A.
Pendahuluan
Perkawinan
merupakan salah satu perikatan yang telah disyariatkan dalam Islam. Hal ini
dilaksanakan untuk memenuhi perintah Allah agar manusia tidak terjerumus
ke dalam perzinaan. Perkawinan dalam hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad
yang sangat kuat atau mitsaaqon gholiidhan untuk mentaati perintah Allah
dan melaksanakannya merupakan ibadah.[1]
Karena perkawinan merupakan ikatan yang sangat kuat maka akad nikah
dalam sebuah perkawinan memiliki kedudukan yang sentral. Begitu pentingnya akad
nikah ia ditempatkan sebagai salah satu rukun nikah yang disepakati. Kendati
demikian tidak ada syarat bahwa akad nikah itu harus dituliskan atau di aktekan.
Atas dasar inilah fikih Islam tidak mengenal adanya pencatatan perkawinan.[2] Walaupun
Al Quran telah menganjurkan pencatatan transaksi
muamalah dalam keadaan tertentu.
Telah begitu banyak permasalahan yang muncul ke
permukaan akibat tidak terakomodirnya hukum pencatatan nikah dalam fiqh. Oleh
karenanya, hemat pemakalah penting untuk mengkaji permasalahan ini.
Permasalahannya adanya regulasi pencatatan perkawinan ini telah
menimbulkan perdebatan tersendiri, mengenai dimana ia harus ditempatkan posisinya.
Apakah pencatatan perkawinan ini termasuk syarat sah (rukun) ataukah hanya
sebagai syarat administratif saja. Kesalahan dalam menempatkan posisi hukum
pencatatan perkawinan ini akan menimbulkan akibat hukum tersendiri.
B.
Rumusan masalah
Bagaimana
hukum pencatatan pernikahan dalam Islam?
1.
Pengertian
Pencatatan
pernikahan adalah pendataan administrasi perkawinan yang ditangani oleh petugas
pencatat perkawinan (PPN) dengan tujuan untuk menciptakan ketertiban hokum.
2.
Sejarah pencatatan nikah
Dalam
kajian hokum Islam tidak dikenal istilah pencatatan perkawinan. Pada masa
lampau Bayyinah Syariyah cukup dengan saksi serta walimah untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Untuk hukum yang berlaku di
Indonesia percatatan perkawina telah di atur dalam UU No 2 tahun 1946, UU No 1
tahun 1974, PP No 9 tahun 1975, kompilasi Hukum Islam dan RUU Hukum Terapan
peradilan Agama bidang Perkawinan[3].
3.
Tujuan pencatatan nikah
3.1.Pegawai
pencatat Nikah dapat mengawasi langsung terjadinya perkawinan tersebut.
Mengawasi di sini dalam artian menjaga jangan sampai perkawinan tersebut
melanggar, ketentuan hukum Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Misalnya, jika diketahui ada pemalsuan identitas, memakai wali yang tidak
berhak, masih terikat perkawinan dengan lelaki/wanita lain, beda agama, atau
adanya halangan perkawinan, maka pegawai Pencatat Nikah harus menolak
menikahkan mereka.
3.2.Dapat
membatalkan perkawinan (melalui proses pengadilan), apabila dikemudian hari
diketahui -setelah berlangsungnya perkawinan- bahwa perkawinan tersebut tidak
memenuhi syarat sahnya perkawinan (misalnya, istri masih terikat perkawinan
dengan suami yang sebelumnya atau masih dalam masa iddah). Dengan adanya
pencatatan, maka pernikahan secara hukum agama maupun negara menjadi sah.
3.3.Hal ini
penting bagi pemenuhan hak-hak istri dan anak (terutama pemgaian harta waris,
pengakuan status anak, dasar hukum kuat bagi istri jika ingin menggugat suami
atau sebaliknya). Pencatatan berfungsi sebagai perlindungan bagi istri/suami.
4.
Operasioanalnya
5.
Dampak positif
5.1.Dampak positif pencatatan nikah
Pencatatan perkawinan
sangatlah urgent. Selain demi terjaminnya ketertiban akta nikah bisa digunakan
untuk mendapatkan hak-hak, dan terlepas dari perasangka, keragu-raguan, kelalaian
serta saksi –saksi yang cacat secara hukum. Kendatipun pencatatan perkawinan
hanya bersifat administratif tetap harus dianggap penting
karena melalui pencatatan perkawinan tersebut akan diterbitkan buku kutipan
akta nikah yang akan menjadi bukti otentik tentang dilangsungkannya sebuah
perkawinan yang sah.
C.
Pembahasan
1.
Manhaj
Manhaj
yang digunakan dalam pengambilan hukum pencatatan nikah ini adalah qiyas. Qiyas
menurut bahasa berarti “mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk
diketahui adanya persamaan antara keduanya”. Menurut istilah Ushul fiqh qiyas
adalah:
الحق امر غير منصوص على حكمة الشعي بأمر مخصوص كمه
لإشتراكهما في علة حكم
Menghubungkan
(menyamakan hokum) sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu
yang ada ketentuan hukumnya karena ada persamaan illat antara keduanya.[4]
2.
Tatbiqiyyah dan natijah
al hukm
2.1.Al Ashal
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya ... .
Akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian yang sangat
kuat, seperti disebutkan dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 21:
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ
وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقاً غَلِيظاً
Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian
kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan
mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. Apabila akad hutang
piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad nikah
yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan.
2.2.Al Far’u
Hukum pencatatan perkawinan tidak ditemukan pada Al
Quran dan Al hadits. Bahkan bahasan ini kurang mendapat perhatian serius dari
ulama fiqh walaupun ada ayat Al Quran yang menghendaki untuk mencatat segala
transaksi muamalah.
2.3.Hukum Ashal
Hokum yang terdapat pada Al Ashl adalah sunnah karena Al-Qur'an yang
menganjurkan untuk mencatat segala bentuk transaksi muamalah. seperti pada surat al-Baqarah ayat 282. Yang
menunjukkan perintah mencatat perihal hutang-piutang. Kalimat فأكتبوا adalah kalimat
anjuran yang menekan, dan setiap anjuran dalam kaidah fiqih adalah sunnah.
Kesimpulannya hokum yang terdapat pada al ashl adalah sunnah muaqad.
2.4.Al Illat
Illat
adalah sifat yang terdapat dalam hukum asal, dipakai sebagai dasar hukum yang
dengan illat itu dapat diketahui hukum cabang(furu’) Illat dari pencatatan hutang piutang adalah bukti keabsahan
perjanjian/transaksi muamalah (bayyinah syar’iyah).
Kesimpulannya bahwa hukum pencatatan perkawinan adalah
sunnah muaqad sebagaimana hukum pencatan dalam akad hutang piutang. Dalam
kaidah fiqhiyahnya:
الثابت بالبر هان كالثابت بالعيان
“sesuatu yang telah ditetapkan
berdasarkan bukti(keterangan) sepadan dengan yang telah di tetapkan berdasarkan
kenyataan”
D.
Penutup
1.
Ringkasan dan Kesimpulan
Dalam sampul sejarah kajian hukum Islam tidak dikenal
istilah pencatatan perkawinan. Pada masa lampau Bayyinah Syariyah cukup
dengan saksi serta walimah untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Untuk hukum yang berlaku di Indonesia percatatan perkawina telah di atur dalam
UU No 2 tahun 1946, UU No 1 tahun 1974, PP No 9 tahun 1975, kompilasi Hukum
Islam dan RUU Hukum Terapan peradilan Agama bidang Perkawinan,
DAFTAR PUSTAKA
Nasution Khoiruddin, 2002, Status Wanita di
Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer
di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta-Leiden: INIS,),
Mubarok Jaih.2005. Modernisasi Hukum Islam, Bandung:
Pustaka Bani Quraysi,
Abdul Wahab
Khalaf, 1997, ilmu ushul al-fiiqh. Bandung : Gema Risalah press.
Satria
effendi , 2005, ushul fiqh. Jakarta : kencana
Post a Comment