Oleh Ma’mun Syaikhoni*

       Nampaknya apa yang ditakutkan Bung Karno benar-benar terjadi pada bangsa bangsa Indonesia saat ini. Banga Indonesia telah menjadi bangsa buruh dan bangsa yang kehilangan jati diri. Bahkan menentukan masa depan bangsa sendiri tidak menentu, perpolitikan tidak sehat mewarnai jalanya pemerintahan dinegeri ini. Ketimpangan ekonomi dan sosial terjadi dimana-mana dan yang paling mengerikan adalah saat pendidikan hanya digunakan sebagai pencetak para buruh dan budak.
        Dewasa ini perkembangan pendidikan mulai dirasakan, tapi pemaksaan dalam tubuh instuisi pendidikan semakin marak, bahkan tidak lepas dari system pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa malah menjadi mesin penghancur bangsa sendiri.
         Degradasi nilai keindonesian saat ini telah melebur keseluruh lini kehidupan, mulai maindset kehidupan, politik, ekonomi, bahkan setiap tindak tandu masyarakat di Indonesia. Pemaksaan nilai impor sangat dirasa sebagai hal yang harus ditiru dan dikerjakan oleg sebagian besar bangsa ini, bahkan ini menjadi nilai yang sangat wajib untuk dilakukan dan diterapkan dalam system pendidikan. Bahkan dengan adanya importifikasi kebudayaan berpendidikan dari luar bangsa Indonesia sering menganggap hal yang benar dan hal yang harus dikejakan tanpa berpikir bagaimana cultural dan komposisi banbsa ini. Bahkan sebuah instansi pendidikan rela menjual anak didiknya untuk dijadikan korban memaksaan budaya pendidikan impor, guna menyokong dana untuk keberlangsungan instansi tersebut. Bukan hanya itu saja sebenarnya yang dirasakan bangsa Indonesia saat ini, berbagai macam bentuk pemunduran nilai-nilai kebudayaan kita semakin parah. Semua aspek telah teracuni, bahkan gaya hidup dan bahasa yang kita lakukan sehari telah terkontaminasi oleh bahasa asing. Di instansi pendidikan yang seharussnya memperhatikan pendidikan berbudaya dan berbahasa malah mempelopori penggunaan bahasa asing yang mereka anggap sebagai bahasa ilmiyah, padahal bahasa tersebut tidak menunjukan keilmiahanya. Setiap even apapun mereka selalu mencantumkn bahasa asing yang menurut mereka keren dan bahasa orang berpendidikan, tapi dalam hakikatnya mereka semakin menunjukan kebodohan dan pembodohanya terhadap orang disektarnya. Krisis kebudyaan di instansi pendidikan inilah yang akan menyebabkan tergerusnya bahasa dan budaya local yang arief dan santun. Bukan hanya demi gengsi dan menunjukan kita sebagai orang terdidik terus semaunya saja memaksakanya kepada orang lain.
        Sehingga pemaksaan dalam system pendidikan semakin terasa, dan akibatnya pendidikan tidak sejalan dengan pengertian dan tujuan pendidikan, pendidikan adalah aktivitas sosial dalam pencarian , pengembangan, dan penemuan pengetahuan, yang didalamya digunakan symbol-simbol sebagai wahana mengomunikasikan sebagai bentuk gagasan, ide, dan pengetahuan.
         Dekandensi dan degradasi jati diri bangsa semakin meraja lela, bahkan menganggap nilai luhur kebudayaan kita sudah jadul dan tidak layak lagi untuk digunakan, sehingga nampak jelaslah penghapusan-penghapusan nilai kemanusian Indonesia. Dengan begitu tak ubahnya pendidikan sebagai sebuah proses pembodohon dan penghancuran generasi penerus bangsa. Dalam proses pendidikan saat ini yang mengatas namakan idiologi yang tercerahkan mulai menanamkan idiologinya kepada bangsa ini dan mengubah maindset anak didik dari orientasi berpegetahuan menjadi orang yang terseting oleh symbol-simbol dan kultural, sehingga masa depan hanya tertuju pada individualis, demi harta, wanita dan tahta. Sudah dapat dibayangkan bagaimana kehidupan dan keberlangsungan kehidupan ini jika hal yang demikian tetap dijalankan dan dipaksakan pada dri bangsa ini. Kehancuaran dan kehinaan Nampak sangat jelas nampak lurus didepan mata jika tidak diadakanya revolusi dalam setiap lini yang mempengaruhi khidupan bangsa ini.
        Imporisasi budaya sangatlah mahal, dan kemahalan yang kita keluarkan tidak semuanya dapat kita rasakan manfaatnya, hanya sebagian yang berperan demi kemajuan dengan tanpa hati nurani, menganggap iportifikasi adalah hal yang wajib dan komuditi yang bisa diperjual belikan.
         Lewat beberapa hal yang mengatasnamakan globalisasi pendidikan para eksporter budaya mulai memasukan budaya mereka, dan bangsa kita cenderung untuk mengikuti dan mempraktekan, sehingga nampaklah kita sebagai pengikut dan tunduk akan apa yang telah digariskan mereka, dengan demikian pola tujuan pendidikan kita yang asli dari rakyat mulai tebunuh dan tidak dihargai di masyarakat. Semua setandarisasi di dasarkan pada setandar luar negeri, semua yang tidak standar luar negeri segera mati dan terkubur, tiada harga yang pantas untuk produk negeri. Dengan demikian semakin jelaslah kalau bangsa kita sebagai bangsa pengikut dan cenderung berprilaku layaknya babu.
        Oleh karenanya dengan segala upaya pencapaian nilai luhur kebudayaan kita serta kembali ke fitrah kita sebagai seorang akademisi yang bukan hanya mengejar materi belaka, maka sudah selayaknya menjalankan tugas tridarma kependidikan yaitu: belajar, penelit ian, dan pengabdian. Dah tiga hal didepan sudah sangat jelas fungsi dan tugas kita.
        Perlu digaris bawai sudahkah kita melaksanakan tridarma pendidikan tersebut? Saya rasa untuk belajar sudah, tapi untuk Penelitian yang mana? Dan pengabdian yang mana? Apakah pengabdian waktu kita KKN atau PKL itu pengbdian? Memang itu pengabdian, dan kebanyakan pengabdian tersebut adalah hanya formalitas belaka? Tapi itu hanyalah bagian yang sangat kecil. Eksistensi kita sebagai mahasiswa memiliki pemikiran kritis, inovativ, pikiran bebas, daya kreativitas, daya nalar,sikap mempertanyakan, sikap terbuka, sikap argumentative, dan sikap dialogis telah terbunuh dengan halus oleh symbol-simbol pendidikan di Negara ini yang sarat dengan imporisasi dan hegemoni kekuasaan. Dan dengan segala kemampuan yang kita punya mari bersma kita gunakan fungsi kita, agen of change, agen of control, kita rubah, kita control, apa yang sebenarnya yang cocok untuk bangsa kita. Sebagai seorang akademisi seharusnya kita berfikiran kritis dan berfikir besar demi harkat, martabat, kesejahteraan, dan jati diri bangsa.
         Dengan berpegang teguh kepada nilai kearifan budaya dan agama kita, mari kita gunakan sebagai filter atas importer-importir budaya yang sebenarnya tidaklah seumua cocok dengan bangsa kita. Penempatan suatu hal akan sangat bermanfaat apabila hal tersebut sesuai dengan tempat dan kebutuhanya,sehingga tumpang tindih dan simpang siur tidak terjadi di setiap aspek, yang merugikan bangsa kita, baik secara moril ataupun materiel.
         Sudah selayaknya kita bersatu untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa kita serta mewujudkan bangsa kita sebagai bangsa yang mempunyai jati diri, bangsa yang memanusiakan manusia, dan bukan lagi menjadi bangsa buruh, bangsa pengikut, dan bangsa yang tertindas.


*Ma’mun Syaikhoni
Mahiswa Syari’ah UIN Malang 2010
Email: chimoe92@ymail.com
http://chimoesyai.blogspot.com
Labels: | edit post
0 Responses

Post a Comment