BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Berbicara
tentang tarikh tasyri’ tidak akan lepas dari factor yudikatif, eksekutif dan
kondisi masyarakat, setiap pergantian generasi perkembangan selalu terjadi
begitu juga dengan tarikh tasyri’, ada fenomene-feomena yang menarik dari
berkembangnya tarikh tasyri’ dimulai dari masa Nabi sampai sekarang ini.
Pada
masa Nabi tasyri’ langsung diterima dari Al-Rab yang menciptakan sari’at itu
sendiri, dan perkembangan yang dilakukan nabi selalu diawasi oleh allah
sendiri, jadi tidak diragukan lagi tentang kebenarannya, posisi nabi sebagai
yudikatif dan aksekutif selalu menjadi acuan bagi masyarkat arab pada masa itu.
Perkembangan
tasri’ pada masa sahabat tidak begitu drastic, perubahan yang terjadi hanya
pada pola amplikasi saja, dan pada masa ini pendapat para sahabat terkait
dengan tasyri masih bisa disatukan, tetapi perlu kita ketahui embrio pertama
aksisnya perbedaan mazhab itu adalah
pada masa para sahabat setelah Nabi wafat, sehingga timbullah mazhab wishaya,
mazhab hak illahi sehingga berkembang menjadi beberapa sekte.
Berkembangnya
ulama’-ulama’ hijaz menjadi Ahlul Hadist dan Ra’yi adalah pengaruh pemikiran
dari Ali, Ibnu Mas’ud, dan Umr bin Khatab yang sangat terkenal banyak
menggunakan ra’yu dalam menetapkan hukum suatu masalah. Dalam hal ini, di
kalangan para tabi’in banyak yang terpengaruh oleh cara istimbat hukum para
sahabat tersebut, para tabi’in di Iraq terpengaruh oleh ijtihadnuya Ali
sedangkan ulama’ hijaz dipengaruhi oleh
pemikiran ibnu abbas yang tidak menggunakan ra’yu.
Timbulnya
mazhab sunny adalah perkembangn dari ulama ahlul ra’yu, termaksud juga ulama
mazhab yaitu, mazhab Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbal.
Perbedaan
pendapat dalam penerapan hukum-hukum sari’ah pada masa ini sengan berbeda,
padahal kita ketahui bahwa Imam Safi’i adalah muridnya Imam Malik, tetapi
kenapa dalam pemahaman tentang hukumnya berbeda. Dan yang menjadi tanda Tanya
apakah dibalik perbedaan tersebut, apakah para imam ingin menciptakan
sekte-sekte sendiri, apakah perbebedaan yang segnifikan itu karena dilator
belakangi oleh tempat mereka bermukim seperti halnya Imam Safi’i dengan
background Iraq dan mesirs sehingga hadirnya Qaul Qadim dan Qaul Jadidnya, Imam
Hanifah yang dipengruhi oleh daerah Persia, Imam Malik yang dilatar belakangi
oleh negeri Hijaz, dan Imam Hambali yang berlatar belakang sebagai imam di
Bagdad, atau ada faktor-fakto yang lainnya.[1]
Dilatar
belakangi oleh hal tersebut, maka kami pemekalah akan mencoba mengkaji masalah
tersebut, dengan makalah kami yang berjudul Dinamika tarikh tasyri’ ulama
pembangun mazhab serta berbagai factor social yang melatar belakangi
berkembangnya tasri’. Mudah-mudahan makalah kami dapat member sedikit
pandangan kepada para pembaca terkait tentang perkembangang tarikh tasyri’ pada
masa imam mazhab.
1.1 Rumusan masalah
Adapun rumusan masalahyang kami bahas adalah:
1.
Bagai mana dinamika tarikh tasyri’
pada masa imam mazhab ?
2.
Apa yang melatarbelakangi
perkembangan tarikh tasyiri’ pada masa imam mazhab?
3.
Bagaimana model ijtihad para imam
mazhab terkait dengan tasyiri’?
4.
Faktor-faktor apa yang menyebabkan
berkembangnya empat mazhab ?
1.2
Tujuan
1.
Agar pembaca dapat mengetahui
dinamika tarikh tasyri’ pada masa imam mazhab.
2.
Untuk memberi pemahaman tentang hal
yang melatarbelakangi perkembangan tarikh tasyiri’ pada masa imam mazhab.
3.
Mengetahui model ijtihad para imam
mazhab terkait dengan tasyiri’.
4.
Memahami Faktor-faktor apa yang
menyebabkan berkembangnya empat mazhab.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
IMAM HANAFI
1.
Biografi Imam Hanafi(80 – 150 H / 699-767 M)
Imam
Hanafi atau nama lainnya disebut Abu Hanifah, yang memiliki nama lengkapnya adalah Al-Numan ibn Tsabit ibn Zuhthi (80-150 H). Secara
politik, Abu Hanifah hidup dalam dua generasi. Ia dilahirkan dikufah pada Tahun
80 H, artinya ia lahir pada zaman Dinasti Umayyah, tepatnya pada Tahun 80 H,
yaitu pada zaman kekuasaan Abd Al-Malik ibn Marwan (Manna al-Qaththan,
1989:202). Beliau meninggal pada zaman kekuasaan Abbasiah pada saat
beliau berumur 70 tahun.
Beliau
hidup selama 52 tahun pada zaman Umayyah dan 18 tahun
pada zaman Abbasiah. Selama hidupnya ia melakukan ibadah haji lima puluh lima
kali. Beliau diberi gelar Abu Hanifah, karena diantara putranya ada yang
bernama Hanifah. Selain itu, menurut riwayat lain beliau bergelar Abu
Hanifah, karena beliau begitu taat beribadah kepada allah, yaitu berasal dari
bahasa arab Haniif yang artinya condong atau cenderung kepada yang
benar. Menurut riwayat lain, beliau diberi gelar Abu Hanifah, karena begitu
dekat dan eratnya beliau berteman dengan tinta. Hanifah menurut bahasa Irak
adalah tinta.[2]
Sikap politiknya berpihak pada keluarga Ali (Ahlul Bait) yang selalu dianiaya
dan ditindas oleh Dinasti Umayyah. Ketika Zaid berontak terhadap Hisyam dan
terbunuh, termasuk putranya Yahya ibn Zaid, Abu Hanifah sangat berduka.
“Perjuangan Zaid sama dengan perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam perang Badar,”
katanya.
Ketika Yazid ibn Umar ibn Hubairah (zaman Dinasti
Umayyah) menjadi Gubernur Irak, Abu Hanifah diminta menjadi hakim dipengadilan
atau bendaharawan negara, tetapi ia menolaknya. Akibatnya, ia ditangkap dan
dipenjarakan, bahkan dicambuk. Namun, atas pertolongan juru cambuk, ia berhasil
meloloskan diri dari penjara dan pindah ke Mekah. Ia tinggal disana selama enam
tahun (130-136 H). Setelah pemerintahan Umayyah berakhir, ia kembali ke Kufah
dan menyambut kekuasaaan Abbasiah dengan rasa gembira.
Tidak berbeda dengan pemerintahan Bani Umayyah, Bani
Abbas juga melakukan kekerasaan terhadap Ahlul Bait, seperti tindakan yang dilakukan
oleh Al - Manshur terhadap Al - Nasf, Al - Zakiah pada tahun 145 Hijriah. Abu
hanifah tampil mengkritik Abbasiah. Ia mengkritik para Hakim dan Mufti
pemerintah. Ketika diminta oleh al - Manshur untuk menjadi hakim di pengadilan,
Abu Hanifah menolaknya.. akhirnya ia dipenjara dan dicambuk. Ia meninggal pada
tahun 150 H, akibat penderitaannya dalam tahanan[3].
2. Guru dan Murid Imam
Hanafi
Imam
hanafi adalah sorang imam yang sangat bersemangat dalam menuntut ilmu beliau
belajar kepada hammad bin abbas sulaiman dan bliaupun belajar kepada para-para
tabi’in seperti atha bin abi rabahdan nafi’maulana ibnu umar.
Adapun yang menjadi murid-muridnya antara lain:
a.
Abu Yusuf bin Ibrahim
b.
Zufar bin Huzail
- Muhammad
bin Hasan
Murid imam Abu Hanifah yang terkenal dan yang meneruskan
pemikiran-pemikirannya adalah : Imam Abu Yusuf al-An sharg, Imam Muhammad bin
al-Hasan al-Syaibani, dan lain-lain.[4]
3. Dinamika Tarikh
Tasyri’ Pada Masa Imam Hanafi
Pada awalnya Imam Hanafi (Abu hanifah) adalah seorang
pedagang, atas anjuran Al-Syabi ia kemudian menjadi pengembang ilmu. Abu
Hanifah belajar fiqih kepada ulama aliran Irak (ra’yu). Semua ilmu yang di pelajari bertalian dengan keagamaan. Mula – mula ia
mempelajari hukum agama, kemudian ilmu kalam. Akan tetapi, difokuskan kepada
masalah fiqh saja, tanpa mengecilkan arti ilmu yang lain, dan Abu Hanifah
sendiri memang sangat tertarik mempelajari ilmu fiqh yang mengandung berbagai
aspek kehidupan. Imam Abu Hanifah mengajak kepada kebebasan
berfikir dalam memecahkan masalah-masalah baru yang belum terdapat dalam
al-Qur’an dan al-Sunnah. Ia banyak mengandalkan qiyas (analogi) dalam
menentukan hukum.
Di bawah ini akan dipaparkan beberapa contoh ijtihad Abu
Hanifah dalam penerapan tarikh tasyri’, diantaranya :
a.
Bahwa benda wakaf masih tetap milik wakif. Kedudukan wakaf dipandang sama
dengan ‘Ariyah (pinjam-meminjam). Karena masih tetap milik wakif, benda wakaf
dapat dijual, diwariskan, dan dihibahkan oleh wakif kepada yang lain, kecuali
wakaf untuk masjid, wakaf yang ditetapkan berdasarkan keputusan hakim, wakaf
wasiat, dan wakaf yang diikrarkan secara tegas bahwa itu terus dilanjutkan
meskipun wakif telah meninggal dunia. Adapun alasan yang digunakan adalah
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al Baihaqi Yang artinya
“ Nabi Muhammad SAW telah menjual benda
wakaf”.(Baihaqi, VI, 1352-E: 163)
Pada awalnya, Abu Yusuf dan Muhammad
sependapat dengan Abu Hanifah. Ketika melakukan ibadah haji bersama Harun al –
Rasyid (salah seorang raja Dinasti Abbasiah) ’Abu Yusuf mendapat wakaf Umar bin
Khattab yang tidak dibolehkan untuk dijual, diwariskan, dan dihibahkan.
Perbuatan Umar ini kemudian dimuat dalam Hadits Bukhari (Lihat Shahih al
Bukhari, II, t.th: 14). Oleh karena itu, Abu Yusuf berpedapat bahwa benda wakaf
tidak boleh dijual, diwariskan, dan hibahkan. Ia berkata, “ kalau saja hadis
tersebut sampai ke Abu Hanifah ia pasti akan mengubah pendapatnya”. (Ibnu
Syuhnah al-Hanafi, 1973:294).
b.
Bahwa Perempuan menjadi hakim di pengadilan yang tugasnya khusus menangani
perkara perdata, bukan perkara pidana. Karena perempuan tidak dibolehkan
menjadi saksi pidana, ia hanya dibenarkan menjadi saksi perkara perdata. Karena
itu, menurutnya perempuan boleh menjadi hakim yang menagani perkara perdata.
Dengan demikian metode ijtihad yang digunakannya adalah Qiyas dengan menjadikan
kesaksian sebagai al-Ashl dan menjadikan hakim perempuan sebagai far’i.
c.
Abu Hanifah dan Ulama Hufadh berpendapat bahwa sholat gerhana matahari dan
bulan dilakukan dua rakaat sebagaimana sholat id, tidak dilakukan dua kali
rukuk dalam satu rakaat.[5]
Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama yang luas ilmunya
dan sempat pula menambah pengalaman dalam masalah politik, karena di masa
hidupnya ia mengalami situasi perpindahan kekuasaan dari khlifah Bani Umayyah
kepada khalifah Bani Abbasiyah, yang tentunya mengalami perubahan situasi yang
sangat berbeda antarta kedua masa tersebut.
Madzhab Hanafi berkembang karena kegigihan murid-muridnya
menyebarkan ke masyarakat luas, namun kadang-kadang ada pendapat murid yang
bertentangan dengan pendapat gurunya, maka itulah salah satu ciri khas fiqih
Hanafiyah yang terkadang memuat bantahan gurunya terhadap ulama fiqih yang
hidup di masanya.
4. Sumber –
Sumber Imam Hanafi
Ulama Hanafiyah menyusun kitab-kitab fiqih, diantaranya
Jami’ al-Fushulai, Dlarar al-Hukkam, kitab al-Fiqh dan Qawaid al-Fiqh, dan
lain-lain.
Sumber-sumber
hukum madzhab hanafi :
1.
Al-Qur’an
2.
Sunnah
3.
Ijma’ sahabat
4.
Pendapat sahabat pribadi
5.
Qiyas
6.
Istihsan
7.
‘Urf
1.
Al-Quran, Hadist dan Ijma’
Bagi mazhab hanafi al-quran, sunnah dan ijma’ merupakan sumber hukum
yang terpenting, jika hukum tersebut tidak terdapat didalam al-quran maka
meruju’ ke hadist dan jika tidak terdapat didalam hadist maka meruju’ ke ijma’.
Terkait dengan sunnah, imam hanafi hanya menggunakan hadist yang sahih dan
masyhur.
Pendapat para sahabat, imamhanafi hanya menggunakan pendapat yang
memadai permasalahan pada masa itu, dalam menetapkan pandangan ini sebagai
prinsip penting mazhab hanafi.
2.
Qiyas (Deduksi Analogis)
Konsep yang di utarakan oleh hanifah bahwa
beliau tidak harus menerima rumusan hukum dari para tabi’in atau dari muritnya
sahabat, dia memandang bahwa dirianya setara dengan para tabi’in dan melakukan
atau menetapkan hukum dengan qiyasnya sendiri[6].
3.
Istihsan (Preperensi)
Istihsan
sederhananya adalah satu bukti yang lebih disukai dari pada bukti lainnya
karena ia tampak lebih sesuai dengan situasinya yang, walupun bukti yang
dugunakan ini lebih lemah dari pada bukti lain.
4.
‘Urf (Tradisi Lokal)
Tradisi
lokal diberi bobot hukum dalam wilayah dimana tidak terdapat tradisi islam yang
mengikat, melalui penerapan prinsip ini tradisi-tradisi yang beragam dalam
budaya yang berbeda didalam dunia islam menjadi sumber hukum.
5. Metode dan Cara Ijtihat Abu
Hanifah
Metode ijtihad yang digunakan oleh imam hanafi adalah :
1. Metode Dialektika
Dengan menggunakan analogi terhdap suatu
permasalahan, metode yang digunakan oleh hanafi independen dalam artian lebih
menjurus kepada pemikiran-pemikiran individualistik, yang diikuti dengan pola
qiyas.
2. Metode Istihsan
Yaitu upaya untuk mentawaqufkan prinsip-prinsip
umum dalam sat nas desebabkan adanya nas lain yang menghendaki demikian, metode
ini dikaitkan dengan maqsid al-syari’ah.
Thaha Jabir Fayadl al Ulwani membagi cara ijtihad Abu
Hanifah menjadi dua yaitu: Cara Ijtihad yang pokok dan cara ijtihad yang
merupakan tambahan. Cara ijtihadnya yang pokok dapat diringkas sebagai berikut:
“Aku (Abu Hanifah) merujuk kepada Al-Quran
apabila aku mendapatnya, apabila tidak ada dalam Al-Quran, aku merujuk kepada
Sunnah Rasulullah SAW dan Atsar yang Shahih yang diriwayatkan oleh orang-orang
Tsiqah. Apabila tidak mendapatkan dalam Al Quran dan sunnah rasul, aku merujuk
kepada Qaul Sahabat, (apabila sahabat Ikhtikaf), aku mengambil pendapat sahabat
yang mana saja yang kukehendaki, aku tidak akan pindah dari pendapat yang satu
ke pendapat sahabat yang lain. Apabila didapatkan pendapat Ibrahim, al-Sya’bi,
dan Ibn al-Musayyab serta yang lainnya, aku berijtihad sebagaimana mereka
berijtihad.”(Thaha Jabir Fayadl Al Ulwani,1987:91)
Sedangkan cara berijtihad Abu Hanifah yang bersifat tambahan adalah:
(a) Bahwa
Dilalah lafad umum (“am”) adalah Qoth’i seperti lafadz Khash;
(b) Bahwa
pendapat sahabat yang tidak sejalan dengan pendapat umum adalah bersifat Khusus
(c) bahwa
banyaknya yang meriwayatkan tidak berarti lebih kuat (Rajih)
(d) adanya
penolakan terhadap Mafhum (makna tersirat) syarat dan sifat
(e) bahwa
apabila perbuatan Rawi menyalahi riwayatnya yang dijadikan dalil adalah
perbuatannya, bukan riwayatnya,
(f) mendahulukan Qiyas Jali atas Khabar Ahad
yang dipertentangkan
(g) menggunakan
Istikhsan dan meninggalkan Qiyas apabila diperlukan.[7]
Langkah ijtihad yang ditempuh oleh Abu Hanifah dapat
dilihat dari ungkapannya yaitu “ sungguh, saya berpegang pada Kitab Allah jika
aku dapati disana. Jika tidak saya mengambil sunnah Rasulullah Saw. Dan atsar shahihah
yang tersiar di kalangan ulama tsiqah. Jika tidak aku dapati juga di Kitab
Allah dan Sunnah Rasulullah saya mengambil pendapat sahabat yang aku kehendaki
pula. Kemudian aku tidak keluar dari pendapat mereka ke pendapat yang lain.
Bila kasus tersebut pernah diputuskan oleh orang-orang seperti Ibrahim,
al-Sya’bi, al-Hasan, Ibn Sirin, dan Sa’id al-Musayyab, maka saya akan berijtihad
juga seperti mereka telah berijtihad”.
B. Imam Malik
1. Biografi
Imam Malik (93-179 H)
Nama lengkap pendiri mazhab maliki adalah Malik
bin Annas bin Abu Amir. Lahir pada tahun 93 H = 721M di Madinah pada
perkembangan selanjutnya beliau dikenal dengan sebutan Imam Malik. Beliau wafat
pada tahun 179 H, hanya berbeda 29 tahun dengan Abu Hanifah, walaupun pada
zaman yang sama, tetapi tempatnya yang berbeda.
Pada
waktu beliau masih kecil, Malik juga belajar berdagang dan pekerjaan ini tidak
mnghalangi ia untuk menuntut ilmu fiqh kepada Alkamah bin Alkamah, disamping
itu dia juga menuntu ilmu nahwu, syair dan juga menghafal Al-Quran, beliau juga
menuntut ilmu kepada seorang ulama’ yang dikenal sangat cerdas diantara par
ulam’ lainnya yaitu Rabi’ah, Imam Malik sangat mengagumi gurunya tersebut,
karena kecerdasan dan kealimanya.
Imam
Malik belajar kepada ulama’-ulama’ Madinah, dan yang menjadi guru pertamanya
adalah Abdurrahman bin Hurmuz, beliau juga belajar kepada Nafi’ Maulana ibnu Umar,
Imam Malik diakui oleh ulama di madinah sebagai Ahli hadist, bliau menghafal
hadist sebanyak 100.000 ribu hadist.
Imam
Malik adalah seorang tokok dihijas dalam segala hal, baik fiqh, al-quran dan hadist,
Imam Malik tumbuh besar dikalangan ulama Ahlu Al-Hadist, maka hal tersebut
mempengaruhi pemikiran Imam Malik[8].
Imam Malik membangun madzhabnya di atas dua puluh dalil, sebagaimana di kutip
dari perkataan para Ulama Madzhab Maliki. dua puluh dalil tersebut yaitu:
1.
Nash Al-Qur’an
2.
Keumuman Al-Qur’an, yakni zhahir
Al-Qur’an
3.
Dalil Al-Qur’an, yakni mafhum
mukhalafahnya
4.
Mafhum Al-Qur’an, yakni mafhum
muwafaqahnya
5.
Tambih Al-Qur’an, yakni
memperhatikan illat (sebab) suatu ayat, seperti firman Allah, “Karena
sesungguhnya semua itu kotor (najis).” (Al-An’am:145)
Lima
dalil ini adalah yang bersumber dari Al-Qur’an. Sedangkan yang berasal dari
sunnah, juga sama seperti lima yang dari Al-Qur’an. Dengan demikian jumlahnya
menjadi sepuluh. Adapun yang selanjutnya:
11. Ijma’
12. qiyas
13.
Amal/perbuatan penduduk Madinah
14. Perkataan
Sahabat
15. Istihsan
16. Saddu
Dzari’ah
17.
Memperhatikan perbedaan
18. Istishab
19. Mashlahah
Mursalah
20. Syar’u man
qablana (syariat sebelum kita).
Dalam
pelaksanaannya tidak berurutan seperti yang disebutkan di atas. Qadhi Iyadh
berkata: Setelah menjelaskan susunan ijtihad sesuai dengan yang dikehendaki,
akal dan disaksikan syara’ , mendahulukan Kitabullah pada dalilnya dengan jelas
daripada mendahulukan nash-nashnya, kemudian dzahir mafhumnya. Demikian juga
sunnah menurut susunan mutawatir, masyhur dan ahad, lalu susunan nash-nashnya,
dzahir-dzahirnya, dan mafhum-mafhumnya. Kemudian Ijma’ ketika tidak ada dalam
Al-Qur’an dam sunnah mutawatir. Ketika tidak ada semua yang pokok ini maka
menggunakan Qiyas dan mengistimbatkan darinya. Qadhi Iyad berkata setelah
menjelaskan hal itu dan berhujjah dengannya: Bila Anda perhatikan pertama kali
sikap para imam dan sumber pengambilan mereka dalam fiqih dan ijtihadnya dalam
syara’, niscaya Anda dapati Malik menempuh cara ini dalam Ushulnya, susunannya,
mendahului Al-Qur’an dari pada Atsar, mendahulukan Atsar dari pada Qiyas dan I’tibar.
Meninggalkan Qiyas terhadap sesuatu yang orang-orang arif terpercaya tidak
melakukannya dengan apa yang mereka lakukan atau mendapati sesuatu dari
mayoritas penduduk Madinah yang telah melakukan yang lainnya dan
menyelisihinya, kemudian beliau menempuh cara Salaf dalam menghadapi berbagai
kesulitan. Dia mengutamakan ittiba dan tidak menyukai bid’ah.
Dapat
di pahami bahwa Imam Malik secara umum mengikuti cara orang-orang Hijaz dengan
menetapkan Atsar selagi memungkinkan dan tidak menyukai perluasan masalah
dan memaparkannya sebelum terjadi.
2. Murid dan Guru Imam Malik
Guru-guru
imam malik sangat banyak, kebanyakan berasal dari antara lain:
a.
Abdurrahman bin Hurmuz
b.
Nafi’ Maulan ibnu Umar
c.
Abnu Shihab Az-Zuhri, dan lain-lain
Adapun
murid-muridnya adalah :
a.
abumuhammad abdullah bin wahab
b.
asbah bin farj
c.
imam syafi’i
d.
muhammad bin ibrahim, dan lain-lain
3. Dinamika Tarikh Tasyri’ Pada Masa Imam Malik
Ditangah
bekembangnya Mazhab hanafi, Imam Maliki memosisikan diri sebagai ulama’ Ahlu
Al-Hadist, yang berpijak kepada tekstualitas dan memasukkan beberapa konsep
Dhuruf wa Al-Hal serta diikuti dengan maslahah mursalah. Fikiran Imam
Malik pada keseluruhannya hampir sama dengan ulama’ di iraq, khusunya dalam
ketergantungannya baik dalam praktek yang dipandang ideal maupun dalam tradisi
yang hidup dari para ulama.
Tujuan
imam malik adalah ingin mengemukakan doktrin-doktrin yang deterima dari
kalangan ulama’ madinah dan begitu jauh konsep-konsepnya didasari pada pemikiran
perorangan dan wakil aliran madinah tersebut. Didalam menggabungkan penggunaan
fikiran dengan ketergantungan kepada tradisi yang hidup, Malik menampakan
cirikhas madinah, sehingga fiqh yang di karang olehnya Imam Maliki dilatar
belakangi oleh background madinah.
Dalam
berbagai hal banyak ditemui bahwa pemikiran imam malik banyak diilhami oleh
tradisi masyrakat madinah yang didasari pertimbangan-pertimbangan yang matang.
Masyarakat
penduduk madinah banyak menerima fatwah-fatwah imam maliki walaupun kondisi
masyarakat yang beragam aliran, ada beberapa fakto yang mempengaruhi
fatwah-fatwah imam malik antara lain, budaya, sifat, dan kondisi masyarakat
pada masa itu yang plural, sehingga imam malik menggunakan tiori maslahah
mursalah.
4. Sumber-Sumber Hukum Imam Maliki
Dalam
menentukan hukum-hukum, imam maliki memeberi runtutan pengambilan sumber hukum,
adapun sumber-sumber hukum yang digunakan imam malik antara lain:
1.
Al-Quran
2.
Hadist (yang berkwalitas shahih dan
masyhur)
3.
Ijma’ (amalan ulama’ madinah ketika
itu)
4.
Qiyas (analogis)
5.
Maslahah mursalah (kepentingan umum)
Konsep
maslahah mursalah[9]
yang di gunakan oleh imam malik di dasari oleh kondisi masyarkat madinah,
walaupun banyak para ulama yang tidak setuju dengan penggunaan metode maslahah
mursalah dikarenakan tidak ada dalil yang menunjukkan terhadap metode tersebut.
Imam
malik lebih banyak menggunakan ijma’ dalam menentukan sebuah hukum, khusunya
hokum-hukum baru yang tidak terdapat didalam alqu’an dan hadist.
5. Metode Ijtihad Imam Malik
Hal-hal
yang membuat metodenya istimewa, yang memberi pengaruh dalam perluasan lapangan
perselisihan/perbedaan di antara dia dan yang lainnya, yaitu:
1)
Amal/perbuatan Penduduk Madinah,
adalah sebagai hujjah bagi Malik dan didahulukan dari pada Qiyas dan Khobar
Ahad.
2)
Mashlahah Mursalah Istishlah yaitu
kemaslahatan-kemaslahatan yang tidak diperlihatkan oleh syara’ kebatalannya dan
tidak pula disebutkan oleh nash tertentu dan dikembalikan pada pemeliharaan
maksud syara’ yang keadaan maksudnya dapat diketahui dengan Al-Qur’an, Sunnah,
Ijma dan tidak diperselisihkan mengikutinya kecuali ketika terjadi pertentangan
dengan maslahat lain. Maka ketika seperti ini Malik mendahulukan beramal
dengannya.
3)
Perkataan Sahabat
4)
As-Sunnah
5)
Beliau berpendapat menggunakan
istihsan dalam berbagai masalah, seperti jaminan pekerjaan, menolong pemilik
dapur roti dan mesin giling, bayaran kamar mandi bagi semua orang itu sama dan
pelaksanaan Qisas harus menghadirkan beberapa orang saksi dan sumpah; hanya
saja Malik tidak meluaskan dalam pendapatnya tidak seprti madzhab Hanafi.
C. Mazhab Imam Syafi’i
1. Biografi Imam Syafi’i (150-204 H)
Mazhab
ini dibangun oleh imam Abu A’dullah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Syafi’i,
beliau di juluki Imam Syafi’i karena kakeknya bernama Syafi’i, Imam Syafi’i adalah
keturunan Bani Hasyim yang memiliki nasab kepada Rasul, beliau lahir di gazah
pada tahun 150 H dan wafat di mesir pada tahun 204 H[10]
pada saat imam berumur 52 tahun.
Setelah
ayahnya meninggal pada saat Imam Safi’i berumur hampir 2 tahun maka ibunya
membawa Imam Syafi’i ke gazah karena dikhawatirkan kalau dia tinggal di gazah
maka nasabnya dengan kaum Quraisy akan hilang sehingga Imam Syafi’i tidak dapat
memperoleh pendidikan yang semestinya, pada saat itu keturunan quraisy sangat di junjung tinggi,
dan orang-orang Quraisy adalah keturunan atau masih memilki hubungan dengan
Rasul Saw, sehingga segala kebutuhan pasti dibantu oleh kaum Quraisy, dilatar
belakangi hal tersebut maka Imam Syafi’i pindah ke mekkah.
Imam
Syafi’i dikenal sangat pintar dalam segi keilmuan agama, hafalannya yang tajam
dan kuat, sehingga pada umur 7 tahun beliau sudah menghafal Al-Quran, dan pada
waktu menuntu ilmu Imam Syafi’i juga dapat mengulangi apa yang telah
disampaikan oleh gurunya, setiap kali gurunya menjelaskan beberapa materi imam
syafi’i selalu mencatatnya dan menghafalnya.
Jika
kita telusuri sejarah perjuangan yang dilakukan oleh Imam Syafi’i untuk mencari
ilmu pengetahuan, maka itu semua tidak luput dari keserisusan dan semangat
beliau untuk menjadi yang lebih baik. Kepribadian imam syafi’I yang suka
merantau dari suatu daerah ke daerah yang lain hanya untuk mencari ilmu, itu
dapat dicermati dalam syairnya :
Merantaulah
! pasti kamu akan mendapat ganti atas apa yang engkau tinggalkan
Maka
tinggalkanlah kampung halaman dan merantaulah,
sehingga dengan
berbekal keberanian Imam Syafi’i melakukan rihlahnya ke berbagai daerah, rihlah
dilakukan beliau antara lain ke Madinah, Mekkah, Iraq, Yaman[11].
Pada
saat Imam Syafi’i berumur 20 tahun, beliau pergi ke Mekah Al-Mukarramah untuk
menuntut ilmu fiqh kepada seorang ulama’ besar yaitu Syekh Muslim bin Khalid
yaitu imam masjidil haram. Setelah menggali ilmu fiqh dari Muslim bin Khalid, Imam
Syafi’i melanjutkan rihlahnya ke Madina dengan tujuan menuntut ilmu kepada
ulama’ terkemuka yaitu Imam Malik ( tekstual normatif) dengan kitab
fiqihnya yang terkenal Al-Muwattaq. Imam Syafi’i dapat menghafal dengan waktu
yang singkat semua kitab Al-Muwattaq Imam Malik. Karena merasa belum puas
dengan keilmuannya, Setelah memguasai kitab Al-Muwattak. Syafi;I melanjutkan
rihlahnya ke Iraq berguru kepada imam terkemuka disana yaitu Imam Abu Hanifah (rasionalistis),
Imam
Syafi’i mencoba mengkolaborasikan pendapat, pola fikir dan fiqh kedua Imam
tersebut, antara Ahlul Al-Hadist (tesa) dan Ahlul Ar-Ra’yu
(antitesa). Jadi dapat dikatakan bahwa Imam Syafi’i adalah sintesa dari dua
Imam tersebut. Setelah berguru kepada Abu Hanifah, Syafi’i melanjutkan
rihlahnya ke yaman untuk berguru disana, karena keterbatasan dana Imam Syaf’i’i
mencari kerja di yaman, dengan bantuan temannya beliau diangkat menjadi hakim
di Yaman, tetapi itu hanya sebentar saja, lalu beliau kembali ke mekkah.
2. Guru dan Murid Imam Syafi’i
Imam
safi’I adalah imam yang ke tiga setelah Imam Malik, Hanifah dan Safi’i.
didorong dengan kemauan yang kuat maka beliau berkelana mencari guru-guru yang
terkenal di setiap kota, sehingga Imam Safi’i dapat menggali keilmuan dari
beberapa gurunya antara lain:
1.
Di Makkah antara lain:
a.
Muslim bin Khalid Az-Zanji
b.
Isma’il bin Qistanti
c.
Sofyan bin Ujainah
d.
Sa’ad bin Abi Salim
e.
Daud bin Abdurrahman
f.
Abdullah bin Nafi’
2.
Di Madinah :
a.
Imam Malik
b.
Ibrahim ibnu Sa’ad
c.
Abdul Azis bin Sa’id
d.
Ibrahim ibnu Abi
e.
Muhammad bin Sa’ad
f.
Abdullah bin Naïf
3.
Di Iraq :
a.
Waqi’ bin Jarra
b.
Humad bin Usamah
c.
Ismail bin Ulyah
d.
Abdul Wahhab bin Abdul Majid
e.
Muhammad bin Hasan
4.
di Yaman :
a.
Mathraf bin Mazin
b.
Hisyam bin Abu Yusuf
c.
Umar bin Abi Salamah
d.
Yahya bin Hasan
e.
Qadhi bin Yusuf
Sedangkan
murid-muridnya antara lain:
1. Di Bagdad :
a.
Abu Ali Al-Hasan
b.
Ahmad bin Hambal
c.
Ishaq bin Rabuyah
2. Sedangkan
muridnya yang ada di Mesir:
a.
Abu Usman
b.
Abu Hanifah
c.
Abu Bakr Al Khumaini
Sebenarnya
masih banyak lagi murid dan guru Imam syafi’I yang berasal dari madinah, makkah,
iraq, dan yaman, tetapi kami hanya menulis sebagian kecil saja sebagai penguat
dari histories Imam syafi’i.
3.
Dinamika Tarikh Tasyri’ Pada Masa
Imam syafi’i (767-820 M)
Pada
awal terbentuknya Mazhab Imam Syafi’i bertepatan dengan awal pertengahan
Khalifah Bani Abbas berkisar antara kekhalifahan Abu Ja’far Almansur (754-775
M) dan Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M)[12].
Pola
penalaran Imam syafi’I yang sangan kompleks dalam menyikapi dua aliran mazhab
tersebut. Imam syafi’I dipandang seorang aggota aliran Madinah dan berjasa
dalam keberhasilan Ahli Hadist dan hukum islam dengan bukti emperik yang telah
di berikan oleh syafi’i yantu kitab Ar-Risalah yang memuat tentang Al-Qur’an,
Al-Hadist dan Usul Fiqh, walaupun pada dasarnya banyak yang membantah tentang
eksistensi Usul fiqh di dalam kitab Ar-Risalah[13].
Imam
Syafi’i berusaha mengembangkan eksinitas hukum yang bisa menjawab permasalahan-permasalahan
pada masa itu khususnya di Mesir dan Iraq, dengan mempelajari fiqh-fiqh Imam
Malik dan Hanafi, Imam Syafi’i memperoleh perbandingan dan mengetahui kelemahan-kelemahan
kedua Imam tersebut[14],
maka Imam Syafi’i berusaha menciptakan yang lebih kompleks dari kedua imam
tersebut. Prinsip dasarnya produk-produk fiqh Imam Syafi’i masih berbau
pemikiran Imam Maliki dan Hanafi, karena bertapapun pengaruh gurunya imam Malik
ulama’ madinah yang Ahli ‘Ubudiah dan Imam Hanafi ulama hijaz (Sufi)
tidak bisa hilang dari muridnya.
Pada
prinsipnya Imam Syafi’i hanya mengakui cara berfikir analogis dan sistematis
yang terbatas, tidak menerima pendapat-pendapat arbitrer dan
ketetapan-ketetapan yang bebas[15],
ini merupakan suatu pembaharuan penting dengan pembaharuan tersebut teori hukum
Syafi’i sangat berbeda dengan teori aliran hukum lama, dalam menerima hadist
Imam Syafi’i tetap mengikuti aliran lama yaitu guru-gurunnya, dan dia hanya
mengambil prinsip yang hanya menimbulkan ketidak fleksibelan. Berkenaan dengan
hadist Nabi, Imam Syafi’i lebih teliti dalam memilahnya, dia hanya menggunakan
hadist mutawatir dan ahad saja yang dijadikan sebagai sumber hokum ke dua
setelah Al-Quran.
Masyarakat
pada masa itu sudah mengalami kemajuan yang pesat dari segi keilmuan, sastra,
budaya, perekonomian dan biro-biro pemerintahan[16].
Dibidang keilmuan sudah mulai menterjemahkan buku-buku keilmuan romawi kedalam
bahasa Persia, dari segi sastra telah muncul seni-seni ukir dan lukis,
perekonomianpun sudah tertata dengan baik selaras dengan berjalannya biro-biro
pemerintahan seperti lembaga peradilan dan yang lainnya.
Padamulanya
Imam Syafi’i hanya mengarang kitab usul fiqh yang diberi nama Ar-Risalah
yang dikarang oleh beliau di iraq, kitab ini ditulis atas permintaan
Abdurrahman bin Al-Mahdi di makkah yang meminta penjelasan kepada imam Syafi’i
tentang suatu kitab yang mencakup keilmuan Al-Quran, Hadist, Ijma’ dan Qiyas.
Setelah ditulis oleh Imam Syafi’i yang di Bantu oleh murid-muridnya lalu
dikirim ke Abdurrahan bin Al-Mahdi di Makkah, di kerenakan kitab tersebut
dikirim ke makkah maka kitab yang dikarang olek Syafi’i diberi nama Ar-Risalah
qadimah (Qaul Qadim[17]).
Sebagai
bapak ilmu usul fiqh, Imam Safi’i sangat berjasa dalam penerapan hukum islam terkait
dengan keilmuan dan keluasan berpikir, ketertarikan konsep yang ditawarkan oleh
imam Syafi’i memicu daya tarik dari kalangan imam-imam yang ada di Iraq, Mesir,
Yaman dan Makkah. sehingga proses penyebaran Mazhab Syafi’i sangat pesat.
Setelah
Syafi’i berada di Iraq beliau pindah ke mesir, di mesir Syafi’i juga menulis
sebuah kitab fiqh yang dikenal dengan Qaul Jadid[18]
yaitu fiqh yang disesuaikan dengan kondisi orang-orang yang ada di mesir
Pada
masa ini perkembangan tasyri’ sudah berjalan dengan baik, pengadilan-pengadilan
sudah terbentuk, pembukuan kitab-kitab fiqh mulai beredar. Buku-buku yang notabennya
banyak dikarang oleh kaum lelaki, factor tersebut menyebabkan dari kalangan
wanita tidak begitu berperan dalam perkembangan keilmuan, tetapi tetap saja
pengaruh dan kondisi orang arab yang keras dan masih berbau badui dan mazhab
yang berbeda mewarnai perjalanan tasyri’ pada masa itu.
4. Sumber-Sumber
Hukum Imam Syafi’i
Pengetahuan-pengetahuan
untuk menggali hukum diperlukan keilmuan tentang dalil-dalil, tentang perintah
dan larangan. Pengetahuan-pengetahuan ini diakumulasikan melalui asas-asas
tertentu sehingga tersusun dengan baik. Asas-asas yang di maksud misalnya asas
tasyri’. Pengetahuan tentang dalil tidak berdiri sendiri melainkan berkaitan
dengan daya nalar fikir dan daya kepahaman dalam menggali hukum tersebut,
begitu juga yang dilakukan oleh Imam Syafi’i, dalam menggali hukum Sari’ah, Imam
Syafi’i hanya menggunakan empat macam, hal ini di utarakan Imam Syafi’i dalam kitab
Ar-Risalah:
a)
Al-Qur’an
b)
Al-Hadist
c)
Ijma’
d)
Ra’yu (Qiyas)
1. Al-Qur’an
Konsep
Al-Quran menurut para ulama’ dan Syafi’i sama yaitu suatu sumber hukum yang
mutlaq, ini adalah landasan dasar, karena tidak mungkin di dapati perbedaan
dalamnya baik lafald dengan lafald[19].
Pemahaman Imam Syafi’i dikuatkan dengan firman allah (QS. 2:132). “Dan
taatilah Allah dan rasul, supaya kamu diberi rahmat”
Dalam
menggali hukum didalam Al-Quran Imam Syafi’i lebih menekankan kepada keilmuan
bahasa sebagi mana yang telah beliau utarakan bahwa Al-Quran diturunkan dengan bahasa arab dengan tujuan
agar mudah dipelajari dan dipahami tidak mungkin terdapat lafadz-lafadz ‘ajam[20]. Imam Syafi’i selalu mencantumkan
ayat-ayat Al-Quran setiap kali beliau berfatwah, namun Safi’i menganggap bahwa Al-Quran
tidak bisa dilepaskan dari Al-Sunnah, karena kaitan antara keduanya sangat erat[21].
Gagasan
yang meyangkut keluasan bahasa, pada kenyataannya ia ingin mengatakan bahwa
bahas arab tidak mungkin dapat dikuasai dengan sempurna kecuali Nabi, telah
kita ketahui bersama bahwa penukilan Al-Quran telah dikenal adanya penukilan Mutwatir
dan penukilan Ahad. Imam Syaf’i membenarkan penukilan Mutawatir kaitan untuk
diamalkan dan di jadikan hujjah.[22]
2. Al-Sunnah
Arti
sunnah yang biasanya disebut dalam Ar-Risalah adalah “khabar”[23]
dalam arti istilah ilmu hadist adalah berita, bentuk jama’nya adalah khabar
dalam artian yag keseluruhannya datang dari Nabi atau selainnya, penggunaan
khabar lebih luas dari pada hadist[24].
Pemahaman
Syafi’i tentang hadist adalah segala bentuk :
a)
Al-Aqwal Nabi
b)
Al-Af’al Nabi
c)
Al-Taqdiru Nabi ’ala amrin
untuk
hadist Nabi Imam Syafi’i hanya menggunakan hadist yang bersifat Mutawati dan Ahad,
sedangkan untuk hadist yang dhaif hanya digunakan untuk li afdhalil amal, dalam
menerima hadist ahad mazhab Syafi’i mnsyaratkan[25]:
1. Perawinya
tsiqah dan terkenal shidiq
2.
Perawinya cerdikdan mahami hadistyang diriwaytkannya
3. Perawinya
engan riwayat bi lafdhi bukan dengan riwayat bilmakn.
4. Perawinya
tidak mnyalahi ahl-ilmi
Kalau
kita perhatikan, persyaratan yang di syaratkan oleh Syafi’i hanya untuk
keshahihan suatu hadist, hadist ahad yang diterimanya sebatas kalau hadist
tersebut sahih dan bersambung.
Factor
yang melatarbelakangi Syafi’i lebih teliti dalam menerima hadist karena sesudah
Nabi wafat banyak dari kelangan aliran politik yang membuat hadist-hadist palsu
untuk menguatkan posisinya sebagai pemimpin. Dan hadist pun bisa di atur dan di
ubah sesuai denegan kenginan pemimpin.
3.Ijma’
Ijma’
yang dimaksud oleh Syafi’i adalah ijma’nya para sahabat, dalam arti perkara
yang di putuskan oleh para sahabat dan di sepakati, maka itu menjadi sumber hukum
yang ketiga jika tidak ada didalam nash baik Al-Quran maupun hadist, contoh ijma’
yaitu shalat terawih 20 raka’at. Jika terjadi perbedaan diantar para sahabat,
maka Imam Syafi’i memilih pendapat yang lebih dekat kepada Al-Quran dan sunnah[26].
Ijma’
menurut para ulama’ menempati posisi ketiga setelah Al-Quran dan Hadist, begitu
juga dengan Syafi’i, konsep ijma’ yang di tawarkan oleh Syafi’i mengharuskan
merujuk kepada dalil yang ada yaitu Al-Kitab dan Al-Sunnah yang memiliki
hubungan kepada qiyas, alasan yang di utarakan oleh Syafi’i kenapa ijma’ harus
disandarkan kepada nash. Petama, bila ijma’ tidak dikaitkan kepada dalil
maka ijma’ tersebut tidak akan sampai kepada kebenaran. Kedua, bahwa
para sahabat tidak lebih benar dari pada nabi, sementara nabi tidak pernah
menetapkan hukum tanpa mengkaitkan dengan dalil-dalil Al-Quran. Ketiga,
pendapat agama tanpa dikaitkan kepada dalil maka itu adalah salah besar Keempat,
pandapat yang tidak dikaitkan dengan dalil maka tidak diketahui hokum
syara’ nya[27].
4. Qiyas
Qiyas
menurut para ahli hukum islam berarti penalaran analogis, yaitu pengambilan
kesimpulan dari prinsip tertetu, perbandingan hukum permasalahan yang baru
dibandingkan dengan hukum yang lama, contoh yang diberikan oleh Imam Syafi’i,
zakat beras, tulang babi dan lain-lain.
Imam
Syafi’i sangat membatasi pemikiran analogis, qiyas yang dilakukan oleh Syafi’i tidak
bisa independent karena semua yang diutarakan oleh Syafi’i dikaitkan dengan
nash Al-Quran dan Sunnah.
5. Metode Ijtihad Imam Syafi’i
Dalam
berijtihad Imam Syafi’i menggunakan pemikiran-pemikiran yang jeli dan teliti,
kita lihat model ijtihadnya sebagai berikut :
1.
Metode induktif (Istiqra’i)[28]
Metode
ini lebih menekankan kepada penelitian fakta lapangan, cara ini pernah
dilakukan oleh Imam Syafi’i dalam menentukan waktu terpanjang dan terpendek
bagi wanita yang lagi haid, dalam menentukan waktu tersebut Imam Syafi’i
melakukan penelitian kepada beberapa wanita yang ada di mesir, hasil penelitian
tersebut dihasilkan data yang beragam, ada yang satu hari satu malam, ada yang
sepuluh hari dan lima belas hari. Dari data tersebut Imam Syafi’i menyimpulkan
bahwa paling cepat masa haid adalah satu hari dan paling lama adalah lima belas
hari.[29]
2. Metode
dialektika (Jadali)[30]
Terkait
dengan hukum menikahi anak dari hasil perzinahan,Dalam menetapkan hokum ini
syafi’I meruju’ kepada firman allah yaitu surat An-Nisa’ ayat 23, “Diharamkan
kepada kamu menikahi ibu-ibumu, anak-anak (perempuanmu)”
Imam
Syafi’i memberi devinisi bahwa yang diharamkan adalah anak dari istri yang
telah kamu kawini dengan halal bukan dengan perbuatan haram, jadi kamu boleh
menikahi anak istrimu dari hasil perbuatan zina antara kamu dan istrimu,
dikarenakan dia bukan anak istrimu yang syah, dan dia tidak memiliki nasab
dengan kumu(suami), tetapi kebolehan yang diberikan oleh Imam Syafi’i adalah
kebolehan dalam arti Makruh.
Jawaban
yang diberikan oleh Imam Syafi’i menjelaskan, bahwa Syafi’i berusaha memberikan
suatu eksistenti kekuatan daya nalar terhadap penggalian hukum.
D. IMAM MADZHAB HAMBALI
1. Biografi Imam Ahmad ibn Hambal
Beliau
bernama Abu Abdillah Ahmad ibn Hambal ibn Hilal Ibn Asad al-Syaibani
al-Marwazi. Ia lahir di Baghdad pada Tahun 164 H, dibesarkan dan wafat disana
pada Tahun 231 H. [31]
Ahmad ibn Hambal dilahirkan ketika kekalifahan dipegang oleh Musa Al-Mahdi dari
kalangan Abbasiyah. Musa al-Mahdi meninggal dan digantikan oleh Harun Ar-Rasyid
(170-194H), Harun Ar-Rasyid digantikan oleh Al-Amin (194-198 H), Al-Amin
digantikan oleh al-Makmun ( 198-218 H). Al-Makmun adalah khalifah yang
menjadikan Mu’tazilah sebagai Madzhab Negara. Karena Imam Ahmad Ibn Hambal ini
tidak memiliki pemikiran yang sejalan dengan Mu’tazilah, sehingga beliau
mendapatkan penyiksaan bahkan dipenjarakan. Hal itu diketahui ketika Imam Ahmad
diajukan pertanyaan tentang apakah Firman Tuhan (Al-Qur’an) adalah makhluk.
Akan tetapi beliau tidak sependapat dengan menjawab bahwa Al-Qur’an bersifat
Qadim dan bukan Makhluk. Karena menurut Mu’tazilah bahwa Al-Qur’an adalah baru,
dan tidak bersifat qadim[32].Keberanian
mempertahankan keyakinan ini disamping membawa resiko juga membawa keuntungan ,
yaitu membuatnya mempunyai banyak pengikut di kalangan umat Islam yang tak
sepaham dengan kaum Mu’tazilah. Karena itu kendati banyak Ulama’ yang menjalani
hukuman mati , Al-Mu’Tashim dan Al-Watsiq tidak berani menjatuhkan hukuman mati
terhadap Imam Ahmad karena takut menimbulkan kekacauan. Akhirnya Al-Mutawakkil
kahlifah berikutnya menghapuskan pemaksaan paham Mu’tazilah.
2. Guru dan Murid Imam Hanbali
Adapun
guru imam hanbali adalah
a.
Muhammad ibn Idris Al-Syafi’i
b.
Hasyim
c.
Abu Yusuf
d.
Ibrahim Ibn Sa’ad
e.
Sufyan Ibn Uyainah
Dan
murid-muridnya antara lain :
a.
Shalih ibn Ahmad Ibn Hambali
b.
Abdullah Ibn Ahmad Ibn Hambali
c.
Ahmad ibn Muhammad ibn Hani abu
Bakar
d.
Abdul malik Ibn Abd Al-Hamid
e.
Ahmad Ibn Muhammad IbnAl-Hajjaj
3. Dinamika Tarikh tasryi’ Pada Masa Imam
Hambali
Sebagaimana
diketahui bahwa Imam Ahmad dilahirkan di Baghdad, kemudian melakukan perjalanan
ke berbagai daerah. Daerah yang pernah dikunjungi adalah Kufah, Bashrah, Mekah,
Madinah, Syam, dan Yaman. Perjalanan ini dilakukan untuk belajar dan
mengumpulkan Hadist, karena perjalanan yang begitu luas dalam mengumpulkan
hadist Imam ibn Hambal menurut beberapa ulama’ dikenal dengan ahli hadist bukan
imam Fiqh. Akan tetapi Imam Ahmad memiliki salah satu guru dalam belajar ilmu
Fiqih yang berkesan yaitu Imam Syafi’I yang dijumpainya di Baghdad. Ia pun
menjadi murid Imam Syafi’I yang terpenting bahkan menjadi seorang mujtahid
mandiri. Orang yang belajar hadist akan mengenalnya seperti halnya orang yang
belajar ilmu fiqh. Karena belajar kepada Imam Syafi’I, para pengikut Imam
Syafi’I menilai bahwa Ahmad Ibn Hambal adalah pengikut Imam syafi’I, meskipun
dalam kasus tertentu ia berijtihad sendiri. Selain Imam Syafi’I yang dikenal
menjadi guru Imam Ahmad adalah Abu Yusuf yaitu murid dan penerus Madzhab
Hanafi. Akan tetapi dalam proses Tasyri’ Imam Hambali banyak.
Terpengaruh
oleh Imam Syafi’I, yang masih nelakukan pendekatan tekstual, tidak seperti imam
Hanafi yang menggunakan Ra’yu dan Qiyas dalam mengistinbathkan hukum.
4. Sumber-Sumber Hukum Madzhab Hambali
Pendapat-pendapat
Ahmad ibn Hambal dibangun atas lima dasar yaitu sebagai berikut :
- Al-Nushush dari Al-qur’an dan Sunnah.
Apabila telah ada ketentuan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, ia berpendapat
sesuai dengan makna yang tersurat , makna yang tersiratnya ia abaikan.
- Apabila tidak didapatkan dalam Al-qur’an
dan Sunnah ia menukil fatwa sahabat memilih pendapat sahabat yang
disepakati sahabat lainnya.
- Apabila fatwa sahabat berbeda-beda ia
memilih salah satu pendapat yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan
As-Sunnah.[33]
- Imam Ahmad mengambil hadist mursal dan
Dhaif sekiranya tidak ada dalil yang menghalanginya. Dimaksud dengan Dhaif
disini bukan Dhaif yang batil dan yang mungkar. Tetapi Dhaif yang
tergolong sahih atau hasan. Dalam pandangan imam ahmad, hadist itu tidak
terbagi atas sahih, hasan dan dhaif, tetapi terbagi atas dua yaitu shahih
dan dhaif saja. Pembagian hadist menjadi shahih, hasan dan dhaif
dipopulerkan oleh al-Tirmidzi (209-279 H). Karenanya tidak mengherankan kalau di masa Imam
Ahmad pembagian hadist masih kepada shahih dan dhaif. Hadist dhaif ada bertingkat-tingkat.
Yang dimaksud dhaif tadi adalah pada tingkat yang paling atas. Menggunakan
hadist semacam ini lebih utama daripada menggunakan Qiyas. [34]
- Qiyas adalah digunakan dalam keadaan
darurat yaitu bila tidak ada “senjata” yang disebut sebelumnya.
5. Metode Ijtihad Imam Ahmad ibn Hambal
Metode
yang di kembangkan oleh ahmad bin hambal adalah Metode Dialektika hal ini dpat
kita lihat cara beliau menjelaskan tentang seatu hukum, Fiqih Imam Ahmad
menjelaskan tentang syarat-syarat penegakan sanksi potong tangan. Dari sisi
pelaku pencurian, syarat-syarat yang meski dipenuhi adalah pencurinya sudah
mukallaf, dapat memilih, merdeka, dan budak pemilik, meskipun Syubhat.
Sedangkan syarat dari segi benda adalah benda yang dicurinya berupa harta dan
sudah mencapai nishab.Menurut Ahmad ibn Hambal, nishab harta curian yang
pencurinya harus dikenai sanksi potong tangan adalah ¼ dinar atau 3 Dirham.
Dalam
bidang pemerintahan Imam Ahmad berpendapat bahwa khalifah yang memimpin adalah
dari kalangan Quraisy sedangkan taat kepada khalifah adalah mutlak. Imam Ahmad
berpendapat :
“Mendengarkan
dan taat kepada para imam dan amirul mu’minin (adalah wajib), baik ia seorang
yang baik maupun Fajir”
Dalam
bidang Mu’amalah, terutama tentang Khiyar al-Majlis. Imam Ahmad berpendapat
bahwa jual beli belum dianggap lazim (meskipun telah terjadi ijab dan qabul)
apabila penjual dan pembeli masih dalam satu ruangan yang di tempat itu akad
dilakukan. Apabila keduanya atau salah satunya tidak di tempat itu lagi
(berpisah) maka akad sudah lazim. Alasannya adalah hadist riwayat Nafi’ dan
‘Abdullah ibn Umar r.a yang menyatakan bahwa nabi Muhammad Saw bersabda :
“Setiap
penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar (pilih) selama keduanya belum berpisah
“
Selanjutnya, tokoh yang membaharui dan
melengkapi pemikiran Madzhab Hambali, terutama di bidang Mu’amalah adalah
Syeikh al-Islam Taqiyudin Ibn Taimiyah (wafat 728 H) dan Ibn Al-Qayim
al-Jauziyyah (Wafat 751 H) murid ibn Taimiyyah. Tadinya pengikut Madzhab
Mahbali tidak begitu banyak, setelah dikembangkan oleh dua tokoh tersebut maka
madzhab Hambalimenjadi semarak terlebih setelah dikembangkan lagi oleh Muhammad
bin Abdul Wahab (wafat 1206 H). dan kini menjadi Madzhab resmi pemerintah Kerajaan
Saudi Arabia.
E. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Berkembangnya
Empat Mazhab
Ada
beberapa faktor yang menyebabkan berkembangannya mazhab para imam-imam tersebut
antara lain:
1.
Pendapat-pendapat imamnya itu
dikumpulkan dan dibukukan, hal ini tidak terdapat pada salah satu imam salaf
atau mazhab-mazhab yang lain.
2.
Adanya murid-murid mereka yang
berusaha menyebarluaskan pendapat-pendapat mereka.
3.
Adanya kecendrungan imam-imam muslim
(penguasa) agar keputusan suatu perkara diberikan oleh hakim yang berasal dari
imam mazhab[35].
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama yang luas ilmunya dan sempat pula
menambah pengalaman dalam masalah politik, karena di masa hidupnya ia mengalami
situasi perpindahan kekuasaan dari khlifah Bani Umayyah kepada khalifah Bani
Abbasiyah, yang tentunya mengalami perubahan situasi yang sangat berbeda
antarta kedua masa tersebut. Madzhab Hanafi berkembang karena kegigihan
murid-muridnya menyebarkan ke masyarakat luas, namun kadang-kadang ada pendapat
murid yang bertentangan dengan pendapat gurunya, maka itulah salah satu ciri
khas fiqih Hanafiyah yang terkadang memuat bantahan gurunya terhadap ulama
fiqih yang hidup di masanya.
2.
Imam
Malik adalah seorang tokok dihijas dalam segala hal, baik fiqh, al-quran dan
hadist, Imam Malik tumbuh besar dikalangan ulama Ahlu Al-Hadist, maka
hal tersebut mempengaruhi pemikiran Imam Malik
3.
Dalam menggali hukum didalam
Al-Quran Imam Syafi’i lebih menekankan kepada keilmuan bahasa sebagi mana yang
telah beliau utarakan bahwa Al-Quran
diturunkan dengan bahasa arab dengan tujuan agar mudah dipelajari dan
dipahami tidak mungkin terdapat lafadz-lafadz ‘ajam[36]. Imam Syafi’i selalu mencantumkan
ayat-ayat Al-Quran setiap kali beliau berfatwah, namun Safi’i menganggap bahwa
Al-Quran tidak bisa dilepaskan dari Al-Sunnah, karena kaitan antara keduanya
sangat erat[37].
4.
Imam ibn Hambal menurut beberapa
ulama’ dikenal dengan ahli hadist bukan imam Fiqh. Akan tetapi Imam Ahmad
memiliki salah satu guru dalam belajar ilmu Fiqih yang berkesan yaitu Imam
Syafi’I yang dijumpainya di Baghdad. Ia pun menjadi murid Imam Syafi’I yang
terpenting bahkan menjadi seorang mujtahid mandiri.
5.
B. Saran dan Kritik
Dengan selesainya makalah ini kami sadar bahwasanya makalah kami ini masih jauh
dari kesempurnaan, karena masih banyak kekurangan dan kesalahan baik dar segi
materi pembahasan maupun ejaan kata, maka dari itu kami mengharapkan adanya
saran dan kritik yang membangun dari pembaca agar di kemudian hari kami dapat
menyusun makalah lebih baik lagi. Harapan kami makalah ini dapat bermanfaat
untuk menambah wawasan mengenai salah satu periodisasi yang ada dalam sejarah
tasyri’. Amien.
DAFTAR PUSTAKA
sAli, M. Hasan. Perbandingan Mazhab.
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995)
Ameanah,
Abu Bilah Philip.Asal-Usus dan Perkembangan Fiqh. (Bandung: Nusa Media,
2005)
Tahido
Yanggo, Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997)
Mubarok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam,
(Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2003)
Al-Jamal, Hasan.
Biografi 10 imam Besar. (Jakarta: Pustaka Al-Kaustar, 2003)
Al Mansur, Asep Saifuddin.
Kedudukan mazhab dalam syari’at islam. Jakarta: pustaka Al-Husna, 1984)
Abbas,
Siradjuddin. Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i.( Jakarta: Pustaka
Tarbiah,.1994)
Khalil,
Rasyad Hasan. Abdul Fatah Abdullah Al-Barsumi. Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami.(
Beirut: Dar Al-Fikr, Tanpa tahun)
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004)
B.
Hallaq, Wael. Melacak Akar-Akar Kontroversi Dalam Pemikiran Hukum Islam.
(Surabaya: Sribandi, 2005)
Hanafi,
Ahmad. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. (Jakarta: Bulan Bintang,1995)
Schacht, Joseph. Pengantar Hukum Islam. (Jakarta: Departemen
Agama, 1985)
K. Hitti, Phillip. Historis
Of The Arabs. (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006)
Mu’alim, Amir. Yusdani. Konfigurasi Hukum Islam.(Jakarta: UII
Pres, 2004)
Al-Ruhaili, Wahbah. Usul Fiqh Al-Islamiyah. (Damsyik: Dar
Fiqr, 1996)
Syafi’I, Rahmat. Usul Fiqh. (Bandung: CV Pustaka Setia,
1998)
Roibin.
Sosiologi Hukum Islam (Telaah Sosio-Historis pemikiran Syafi’i).
(Malang: UIN Malang, 2008)
Al-Qathan,
Manna. Mabahits Fi Ulumu Al-Hadist.(terj oleh Mifdhol Abdurrahman). (Jakarta:
Pustaka Al-Kautar)
[1]
Asep Saifuddin Al-Mansur. Kedudukan Mazhab dalam Syari’at Islam .(
Jakarta:Pustaka Al-Husna, 1984), 40
[3]
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1997), 95
[4]
M. Ali Hasan. Op.Cit.188.
[5]
Jaih Mubarok, Sejarah dan
Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2003), 75-76.
[6]
Abu Ameanah Bilah Philip.Asal-Usus dan Perkembangan Fiqh. (Bandung: Nusa
Media, 2005), 88
[8]
Hasan Al-Jamal. Biografi 10 imam Besar. (Jakarta: Pustaka Al-Kaustar,
2003), 37
[9]
Adanya mamfaat baik secara asal maupun melului suatu proses, seperti
manghasilkan kenikmatan dan faedah ataupun menjauhkn dari kemudharatan.
[10]
Rasyad Hasan khalil. Abdul Fatah Abdullah Al-Barsumi. Tarikh Al-Tasyri’
Al-Islami.( Beirut: Dar Al-Fikr, Tanpa tahun), 307
[11]
Siradjuddin Abbas. Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i.( Jakarta: Pustaka
Tarbiah,.1994),14-32
[12] Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam.
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 52
[13]
Wael B. Hallaq. Melacak Akar-Akar Kontroversi Dalam Pemikiran Hukum Islam.
(Surabaya: Sribandi, 2005),126-129
[14]
Ahmad Hanafi. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. (Jakarta: Bulan
Bintang,1995),154
[15]
Joseph Schacht. Pengantar Hukum Islam. (Jakarta: Departemen Agama,
1985), 63
[16]
Phillip K. Hitti. Historis Of The Arabs. (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2006), 406
[17] Qaul Qadim adalah prodak fiqh yang di karang
oleh Imam Syafi’i pada saat berada di
iraq. Perlu diketahui bahwa term yang digunahkan pada saat itu hanyalah untuk
membedakan fatwahnya yang ada di Iraq dan di Mesir, ada sedikit perbedaan dalam
penerapan yang di gunanakan oleh Imam Syafi’i terkait dengan fatwah yang ada di
Qaul Jadid dengan Qaul Qadim, tidak semua fatwah yang ada didalam
Qaul Qadim diterapkan di mesir, yang tidak sesuai maka diganti dengan Qaul
Jadid, hal tersebut dilatar belakangi oleh factor social, ekonomi, budaya.
Masyarakat antara iraq dan mesir. Lihat juga Roibin, sosiologi hukum islam,
172
[18]
Qaul jadid adalah prodak fiqh yang di karang oleh Imam Syafi’i pada saat
berada di mesir.
[19]
Rasyad Hasan khalil. Abdul Fatah Abdullah Al-Barsumi. Op.cit. 306
[20] Wahbah Al-Ruhaili. Usul Fiqh Al-Islamiyah.
(Damsyik: Dar Fiqr, 1996), 420
[21]
Rahmat Syafi’i. Usul Fiqh. (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), 52
[22]
Roibin. Sosiologi Hukum Islam (Telaah Sosio-Historis pemikiran Syafi’i).
(Malang: UIN Malang, 2008), 93
[23]
Ibid. 95
[24]
Manna Al-Qathan. Mabahits Fi Ulumu Al-Hadist.terj oleh Mifdhol
Abdurrahman. (Jakarta: Pustaka Al-Kautar), 25
[25] Rahmad Syafi’i Op.cit.
[26]
Rasyad Hasan khalil. Abdul Fatah Abdullah Al-Barsumi Rasyad Hasan khalil. Op.cit.
308.
[27]
Robin, Op.Cit. 105
[28]
Yaitu metode pengambilan kesimpulan umum yang dihasilkan dari fakta-fakta umum
[29] Amir Mu’alim. Yusdani. Konfigurasi Hukum
Islam.(Jakarta: UII Pres, 2004), 32
[30] Metode penalaran melalui pertanyaan dan
perbandingan yang bersifat tesa dan antitesa serta analogi kepada sumber-simber
dasar
[31]
Muh Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan sejarah.grafindo. hal 122
[32]
Ibid. 123
[33]Ibid.124
[34]
Ibid.125
[35]
Asep saifuddin.,Op.Cit. 32
[36] Wahbah Al-Ruhaili. Usul Fiqh Al-Islamiyah.
(Damsyik: Dar Fiqr, 1996), 420
[37]
Rahmat Syafi’i. Usul Fiqh. (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), 52
Post a Comment