Bab II
PEMBAHASAN
A.
Tarikh
Tasri’ Pada Masa Sahabat Kecil Dan Para Tabi’in
Pertengahan abad ke-1 sampai awal
abad ke-2 H. priode ini merupakan awal pembentukan
fiqih Islam. Sejak zaman Usman bin Affan (576-656), khalifah ketiga, para
sahabat sudah banyak yang bertebaran di berbagai daerah yang di taklukkan
Islam. Masing masing Sahabat mengajarkan Al-quran dan Hadis Rasulullah SAW
kepada penduduk setempat. Di Irak
dikenal sebagai pengembang hukum Islam adalah Abdullah bin Mas’ud (Ibnu
Mas’ud), Zaid bin Sabit (11 SH/611 M 45 H/665 M) dan Abdullah bin Umar (Ibnu
Umar) di Madinah dan Ibnu Abbas di
Makkah. Masa ini dimulai pada pemerintahan mu’awiyah, hingga akhir pertama
Hirah.
Para Sahabat ini kemudian berhasil
membina kader masing-masing yang dikenal dengan para tabi’in. Para Tabi’in yang
terkenal itu adalah Sa’id bin Musayyab (15-114H) di Madinah, Atha bin Abi Rabah
(27-11H) di Makkah, Ibrahiman-Nakha’i (w. 76H) di Kufah, al-Hasan al-Basri (21
H/642 M-110 H/728 M) di Basra, Makhul di Syam (Syuriah) dan Tawus di Yaman.
Mereka ini kemudian menjadi guru-guru terkenal di daerah masing-masing dan
menjadi panutan untuk masyrakat setempat. Persoalan yang mereka hadapi di
daerah masing-masing berbeda sehingga muncullah hasil ijtihad sahabat yang ada
di daerah mereka, sehingga muncullah sikap fanatisme terhadap para sahabat
tersebut.
Dari perbedaan metode yang di
kembangkan para sahabat ini kemudian muncullah dalam fiqih Islam Madrasah
al-hadits, dan madrasah ar-ra’yu. Madrasah al-hadits kemudian dikenal juga
dengan sebutan Madrasah al-Hijaz dan Madrasah al-Madinah; sedangkan Madrasah
ar-ra’yu dikenal dengan sebutan madrasah al-Iraq dan Madrasah al-Kufah. Kedua
aliran ini menagnut prinsip yang berbeda dalam metode Ijtihad. Madrasah
al-Hijaz dikenal sangat kuat berpegang pada Hadits karena mereka banyak
mengetahui hadits-Hadits rasulullah SAW, di samping kasus kasus yang mereka
hadapi bersifat sederhana dan pemecahanya tidak banyak memerlukan logika dalam
berijtihad. Sedangkan Madrasah al-Iraq dalam menjawab permasalahan hukum lebih
banyak menggunakan logika dalam berijtihad.
Pada
priode ini, pengertian fiqih sudah beranjak dan tidak sama lagi dengan
pengertian ilmu, sebagaimana yang dipahami pada priode pertama dan
kedua, karena fiqih sudah menjelma sebagai salah satu cabang ilmu
keislaman yang mengandung pengertian mengetahui hukum-hukum syara’ yang
bersifat amali (praktis) dari dalil-dalinya yang terperinci. Di samping fiqih,
pada priode ketiga ini pun ushul fiqh telah matang menjadi salah satu cabang
ilmu keislaman. Berbagai metode ijtihad, seperti qiyas, istihsan, dan istislah,
telah dikembangkan oleh ulama fiqh. Dalam perkembanganya, fiqih tidak saja
membahas persoalan aktual, tetapi juga menjawab persoalan yang akan terjadi,
sehingga bermunculanlah fiqh berdasarkan pengandaian tentang persoalan
yang akan terjadi di masa datang. Pada priode tiga ini pengaruh ra’yu
(al-ra’yu; pemikiran tanpa berpedoman pada al-quran dan sunnah secara langsung)
dalam fiqih semakin berkembang karena Ulama Madrasah al-hadis juga
mempergunakan al-ra’yu dalam fiqih mereka. Di samping itu, di Irak muncul pula
fiqih syiah yang dalam hal beberapa dari fiqh Ahlusunnah wal Jama’ah(Imam yang
empat).
B.
Sumber
sumber perundang undangan pada priode ini.
Sahabat Rasulullah merupakan orang
yang pertama kali memikul beban setelah Rasulullah tiada untuk menjelaskan
tentang syari’at Islam dan mengaplikasikanya terhadap segala permasalahan yang
muncul. Di antara permasalahan yang muncul ada yang sudah disebutkan Nash-Nya dan
ada yang belum disebutkan hukumnya. Oleh sebab itu, para sahabat dituntut untuk
mengeluarkan hukum (istinbat) dengan metode yang jelas sesuai dengan petunjuk
Nabi SAW sehingga produk hukum yang ditetapkan tidak kontradiktif.
Hal ini dapat dilihat dalam kitab
karya Imam Al-Baghawi, Mashabih As-Sunnah. Dari Maimun bin Mihram, ia berkata,
“Jika ada orang yang berselisih datang kepada Abu Bakar, ia akan melihat kitab
Allah. Jika ia temukan di dalamnya apa yang bisa memutuskan perkara mereka,
maka ia akan memutuskan denganya. Sementara jika tidak ada dalam kitab Allah
dan ia tahu ada sunnah dari Rasulullah SAW tentang hal itu, maka ia akan
memutuskan denganya. Kemudian jika tidak ada, Abu Bakar akan keluar menemui
menemui kaum muslimin dan berkata, “ Ada yang datang begini begitu, apakah
kalian ada yang tahu Rasulullah pernah memutuskan hal itu, atau ada sekelompok
sahabat yang berkumpul lalu baginda Rasulullah menceritakan hal itu kepada
mereka? “ jika ia tidak menemukannya juga dalam sunnah Rasulullah, maka ia akan
mengumpulkan para pemimpin (tokoh) dan orang-orang yang pilihan dan
bermusyawarah (urun rembuk) dengan mereka. Jika dalam musyawarah tersebut Abu
Bakar sudah menyatukan pendapat mereka tentang sesuatu, maka itulah yang akan
menjadi keputusanya.
Demikian juga halnya dengan Umar, ia
melakukan apa yang pernah dilakukan Abu Bakar, jika ia tidak menemukan
jawabanya dalam al-quran dan sunnah, ia akan melihat, apakah Abu Bakar pernah
memutuskan hal itu? Jika ia menemukan keputusan Abu Bakar maka ia akan
mengundang para pimpinan kaum jika mereka sudah sepakat terhadap sesuatu maka
ia akan melaksanakan keputusan itu.
Dari jenis jelaslah bagi kita bahwa
sumber pensyariatan (perundang undangan) pada masa sahabat adalah:
1.
Al-quran,
2.
As-Sunnah,
3.
Ijma’,
dan
4.
Logika
(ra’yu).
Dalam
aplikasinya, sumber sumber perundang-undangan ini dapat diurutkan dalam
langkah-langkah praktis sebagai berikut.
Pertama, meneliti dalam kitab Allah untuk mengetahui hukumnya.
Kedua, meneliti dalam sunnah Rasulullah SAW jika tidak ada nash dalam
kitab Allah. Jika mereka menemukan nash dalam kitab Allah atau sunnah yang
menunjukkan hukumnya, mereka pun berhenti di sini dan mencari hukumnya,
berusaha memahami kandunganya. Terkadang mereka sepakat dan terkadang berbeda
pendapat disebabkan oleh pemakian bahasa yang berbeda atau karena kondisi
periwayatan.
Ketiga, ijma’ (konsensus bersama), yaitu jika tidak ada nash dalam kitab
Allah atau sunnah Rasulullah SAW atau ditemukan namun bersifat global, atau
nash-nya banyak dan setiap nash memberi hukum yang berbeda, atau berupa khabar ahad. Dan di antara manhaj mereka pada
waktu itu adalah khalifah mengundang para sahabat untuk melakukan konsensus
(ijma’). Jika mereka sepakat, masalah kemudian dibahas dan saling tukar
pendapat, dan jika rapat menyetujui satu pendapat maka itulah yang akan mereka
putuskan dan akan menjadi sebuah hukum yang pasti dan mengikat, inilah yang
dinamakan ijma’.
Keempat, ra’yi (pendapat pribadi), maksudnya, setiap hukum yang ditetapkan
bukan berdasarkan petunjuk nash termasuk qiyas, istihsan, mashalih mursalah,
bara’ah adz-dzimmah, dan sadd adz-dzari’ah.
C.
Metode
Hukum di Masa Priode ini
Metode hukum yang dipakai
tokoh-tokoh pada saat itu, jika kita tinjau dari segi sumber hukumnya adalah
jika pemerintahan pada saat itu sudah mendapatkan nash hukum yang terjadi pada
suatu kasus pada al-Quran atau sunnah Rasulullah SAW, maka mereka berpegang
kepada nash dari antara kedua sumber tersebut serta berusaha memahaminya dengan
positif mencocokkan peristiwanya dengan tujuan nash dan ada hubunganya, apakah
kasus yang terjadi sudah cocok dengan dalil yang ada. Begitulah sistim yang
dipakai pada masa itu. Mereka berpegang teguh pada salah satu atau kedua sumber
tersebut. Apabila mereka tidak mendapati nash dari al-Quran dan sunnah
Rasulullah yang menunjukkan hukum kasus yang terjadi, barulah mereka melakukan
ijtihad untuk mengambil kesimpulan hukumnya. Sedangkan ijtihad mereka didasari
pada kebiasaan yang didapati dari Rasulullah SAW. Maka cara legislasi mereka,
kadang-kadang dengan cara memperbandingkan hukum yang tidak ada nashnya dengan
hukum yang sudah ada nashnya, kadang kala dengan memperhatikan kemaslahatan
umat, kadang pula dengan cara untuk membuang hal-hal yang membuat kerusakan
umat tanpa ada ikatan dari kemaslahatan yang harus dijaganya.
Bila
terjadi satu kejadian, maka mereka melakukan ijtihad. Mereka berpegang dalam
urusan tersebut, kepada;
1.
Al-quran.
Merupakan sendi Islam, yang mereka telah dapat memahami dengan sempurna, karena
diturunkan dengan bahasa mereka, dan dapat mempersaksikan sebab-sebab turunya.
2.
Sunnah
Rasul. Mereka telah bermufakat mengikuti sunnah yang mereka percaya kepada
perawinya.
D.
Sebab
sebab Timbulnya Perbedaan Pendapat pada Priode ini.
Pada
priode sahabat dan juga priode-priode selanjutnya setelah munculnya para pemuka
perundang undangan di kalangan mereka, maka saat itulah timbulnya beberapa
beberapa perbedaan pendapat, sehingga dalam menetapkan hukum pada suatu perkara
terdapat beberapa fatwa yang beraneka ragam pendapat. Perbedaan pendapat tentu
harus terjadi diantara mereka, sebab didalam memahami nash-nash berbeda beda
akibat perbedaan tingkat kecerdasan akal pikiran dan juga segi segi tinjauanya.
Fakta
fakta inilah yang menimbulkan perselisihan fatwa-fatwa, walaupun pada hakikatnya
mereka sependapat dalam menetapkan sumber sumber perundang undangan dan prinsip
prinsip hukum yang umum. Dengan kata lain mereka hanya berbeda pendapat dalam
masalah furu’ (cabang hukum) saja, tidak sampai dalam ushul (pokok pokok
perundang undangan) dan jenis jenisnya.
Namun
demikian setelah kekuasaan perundang undangan pada abad ke-2 H. berpindah
ketangan angkatan para Imam Mujtahid, maka pada saat inilah karena perbedaan
pendapat semakin luas dikalangan mereka. Di mana sebab sebab perbedaan di
antara mereka tidak hanya terbatas pada tiga masalah yang menjadi pokok
perbedaan, bahkan sudah melewati sampai pada sebab sebab yang berhubungan
dengan sumber hukum islam, bertentangan dengan hukum dan prinsip prinsip bahasa
yang diterapkan dengan memahami nash-nash.
Dasar
dasar perbedaan pendapat tentang garis perundang undangan di kalangan para imam
mujtahid itu berpokok pangkal pada perbedaan mereka mengenai tiga persoalan,
yaitu;
1.
Perbedaan
pendapat di dalam menetapkan sebagian
dari pada sumber sumber perundang undangan.
2.
Perbedaan
pendapat tentang pertentangan pengambilan hukum dari pada sumber sumber
perundang undangan.
3.
Petbedaan
pendapat tentang sebagian prinsip prinsip bahasa yang diterapkan di dalam
memahami nash nash.
E.
Defenisi
Tabi’in
Tabi’in adalah setiap muslim melihat
Nabi SAW namun ia sempat melihat dan bertemu dengan sahabat, baik ia
meriwayatkan atau tidak darinya.
Dari penjelasan ini jelas bahwa
tabi’in tidak harus melihat baginda Rasulullah SAW sebab jika ia melihatnya,
itu artinya ia termasuk sahabat Rasulullah SAW. Slain itu juga tidak
disyaratkan harus bertemu dengan sahabat seperti yang dilakukan oleh ulama
hadis, tidak disyaratkan harus meriwayatkan hadis dari seorang sahabat, namun
cukup hanya melihat dan bertemu ketika ia sudah berusia tamyiz (baligh).
Tentang
tabi’in dalam al-quran juga disebutkan:
cqà)Î6»¡¡9$#ur
tbqä9¨rF{$#
z`ÏB
tûïÌÉf»ygßJø9$#
Í$|ÁRF{$#ur
tûïÏ%©!$#ur
Nèdqãèt7¨?$#
9`»|¡ômÎ*Î/
Å̧
ª!$#
öNåk÷]tã
(#qàÊuur
çm÷Ztã
£tãr&ur
öNçlm;
;MȬZy_
Ìôfs?
$ygtFøtrB
ã»yg÷RF{$#
tûïÏ$Î#»yz
!$pkÏù
#Yt/r&
4
y7Ï9ºs
ãöqxÿø9$#
ãLìÏàyèø9$#
ÇÊÉÉÈ
Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan
anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka
kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.
Firman Allah SWT “ Dan
orang-orang yang mengikuti mereka ” merupakan isyarat yang jelas akan
keberadaan tabi’in. merujuk penamaan ini, tabi’in adalah semua orang yang
pernah bertemu dengan sahabat, baik murid, kawan dari berbagai penjuru dunia
yang datang ingin mendengan fatwa, menghimpun ucapan, perbuatan, dan mengetahui
segala keputusan mereka dalam berbagai permasalahan yang diperdebatkan, mereka
menjadi lembaran hidup bagi setiap ucapan dan perbuatan sahabat.
Al-quran telah
mengabdikan kedudukan dan keagungan para tabi’in dalam ayat diatas dimana Allah
menyediakan pahala yang besar bagi mereka yang mengikuti para sahabat dengan
ihsan dan inilah salah satu bentuk sanjungan dan penghormatan Allah bagi
sahabat dan para tabi’in.
Terkait maslah ini,
baginda Rasulullah SAW, pernah bersabda, Bahagialah bagi yang pernah melihat
dan beriman kepadaku, dan bahagialah bagi yang pernah melihat siapa yang
melihatku dan juga orang yang melihat siapa yang pernah melihatku, bahagialah
mereka dan baiklah tempat kembalinya.