Unknown

Beberapa hari yang lalu salah tiga kampus di kota Malang melakukan ritual rutin melabeli manusia menjadi sarjana, dengan harapan manusia ini mampu memberikan kontribusi pada kemajuan bangsa ini, ribuan manusia ini di pestakan dengan seremonial, genggap gempita, riuh dan ramai.
Wajah bahagia tersandar pada para wisudawan dan keluarganya, rasa bangga dan penuh dengan kesyukuran. Entah apa yang ada di benak para manusia ini, satu hari itu mungkin mereka bahagia karena melewati proses yang katanya berat, hari berikutnya mereka kembali merengkuh kebingungan, ada yang tersadar bahwa jerih perih mereka ada hasilnya, ada yang merasa proses selama ini sia-sia.
Banyak di antara manusia ini bingung dengan dunia nyata, tak seindah impian yang di bangun universitas, janji janji manis kehidupan menguap begitu saja, yang ada hanya kebingungan kebingungan yang ambiguitas, tuntutan sosial, tuntutan usia, dan tuntutan calon mertua menindas dengan paksa.
Bagi yang punya biaya mereka memilih untuk bertahan di kota ini dengan melanjutkan studi sebagai hiburan, yang belum berani pulang memilih mencari pekerjaan hanya sekedar bertahan hidup di kota ini, tapi juga masih ada beberapa manusia terpilih, mereka yang bekerja sebelum lulus, mereka yang punya usaha, mereka yang melanjutkan studi dengan beasiswa, dan mereka yang menikah dengan modal janji tuhan.
Fenomena ini bukan gambaran matang, paling tidak ini adalah kondisi manusia hari ini.
Masih hangat dalam ingatan penulis, tentang banyak pilihan dan paksaan yang ada, penulis dengan bodohnya memilih pekerjaan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan jurusan yang di tempuh saat kuliah dulu, karena sekali lagi hidup bukan untuk menuruti gengsi dan suara sumbang sosial.
Menjadi apa adalah harapan setiap manusia, menjadi apapun yang di kehendaki tuhan dan bermanfaat untuk orang lain adalah hal yang baik.
Yang penting dalam kehidupan kita masih ada rasa cinta pada sesama, masih ada kepekaan sosial, kepedulian pada bangsa ini, kepedulian kepada agama ini, jauh lebih penting dari pada menghadapi ketakutan karena belum ada makanan untuk esok hari.
Sarjana pengangguran bukan manusia nista, tidak pernah ingin menjadi seperti itu, mereka ingin bahagia, mereka ingin di anggap sebagai manusia. Tapi kondisi sosial lah yang menciptakan mereka menjadi marginal, universitas hanya memberikan janji dan mimpi, selebihnya manusia nya sendiri juga harus sadar diri, bagaimana harus bersikap sebagai manusia.

Labels: , | edit post
0 Responses

Post a Comment