Disini waktu berjalan lambat, ndak seperti ne kono kae

Manusia tidak ada yang gopoh (terburu buru), begitu indah ritme kehidupan, disini hampir tak mendengar bunyi kelakson kendaraan bermotor, tidak ada orang gontokan di jalan, bukan tidak ada ranmor, hampir tiap kepala pegang ranmor, klakson hanya sesekali bunyi, banyak bunyi kadang hanya untuk nyenengin balita yang lagi rewel.
Semakin heran saya, ditengah hiruk pikuk semrawutnya kondisi ekonomi negeri, harga bbm naik, sembako naik, pupuk mahal, benih mahal, harga panen murah, dan sementara dapur harus tetap mengepul, mereka masih santai saja, tidak ada kesan kehidupan sosial mengejarnya.
Mereka manusia yang purna, walau keterbatasan pendidikan dan teknologi tak menjamah kehidupan desa.
Satu hal yang menjadi perhatian saya, kenapa mereka bisa se damai ini?
Ternyata rahasianya adalah kehidupan yang sederhana, tanpa gengsi, dan nerimo eng pandum, ndak ada jeratan rentenir, kredit ini itu, ranmor, rumah, usaha.
Bagi mereka, ya beginilah kehidupan, hanya mengkonsumsi apa yang di butuhkan, ndak pakai kemenyek harus kerja rapi tidak kepanasan dan pastinya gaji yang besar.
Bukan mereka tidak mampu bangun rumah beton atau sekedar beli mobil keluaran terbaru, untuk hal begitu cukup jual 5- 10 sapi saja dapat, hidup bagi mereka tidak harus ngoyo mengejar kekayaan, mereka tidak sakit dan bisa bantu sesama saja sudah alhamdulillah.
Saya jarang dapatkan hal seperti ini di kota metropolitan sana, disana hidup terasa sempit, individualisnya tinggi, semua serba di kejar waktu, di kejar target, banyak orang yang tatapanya nanar, banyak kriminal, dan yang paling banyak adalah hilangnya kepercayaan dengan sesama, disegel dengan kertas, surat surat, sertifikat, dan materai 6000 yang bertebaran.

Ah, macam ini kehidupan, dan hari ini masih jadi penonton berjalanya peradaban.
Semoga selalu ada kebahagiaan untuk jiwa jiwa yang mulai tergadai oleh materialisme.

0 Responses

Post a Comment