
Mengetahui tasyri’ periode Mekkah
3.
Mengetahui tasyri’ periode Madinah
4.
Mengetahui Sumber tasyri’ periode Rasulullah
5. Mengetahui tentang
ijtihad masa Rasulullah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Bangsa Arab Pra Islam
Bangsa Arab sebelum diutus seorang
Nabi SAW adalah umat yang tidak mempunyai aturan, kebiadaban yang mengendalikan
mereka, gelapnya kebodohan yang menaungi mereka dan tidak ada agama yang
mengikat mereka, serta tidak ada undang-undang yang dapat mereka patuhi.[2]akibat
dari itu semua jiwa mereka dipenuhi dengan akidah yang batil. Tuhan dihayalkan
pada patung yang mereka Pahat. Dengan tangannya sendiri, terkadang pada
binatang-binatang yang tampak dan hilang didepan mata mereka.
Mekkah
adalah sebuah kota yang sangat penting di negeri Arab, baik karena tradisinya
maupun karena letaknya. Kota ini ini dilalui
jalur perdagangan yang ramai menghubungkan Yaman di selatan dan Syiria di
Utara. Dengan adanya ka’bah ditengah kota, Mekkah menjadi pusat keagamaan Arab.
ka’bah adalah tempat mereka berziarah. Di dalamnya terdapat 360 berhala,
mengelilingi berhala utama, atau hubal.
Mekkah kelihatan makmur dan kuat. Agama dan masyarakat Arab ketika itu
mencerminkan realitas kesukuan masyarakat jazirah Arab dengan luas satu juta
mil persegi.[3]
Bila
dilihat dari asal-usul keturunan, penduduk jazirah Arab dapat dibagi menjadi
dua golongan besar, yaitu Qathaniyun (keturunan
Catan), dan Adnaniyun (keturunan
Ismail ibn Ibrahim). Pada mulanya wilayah utara diduduki oleh golongan
Adnaniyun, dan wilayah selatan diduduki oleh golongan qahthan. Akan tetapi
lama-kelamaan kedua golongan tersebut membaur karena perpindahan-perpindahan
dari utara ke selatan atau sebaliknya.
Masyarakat,
baik nomadik ataupun yang menetap, hidup dalam budaya kesukuan Badui. Mereka
sangat menekankan hubungan kesukuan sehingga kesetiaan atau solidaritas
kelompok menjadi sumber kekuatan bagi suatu kabilah atau suku. Mereka
sangat suka berperang, sehingga peperangan antar suku sering terjadi. Sikap ini
nampaknya sudah menjadi tabiat yang mendarah daging dalam diri orang Arab.
Dalam masyarakat yang suka berperang
tersebut, nilai seorang wanita sangatlah rendah. Situasi ini terus berlangsung
sampai agama Islam lahir. Dunia Arab ketika itu merupakan kancah peperangan
terus menerus. Pada sisi lain, meskipun masyarakat badui mempunyai pemimpin,
namun mereka hanya tunduk kepada syekh atau amir (ketua kabilah) itu dalam hal
yang berkaitan dengan peperangan, pembagian harta rampasan dan pertempuran
tertentu. Diluar itu, syekh atau amir tidak memiliki wewenang apa-apa.
Pada saat itu penganut agama yahudi
juga banyak mendirikan koloni di jazirah Arab, yang terpenting diantaranya
adalah Yastrib. Penduduk koloni ini terdiri dari orang-orang Arab yang menganut
agama Yahudi. Walaupun agama Yahudi dan Kristen sudah masuk ke jazirah Arab,
akan tetapi bangsa Arab masih menganut agama asli mereka, yaitu percaya kepada
banyak dewa yang diwujudkan dalam bentuk berhala dan patung. Setiap kabilah
mempunyai berhala sendiri. Berhala-berhala itu mereka jadikan tempat menanyakan
dan mengetahui nasib baik dan buruk. Demikianlah keadaan bangsa Arab menjelang
kebangkitan islam.
b. tasyri’ pada periode
Mekkah
Selama
13 tahun masa kenabian Muhammad SAW di Mekkah sedikit demi sedikit turun hukum.
Periode
ini lebih terfokus pada roses penamaan (ghars) tata nilai tauhid, seperti iman
kepada Allah, Rasulnya, hari kiamat, dan perintah untuk berakhlak mulia seperti
keadilan, kebersamaan, menepati janji dan menjauhi kerusakan akhlak seperti
zina, pembunuhan dan penipuan..,[4]
Pada awalnya Islam berorientasi memperbaiki akidah ,
karena akidah merupakan fundamen yang akan berdiri diatasnya, apapun bentuknya.[5]sehingga
bila telah selesai tujuan yang pertama ini, maka Nabi melanjutkan dengan
meletakkan aturan kehidupan (tasyri’). Bila kita perhatikan ayat-ayat al-quran
yang Turun di Mekkah, maka terlihat disana penolakan terhadap syirik dan
mengajak mereka menuju tauhid, memuaskan mereka dengan kebenaran risalah yang
disampaikan oleh para Nabi. Mengiringi mereka agar mengambil pelajaran dari
kisah-kisah umat terdahulu, menganjurkan mereka agar membuang taklid pada nenek
moyangnya, dan memalingkan mereka dari pengaruh kebodohan yang ditinggalkan
oleh leluhurnya seperti pembunuhan, zina dan mengubur anak perempuan
hidup-hidup.
Kebanyakan
ayat-ayat al-quran itu meminta mereka agar menggunakan akal pikiran, Allah
mengistimewakan mereka dengan akal, yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya agar
mereka mendapat petunjuk kebenaran dari dirinya sendiri (rasionalitas).
Mengingatkan mereka agar tidak berpaling dengan ajaran para Nabi, agar tidak
tertimpa azab seperti apa yang ditimpakan pada Amat-umat terdahulu yang
mendustakan Rasul-rasul mereka dan mendurhakai perintah tuhannya.
Pada
masa ini al-quran hanya sedikit memaparkan tujuan yang kedua, sehingga
mayoritas masalah Ibadah belum disyariatkan kecuali setelah hijrah. Ibadah yang
disyariatkan sebelum hijrah erat kaitannya dengan pemeliharaan akidah, sepertti
pengharaman bangkai, darah dan sembelihan yang tidak disebut nama Allah. Dengan
kata lain, periode Mekkah merupakan periode revolusi akidah untuk mengubah
sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah semata.
Statu revolusi yang menghadirkan perubahan fundamental, rekonstruksi social dan
moral pada seluruh dimensi kehidupan masyarakat.
Namun
ada beberapa hal yang menyebabkan ajaran Nabi Muhammad SAW tidak diterima oleh
masyarakat Mekkah, terutama dalam aspek ekonomi, faktor diantaranya yatu :
- Ajaran tauhid
menyalahkan kepercayaan dan praktek menyembah berhala. Bila menyembah
berhala dihapuskan maka berhala yang ada tidak laku lagi. Hal ini mengancam
sisi ekonomi mereka (produsen berhala). Karena itu ajaran tauhid juga
banya ditolak oleh masyarakat Mekkah.
- Ajaran Islam
mengecam perilaku ekonomi masyarakat Mekkah yang mempunyai ciri pokok
penumpuk harta dan mengabaikan fakir miskin serta anak yatim.
Seperti yang kita ketahui bahwa Mekkah terletak
dijalur perdagangan yang penting[6]. Mekkah makmur
karena letaknya yang berada dijalur penting dari Arabia selatan sampai utara
dan mediteranian, teluk Persia, laut merah melalui jiddah dan afrika. Dan Mekkah
adalah salah satu pusat perdagangan yang ramai. Maka faktor tersebut sangat
mempengaruhi penolakan dakwah Nabi.
c. Tasyri’ pada periode
Madinah
Pada fase atau periode ini Islam sudah kuat dan
berkembang dengan pesatnya, jumlah umat Islam pun sudah betambah banyak dan
mereka sudah memiliki suatu pemerintahan yang gilang gemilang.[7]keadaan
inilah yang mendorong perlunya mengadakan tasyri’ dan pembentukan undang-undang
untuk mengatur perhubungan antara individu dari suatu bangsa dengan bangsa
lainnya, dan untuk mengatur pula perhubungan mereka dengan bangsa yang bukan
Islam baik di waktu damai maupun perang.
Adapun periode madinah
ini dikenal dengan periode penataan dan pemapanan masyarakat sebagai masyarakat
percontohan.[8]oleh
karena itu di periode madinah inilah ayat-ayat yang memuat hukum-hukum untuk
keperluan tersebut (ayat-ayat ahkam) Turun, baik yang berbicara tentang ritual maupun
social. Meskipun pada periode ini Nabi Muhammad SAW baru melakukan legislasi,
Namun ketentuan yang bersifat legalitas sudah ada Sejak periode Mekkah, bahkan
justru dasar-dasarnya telah diletakkan dengan kukuh dalam periode Mekkah
tersebut. Dasar-dasar itu memang tidak langsung bersifat legalistik karena
selalu dikaitkan dengan ajaran moral dan etik.
Pada periode ini
tasyri’ Islam sudah berorientasi pada tujuan yang kedua yaitu disyariatkan bagi
mereka hukum-hukum yang meliputi semua situasi dan kondisi, dan yang
berhubungan dengan segala aspek kehidupan, baik individu maupun kelompok pada
setiap daerah, baik dalam Ibadah, muamalah, jihad, pidana, mawaris, wasiat,
perkawinan, thalak, sumpah, peradilan dan segala hal yang menjadi cakupan ilmu
fiqih.
Proses pembentukan
hukum pada masa kenabian tidak dipaparkan peristiwa-peristiwa, menggambarkan
kejadiannya, mencari sebab-sebab pencabangannya dan kodifikasi huku-hukum,
sebagaimana masa-masa akhir yang telah dimaklumi. Tetapi pembentukan hukum pada
masa ini berjalan bersama kenyataan dan pembinaan bahwa kaum muslimin, apabila
menghadapi suatu masalah yang harus dijelaskan hukumnya, maka mereka langsung
bertanya kepada Rasulullah SAW. Terkadang Rasulullah SAW memberikan fatwa
kepada mereka dengan satu atau beberapa ayat (wahyu) yang diturunkan Allah
kepadanya, terkadang dengan hadis dan terkadang dengan memberi penjelasan hukum
dengan pengalamannya. Atau sebagian mereka melakukan suatu perbuatan lalu Nabi
SAW menetapkan (takrir) hal itu, jika hal tersebut benar menurut Nabi SAW.
Ada tiga aspek yang
perlu dijelaskan dari proses perkembangan syariat pada periode ini.[9]
Pertama adalah : metode Nabi dalam menerangkan hukum. Dalam banyak hal syariat
Islam Turun secara global nabi sendiri tidak menjelaskan apakah perbuatannya
itu wajib atau sunnah, bagaimana syarat dan rukunnya dan lain sebagainya.
Seperti ketika nabi salat para sahabat melihat salat nabi dan mereka
mengikutinya tanpa menanyakan syarat dan rukunnya.
Kedua
adalah: kerangka hukum syariat. Ada hukum yang disyariatkan untuk suatu
persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, seperti bolehkah menggauli istri
ketika mereka sedang haid, bolehkah berperang pada bulan haji. Dan ada pula
yang disyariatkan tanpa didahului oleh pertanyaan dari sahabat atau tidak ada
kaitannya dengan persoalan yang mereka hadapi, termasuk didalamnya adalah
masalah ibadah dan beberapa hal yang berkaitan dengan muamalat.
Ketiga adalah: turunnya
syariat secara bertahap (periodik). Maksudnya pembentukan kondisi masyarakat
yang layak dan Siap dan menerima Islam harus menjadi prioritas yang diutamakan.
d.Sumber perundang-undangan(tasyri’ pada
periode Rasulullah SAW
Penentuan hukum pada periode Rasulullah SAW mempunyai
dua sumber[10],
yaitu :
1.Wahyu Ilahi (Al-Quran)
Al-quran
adalah kitab suci yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW yang mengandung
petunjuk kebenaran bagi kebahagiaan ummat manusia. Dalam bahasa “Fazlurrahman,[11]
alquran adalah dokumen keagamaan dan etika yang bertujuan praktis menciptakan
masyarakat yang bermoral baik dan adil, yang terdiri dari manusia-manusia saleh
dan religius dengan keadaan yang peka dan nyata akan adanya satu tuhan yng
memerintahkan kebaikan dan melarang kejahatan.
Ketika terjadi sesuatu
yang menghendaki adanya pembentukan hukum dikarenakan suatu peristiwa,
perselisihan, pertanyaan, permintaan fatwa, maka Allah menurunkan wahyu kepada
Rasulullah SAW satu atau beberapa ayat al-quran yang menjelaskan hukum yang
hendak diketahuinya. Kemudian Rasulullah menyampaikan kepada umat Islam apa-apa
yang sudah diwahyukan kepada beliau itu, dan wahyu itu menjadi undang-undang
yang wajib diikuti.
Ada karakteristik yang
sangat menonjol dari al-quran yaitu, bahwa meskipun al-quran diturunkan dalam
ruang waktu tertentu, sebab tertentu, tetapi esensi kalam tuhan tersebut adalah
universal, sehingga mengatasi ruang dan waktu. Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa sasaran alquran dan juga sebab turunnya adalah “kemanusiaan(problematika
kehidupan manusia), baik pada masa Nabi, masa kini dan masa seterusnya.
2.Ijtihad Rasulullah (Sunnah)
Sunnah
adalah sumber fiqih kedua setelah al-quran. Dalam terminologi muhaddisin,
fuqaha dan ushuliyyin, sunnah berarti setiap sesuatu yang dinisbatkan kepada
Nabi Muhammad, baik perkatan, perbuatan dan ketentuan. Sebagaimana al-quran, sunnah juga tidak muncul dalam
satu waktu, tetapi secara bertahap(periodik) mengikuti fenomena umum dalam
masyarakat, atau lebih tepat disebut mengikuti perkembangan turunnya syariat.
Oleh karena itu dalam banyak hal, kita akan melihat bahwa sunnah bertujuan
menerangkan, merinci, membatasi dan menafsirkan al-quran.
Ketika muncul sesuatu
yang menghendaki peraturan, sedang Allah tidak mewahyukan kepada Rasulullah
ayat al-quran yang menunjukkan hukum yang dikehendakinya, maka Rasulullah
berijtihad untuk mengetahui ketentuan hukumnya.
Dan dengan hasil
ijtihad itulah yang dipergunakan beliau untuk memutusi hukum sesuatu masalah,
atau memberi fatwa hukum atau menjawab pertanyaan atau menjawab permintaan fatwa
hukum. Dan hukum yang terbit dari hasil ijtihad beliau itu juga menjdai
undang-undang yang wajib diikuti. Setiap hukum yang disyareatkan pada periode
Rasulullah SAW itu sumbernya adalah dari wahyu ilahi (al-quran) dan ijtihad
Nabi (Sunnah).
e.Ijtihad pada periode
Rasulullah SAW
Permasaalahan ijtihad
pada masa Rasulullah ini terjadi perbedaan pendapat, akan tetapi ijtihad yang
menyangkut dengan kemaslahatan dunia dan pengaturan strategi perang jelas dilakukan
oleh Nabi.[12]
Mungkin kita masih ingat ketika Rasulullah saw bermusyawarah dengan para
sahabatnya soal tawanan perang Badar. Di antara para sahabat yang mengutarakan
pendapatnya dalam musyawarah itu adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin
Khattab, Abdullah bin Rawahah dan Sa'd bin Mu'adz.
Saat itu Rasulullah saw
lebih condong kepada pendapat Abu Bakar yang berpendapat untuk mengambil fidyah dari
para tawanan tersebut. Namun setelah itu turun firman Allah swt yang mendukung
pendapat Umar untuk membunuh mereka "Tidak patut bagi seorang nabi
mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu
menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat
(untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" (QS. Al-Anfal [8]:
67)
Dalam Fiqh
us-Sirot in-Nabawiah-nya, Prof. DR. M. Said Ramadhan al-Bhuti
menjelaskan bahwa kejadian itu menunjukkan terjadinya ijtihad dari pribadi
Rasulullah saw. Kemudian beliau melanjutkan penjelasannya dengan menyatakan
bahwa ijtihad Rasulullah saw bisa salah namun tidak kontinyu, karena akan
datang wahyu Allah swt yang membenarkannya. Kesalahan itu menurut beliau tidak
bertentangan dengan sifat Ishmah (terjaga dari kesalahan)
yang dimiliki Rasulullah saw. Sebab kesalahan itu bukan sebuah keburukan, namun
hanya sebuah kekurangsempurnaan dalam versi ilmu Allah swt.[13]
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat kita tarik beberapa kesimpulan
secara global, yaitu sebagai berikut:
1.Tasyri’ adalah
manifestasi dari lahirnya Islam sebagai agama yang benar dan diridhai oleh
Allah SWT.
2. Bangsa Arab para Islam
adalah bangsa yang sangat tidak bermoral, sehingga Rasulullah saat itu
berdakwah tentang-tentang akidah (periode mekkah)
3.Periode Mekkah adalah
periode dimana nabi hanya menjelaskan tentang tauhid dan akidah. Sehingga
periode ini dikenal dengan periode penataan akidah.
4.Periode Madinah adalah
periode dimana kesempurnaan tasyri’ mulai terlihat, ayat-ayat yang Turín tidak
lagi berkaitan dengan tauhid ataupun akidah akan tetapi sudah beralih kepada
hal-hal yang mengandung tentang Ibadan.
5.Yang menjadi sumber
tasyri’ pada periode ini adalah wahyu ilahi(al-quran) daan ijtihad Nabi
(sunnah).
6.Keberadaan ijtihad pada
masa Rasulullah masih diperselisihkan, akan tetapi beberapa ijtihad tentang
kemaslahatan dunia dan strategi perang terlihat wujudnya pada periode ini.
`
b.saran
Setelah membaca dan menganalisis
lebih jauh, maka penulis hanya dapat memberikan saran kepada pembaca agar lebih
memberikan perhatiannya untuk mempelajari tarikh tasyri’ dari periode satu ke
periode berikutnya. Karena mempelajari
periode-periode tasyri’ akan memudahkan
kita dalam mengetahui hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Asghar ali engineer, asal-usul dan perkembangan Islam, 1999. Yogyakarta: INSIST dan
IKAPI
Yatim, Badri sejarah peradaban Islam, 2003. Jakarta:
PT. Raja Grafindo persada
Zuhri, Muhammad hukum Islam dalam lintasan sejarah, 1996.
Jakarta: PT. Raja Grafindo persada
Sirri, Mun’in sejarah fiqih Islam sebuah pengantar, 1995.
Risalah
Gusti
Khallaf,
Wahab terjemahan khulasah tarikh tasyri’
islam, 1974. Solo: CV.Ramadhani.
Ali As-sayis, Muhammad sejarah fiqih Islam, 2003. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar.
http://jurnalislam.net/id/images/favicon.ico
diakses pada tanggal 28 maret 2009
http://alilmu.wordpress.com, diakses pada tanggal 25 april 2009
[1] Khallaf,
wahab khulasah tarikh tasyri’ islami, hal:
4
[2] Ali
As-sayis, Muhammad sejarah fiqih Islam, hal:
17
[3] Yatim, Badri sejarah peradaban islam, hal: 9
[4] A.sirri,
Mun’in, sejarah fiqih Islam sebuah
pengantar, hal: 22
[5] Op.cit,
hal: 18
[6] Asghar
ali engineer, asal-usul dan perkembangan
Islam, hal: 59
[7] Khallaf,
Wahhab terjemahan khulasah tarikh tasyri’ islam, hal: 10
[8] Zuhri,
Muhammad hukum Islam dalam lintasan
sejarah, hal: 13
[9] Ibid. sejarah fiqih Islam sebuah pengantar, hal:
24
[10] Ibid terjemahan khulasah tarikh tasyri’ islam, hal:
13
[11] Ibid. sejarah fiqih Islam sebuah pengantar
hal:28
[12] Ibid.
hal: 28
Post a Comment