Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah
Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah keturunan Al-Abbas, paman Nabi
Muhammad SAW, yaitu Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn
al-Abbas. Dimana pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, sosial, dam budaya.
Kekuasaan dinasti Bani Abbas, atau khilafah Abbasiyah,
sebagaimana disebutkan melanjutkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Dinamakan
khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah
keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh
Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abass. Kekuasaannya
berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656
H (1258 M). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan
berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Berdasarkan
perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi
masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode:
- Periode
Pertama (132 H/750 M-232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia
pertama.
- Periode
Kedua (232 H/847 M-334 H/945 M), disebut pereode pengaruh Turki pertama.
- Periode
Ketiga (334 H/945 M-447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam
pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh
Persia kedua.
- Periode
Keempat (447 H/1055 M-590 H/l194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk
dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa
pengaruh Turki kedua.
- Periode
Kelima (590 H/1194 M-656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh
dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai
masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan
merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran
masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan
landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun
setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam
bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini
sangat singkat, yaitu dari tahun 750-754 M. karena itu, pembina sebenarnya dari
daulat Abbasiyah adalah Abu Ja'far al-Manshur (754-775 M). Dia dengan keras
menghadapi lawan-lawannya dari Bani Umayyah, Khawarij, dan juga Syi'ah yang
merasa dikucilkan dari kekusaan. Untuk mengamankan kekuasaannya, tokoh-tokoh
besar yang mungkin menjadi saingan baginya satu per satu disingkirkannya.
Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang
ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syria dan Mesir, karena
tidak bersedia membaiatnya, dibunuh oleh Abu Muslim al-Khurasani atas perintah
Abu Ja'far. Abu Muslim sendiri karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing
baginya, dihukum mati pada tahun 755 M.
Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah,
dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang
baru berdiri itu, al-Mansyur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya,
Bagdad, dekat bekas ibu kota Persia, Clesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian,
pusat pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia. Di
ibu kota yang baru ini al-Manshur melakukan konsolidasi dan Penertiban
pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di
lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan, dia menciptakan
tradisi baru dengan mengangkat Wazir sebagai koordinator departemen, Wazir
pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia. Dia
juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian
negara disamping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn
Abdurrahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah
ada sejak masa dinasti Bani Umayyah ditingkatkan perananya dengan tambahan
tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat. Pada masa al-Manshur,
jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah
sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan
pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.
Khalifah al-Manshur berusaha menaklukkan kembali
daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat, dan
memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Diantara usaha-usaha tersebut adalah
merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia dan Cicilia
pada tahun 756-758 M. Ke utara bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan
mendekati selat Bosporus. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine
V dan selama genjatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. Bala
tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di
laut Kaspia, Turki di bagian lain Oksus dan India.
Pada masa al-Manshur pengertian khalifah kembali
berubah. Dia berkata, "Innama anii Sulthan Allah fi ardhihi (sesungguhnya
saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya)". Dengan demikian, konsep
khilafah dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi sesudahnya merupakan
mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut Nabi
sebagaimana pada masa al- Khulafa' al-Rasyiduun. Disamping itu, berbeda dari
daulat Umayyah, khalifah-khalifah Abbasiyah memakai "gelar tahta",
seperti al-Manshur adalah "gelar tahta". Abu Ja'far. "gelar
tahta" itu lebih populer daripada nama yang sebenarnya.
Kalau dasar-dasar pemerintahan daulat Abbasiyah
diletakkan dan dibangun oleh Abu al-Abbas dan Abu Ja'far al-Manshur, maka
puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu
al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi (775- 786 M), Harun al-Rasyid (786-809 M),
al-Ma'mun (813-833 M), al-Mu'tashim (833-842 M), al-Wasiq (842-847 M), dan
al-Mutawakkil (847-861 M). Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat
dengan peningkatan di sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil
pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi. Terkecuali itu dagang
transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa kekayaan. Bashrah menjadi
pelabuhan yang penting.
Popularitas daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di
zaman khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Ma'mun (813-833 M).
Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial. Rumah
sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Pada masanya sudah
terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping itu,
pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial, kesehatan,
pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada
zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai
negara terkuat dan tak tertandingi. Al-Ma'mun, pengganti al-Rasyid, dikenal
sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya,
penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani,
ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain
yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang
terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi
sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa Al-Ma'mun
inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Al-Mu'tashim, khalifah berikutnya (833-842 M), memberi
peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan,
keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa
daulat Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan.
Praktek orang-orang muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina
secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan
militer dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat.
Walaupun demikian, dalam periode ini banyak tantangan
dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas
sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Bani
Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas, revolusi al-Khawarij di Afrika Utara,
gerakan Zindik di Persia, gerakan Syi'ah, dan konflik antar bangsa dan aliran
pemikiran keagamaan. Semuanya dapat dipadamkan.
Dari gambaran di atas Bani Abbasiyah pada periode
pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada
perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah.
Disamping itu, ada pula ciri-ciri menonjol dinasti Bani Abbas yang tak terdapat
di zaman Bani Umayyah.
- Dengan
berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh
dari pengaruh Arab. Sedangkan dinasti Bani Umayyah sangat berorientasi
kepada Arab. Dalam periode pertama dan ketiga pemerintahan Abbasiyah,
pengaruh kebudayaan Persia sangat kuat, dan pada periode kedua dan keempat
bangsa Turki sangat dominan dalam politik dan pemerintahan dinasti ini.
- Dalam
penyelenggaraan negara, pada masa Bani Abbas ada jabatan wazir, yang
membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam
pemerintahan Bani Ummayah.
- Ketentaraan
profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas. Sebelumnya,
belum ada tentara khusus yang profesional.
Sebagaimana diuraikan di atas, puncak perkembangan
kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan
tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas
sendiri. Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam.
Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal Islam, lembaga pendidikan sudah
mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat:
- Maktab/Kuttab
dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal
dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar
dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa.
- Tingkat
pendalaman. Para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar
daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam
bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu
agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah
ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana
atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana.
Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa
pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi.
Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di
samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan
berdiskusi.
Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan
terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat
ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang
sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan.
Disamping itu, kemajuan itu paling tidak, juga ditentukan oleh dua hal, yaitu:
- Terjadinya
asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu
mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa
pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non Arab banyak yang masuk Islam.
Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu
memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam.
Pengaruh Persia, sebagaimana sudah disebutkan, sangat kuat di bidang
pemerintahan. Disamping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam
perkembangan ilmu, filsafat dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam
bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh
Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu,
terutama filsafat.
- Gerakan
terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa
khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak
diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase
kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma'mun hingga tahun 300 H.
Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan
kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah
adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin
meluas.
Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju
tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di
bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang
tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran pertama, tafsir bi
al-ma'tsur, yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi
dari Nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi al-ra'yi, yaitu metode
rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran daripada hadits
dan pendapat sahabat. Kedua metode ini memang berkembang pada masa pemerintahan
Bani Abbas. Akan tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi al-ra'yi,
(tafsir rasional), sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan
ilmu pengetahuan. Hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh dan terutama
dalam ilmu teologi. Perkembangan logika di kalangan umat Islam sangat
mempengaruhi perkembangan dua bidang ilmu tersebut.
Imam-imam mazhab hukum yang empat hidup pada masa
pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu Hanifah (700-767 M) dalam
pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kufah,
kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang hidup
kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Karena
itu, mazhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional daripada hadits.
Muridnya dan sekaligus pelanjutnya, Abu Yusuf, menjadi Qadhi al-Qudhat
di zaman Harun al-Rasyid.
Berbeda dengan Abu Hanifah, Imam Malik (713-795 M)
banyak menggunakan hadits dan tradisi masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh
mazhab hukum itu ditengahi oleh Imam Syafi'i (767-820 M) dan Imam Ahmad ibn
Hanbal (780-855 M).
Disamping empat pendiri mazhab besar tersebut, pada
masa pemerintahan Bani Abbas banyak mujtahid mutlak lain yang mengeluarkan
pendapatnya secara bebas dan mendirikan mazhab-nya pula. Akan tetapi, karena
pengikutnya tidak berkembang, pemikiran dan mazhab itu hilang bersama
berlalunya zaman.
Aliran-aliran teologi sudah ada pada masa Bani
Umayyah, seperti Khawarij, Murjiah dan Mu'tazilah. Akan tetapi perkembangan
pemikirannya masih terbatas. Teologi rasjonal Mu'tazilah muncul di ujung
pemerintahan Bani Umayyah. Namun, pemikiran-pemikirannya yang lebih kompleks
dan sempurna baru dirumuskan pada masa pemerintahan Bani Abbas periode pertama,
setelah terjadi kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran rasional
dalam Islam. Tokoh perumus pemikiran Mu'tazilah yang terbesar adalah Abu
al-Huzail al-Allaf (135-235 H/752-849M) dan al-Nazzam (185-221 H/801-835M).
Asy'ariyah, aliran tradisional di bidang teologi yang dicetuskan oleh Abu
al-Hasan al-Asy'ari (873-935 M) yang lahir pada masa Bani Abbas ini juga banyak
sekali terpengaruh oleh logika Yunani. Ini terjadi, karena al-Asy'ari
sebelumnya adalah pengikut Mu'tazilah. Hal yang sama berlaku pula dalam bidang
sastra. Penulisan hadits, juga berkembang pesat pada masa Bani Abbas. Hal itu
mungkin terutama disebabkan oleh tersedianya fasilitas dan transportasi,
sehingga memudahkan para pencari dan penulis hadits bekerja.
Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam
perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran,
filsafat, kimia dan sejarah. Dalam lapangan astronomi terkenal nama al-Fazari
sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Al-Fargani, yang
dikenal di Eropa dengan nama Al- Faragnus, menulis ringkasan ilmu astronomi
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes
Hispalensis. Dalam lapangan kedokteran dikenal nama al-Razi dan Ibn Sina.
Al-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan
measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak.
Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan Ibn Sina. Ibn Sina yang juga
seorang filosof berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia.
Diantara karyanya adalah al-Qoonuun fi al-Thibb yang merupakan
ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah.
Dalam bidang optikal Abu Ali al-Hasan ibn al-Haythami,
yang di Eropa dikenal dengan nama Alhazen, terkenal sebagai orang yang
menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang dilihat. Menurut
teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya bendalah yang mengirim cahaya ke
mata. Di bidang kimia, terkenal nama Jabir ibn Hayyan. Dia berpendapat bahwa
logam seperti timah, besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak
dengan mencampurkan suatu zat tertentu. Di bidang matematika terkenal nama
Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah
yang menciptakan ilmu aljabar. Kata "aljabar" berasal dari judul
bukunya, al-Jabr wa al-Muqoibalah. Dalam bidang sejarah terkenal nama
al-Mas'udi. Dia juga ahli dalam ilmu geografi. Diantara karyanya adalah Muuruj
al-Zahab wa Ma'aadzin al-Jawahir.
Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat, antara
lain al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku tentang
filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap filsafat
Aristoteles. Ibn Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat. Yang
terkenal diantaranya ialah al-Syifa'. Ibn Rusyd yang di Barat lebih dikenal
dengan nama Averroes, banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat,
sehingga di sana terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme.
Demikianlah kemajuan politik dan kebudayaan yang
pernah dicapai oleh pemerintahan Islam pada masa klasik, kemajuan yang tidak
ada tandingannya di kala itu. Pada masa ini, kemajuan politik berjalan seiring
dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan, sehingga Islam mencapai masa
keemasan, kejayaan dan kegemilangan. Masa keemasan ini mencapai puncaknya
terutama pada masa kekuasaan Bani Abbas periode pertama. Namun sayang, setelah
periode ini berakhir, Islam mengalami masa kemunduran
Post a Comment