BEBERAPA ISTILAH DALAM PERKAWINAN

1.       Kawin kontrak
adalah nikah yang bertujuan untuk kesenangan semata, dan terikat oleh waktu (kontrak)
Jika kita melihat pada pasal 1 UU  74
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”  Sedangkan pasal 2 (1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
            Disini kita bisa melihat tujuan, aspek sosial, dan agama. Jelas kawin ini tidak bisa dibiarkan, karena sangat amoral dan cenderung seperti sifat hewan. Perkawinan ini bukan untuk membentuk keluarga sakinah, hanya untuk melampiaskan nafsu belaka.
            Yang kita perhatikan lagi adalah aspek hak bagi si perempuan, yang kebanyakan nikah karena desakan kebutuhan ekonomi, yang disini akan menimbulkan pembunuhan hak-hak wanita dan hak menjadi seorang istri.
            Sudah selayakya nikah yang seperti ini tidak dibenarkan dalam segi apapun karna tidak sesua dengan aspek sosial masyarakat dan agama, sertu undang-undang.
2.      Nikah  hamil
Disini diartikan nikah hamil  Adalah kawin karena hubungan diluar nikah, walaupun disini tidak diatur mendetail dalam UU 47 tapi di KHI sudah sangat jelas tentang pernikahan tersebut.
Yang jadi masalah disini bukan karena perzinaanya tapi status perkawinanya. Seperti dalam pasal 1 dan 2 UU 47. Jadi nikah pada saat hamil sah-sah saja seperti yang tertulis di KHI yaitu pasal 53:
(1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan priayang
menghamilinya. (2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada Ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

3.      Kumpul kebo
Istilah yang biasa digunakan untuk menyebut seorang yang melakukan perzinaan. Yaitu orang yang sudah cerai secara agama, tapi masih tinggal satu rumah dan melakukan perzinaan. Inilah bentuk kebancian kukum dinegeri kita, Yang tiada sanksi bagi mereka yang melakukan perzinaan. 
Tapi dalam agama ini sudah sangat jelas dilarang, begitu pula nilai-nilai yang ada dimasyarakat kita, sangat amoral jika itu dilakukan. Dan seharusnya UU mengatur tentang hal itu.

4.      Pisah Ranjang
Adalah pisahnya antara suami dan istri dalam masa gugatan perceraian, ini dikarnakan jika masih seranjang bisa menimbulkan pemaksaan hak. Dan pengadilan memberikan izin untuk masalah ini.

5.      Nikah siri
Nikah yang dilakukan tanpa melakukan pendaftaran dan pencatatan di pengadilan agama maupun dicatatan sipil. Nikah ini menurut UU tidak dibenarkan, karena tidak memenuhi syarat yaitu pencatatan. Ini akan  berdampak pada pasca cerai, yaitu tidak adanya kekuatan hukum, tentang status anak, dan hak yang harus di peroleh baik anak maupun istri.

6.      Nikah Anak : Nikah dibawah umur.
Ketentuan usia perkawinan sebagaimana termaktub dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, dengan menggunakan analisis filsafat hukum diketahui pula bahwa ketentuan itu mengidap persoalan yang tidak mudah diselesaikan. Indikasi problematis usia perkawinan yang paling menonjol muncul ketika dihadapkan pada pasal 7 ayat (2) tentang “dispensasi kawin” yang wewenang yuridis untuk keperluan itu diberikan kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita sehingga dinilai mengurangi sakralitas perkawinan.  
Perkawinan usia muda sering kali menimbulkan banyak masalah, utamany dala segi psikologi dan kesehatan. Dan ini yang harus diperhatikan guna tercapainya tujuan pernikahan.

7.      Nikah Beda Agama
Menurut Pasal 1 UU Perkawinan, perkawinan adalah sebuah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pasal ini, tersirat bahwa perkawinan yang berlaku di Indonesia adalah perkawinan antara seorang pria dan wanita saja. Selanjutnya, dalam Pasal 2 Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa perkawinan dianggap  sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan para pihak. Setelah perkawinan dilakukan, perkawinan tersebut pun harus dicatatkan, dalam hal ini pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan Catatan Sipil.
Sudah jelas perkawinan beda agama tidak sah dalam hukum negara kita, karna bertentangan dengan norma agama sesuai dengan pasal 2. tapi ada beberapa oknum yang mencoba mencari celah dalam pasal 56 UU Perkawinan.
Disisi lain ada yang mengemukakan bahwa Perkawinan merupakan hak asasi yang paling mendasar yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun, termasuk oleh negara. Sebaliknya, negara berkewajiban untuk menjamin  pelaksaaan hak ini dengan cara mengadopsi HAM yang sudah diakui ke dalam hukum nasional secara menyeluruh karena HAM merupakah hak paling dasar yang menjadi landasan bagi semua produk hukum yang berkenaan dengan warga negara.

Penolakan atas perkawinan beda-agama merupakan tindakan yang diskriminatif berdasarkan agama. Negara perlu segera melakukan harmonisasi dari seluruh peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hak-hak dasar sebagai wujud konkrit dari pengakuan atas HAM dan untuk menjaga kepastian hukum sehingga tidak ada lagi warga negara yang melakukan perkawinan dengan memanfaatkan celah-celah dalam peraturan perundang-undangan. Pengakuan terhadap perkawinan beda-agama juga dapat meminimalisir ekses-ekses negatif yang mungkin timbul dalam masyarakat sekaligus menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk dapat menjiwai hak-hak asasi manusia yang sudah seharusnya melekat dalam setiap manusia.



8.      Semen leven
Adalah hidup bersama tanpa ikatan pernikahan maupun mahrum, seperti tinggal serumah yang dilakukan para orang dibarat.

9.      Dibawah tangan
Nikah yang dilakukan tanpa adanya pencatatan di catatan sipil, dan ini tidak sah menurut UU 74, seperti yang terjadi pada nikah siri, yang sama tidak mempunyai kekuatan hukum.

10.  Nikah via telpon
Sesuai dengan bab 1 dan 2 UU 74 beberapa ketentuan dalam pernikahan telah termaktup, tapi tidak ada tentang via telepon, kita mengambil dari pasal 2, sah apabila menurut agama dan kepercayaanya, dalam artian nikah sah dalam UU apabila memenuhi yang disahkan dalam agama, oleh karenaya nikah ini tidak disahkan menurut agama karena dikhawatirkan dapat terjadi kecurangan-kecurngan alam proses pernikahan, yang belum jelas oknum yang terlibat dlam hal itu.
Labels: | edit post
0 Responses

Post a Comment