Unknown


FIQIH MUNAKAHAH
1.             Secara bahasa nikah bermakna al wat’i, al aqdu, ad dhammu wal jam’u.
Dari ketiga pengertian tersebut ulama’ berbeda pendapat mengenai makna nikah yang hakiki dan makna nikah yang majazi.
a.      Ulama’ Hanafiyah berpendapat makna hakiki dari kata nikah adalah bersetubuh.
b.      Syafi’iyah berpendapat makna hakiki dari kata nikah adalah akad.
      Secara istilah nikah adalah akad yang mengandung maksud untuk memiliki kesenangan wat’i dengan menggunakan lafadz nikah, kawin atau sejenisnya.
c.      Menurut imam syafi’i beliau mengatakan bahwa perkawinan adalah suatu akad dengan menggunakan lafadz “ nikah” atau “zauj” yang menyimpan arti memiliki. Artinya dengan pernikahan seseorang dapat memiliki atau mendapatkan kesenangan adanya harga. Sedangkan
d.     Menurut Abu Hanifah mendefinisikan pernikahan atau perkawinan sebagai suatu akad yang berguna untuk memiliki mut”ah dengan sengaja. Artinya, seorang laki-laki dapat menguasai perempuan dengan seluruh anggota badannya untuk mendapatkan kesenangan dan kepuasan.
e.      Pengaruh perbedaaan pendapat dalam makna nikah secara hakiki dan majazi adalah sebenarnya kalau kita amati tidak ada pengaruhnya karena hakikatnya nikah semua sama ingin menjalin suatu ikatan yang lebih mendalam lagi dari segi fisik dan non fisik. Tetapi tanpa adanya perbedaan pernafsiran makna nikah tersebut mungkin orang akan dengan seenaknya memaknai dan mengartikannya dengan seenaknya pula. Dan dengan adanya perbedaan penafsiran tersebut maka kita akan tahu bahwa makna nikah tidak hanya bermakna satu saja tetapi makna nikah menyimpan banyak makna seperti yang telah dikemukan oleh para ulama’ diatas.
2.         Rukun-rukun pernikahan :
1.    Shigot ( Ijab dan Qabul)
2.    Calon suami
3.    Calon istri
4.    Wali nikah
5.    2 orang saksi
3.         Syarat-syarat wali:
a.    Islam ( Orang yang tidak beragama islam tidak sah menjadi wali atau saksi)
b.    Baligh ( sudah berumur sedikitnya 15 tahun)
c.    Berakal ( orang gila atau orang yang sedang mabuk tidak dapat menjadi saksi karena dia dianggap tidak cakap untuk melakukan hukum).
d.   Merdeka ( bukan hamba sahaya)
e.    Tidak dalam keadaan ihram.
f.     Laki-laki
g.    Adil ( orang yang tidak fasiq. Apabila tidak terdapat keadilan, tidak dapat dijamin bahwa tidak akan memilihkan calon suami yang seimbang bagi wanita yang berada dibawa perwaliannya).
h.    Menurut Imam Syafi”i makna keadilan dalam pernikahan ini adalah keadilan seorang wali dalam memilihkan pasangannya karena jika sifat keadilan tidak ada dalam diri seorang wali  maka, tidak dapat dijamin bahwa wali tidak akan memilihkan calon suami yang seimbang bagi wanita yang dibawa perwaliannya. Dan jika seorang wali ternyata bukan orang yang adil maka perwaliannya dapat dialihkan atau diwakilkan kepada wali yang lain.
4.         Macam-macam wali nikah
a.    Wali nasab adalah wali nikah karena hubungan nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan atau orang yang mempunyai ikatan darah.
b.    Wali hakim adalah wali nikah yang diambil dari hakim ( pejabat pengadilan atau aparat KUA atau aparat PPN)  atau penguasa dari pemerintah.
c.    Wali tahkim adalah orang yang ditunjuk kedua mempelai untuk menikahkan berlakunya jika wali nasab tidak ada dan berada ditempat yang jauh.
d.   Wali taukil adalah wali yang diberi wewenang wali nasab untuk menikahkan.
e.    Wali adhal adalah wali yang tidak mau menikahkan anaknya.
f.     Wali mujbir adalah wali yang mempunyai hak memaksa untuk menikahkan dengan pilihannya.
5.         Syarat-syarat wali mujbir
1.    Anak wanita yang akan dipaksa menikah masih prawan.
2.    Dinikahkan dengan laki-laki kufu’ (sederajat).
3.    Maharnya tidak boleh kurang dari mahar mitsli dan merupakan mata uang setempat.
4.    Tidak ada permusuhan antara wali dengan anak perempuannya.
5.    Walinya merupakan orang yang adil dan rasyid.
       Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenenuhi maka hak ijbar menjadi gugur.
6.         Wali adhal
 adalah wali yang tidak mau menikahkan anaknya, dan wali dianggap adhal apabila dalam penolakannya untuk menikahkan anak perempuannya terdapat kemadharatan dan jika wali tersebut berulang kali melakukan penolakan maka maka ia dianggap fasiq dan perwaliannya pindah kepada wali ab’ad.
Jika seorang wanita dihadapkan dalam keadaan seperti ini maka yang harus ia lakukan adalah meminta wali ab’ad untuk menikahkannya sebagaimana perwaliannya sudah berpindah keapadanya.
7.         Syarat-syarat shighot nikah
1.    Menggunakan lafadz fiil madhi (lampau) atau salah satu harus dengan madhi.
2.    Menggunakan kata nikah atau yang semakna.
3.    Dilakukan dalam satu tempat
4.    Tidak digantungkan dengan suatu keadaan pada masa akan datang.
5.    Tidak dibatasi oleh waktu.
6.    Antara ijab dan qobul sesuai.
7.    Berbahasa arab menurut sebagian ulama’.
8.         Pembagian khitbah: Khitbah melalui sindiran dan khitbah melalui lisan.
Wanita-wanita yang haram di khitbah:
Ø Wanita-wanita yang haram dinikahi baik yang haram dinikahi secara permanen maupun yang temporal.
Ø Tidak meminang istri atau wanita yang telah dipinang orang lain.
Ø Wanita yang sedang menjalani masa iddah.
9.          Batasan yang boleh dilihat dari perempuan yang akan dipinang
a.    Pendapat pertama: Tidak boleh melihat kecuali wajah dan kedua telapak tangan  saja. Pendapat ini dikemukakan oleh jumhurul ulam’ madzab hanafi, maliki, syafi’i dan salah satu pendapt dari kalangan  madzab hambali. Mereka menyatakan bahwa wajah adalah  pusat keelokan dan tumpuan pandangan mata serta bukti yang menunjukkan kecantikan seorang wanita, kedua telapk tangan  menunjukkan kesintalan badannya. Kedua badan inilah yang          biasanya nampak, maka tidak diperbolahkan meliahat apa yang biasannya tidak nampak (maksudnya selain wajah dan telapak tangan).
b.    Pendapat kedua: Boleh melihat anggota tubuh yang biasanya nampak seperti lutut, tangan dan kaki. Pendapat inilah yang  menurut madzab hambali alasan mereka adalah bahwa ketika nabi SAW  mengizinkan untuk melihat perempuan yang akan dipinang tampa sepengetahuannya. Berdasarkan hal ini maka dapat diketahui boleh melihat anggota tubuh yang biasa tampak sebab dia adalah perempuan yang boleh dilihat berdasarkan perintah syarak.
c.    Pendapat ketiga: Boleh melihat apa yang diinginkan menurut pendapat al auza’i.
d.   Pendapat keempat: Boleh melihat semua anggota tubuh yang akan dipinangkecuali auratnya menurut pendapat Daud. Ibn Hazm,dan riwayat ketiga dari pendapat Ahmad bin Hambal.
Mengapa para ulama’  berbeda pendapat dalam hal ini karena mereka mempunyai argumen sendiri dalam menafsirkan batasan-batasan melihat perempuan yang akan dipinang dan pendapat mereka sama-sama kuat dan tidak dapat mengklaim pendapat mana yang paling benar karena semuanya memilik sandaran yang kuat.
10.          Mengenai status barang bawaan sebelum terjadinya akad nikah. Para ulama’ berbeda pendapat ada yang mengatakan :
Pertama merupakan bagian dari maskawin yang bentuknya ada dua macam yang berupa barang separti emas dan yang kedua berupa barang perkakas rumah tangga.Kedua merupakan hadiah.
Hukum barang pemberian ketika pertunangan dibatalkan:
·         Pertama: wajib mengembalikan mahar yang telah diberikan. Sebab mahar merupakan ganti atau imbalan dari bersenang-senang mengenai hubungan intim. Disini imbaln itu belum terlaksana maka mahr tersebut harus dikembalikan jika berupa barang dan mengembalikan dengan senilai barang tersebut jika barangnya sudah rusak. Pendapat ini dikemukakn oleh jumhurul ulama’.
·         Kedua: dia tidak wajib mengembalikan barang-barang yang telah diberikan jika pihak laki-laki mengizinkan pihak wanita untuk membelinya atau karena tradisi setempat. Jika tidak maka pihak wanita wajib menegembalikan mahar yang telah dibayarkan pihak laki-lak. Pendapat ini dikemukakan oleh kalangan madzab maliki.
·         Ketiga: boleh memintanya kembali jika barang yang dihadiahkan masih ada dan utuh tapi jika brangnya sudah rusak atau sudah beruba bentuknya maka tidak mungkin untuk memintanya kembal. Pendapta ini dikemukakan oleh madzab hanafi.
·         Keempat: tidak boleh memintanya kembali meskipun pembatalannya drai pihak perempuan kecuali ada syarat dan tradisi yang berlaku. Pendapat ini dikemukan oleh sebagian madzab Maliki. Alasannya karena hadiah sama seperti hibah dan hibah tidak boleh diminta kembali oleh pihak yang menghibahkan.
·         Kelima: Hadiah boleh diminta kembali apapun bentuknya. Jika hadiah itu berupa barang yang masih utuh maka branmg itu diminta kembali jika barangnya sudh rusak maka diminta kembali nilai harga barang tersebut. Pendapat ini dikemukakn oleh jumhurul ulam’; madzab Syafi’i dan Hambali. Bagi mereka hadiah tidak sama dengan hibah karena bagi mereka salah satu syarat hibah adalah tanpa imbalan.
·         Keenam: Jika pembatlan pertunangna dari pihak peminang maka ia tidak berhak meminta kembali hadiah yang diberikan, jika pembatalan berasal dari pihak perempuan maka peminang berhakmemintanya kembali sebab tujuan diberiknnya hadiah itu belum terlaksana. Pendapat ini dikemukan oleh Rafi’i dari kalangan madzab Syafi’i, Ibnu Rasyid dari kalangan madzab Maliki dan pendapat yang dipilih dari Syaikhul islam Ibnu Taimiyah.

DAFTAR PUSTAKA
1.      Fiqh Islam
2.      Fiqh sunnah
3.      Abu Malik Kamal bin As Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, ( Jakarta; Pustaka Azzam, 2007).
4.      Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung; Sinar Baru Algensido, 2000)
5.      Sayyid Sabiq, Kitab Fiqih Sunnah, (Bandung; PT. Al Maarif, 1993).
6.      Asy-syekh Muhamad bin Qosim Al-ghozali, Fathul Qorib (Surabaya; Al-hidayah, 1992)




Labels: | edit post
0 Responses

Post a Comment